Reihan menunggu di ruang kepala sekolah dengan perasaan kesal menggunung. Kemarin dia mendapat telepon langsung dari kepala sekolah tentang kelakuan adiknya yang sudah keterlaluan, menghina guru bahasa Inggris yang baru. Reihan tidak meminta penjelasan apapun pada Ray karena sudah tahu watak adiknya seperti apa. Sekarang yang ada di benaknya hanya merangkai kata agar guru bahasa Inggris itu mau memaafkan kesalahan adiknya.
“Reihan?” dahi Maya mengernyit. Matanya mengarah bergantian dari Reihan ke Ray.“Wah, Ibu kenal kakak saya?” Ray nampak antusias. “Di mana, Bu?” matanya berubah arah pandang ke kakaknya. “Kak Rei kenal di mana sama Bu Maya?”“Diam kamu!” seru Maya dan Reihan kompak. Ray merengut sebal.Maya shock mendapati fakta mereka kakak beradik. Reihan yang penuh sopan santun dan Ray yang ceplas-ceplos. Sepertinya mereka saudara yang tertukar.Reihan minta maaf atas kelakuan adiknya dan berusaha menyakinkan Maya bahwa itu hanyalah keisengan remaja semata. Maya yang masih terpengaruh kuat oleh pesona Reihan, dengan mudah menutup masalah tersebut.“Saya harap Ray bisa menjadi lebih baik. Sangat disayangkan bila anak seperti dia sampai tidak punya masa depan. Apalagi nilai-nilainya sangat buruk.”“Ibu punya hak apa menghakimi masa depan saya?Saya mau jadi apa itu urusan saya!” Ray menatap tidak senang pada gurunya itu.“Ray!” Mata Reihan menyorot sebal. “Jaga bicaramu!”“Nilai baik nggak menjamin seseorang sukses di masa depan. Buktinya ibu bisa mengajar di sekolah ini juga karena koneksi.”“Itu privasi saya!” suara Maya meninggi. “Bicaramu selalu tidak sopan. Semaumu sendiri. Apa orangtuamu tidak,”“Orangtua saya sudah mati!”Reihan hendak meraih tangan Ray, namun adiknya itu sudah lebih dulu melangkah keluar ruangan. Bibir Maya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk mencegah Ray pergi. Jadi inikah penyebab perilaku Ray yang selalu bertindak seenaknya?“Saya sungguh minta maaf atas kelakuan Ray. Saya,”“Saya mengerti.” Suara Maya sedikit bergetar. “Saya rasa cukup sampai di sini pertemuan kita. Maaf, saya harus mengajar.”Reihan hanya mampu memandang hampa punggung Maya yang menjauh. Berulangkali dia berusaha menghubungi adiknya namun nomor ponsel selalu tidak aktif. Di lorong dia berpapasan dengan Riyan, sahabat adiknya.“Kak Rei tenang aja, Ray nggak bakal melakukan sesuatu di luar batas. Paling sekarang dia lagi menenangkan diri.”Reihan menenangkan hatinya yang masih khawatir. Dia tidak mau hal buruk menimpa adiknya. Sekali lagi dia berusaha menghubungi Ray, hasilnya tetap sama, nomor tidak aktif.*****Air mata itu masih mengalir deras tanpa niat untuk berhenti. Dua pusara berumput hijau di hadapannya menjadi saksi bisu kesedihannya.“Ma, Pa, boleh aku nyusul kalian? Aku kangen.”Sentuhan di bahu kanan membuatnya menoleh ke belakang. Kakaknya tahu pasti ke mana dia pergi bila hatinya sedang sedih.“Kalau kamu nyusul mereka, aku sama siapa?” Suara Reihan bergetar sedih.Reihan memeluk adiknya. Kematian orangtua mereka memang masih menyisakan kepedihan. Bahkan Ray selalu menyalahkan dirinya akibat kematian orangtua mereka.“Pulang, yuk, sudah sore,” Bujuk Reihan namun Ray tak bergeming.Reihan mengelus punggung adiknya untuk menenangkan. Dia menguatkan diri untuk menghadapi yang akan terjadi selanjutnya.*****Maya mondar-mandir di kamar. Pikirannya masih berpusat pada Ray. Dia sama sekali tidak tahu bila orangtua Ray sudah meninggal. Saat dia konfirmasi pada Kepala Sekolah, pria setengah baya itu bahkan meminta maaf karena lupa memberitahu keadaan keluarga Ray yang sebenarnya.Matanya memandang foto keluarganya di meja. Foto itu dia ambil seminggu sebelum merantau ke Jakarta. Papa dan mamanya semakin terlihat tua. Rasa rindu yang meluap dalam sekejap membuat banjir di matanya. Pandangannya beralih pada dua ponakannya, Ririn dan Dimas. Orangtua dua keponakannya juga sudah meninggal. Kakak iparnya meninggal akibat kecelakaan di proyek tempatnya bekerja. Sedangkan kakaknya meninggal setelah melahirkan Dimas.Maya mengambil ponsel di meja. Dia menekan nomor Reihan. Tidak aktif. Dilihatnya waktu di layar ponsel. Sudah jam setengah sembilan malam. Apa Reihan masih di restoran? Maya mencoba menghubungi beberapa kali dan tetap tidak aktif. Dia menyerah dan meletakkan ponselnya di meja. Matanya berusaha terpejam namun wajah Ray melekat kuat di benaknya.*****Maya mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Tidak ada Ray. Matanya terpaku pada sepucuk amplop putih di meja. Surat keterangan dokter menyatakan Ray harus beristirahat selama tiga hari, terhitung mulai hari ini.Selesai mengajar, Maya bergegas menuju ke alamat mereka tinggal. Dia turun dari taksi, menatap sejenak gedung apartemen di hadapannya. Sampai di depan pintu unit apartemen mereka, ditekannya bel pintu. Tak lama pintu dibuka empunya. Maya menyunggingkan senyum.“Kemarin malam saya coba hubungi tapi nomornya nggak aktif. Kenapa?”“Maaf, lupa charger karena saya sibuk mengurus Ray yang sakit.”“Oh begitu,” Maya mengangguk mengerti. “Ray sakit apa sebenarnya?”“Demam. Kelelahan.”Maya kurang percaya. “Apa itu ada hubungannya dengan saya kemarin?”“Oh, nggak sama sekali. Ray memang,”“Saya bisa melihat kebencian di mata Ray saat saya menyinggung tentang orangtua.”Reihan menghela napas perlahan. “Itu memang hal yang sensitif untuk Ray. Maaf, saya belum bisa cerita tentang hal tersebut.”“Kalau begitu boleh saya melihat Ray?”Reihan mengangguk dan mengantarkan ke kamar Ray di atas. Maya melihat tubuh itu tergeletak lemah di ranjang dengan selang infus menggantung. Entah kenapa dia ingin menangis melihat pemandangan itu. Dia menyapa pelan namun tak ada jawaban.“Ibu minta maaf atas perkataan ibu yang sudah menyinggung perasaan kamu. Kamu mau maafin ibu, kan?”Ray tetap diam. Maya menghela napas perlahan. Dia yakin anak itu masih tersinggung.“Ibu bisa mengajar di sekolah itu memang karena koneksi. Sahabat ibu adalah cucu salah satu pendiri sekolah itu. Ibu hanya menggantikan sementara Ibu Rika yang sedang cuti hamil. Ibu tahu level mengajar ibu belum sebanding dengan mereka yang sudah berpengalaman, tapi ibu berusaha memberikan yang terbaik selama ibu mengajar di situ. Setidaknya sampai kamu lulus, tolong bertahanlah dengan ibu yang membosankan ini. Bila aksen bahasa inggrismu lebih bagus dari ibu, kita bisa belajar bersama. Saling bertukar ilmu dan pendapat. Bukankah itu lebih baik daripada mengkritik tanpa solusi?”Mata mereka saling tatap. Pancaran mata wanita di hadapannya terasa meneduhkan. Sama seperti almarhum mamanya.“Saya sudah bersikap nggak sopan sama ibu. Saya minta maaf.”Maya lega mendengar suara Ray. Dia meraih tangan lemah itu.“Ibu minta maaf sudah menyinggung perasaan kamu. Ibu sama sekali nggak tahu kalau orangtua kamu sudah meninggal.”Ray hanya mengangguk kecil.“Cepat sembuh, ya. Nggak ada kamu nggak ramai. Nggak ada yang ngajak berantem ibu.”Ray tersenyum lemah.“Kamu sudah minum obat?”“Saya nggak suka obat. Pahit.”“Gimana kamu mau sembuh kalau nggak minum obat?” Maya melihat makanan yang belum tersentuh. “Kamu juga pasti belum makan. Makan dulu, yuk. Mau ibu suapin?”Sejenak Ray ragu untuk mengiyakan. “Saya mau makan tapi nggak mau minum obat.”“Terkadang kenangan pahit justru dapat bangkitkan seseorang dari keterpurukan. Dari rasa sakit itu mereka bangkit untuk meraih sesuatu yang lebih baik dan berusaha nggak mengulangi kesalahan di masa lalu. Sama seperti halnya obat. Rasanya yang pahit justru dapat menyembuhkan. Orang akan sadar akan pentingnya kesehatan agar nggak lagi konsumsi obat yang pahit.”Ray tersenyum tipis. Kalimat wanita ini menyejukkan hati. Jujur dan menyakinkan. “Ibu beneran mau nyuapin saya?”“With pleasure.”Ray membenarkan ucapan bahasa Inggris Maya dengan aksen British. Mereka tertawa bersama. Maya menyendok nasi dan lauk lalu menyuapkan pada Ray. Reihan merasa lega melihat adiknya mau makan. Dia keluar kamar, menyiapkan minum untuk Maya.Langkahnya belum sampai dapur, terdengar bel pintu berbunyi. Reihan melihat di layar monitor, Riyan dan Zahra melambaikan tangan. Dia membuka pintu untuk mereka.“Ray, sakit apa Kak?” tanya Zahra.“Biasa kecapaian.”“Ray cape apaan, ya?” Zahra terkekeh. “Anak raja dinasti pandawa banyak tingkah.”Mereka saling dehem melihat Ray yang sedang disuapi Maya. Zahra naik ke ranjang Ray tanpa sungkan. Telapak tangan kanannya memegang dahi Ray yang masih hangat. Ray menggoda dengan menggenggam tangan kanan itu dan meletakkan di dada.“Ini lepasin, PA. Malu tahu ada Bu Maya.”“Kalian pacaran?”“Maunya gitu, Bu. Tapi dia lebih milih Martin.” Ray terkekeh lemah.“Ray PA, lepasin.” Zahra berusaha membuka genggaman tangan Ray.“Obatku kamu, Sayang,” Goda Ray lagi. Kali ini Zahra tergelak. “Sun dulu, nanti aku lepasin.”“Ok, tapi tutup mata.”Ray mengangguk lalu menutup mata. Zahra menutup mata Ray dengan telapak tangan kirinya. Dia memberi kode pada Riyan untuk mengecup pipi Ray. Maya tertawa melihat tingkah mereka.Maya melihat pribadi Ray yang sebenarnya. Penuh kasih sayang yang tulus. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk membantu anak ini bangkit dari keterpurukan. Dia mau muridnya menjadi orang sukses di kemudian hari dan dapat membantu sesama. Dia yakin Ray bisa berubah.*****Ray meletakkan rantang makannya di meja sudut kantin. Menu kesukaannya, sayur pare dan perkedel ikan tongkol, tak menggugah seleranya untuk segera menyantap makanan itu. Pikirannya melayang pada satu wanita. Tanpa sadar tangannya terangkat membelai kepalanya sendiri. Masih ingat bagaimana lembutnya wanita itu membelai kepalanya sebelum pulang dari menjenguknya saat sakit. Dulu almarhum mamanya juga selalu membelai lembut kepalanya bila dia akan tidur.“Belum pulang Ray?”Ray yang terkejut menjatuhkan sendoknya di meja. Matanya menatap wajah wanita yang baru saja dia pikirkan.“Lagi bete, Bu.”Maya duduk di bangku yang berhadapan dengan Ray. Dia mengeluarkan kotak makannya.“Pasti gara-gara dimarahin sama Pak Dedi tadi pagi?”“Budeg kuping saya dengar omelannya. Kalau saya mau, saya juga bisa ngerjain soal matematika kelas IPA. Lagaknya sombong banget, berasa master matematika.”Maya membuka kotak makannya. Sayur tempe cabai hijau dan telur dadar menjadi pelengkap makan siangnya. Lauk sederhana itu justru menarik minat Ray.“Kenapa nggak tunjukkan kemampuan kamu?”“Kalau beliau kalah nanti hilang muka.” Ray tersenyum mengejek. “Bu, boleh tukar bekal nggak?”“Memang kenapa sama makananmu?”“Saya lagi bosan aja. Pengin makanan punya ibu.”Maya menyorongkan kotak makannya pada Ray. Mereka saling tukar bekal. Maya takjub dengan rasa pare yang tidak pahit. Dia memuji kepintaran Reihan dalam mengolah pare, membuat Ray merengut sebal.Dia menatap Ray yang masih lahap memakan bekal sederhananya. Setelah mendengar cerita dari Reihan bagaimana orangtua mereka meninggal, hatinya terketuk untuk membantu Ray pulih dari kepedihan hati yang berkepanjangan. Orangtua mereka meninggal akibat kecelakaan. Malam itu Ray yang masih berusia 10 tahun merengek minta mainan robot yang sudah dijanjikan oleh papanya. Orangtuanya sudah membujuk untuk membelikan besok, tapi Ray justru marah dan mengatai papanya pembohong. Papa dan mamanya memutuskan membelikan robot yang Ray minta malam itu. Tanpa disangka dalam perjalanan pulang, mereka mengalami kecelakaan. Setelah tahu apa yang terjadi pada orangtuanya, perangai Ray berubah menjadi pendiam. Saat SMP dia memilih home schooling. Namun, saat SMA, Reihan memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah umum agar Ray bisa berinteraksi sosial dengan orang lain. Walaupun sampai sekarang Ray tidak pernah menimbulkan masalah serius di luar sekolah, tapi Reihan tetap khawatir akan pergaulan Ray. Ditambah lagi nilai-nilai Ray yang buruk, membuat Reihan pesimis adiknya bisa lulus.“Kalau ibu pikir kamu harus menunjukkan kemampuan kamu yang sebenarnya. Ini bukannya ibu jadi provokator, tapi banyak guru yang anggap remeh kamu.” Maya berusaha membangkitkan semangat muridnya itu. “Waktu ibu jenguk kamu, ibu lihat banyak sekali penghargaan yang kamu dapat saat masih SD, kamu bahkan pernah juara olimpiade matematika.”“Itu, kan, masa lalu, Bu, ngapain diungkit.”Maya berpikir cepat untuk memilah kata agar tidak menyinggung perasaan Ray.“Ya, itu mungkin hakmu untuk mendapat nilai jelek. Tapi apa kamu nggak mempertimbangkan perasaan kakakmu yang sudah bekerja keras untuk membiayai,”“Saya sekolah nggak pakai duit Kak Rei. Saya ada asuransi pendidikan,” jawab Ray lugas. Maya tersenyum tipis. “Lagipula kalau saya dapat nilai bagus atau jelek, saya nggak akan lihat senyum bangga maupun raut sedih Papa dan Mama.”Hati Maya terasa remuk mendengar penuturan Ray. Dia dapat melihat kesakitan di mata itu.“Kamu anak yang cerdas Ray,” berhati-hati dalam perkataannya. “Nggak ada salahnya menunjukkan prestasimu.”Ray diam. Matanya bertemu dengan mata Maya. Pancarannya begitu hangat. Tatapan yang selama tujuh tahun ini dia rindukan. Tatapan mamanya.“Saya punya prestasi, Papa dan Mama,” bibir Ray sedikit bergetar.“Nggak ada pengaruhnya untuk mereka?” sambung Maya.“Ya.”“Setidaknya lakukan untuk dirimu sendiri,” ucap Maya pelan. “Kakakmu sayang sama kamu. Dia mau kamu mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu.”“Saya selalu merasa bersalah. Kalau bukan karena keegoisan saya, Mama dan Papa nggak akan meninggal. Saya juga sudah menghancurkan mimpi Kak Rei untuk bisa kuliah di Paris. Dia harus mengubur mimpinya dan memilih mengurus adiknya yang nggak berguna.”“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.” Maya genggam jari-jemari Ray. “Kematian seseorang adalah takdir Tuhan. Saat itu usiamu masih 10 tahun, belum bisa bedakan mana yang kebutuhan dan keinginan. Ibu nggak mau kamu hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Kamu nggak bisa bahagia kalau terus mempertahankan pikiranmu yang salah itu.” Dibelainya lembut kepala Ray. “Kamu harus berubah demi kebaikan dirimu sendiri.”Ray menatap wajah mungil dengan kecantikannya yang sederhana. Dia belum berani mengiyakan langsung permintaan wanita itu. Untuk berubah dia perlu seseorang yang mau menggenggam erat tangannya dan tidak meninggalkannya dengan mudah.“Apa yang bisa ibu bantu untukmu?”Sudut-sudut bibir Ray menarik senyuman.“Stand by me.”Maya mengangguk yakin. Dia belai lagi kepala anak itu. Ray tersenyum senang. Dia menyodorkan kepalanya untuk dibelai lagi tapi Maya malah mengacak-acak rambutnya. Maya menyendok nasi dan lauk di rantang makan Ray, memberikan suapan yang disambut bahagia. *****Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i