"Mereka berdua harus dirukiyah sebelum kena azab. Huweeee.”
Tangis Ayana seketika meledak, membuyarkan suasana romantis nan absurd yang diciptakan oleh Aksa dan Saga. Dua orang yang nyaris saling mempertemukan wajah tampan mereka itu tersentak kaget mendengar suara cempreng yang sudah merusak moment syahdu mereka. Kata orang, kalau lagi berdua-duaan akan ada setan sebagai orang ketiga dan sepertinya itu benar. Aksa tidak menyangka kalau pohon rambutan di halaman belakang rumahnya memiliki penunggu yang bisa mengganggu romansanya bersama dengan Saga.“Siapa di sana?” tanya Aksa gusar sambil menolehkan kepalanya ke arah pohon rambutan. Aksa mengernyitkan alis ketika matanya melihat ada orang tak diundang berdiri di dekat pohon rambutan persis seperti penampakan. Bukan hanya satu, tapi ada dua orang yang entah kenapa tampak begitu menyebalkan.Skala Putra Manggala, sepupu Aksa yang sedari dulu suka menggerecoki kencan Aksa dan Saga ada di sana. Ia berdiri berdampingan dengan seorang gadis bergaun putih penuh noda tanah, entah apa yang dilakukan gadis itu sampai tak ubahnya seperti orang habis membajak sawah.Kehadiran kedua orang itu terlihat begitu mengganggu di mata Aksa. Sebenarnya bukan keberadaan Kala yang membuat Aksa gusar dan khawatir. Kala tentu sudah tahu dengan rahasia yang disembunyikan Aksa. Bahkan saking tahunya, berkali-kali Kala hampir menyeret Aksa ke psikiater dan rutin menyuruh Aksa untuk membaca kisah Nabi Luth hingga membuat Aksa ingin sekali menendang Kala agar menjauh darinya. Dari sekian banyak kisah para Nabi, kisah Nabi Luth dan Kaum Sodom adalah kisah yang paling Aksa benci karena sedikit menyentilnya. Ah, bukan sedikit, tapi benar-benar menyentilnya.Suara decakan lolos begitu saja dari mulut Aksa. Ia benar-benar tidak senang dengan apa yang ia lihat. Bisa-bisanya sepupunya itu datang bersama dengan seorang gadis dan asyik menontonnya yang sedang beradegan mesra. Perut Aksa mendadak mulas. Ekspresi gadis itu sudah cukup memberitahu Aksa dengan apa yang terjadi, bahkan meskipun Aksa belum menanyakan apapun.“Kal, apa kamu yang mengajaknya?” Aksa bertanya dengan hati dongkol. Mata Aksa menatap tajam ke arah Ayana yang masih berdiri linglung dan pastinya masih dalam keadaan jiwa yang terguncang.“Heh, bocah. Kenapa kamu ada di rumahku?” tanya Aksa sewot hingga membuat Ayana tergeragap dan meneguk ludahnya sendiri. Kaget, coy! Seingat Ayana, ketika Aksa menolaknya dulu, pria itu tampak begitu lembut dan ramah hingga membuat Ayana patah hati dengan bahagia. Boro-boro trauma, Ayana bahkan bertekad ingin sekali lagi mencoba menembak Aksa. Berharap Aksa berubah pikiran dan menerima pernyataan cintanya. Tapi, kini pria berwajah bak malaikat baik hati itu bersikap seperti tukang jagal yang tidak ragu menguliti Ayana hidup-hidup, membuat Ayana berpikir ulang untuk mendekati Aksa.“Lebih baik kamu cepat pergi dari sini. Aku nggak suka melihatmu ada di sini,” usir Aksa ketus.“Aksa," sela Kala menengahi. “Kamu nggak boleh kasar begitu. Anak ini, kan, nggak salah.”Aksa mendengus mendengar Kala membela Ayana yang tiba-tiba saja menundukkan kepalanya. Gadis itu memegang lengan Kala dengan erat hingga membuat Kala menengok ke arah Ayana. Wajah Ayana tampak begitu pucat dan mengkhawatirkan. Tapi, belum sempat Kala membuka mulutnya untuk menanyakan keadaan Ayana, suara tangisan Ayana sudah menyambar pendengaran Kala seperti petir di siang bolong.“Huweeee. Jadi karena itu Abang memutuskan aku?” tanya Ayana setengah merengek sambil mengguncang lengan Kala.“Ha? Apa?” pekik Kala kaget. Dirinya saja jomblo, lalu siapa yang dia putuskan? Dia tidak punya pacar khayalan.“Abang memutuskanku dan membiarkanku bertunangan dengan laki-laki nggak normal itu? Seharusnya Mas mempertahankan hubungan kita apapun yang terjadi. Mas tega!” jerit Ayana dramatis sedangkan Kala hanya bisa berdiri cengo."Tadi manggil Abang, sekarang Mas. Gimana, sih?" pikir Kala bingung.Dengan cepat, Kala menggelengkan kepalanya. Sekarang buat saatnya untuk memikirkan panggilan tidak konsisten yang diberikan gadis itu padanya.“Tu ... tunggu dulu! Kamu ini bicara apa?” sela Kala panik sambil mengangkat tangannya. Seharusnya yang panik hanya Aksa dan Saga karena rahasia memalukan mereka terbongkar, tapi kenapa dirinya malah ikut-ikutan panik bukan kepalang? Dia, kan, bukan orang ketiga dalam hubungan aneh Aksa dan Saga.“Aku nggak mau bertunangan dengan laki-laki nggak normal. Kalau Kangmas nggak mau bantu aku menolak pertunangan ini lebih baik aku kabur. Bye-bye!!!” Ayana berseru nyaring sembari bergegas angkat kaki meninggalkan Kala yang lagi-lagi cengo karena panggilannya berubah lagi menjadi Kangmas.“Bocah aneh itu bicara apa, sih?”“Kamu pacaran dengan anak itu, Kal? Mulai kapan?” tanya Aksa kepo. Ia tidak menyangka akan menonton pertengkaran sepasang kekasih di depan matanya.“Jangan tanya aku! Aku juga bingung,” jawab Kala bete.“Tunangan?” gumam Aksa tiba-tiba. Ia teringatkan oleh sesuatu yang tidak menyenangkan. Tadi malam mamanya merengek tanpa lelah memaksa Aksa untuk menyetujui perjodohan yang sudah diatur entah sejak kapan. Mamanya yang biasanya selalu bersikap anggun dan tenang bak Putri Keraton mendadak bersikap seperti bocah umur dua tahun yang sedang tantrum. Mamanya ngebet ingin punya menantu, ngebet ingin belanja barang-barang hantaran dan menggelar acara pernikahan serba pink yang feminine.Bulu kuduk Aksa meremang. Ternyata mamanya benar-benar serius akan menjodohkannya dengan seorang gadis.“Nggak mungkin bocah itu yang akan jadi tunanganku, kan?” desis Aksa tidak percaya dengan ekspresi horor.“Antara bocah tadi dan Saga ... orang tuamu pasti lebih memilih bocah tadi untuk jadi menantu mereka, lho, Sa!” timpal Kala tersenyum senang dan berpuluh kali mengucap syukur dalam hati.Dari dulu Kala selalu berharap hubungan Aksa dan Saga berantakan, berharap kedua orang itu mendadak insyaf dan kembali ke jalan yang benar. Tapi, sayangnya kepala kedua orang itu tidak pernah terbentur hingga gegar otak. Hidayah pun tak kunjung datang. Boro-boro insyaf, hubungan Aksa dan Saga tetap langgeng damai sentosa tanpa adanya pelakor. Sial!Kala menghela nafas berat sembari melihat Aksa dan Saga secara bergantian. “Nggak kusangka sepupu dan teman baikku ternyata gay,” keluh Kala lesu.“Lebih baik kamu tutup mulutmu itu!” perintah Aksa dongkol.“Jadi rencana perjodohan itu serius?” tanya Saga gamang. Ekspresi Saga tampak begitu sedih sehingga Aksa buru-buru menggenggam tangan Saga untuk menenangkan kekasihnya itu.“Kamu jangan khawatir. Aku pasti akan menolak perjodohan ini. Kita akan tetap sama-sama, Ga!” hibur Aksa. Penghiburan yang berakhir dengan muntahan keluar dari mulut Kala. Muntahan yang membuat Kala semakin bertekad untuk membubarkan hubungan Aksa dan Saga agar matanya tidak lagi melihat adegan tidak masuk akal yang selalu membuat asam lambungnya naik.“Kamu ganggu, Kal! Bisa nggak sih kamu pergi aja?” hardik Aksa kesal.“Siapapun ... tolong bawa bocah tadi kembali ke rumah ini,” pinta Kala memelas disela-sela ususnya yang meronta-ronta."Canggung banget," ucap Yusa buka suara. Beberapa menit sudah berlalu, tapi baik Aksa ataupun Saga, tidak ada satupun dari kedua orang itu yang membuka mulut. Padahal kedua orang itulah yang mengajak Yusa, lebih tepatnya lagi memaksa untuk bertemu di atas atap. Bukannya berbicara, mereka bertiga malah saling melempar tatapan tidak nyaman satu sama lain. "Kalian berdua masih nggak tahu apa yang mau dibicarakan? Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan, kenapa mengajakku ketemu di sini? Kan, buang-buang waktu. Mana panas lagi. Mending aku menemani Ayana di ruang kesehatan," kata Yusa pelan. Ia yang sudah merasa bosan ingin secepatnya angkat kaki meninggalkan tempat itu."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Aksa to the point, mencegah Yusa yang tidak sabar ingin menyelonong pergi."Kenapa aku ada di sini?" ulang Yusa dengan ekspresi mencemooh. "Ini kampus, Aksa. Tentu saja aku ada di sini untuk belajar. Memangnya aku mau apa lagi? Nggak mungkin mau jual
"Kalian itu ngapain, sih?" tanya Aksa bingung melihat kelakuan Ayana dan Karin di depan pintu kelas. Karin dengan gigihnya berusaha menyeret Ayana untuk masuk kelas, begitupun dengan Ayana yang tidak kalah gigih bertahan di daun pintu. Saking gigihnya, Ayana nyaris menggigit pintu. Bosan berlagak seperti kelinci yang suka loncat ke sana ke mari, sepertinya Ayana ingin berubah menjadi tikus yang menggerogoti kayu."Kak Aksa, lihat 'nih kelakuan tunangan Kakak. Dia nggak mau menuntut ilmu dengan baik dan benar," lapor Karin dengan tangan masih menarik tali tas punggung Ayana."Kamu itu kenapa? Masa stress hanya gara-gara aku nggak mau ke kampus bareng?" tanya Aksa pada Ayana."Mas Aksa, Mas Aksa bisa merasakan atau ngelihat hantu nggak?" tanya Ayana tidak nyambung, membuat Aksa semakin yakin kalau Ayana benar-benar mabok akibat kebanyakan makan daging sapi. Sepertinya otak Ayana ketutupan lemak sampai-sampai hari ini Ayana semakin menggila dan bersikap tidak
"Pagi-pagi anak itu sudah membuatku sakit kepala," sungut Aksa.Ia berjalan dengan tergesa sambil menyugar kasar rambutnya sendiri. Setelah kemaren ia nyaris mati kebosanan menunggu lama bunda Ayana berbelanja daging, pagi-pagi buta Ayana kembali berbuat ulah dengan menelponnya. Sepertinya gadis itu mabok kebanyakan makan daging sapi sampai-sampai tidak ada angin tidak ada hujan merengek minta berangkat ke kampus bareng. Sejak kapan coba mereka punya hubungan semesra itu?"Ayo, kita ke kampus bareng!"Begitu Aksa mengangkat panggilan telpon dari Ayana, suara cempreng itulah yang menerobos gendang telinga Aksa. Tidak ada ucapan salam ataupun basa basi. Bahkan sekedar say halo pun tidak diucapkan Ayana, apalagi ucapan Assalamualaikum yang jauh lebih panjang. Aksa yang masih mengantuk bahkan langsung sadar dari alam bawah sadarnya. Matany
"Akhirnya aku sehat dan bisa bersih-bersih rumah," ujar Ayana berbicara sendiri.Ia menyapu lantai ruang tamu dengan begitu bersemangat. Setelah mendapat pelatihan memasak dari Tante Anna yang tidak juga membuahkan hasil, Ayana berinisiatif untuk latihan beberes rumah yang baik dan benar. Meskipun kemungkinan untuknya menjadi istri Aksa sangatlah kecil, Ayana tetap bersemangat berlatih menjadi ibu rumah tangga. Karena itu dengan senang hati Ayana mengambil alih pekerjaan asisten rumah tangganya untuk bersih-bersih teras."Tapi, kenapa lantai yang kusapu nggak bersih-bersih juga, ya?" tanya Ayana bingung."Arah sapuanmu salah, Yan!" tegur seseorang.Ayana sontak menoleh ke arah suara yang menegurnya. Kakak sulungnya berdiri sambil menutup hidung dengan sapu tangan, menghindari debu yang beterbangan agar tidak masuk ke dalam hidungnya
Sreeet.Aksa merobek bungkus obat pereda demam yang baru saja ia beli di apotek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Begitu bangun dari pingsannya, Ayana tiba-tiba terserang demam sehingga membuat Aksa terpaksa singgah ke apotek dalam perjalanan pulang.Apa di tubuh Yusa tertempel jin sehingga bisa membuat seseorang yang dipeluknya terserang demam tinggi? Aksa bertanya-tanya dalam hati.“Kenapa kamu malah terkena demam begini? Segitu senangnya, ya, dapat pernyataan cinta dari cowok tadi?” tanya Aksa, tentu saja dengan maksud untuk menyindir Ayana yang duduk di sampingnya. Ayana yang masih menggigil mengabaikan Aksa dan sibuk menenggak air untuk mengenyahkan rasa pahit yang tertinggal di lidahnya.Aksa ingin fokus dengan setir kemudi di depannya, tapi suara gigi Ayana yang bergemeletukan membuat Aksa terpaksa menolehkan kepalanya k
"Lebih baik kita pulang sekarang," ajak Aksa."Lho, kenapa? Mas Aksa bahkan belum berbincang-bincang dengan Saga," tanya Ayana bingung. Disuguhkan minum pun belum, tapi Aksa sudah mengajak untuk pulang. Padahal tadi butuh waktu hampir dua jam mereka berdua berdebat karena Ayana yang ngotot ingin ikut dan Aksa yang juga bersikeras menolak membawa Ayana berkunjung ke rumah Saga. Masa belum apa-apa mereka sudah mau pulang? Kepala Ayana saja masih pusing karena pingsan tadi."Nggak ada gunanya juga aku bertemu Saga kalau ada kamu dan orang menyebalkan itu di sini," ujar Aksa dongkol.Ayana menggelengkan kepalanya. "Kenapa Mas Aksa selalu menganggap semua orang menyebalkan? Nggak boleh, lho, berburuk sangka kayak gitu mulu" tukas Ayana menasehati Aksa.Aksa mendengus. Ingin balas melemparkan nasehat pada Ayana yang dinilainya selalu berpikir kelewat positif terhadap orang
"Ngik!" Ayana yang baru sadar dari pingsannya sontak menutup hidungnya sendiri, berusaha menyamarkan suara nafasnya yang tak ubahnya seperti babi yang menguik. Ia kaget sendiri mendengar suara bunyi nafasnya yang mendadak terdengar seperti orang terserang asma. Dengan gugup, Ayana melirik seseorang yang duduk di tepi tempat tidur dan langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu kalau orang yang menunggunya adalah Aksa, bukan orang lain. Ia tidak perlu malu karena Aksalah yang mendengar bunyi nafasnya yang terdengar seperti suara babi, bukan pria tampan yang tadi tiba-tiba memeluknya. "Bodoh," ejek Aksa. "Kenapa kamu malah pingsan?" "Mas Aksa?" "Dan wajahmu itu terus-terusan memerah. Jangan bilang kalau kamu tergoda dengan tampangnya itu!" sindir Aksa dengan wajah tidak percaya. &nb
"Bersaing?" desis Saga sinis. "Sayang sekali, selera kita berdua beda. Jadi lupakan saja!""Kamu benar-benar membuatku ingin tertawa," ledek Yusa dengan senyum terkulum. "Padahal aku punya banyak cewek can..."Lagi-lagi Saga berdecak dan menganggap perkataan Yusa tak lebih dari angin lalu. Angin lalu yang lebih baik jika diabaikan. Saga meraih ponselnya yang tergeletak di meja dan berjalan ke arah pintu menuju ruang tamu."Ga!!!" Yusa berteriak. "Kamu mau pergi ke luar?""Ya. Aku ada janji dengan seseorang," jawab Saga acuh."Kamu mau meninggalkan aku? Padahal hari ini aku mau mengajakmu ke cafe favoritnya ayah dan ibu," kata Yusa dengan nada memelas."Jangan harap aku mau!" tandas Saga cuek. Lagipula ibu yang Yusa maksud adalah ibunya, bukan ibu Saga. Lalu untuk apa ia peduli? Saga mendesah pelan. Ia dan Yusa
"Shit!"Saga mengumpat pelan sembari meremas rambutnya sendiri. Sedari tadi ia terus saja merasa gelisah. Ah, lebih tepatnya semenjak kejadian ia melihat Aksa menyentuh rambut Ayana di taman ria kemaren, Saga mulai merasakan kegelisahan yang sangat mengganggu. Ia seperti sedang diusik dan sialnya Saga tidak tahu di antara dua orang itu siapa yang sudah mengusik ketenangannya. Aksa atau Ayana?Saga memejamkan matanya, berusaha mengenyahkan adegan yang menggentayangi otaknya. Adegan yang membuatnya marah, kesal dan juga gelisah."Entah kenapa rasanya aku jadi kesal," desis Saga dengan mata terpejam. Ia bersandar di sofa yang seharusnya terasa nyaman, tapi sayangnya rasa nyaman itu tidak terasa sama sekali."Kamu mencemburui seseorang?"Saga menghela nafas panjang mendengar suara bisikan yang singgah di telinganya. Itu bukan suara ibun