Suara derap kaki Ayana terdengar membahana di sepanjang koridor. Sambil bersenandung riang, Ayana melenggang menuju kamar Aksa. Hari ini suasana hatinya sedang sangat baik dan ia berencana ingin jalan-jalan mengelilingi desa sembari melihat sungai bersama Aksa."Mas Aksa, kita jalan-jalan, yok!" ajak Ayana penuh semangat.Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu apalagi mengucap salam meminta izin, Ayana langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Ayana terdiam beberapa saat. Senyum lebar di bibirnya dalam sekejap berubah menjadi senyuman kaku yang sangat aneh. Moodnya yang tadi dalam keadaan baik sekarang anjlok secara drastis.Ayana memegangi kepalanya yang seperti dipukul dengan palu. Penglihatannya mengabur, tapi ia masih bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan matanya. Di kamar itu bukan cuma ada Aksa, tapi juga Saga. Kedua orang itu tidur dengan nyaman sambil berpelukan.
"Anak itu membuatku kesal saja," gerutu Aksa.Pencariannya di penjuru penginapan tidak membuahkan hasil. Pagi-pagi begini ia sudah olahraga kaki berlarian ke sana ke mari hanya untuk menemukan batang hidung Ayana. Tapi, sepertinya Ayana memang dianugerahi kemampuan bermain petak umpet yang mumpuni sehingga susah sekali menemukan Ayana. Anak itu seperti terselip di tempat yang tak terlihat."Dia nggak ada di penginapan, Sa. Aku rasa dia lari ke luar."Perkataan Saga semakin membuat Aksa gusar. Kabut pagi masih begitu tebal, embun masih ada di mana-mana dan itu artinya berkeliaran di luar sana pastinya tidak akan menyenangkan. Bahkan berada di dalam penginapan saja hawa dingin masih terasa menusuk tulang.Aksa mendengus. "Kenapa dia suka sekali melarikan diri waktu lagi kesal, sih? Dingin, tahu, kalau harus mencarinya di luar sana.""
"Brrrrr. Dingiiiiin," ucap Ayana dengan suara bergetar sambil memeluk pohon. Sebenarnya tindakan itu sama sekali tidak ada gunanya dan tidak mengurangi rasa dingin sama sekali. Walaupun pohon termasuk dalam golongan makhluk hidup, tetap saja pohon itu tidak bisa memberikan kehangatan ketika dipeluk.Tubuh Ayana semakin menggigil setiap kali angin berhembus. Udara sejuk yang seharusnya menyenangkan sekarang justru terasa menyiksa. Ya, ini salahnya karena tadi lupa memakai jaket."Bukan," ucap Ayana pada dirinya sendiri. "Yang salah Mas Aksa. Kenapa, sih, selalu saja bikin aku kesal dingin-dingin begini?"Ayana terdiam beberapa saat, lalu menggerutu pelan. "Tapi, aku juga salah. Kenapa juga aku harus suka sama orang-orang begitu? Seharusnya aku menyukai orang yang juga suka aku. Bukannya malah suka sama dua laki-laki yang saling menyukai." Ayana mendesis sedih.Suara g
"Air sungainya dingin juga, ya?" ucap Ayana. Ia berjalan bertelanjang kaki menyusuri bebatuan yang ada di sungai. Sesekali menendang air hingga air itu memercik ke mana-mana, termasuk membasahi Aksa yang merasa seperti orang bodoh karena mau saja mengawasi Ayana."Sudah, cukup!" kata Aksa tegas. Tangannya menarik lengan Ayana agar beranjak dari sungai. "Sudah tahu airnya dingin, masih juga ngebet main lama-lama di situ. Nanti masuk angin, kena rematik, kaki kram, aku juga yang repot," omel Aksa. Sebelum terjadi hal-hal merepotkan lainnya, Aksa harus mencegah hal itu terjadi. Cukup sekali dua kali, ia merawat orang demam. Jangan sampai ada adegan kesekian kalinya untuk peristiwa yang sama."Aku nggak suka dingin, tapi cita-citaku pengen ke Jepang waktu musim dingin," celetuk Ayana yang sedang dalam mode tenang. Ayana dengan patuhnya mengikuti Aksa di belakang meninggalkan sungai berbatu dan berair jernih yang masih menyisaka
“Ng? Sepertinya tadi sayup-sayup aku mendengar suara teriakan Kala,” kata Saga ragu. Ia menoleh ke belakang, ke arah mobil yang tadi dinaiki Ayana dan Kala. Entah tadi yang ia dengar memang benar suara Kala atau hanya suara hembusan angin.“Biarkan saja. Paling Kala lagi disiksa makhluk menyebalkan itu,” timpal Aksa datar. Sudut bibirnya terangkat naik. Aksa tersenyum sinis, mensyukuri nasib sial Kala yang harus satu mobil dengan Ayana. Aksa yakin pasti saat ini kepala Kala auto mumet meladeni Ayana yang punya sifat Subhanallah menguji kesabaran.Karin yang tadi juga mendengar suara teriakan Kala ikut menoleh ke belakang. Karin memicingkan matanya. Sepertinya tadi ia melihat ada kepala menyembul keluar dari dalam mobil. Siang bolong begini mana mungkin ada penampakan. Lagipula orang-orang di dalam mobil tidak ada satupun yang hamil yang memungkinkan untuk diikuti oleh hantu kepala.
"Hey, duduklah yang benar. Pinggangmu bisa makin sakit kalau kamu begitu terus," tegur Saga pelan pada Ayana yang duduk menunduk.Gadis itu makin uring-uringan sambil meremas perutnya yang terasa bergejolak. Bertahun-tahun makan coklat baru kali ini Ayana tahu kalau kebanyakan banyak coklat bisa berpengaruh pada sistem pencernaan. Ayana pikir coklat hanya akan membuat sakit gigi. Tapi, ternyata efek makan coklat berlebihan lebih daripada itu. Seharusnya tadi ia searching Mbah Google sebelum kebablasan makan coklat sebegitu banyaknya."Memang, ya, segala yang berlebihan itu nggak baik," desis Ayana lirih, meratapi nasib buruk yang terjadi karena ulahnya sendiri."Mungkin Mbak mau boker. Ke toilet aja dulu, Mbak, mumpung kita belum jalan," saran Om Sopir dengan santainya."Ih, enggak!" bantah Ayana malu. "Ini sakit perutnya bukan karena mau buang air, Om!" ujar Ayana d
"Ayo, Bang Kala, dimakan. Dimakan. Ini aku yang traktir, loh," kata Ayana mempersilahkan Kala untuk memakan makanan yang sudah ia pesan. Berhubung bonus menulis Ayana sudah cair, Ayana yang biasanya dalam keadaan melarat untuk sekarang auto menjadi sultan. Karena itulah, Ayana berbaik hati mentraktir Kala makan sepuasnya.Kala melirik sekilas makanan yang ada di atas meja lalu menggelengkan kepala tidak berminat. Bukannya Kala tidak berterima kasih, tapi makanan super manis di atas meja itu sudah membuat tubuh Kala bergidik duluan. Gara-gara tragedi Ayana sakit perut pasca kebanyakan makan coklat, Kala seperti mengalami trauma setiap berhadapan dengan makanan manis."Kamu yakin mau makan itu semua, Yan? Nanti kamu gemuk, loh!" tegur Kala mengingatkan Ayana yang kalau makan suka khilaf. Tangan kiri Kala menopang dagu dan hanya memperhatikan Ayana yang seolah makan tanpa dikunyah. Lagi-lagi Kala bergidik. Ia langsung mual han
"Akhirnya sampai juga," ucap Saga begitu ia dan Aksa sampai di taman ria."Rame banget. Aku benci suasana begini," kata Aksa mulai mengeluh. Ke taman ria memang idenya, tapi melihat kerumunan orang membuat Aksa yakin kalau ia tidak akan bisa menikmati acara jalan-jalannya. Lagipula apa yang tadi ada di pikirannya sampai-sampai ia khilaf memilih berkunjung ke taman ria. Mana mungkin juga ia dan Saga naik komedi putar, bianglala atau masuk rumah boneka!"Hieee." Aksa geli sendiri membayangkan hal itu. Apa yang bisa dilakukan dua pria dewasa sepertinya dan Saga di taman ria? Makan gulali, beli cireng, bermain balon? Astaga! Ia benar-benar sudah salah memilih opsi hanya agar punya alasan untuk kabur dari rumah dan menghindari rengekan mamanya yang menyuruh Aksa mengajari Ayana memasak.Dheg.Bulu kuduk Aksa tiba-tiba meremang begitu nama Ayana terlintas di otaknya. Padah