"Kalian itu ngapain, sih?" tanya Aksa bingung melihat kelakuan Ayana dan Karin di depan pintu kelas. Karin dengan gigihnya berusaha menyeret Ayana untuk masuk kelas, begitupun dengan Ayana yang tidak kalah gigih bertahan di daun pintu. Saking gigihnya, Ayana nyaris menggigit pintu. Bosan berlagak seperti kelinci yang suka loncat ke sana ke mari, sepertinya Ayana ingin berubah menjadi tikus yang menggerogoti kayu.
"Kak Aksa, lihat 'nih kelakuan tunangan Kakak. Dia nggak mau menuntut ilmu dengan baik dan benar," lapor Karin dengan tangan masih menarik tali tas punggung Ayana."Kamu itu kenapa? Masa stress hanya gara-gara aku nggak mau ke kampus bareng?" tanya Aksa pada Ayana."Mas Aksa, Mas Aksa bisa merasakan atau ngelihat hantu nggak?" tanya Ayana tidak nyambung, membuat Aksa semakin yakin kalau Ayana benar-benar mabok akibat kebanyakan makan daging sapi. Sepertinya otak Ayana ketutupan lemak sampai-sampai hari ini Ayana semakin menggila dan bersikap tidak"Canggung banget," ucap Yusa buka suara. Beberapa menit sudah berlalu, tapi baik Aksa ataupun Saga, tidak ada satupun dari kedua orang itu yang membuka mulut. Padahal kedua orang itulah yang mengajak Yusa, lebih tepatnya lagi memaksa untuk bertemu di atas atap. Bukannya berbicara, mereka bertiga malah saling melempar tatapan tidak nyaman satu sama lain. "Kalian berdua masih nggak tahu apa yang mau dibicarakan? Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan, kenapa mengajakku ketemu di sini? Kan, buang-buang waktu. Mana panas lagi. Mending aku menemani Ayana di ruang kesehatan," kata Yusa pelan. Ia yang sudah merasa bosan ingin secepatnya angkat kaki meninggalkan tempat itu."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Aksa to the point, mencegah Yusa yang tidak sabar ingin menyelonong pergi."Kenapa aku ada di sini?" ulang Yusa dengan ekspresi mencemooh. "Ini kampus, Aksa. Tentu saja aku ada di sini untuk belajar. Memangnya aku mau apa lagi? Nggak mungkin mau jual
"Astaga. Aku jadi tokoh utama dalam cerita macam apa, sih?" gerutu Ayana kesal.Tak ada angin, tak ada hujan dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba saja ia diseret datang ke rumah seseorang yang kata bundanya adalah calon tunangan Ayana. Perut Ayana dalam sekejap terasa mulas. Ia mencengkram erat gaun putih yang melekat di tubuhnya hingga gaun itu kusut saking frustasinya. Selaku penulis novel roman, Ayana memang sering menulis cerita tentang pertunangan sepihak atau pernikahan tanpa cinta, tapi ia tidak pernah menyangka kalau ia akan menjadi tokoh utama dalam cerita yang ia tulis sendiri."Ternyata benar kata orang. Jangan sembarangan menulis cerita, nanti bisa kejadian." Ayana mendesis penuh penyesalan, teringat pada cerita-ceritanya yang tidak pernah happy ending dan takut itu akan terjadi di kehidupan nyatanya.Ayana merangkak di tanah dengan sepatu hak tinggi dan membiarkan gaun mahalnya menyapu tanah. Persetan dengan gaun, yang ada dalam benak Ayana
"Mereka berdua harus dirukiyah sebelum kena azab. Huweeee.”Tangis Ayana seketika meledak, membuyarkan suasana romantis nan absurd yang diciptakan oleh Aksa dan Saga. Dua orang yang nyaris saling mempertemukan wajah tampan mereka itu tersentak kaget mendengar suara cempreng yang sudah merusak moment syahdu mereka. Kata orang, kalau lagi berdua-duaan akan ada setan sebagai orang ketiga dan sepertinya itu benar. Aksa tidak menyangka kalau pohon rambutan di halaman belakang rumahnya memiliki penunggu yang bisa mengganggu romansanya bersama dengan Saga.“Siapa di sana?” tanya Aksa gusar sambil menolehkan kepalanya ke arah pohon rambutan. Aksa mengernyitkan alis ketika matanya melihat ada orang tak diundang berdiri di dekat pohon rambutan persis seperti penampakan. Bukan hanya satu, tapi ada dua orang yang entah kenapa tampak begitu menyebalkan.Skala Putra Manggala, sepupu Aksa yang sedari dulu suka menggerecoki kencan Aksa dan Saga ada di sana. Ia berdiri ber
Tubuh Aksa sedikit terlonjak begitu mendengar bentakan dibarengi raungan mengerikan yang keluar dari mulut papanya. Sekarang papanya tak ubahnya seperti orang yang kemasukan siluman harimau.Pun Kala yang juga duduk dengan hati resah gundah gulana. Sang gadis yang akan menjadi tunangan Aksa benar-benar melarikan diri entah ke mana meninggalkan kedua hak sepatu yang sengaja dipatahkan sebagai tanda kalau gadis itu totalitas kabur meninggalkan tunangannya yang tidak normal.Belum lagi ditambah dengan mama Aksa yang sedari tadi menangis sembari menyeka airmatanya dengan sapu tangan. Keadaan di ruang makan tampak begitu mencekam dan seolah dipenuhi dengan gas beracun yang membuat sesak nafas.“Apa? Kamu menolak pertunangan ini, Aksa!!!” Pria berwajah garang itu kembali berteriak hingga membuat lampu di langit-langit bergetar. Ruang makan seperti terkena gempa bumi lokal di mana hanya mereka saja yang bisa merasakan getarannya.Aksa memijit pelipisnya. Kepalan
"Ehem."Kala berdehem setelah berhasil menelan potongan daging yang entah kenapa mendadak terasa alot di dalam mulutnya. Ucapkan terima kasih pada dua anak manusia di depan dan di sampingnya yang saling menatap dengan tatapan membunuh hingga membuat Kala tidak bisa menikmati steak daging sapi kesukaannya. Kalau kedua orang itu didiamkan lebih lama lagi, Kala khawatir baik Aksa maupun Ayana akan saling melemparkan garpu ke wajah mereka masing-masing."Kenapa kalian saling menatap dengan tatapan membunuh begitu?" tanya Kala was-was. Sepertinya yang menyadari tatapan sengit itu hanya dirinya saja. Para orang tua yang ada di ruang makan itu masih tampak asyik dengan obrolan tentang pertunangan anak mereka tanpa mempedulikan wajah kusut sang calon mempelai."Jadi kapan kita bisa meresmikan pertunangan Aksa dan Ayana? Mama sudah nggak sabar, lho, mau pamer ke teman-teman arisan mama," ujar mama
"Uhuk."Kala yang sedari tadi menyantap makanan dengan damai tanpa ada niatan untuk melibatkan diri dalam keriuhan para orang tua yang ngotot ingin menjodohkan putra putri mereka, nyaris menelan garpunya sendiri mendengar ocehan Ayana. Kalau dirinya tidak salah dengar, gadis itu baru saja memproklamirkan kalau Kala dan Ayana adalah sepasang kekasih. Gadis itu benar-benar membuat Kala nyaris berakhir dengan menelan garpu.Sambil menepuk dadanya, Kala yang megap-megap melirik ke arah Aksa dengan panik, berharap sepupunya itu mewakili Kala untuk mengatakan sesuatu. Kala yang masih terbatuk-batuk sama sekali tidak bisa berkata apa-apa untuk membela diri sedangkan semua mata sudah tertuju padanya menuntut penjelasan."Ngomong apa, sih, kamu ini?" sergah bunda Ayana jengkel. Sedari tadi putri bungsunya itu terus saja mengatakan sesuatu yang bisa menjatuhkan nilai dirinya sebagai menantu id
Karin yang tengah menyendok bubur ayamnya sontak mengerutkan kening begitu melihat Ayana berjalan ke arahnya dengan susah payah karena tas backpack segede gaban yang dipanggulnya."Tumben bawaan kamu sebanyak itu? Mau ngapain?" tanya Karin heran. Biasanya Ayana selalu datang ke kampus dengan bawaan seminimal mungkin. Bahkan saking kecilnya tas yang dibawa Ayana, gadis itu sering kali terlihat seperti mahasiswi yang tak berniat untuk ngampus. Tapi, hari ini Ayana datang dengan bawaan bak orang yang akan mendaki gunung Himalaya."Otakku sedang dipenuhi banyak inspirasi untuk menulis novel. Outline dan premis sudah matang, tinggal eksekusi," jawab Ayana sambil nyengir kuda. Ia sudah tidak sabar untuk segera menulis kisah cinta tak biasa antara dua anak Adam dan mengazab mereka di dalam novel yang akan Ayana tulis. Ayana sudah bertekad akan memberikan ending yang tragis untuk kedua orang itu sebagai bentuk balas dendam at
Tap. Ayana tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Padahal hanya tinggal selangkah ia menuju atap dan membuka pintu, tapi entah kenapa Ayana seperti merasakan firasat buruk. Dari arah pintu yang menghubungkan dengan atap, Ayana seperti merasakan adanya hembusan aura negatif yang sangat kuat. Tiba-tiba Ayana merasa dirinya seperti menjelma menjadi Sara Wijayanto yang bisa mendeteksi keberadaan makhluk halus. "Setiap kali aku menulis cerita, atap selalu menjadi tempat laknat yang membawa sial. Biasanya bakalan ada adegan-adegan mengerikan di atap, mending aku putar arah, deh!" desis Ayana was-was menghindari petaka yang mungkin saja akan terjadi. Sedari tadi firasat buruk terasa menggerayangi hatinya. "Eits, tunggu dulu!" Ayana berseru pada dirinya sendiri, mencegah dirinya untuk kabur begitu saja. Berdasarkan cerita-cerita yang sudah berhasil ia tulis di dalam nove