Share

Rengekan Sang Mama

Tubuh Aksa sedikit terlonjak begitu mendengar bentakan dibarengi raungan mengerikan yang keluar dari mulut papanya. Sekarang papanya tak ubahnya seperti orang yang kemasukan siluman harimau.

Pun Kala yang juga duduk dengan hati resah gundah gulana. Sang gadis yang akan menjadi tunangan Aksa benar-benar melarikan diri entah ke mana meninggalkan kedua hak sepatu yang sengaja dipatahkan sebagai tanda kalau gadis itu totalitas kabur meninggalkan tunangannya yang tidak normal.

Belum lagi ditambah dengan mama Aksa yang sedari tadi menangis sembari menyeka airmatanya dengan sapu tangan. Keadaan di ruang makan tampak begitu mencekam dan seolah dipenuhi dengan gas beracun yang membuat sesak nafas.

“Apa? Kamu menolak pertunangan ini, Aksa!!!” Pria berwajah garang itu kembali berteriak hingga membuat lampu di langit-langit bergetar. Ruang makan seperti terkena gempa bumi lokal di mana hanya mereka saja yang bisa merasakan getarannya.

Aksa memijit pelipisnya. Kepalanya sakit karena mendengar teriakan dari papanya dan juga isak tangis ala drama yang dari tadi dilakukan mamanya. Saputangan yang sedari tadi digunakan mamanya untuk menyeka air mata bahkan sudah tampak basah kuyup.

“Pa....”

Belum sempat Aksa menyelesaikan perkataannya, papanya sudah memotong perkataan Aksa dengan bengis. “Tidak bisa! Papa sudah memutuskan kamu hanya boleh bertunangan dan menikah dengan....”

“Aku sudah punya orang yang aku sukai. Mana mungkin aku bertunangan dengan orang lain.” Kali ini Aksa yang memotong perkataan papanya.

“Hiks.” Suara tangis sang mama kembali mengudara. Dengan suara serak karena terlalu lama menangis, Mama Aksa mulai menghiba. “Jadi, Aksa lebih suka melihat Mama mati kena serangan jantung karena melihat Aksa menikah dengan sesama laki-laki? Jantung Mama ini lemah, lho, Aksa?" tanya Mama sedih.

“Ma,” sela Aksa pelan. Rasa bersalah memenuhi hatinya setiap kali melihat mamanya menangis. Tapi, sayangnya rasa bersalahnya tidak cukup besar untuk mengabulkan keinginan kedua orangtuanya yang ngotot ingin punya mantu perempuan.

“Mama maunya punya menantu perempuan yang cantik, bukannya menantu laki-laki yang tampan. Gimana caranya Mama pamer ke teman-teman Mama, Aksa? Aksa tega kalau Mama jadi bahan gosip waktu lagi arisan? Mulut emak-emak itu kejam, lho, Aksa.” Mama meratap sedih. “Kala, tolong beritahu Aksa supaya nggak menolak permintaan Tante,” pinta Mama Aksa pada keponakannya yang sedari tadi hanya duduk pasrah.

“Aksa.”

“Kamu nggak usah ikut campur, Kal!” hardik Aksa kesal. Dirinya benar-benar dikeroyok dari segala sisi dan tidak ada satu orang pun membelanya. Iya, sih, dirinya yang salah karena pilihannya sendiri. Tapi, tetap saja Aksa berharap ada yang mau mengerti tentang dirinya.

Aksa menggeram pelan. Ah, seandainya dirinya bukan anak tunggal, kedua orangtuanya pasti tidak akan sengotot ini memaksanya untuk menikah. Padahal, kan, ia bisa saja mengadopsi anak. Tidak perlu anak darah dagingnya sendiri, kan?

“Papa nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus mau. Kamu anak papa mama bukan, sih? Masih mau dianggap anak nggak?” tanya Papa keras.

“Kenapa jadi maksa, sih?” geram Aksa sembari menjambak rambutnya sendiri karena kalau dia sampai menjambak rambut mama atau papanya, bisa-bisa Aksa beneran dikutuk jadi batu.

Dengan hati dongkol, Aksa menenggak air untuk membasahi kerongkongannya. Ia hampir kehabisan suara karena berdebat dengan kedua orangtuanya yang tidak mau kalah. Mama dan papanya sama-sama kompak membuatnya frustasi. Terlebih mamanya yang menangis semakin keras. Meratap seperti ibu-ibu teraniaya hingga membuat Aksa tak ubahnya seperti anak durhaka yang coba menyaingi kedurhakaan Malin Kundang. Yah, walaupun pada kenyataannya Aksa merasa dirinya memang masuk golongan anak durhaka karena pilihan hidupnya nyaris membuat kedua orangtuanya terkena serangan jantung.

“Kesalahan apa yang sudah kuperbuat sampai anak laki-lakiku jadi seperti ini? Aku sudah salah mendidik anak. Rasanya Mama sudah nggak sanggup untuk hidup lagi,” ratap Mama  Aksa pilu, menangis tersedu-sedu. Memohon ampun pada Tuhan atas kekhilafan yang dilakukan putra semata wayangnya.

“Ma, stop meraung-raung begitu!” pinta Aksa lemah.

"Sudahlah, Sa. Ikuti saja maunya Om dan Tante. Jangan jadi anak durhaka!" ujar Kala ikut angkat bicara.

Aksa mendelik sewot ke arah Kala. "Nggak mau! Kenapa bukan kamu saja yang menikah? Aku nggak mau punya anak," tolak Aksa tegas, berusaha melemparkan tanggung jawab pada sepupunya yang jomblo.

"Kalau begitu biarkan Mama matiiiii!!!" Mama berteriak semakin histeris. Saking histerisnya, wanita itu sampai nekat menarik kalung berlian di lehernya seolah ingin mencekik dirinya sendiri. Aksa yang melihat adegan itu sampai terkaget-kaget. Ternyata mamanya serius dengan ancaman melukai diri sendiri.

"Iya. Iya. Aku akan ikuti mau Mama dan Papa," seru Aksa pada akhirnya meski dengan hati yang tidak ikhlas. Dirinya memang termasuk berkepala batu, tapi mana tega ia melihat leher mamanya terluka. Bagi Aksa, yang terpenting sekarang adalah membuat mamanya berhenti melukai diri sendiri. Urusan dengan gadis yang akan menjadi tunangannya bisa dipikir belakangan.

"Beneran?" tanya kefua orang tua itu berbarengan.

Aksa mendengus kesal melihat rona wajah bahagia yang terpancar dari kedua orangtuanya. Mamanya bahkan menatap Aksa dengan tatapan yang penuh binar, sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau tadi mamanya hampir melakukan percobaan bunuh diri.

Aksa menarik nafas pendek, berusaha untuk tetap tenang. Walaupun tadi mulutnya mengiyakan, bukan berarti ia akan menerima pasrah begitu saja. Aksa yakin pertunangannya tidak akan bisa dilakukan dalam waktu dekat, terlebih karena ia tahu kalau gadis bergaun putih yang dipenuhi noda tanah tadi sudah melarikan diri.

"Tapi, kurasa pertunangan ini nggak mungkin bisa berjalan lancar karena bocah menyebalkan itu memutuskan untuk kabur," kata Aksa santai.

Ujung bibirnya terangkat ke atas. Gadis itu sepertinya juga tidak berminat untuk bertunangan dengannya sehingga tanpa pikir panjang mematahkan hak sepatunya dan melarikan diri entah ke mana. Aksa tersenyum senang sembari mengingatkan dirinya untuk berterima kasih pada calon tunangannya yang memilih untuk kabur meninggalkannya. Aksa berharap semoga gadis itu sudah mendapat taksi dan pergi ke bandara.

"Huweeee. Aku nggak mau. Kenapa aku diseret-seret begini?" jerit Ayana panik sembari berusaha menggapai pintu. Tapi, sekuat apapun usaha Ayana untuk bertahan berpegangan di daun pintu, tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tarikan tangan bundanya yang tiba-tiba punya kekuatan seperti Gatot Kaca hingga akhirnya Ayana hanya bisa berdiri pasrah di dekat meja makan sembari membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang sepertinya memang sedang menunggunya.

Sedangkan Aksa yang tidak bisa mempercayai penglihatannya hanya bisa membuka mulut tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Gadis bergaun putih kotor itu sudah berdiri dengan canggung di dekat meja makan. Gadis yang akan menjadi tunangannya.

"Wow. Mereka menemukannya dalam waktu secepat ini? Syukurlah," ucap Kala dengan penuh rasa syukur.

Berbanding terbalik dengan Kala yang tampak sumringah, Aksa justru mulai panik sendiri. Senyum tipis di bibirnya tadi dalam sekejap berpindah tempat ke bibir mamanya. Mamanya yang tanpa memikirkan image langsung berseru girang menyambut kedatangan calon menantu idaman sampai-sampai mengabaikan wajah Aksa yang memucat.

"Anak perempuankuuuuu... akhirnya kamu datang juga," seru Mama Aksa seraya menarik Ayana ke dalam pelukannya tanpa peduli dengan penampilan Ayana yang tak ubahnya seperti kuntilanak tercebur di kolam berlumpur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status