Gavin tampak ragu saat mengatakannya. Beberapa kali ia mendapati pria itu mengulum bibirnya sendiri sambil memandang ke sekeliling, seakan mengkhawatirkan sesuatu.
“Gavin? Aku nggak akan tahu apa yang sedang terjadi sampai kamu mengatakannya langsung. Jadi apa masalahnya?”
Sekali lagi pria itu menunjukkan kepanikannya—hal yang tidak pernah diperlihatkan pria itu padanya sebelumnya. Ia terus menunggu beberapa menit, sampai akhirnya Gavin yakin untuk mengatakannya. “Kalian sebaiknya tidak berada di sini lebih lama. Ada yang mengincar adik perempuanmu.”
“Mengincar Vero?” ulangnya penuh keheranan, berusaha diri menahan volume suaranya agar tidak terlalu keras karena tidak ingin adik perempuannya itu mendengar keterkejutannya tadi.
Stephen segera keluar dari mobil Karl begitu melihat Gavin yang terluka parah, bersama Karl yang berlari menyusul di belakangnya. Ia memang meminta pria itu untuk mengungsikan Nikki dan kakak perempuannya dari apartemen mereka begitu Karl memberitahu akan adanya bahaya yang mengincar Nikki. Ia pikir, mungkin Nikki hanya akan diincar oleh anak buah Schneider. Karena itu ia agak enggan saat Karl mengusulkan untuk menyusul Gavin dari kejauhan, memastikan rencana penyelamatan Nikki berhasil mereka lakukan sesuai rencana. Bukan hal yang mengejutkan memang, mengingat ia mengenal jelas Karl yang sangat mementingkan perfeksionitas dalam apa pun yang dilakukannya.Matanya melihat sendiri bagaimana Karl langsung memasuki mobil Gavin untuk menemui Nikki di dalam mobil itu, menciptakan percikan perasaan jengkel bercampur cemburu di dalam hatinya. Perasaan yang seharusnya tidak boleh ia rasakan. Sebenarnya, ia agak enggan untuk menyusul juga karena mengetahui fakta bahwa Kar
Veronica tidak tahu apakah keputusannya untuk menyerahkan diri pada William sebagai ganti keselamatan semua orang terdekatnya itu adalah keputusan yang tepat atau tidak. Ia sama sekali tidak tahu, tidak bisa memutuskannya. Yang ia tahu hanyalah, pria yang sekarang tengah berjalan di sampingnya sambil bersenandung ceria itu tidak akan menyentuhnya untuk sementara waktu. Setidaknya untuk sekarang. Dan setidaknya, itu juga yang ingin ia percaya.Ia hanya bisa berharap pada takdir bahwa pria yang berpenampilan seperti sosok pria berusia menjelang tiga puluh tahun (Karl sudah pernah memberitahunya bahwa usia pria itu jauh lebih tua dari Karl) itu akan memegang perkataannya.Sedari tadi ia melangkah memasuki portal dimensi aneh yang membawanya seketika ke dalam sebuah kastil dengan interior gelap, tampak kuno, mencekam, dan disambut seketika oleh orang-orang yang seketika langsung berbaris rapi memberi hormat pada pria itu setiap kal
Mata pria itu mengerjap sesaat, lalu kembali terkunci pada bola yang masih berada di genggamannya sambil menyunggingkan senyum lembut yang kontras dengan wajah maskulin kerasnya. “Dia penghiburku. Ingat saat kamu masih kecil dan sering main di hutan?” Sekarang, ada satu orang lagi di masa lalunya yang tidak ia ingat, muncul di hadapannya. Bedanya, ia sama sekali tidak mengenal sosok pria itu. Tidak pernah ia ingat bahwa ia pernah bertemu dengan pria berwajah arogan dengan penampilan seberantakan William sampai terakhir sebelum kedua kakinya hancur dan harus diamputasi. “Aku percaya kamu memiliki sesuatu yang kubutuhkan,” ujar pria itu seraya memasukkan bola kembali ke dalam jaket bombernya, menatapnya lekat hingga membuatnya canggung. Bisa saja ia mengalihkan pan
Karl geram, tidak sanggup lagi menahan amarahnya begitu mendengar langsung dari Gavin penyebab dari kegagalan rencananya. Harusnya ia mendengarkan saran Erick beberapa waktu yang lalu, saat memintanya untuk waspada dengan mantan tunangannya. Sejak dulu, wanita itu dibesarkan dengan kasih sayang berlebih dari orang-orang sekitar, membentuk kepribadian manja yang tidak mau mengakui kekalahannya sedikit pun. Beranggapan bahwa selama ia masih bisa mendapatkannya, ia akan mendapatkannya walaupun dengan cara kotor sekalipun. Seperti menyerang Nikki. Padahal, sudah berulang kali ia sudah mengucapkan pada Odelia bahwa pertunangan mereka itu sudah batal, bahkan sebelum benar-benar diresmikan. Entah angin apa yang berembus sehingga mengacaukan pikiran Odelia, membuat wanita itu terus beranggapan bahwa mereka sudah resmi bertunangan. Bahkan sampai berdelusi bahwa ia dan wanita itu mengenakan cincin pertunangan sebagai tanda resminya hubungan mereka.
Erick tidak kuasa untuk menahan tawa begitu melihat antusiasme tinggi Theodore––pacarnya yang baru saja pulih setelah mendapatkan serangan dari pria bangsat yang kini sudah tidak mungkin lagi bisa menyakiti pria itu setelah Karl membunuhnya, bahwa ia sudah menyiapkan tiket penerbangan ke Spanyol selama empat hari. Seperti sekarang, menyeretnya untuk berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Waterford, beralasan ingin membeli pakaian baru dan juga koper. Alasan yang bisa ia mengerti karena sepanjang hidupnya, pacar laki-lakinya itu tidak pernah menginjakkan kakinya untuk keluar dari area Waterford. Tidak masalah memang. Selama ia masih bisa melihat senyum lebar di wajah pria itu yang selalu berhasil mengalihkan dunianya dari apa pun. Membuat perhatiannya hanya tertuju pada pria yang kini tengah mengajaknya untuk memasuki butik Valentino. Ia menikmati setiap detik wak
Stephen berada di luar ruang kosong yang beralih fungsi menjadi ruang perawatan Gavin, merapatkan seluruh tangannya dengan cemas, memikirkan kondisi Nikki yang masih belum ada perkembangan paska wanita itu memilih untuk menerima tawaran William dan Karl yang masih belum juga mengabarinya. Ia terus mengentakkan kakinya, menyalahi ketololannya karena sempat merasa terintimidasi oleh aura manusia serigala yang kuat dari William Schneider. Harusnya saat itu ia langsung saja menghajar pria itu seketika, sehingga tidak akan ada peluang bagi pria itu untuk mendapatkan Nikki. Sehingga ia bisa tetap melihat Nikki yang mungkin saja saat ini tengah berada di sampingnya, tersenyum lembut dengan senyuman seperti malaikat dalam lukisan zaman Rennaissance. Tapi nyatanya wanita itu tidak bersamanya. Tidak di sampingnya. Bahkan mengom
“Kalian pasti sedang bercanda, kan?” Nora sekarang menggembungkan kedua pipinya dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, duduk bersial di atas kursi sofa. Mengenakan oversized sweater abu-abu, rambut pirang pendek (yang seingatnya bukan itu model rambut Nora tapi apa pedulinya), dan short jeans yang memperlihatkan kaki jenjangnya, Nora menatap tajam pada mereka berdua, menjawab permintaaannya dan Karl dengan gelengan kepala cepat. “Tidak bisa. Tidak mau. Nora nggak mau terlibat dalam urusan serumit itu.” Karl memainkan tangannya, menghalau kekalutannya karena mendengar penolakan Nora. “Tapi pacarku dalam bahaya––” “Aku juga akan berada dalam bahaya jika menuruti permintaanmu. Apa bayaran yang bisa kudap
Sudah dua jam berlalu sejak William menguncinya di kamar. Harus ia akui, kamar ini memenuhi seleranya. Sepasang sandal rumah berbentuk kepala domba. Ruangan dengan dekorasi yang sama seperti zaman Versailles. Kasur yang empuk dan besar. Meja rias yang penuh dengan skin care dan juga makeup ringan yang ia tidak tahu bagaimana William mengetahuinya, tapi memang memenuhi seleranya. Bahkan di kamar mandi, ia bisa menemukan rangkaian perawatan kulit wajah untuk kulit sensitif––jenis yang paling aman dibeli jika yang membelikan masih belum mengetahui pasti tipe jenis kulit penerima barang tersebut. Barang-barang di sana dipenuhi oleh aroma dari campuran berbagai bunga yang tidak familiar dengannya, namun begitu menenangkan. Kini, ia mendengar suara ketukan pintu dua kali, disusul terbukanya pintu itu, memunculkan sosok William yang berjalan masuk menghampirinya dengan penampilan yang jauh lebih r