Jika ia boleh jujur, sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan apa yang disebut oleh manusia pada umumnya sebagai ‘rekreasi’ di tengah situasi yang semakin genting. Spanyol memang negara yang indah, dengan kota Madrid, Barcelona, dan Catalonia yang sudah menjadi kota impiannya sejak ia mengetahui negara asal Erick. Setelah ayahnya dibawa oleh pihak tetua Pedrosa untuk diadili atas semua kejahatannya bekerja sama dan nyaris mengorbankan semua kelompok vampir yang bergabung dalam kelompok Pedrosa itu kepada William Schneider (menurut penuturan Erick yang memintanya untuk tidak menanyakan lagi soal Phillip untuk selamanya), semua orang yang dulunya meremehkannya langsung berbalik menghormatinya. Mengubah sikap mereka seratus delapan puluh derajat, mengelu-elukannya seperti pahlawan hingga ke tahap yang sedikit membuatnya gelisah.
Ia sudah terbiasa menerima penghinaan dan caci
Halo semuanya, Terima kasih karena sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca Choosing Between Dragon and Werewolf. Jika kalian suka dengan ceritanya, kalian bisa tinggalkan kesan kalian pada ceritaku di kolom komentar dan dukung ceritaku dengan memberikan gem agar membantuku untuk tetap bisa menulis karya ini. Instagram: @zhenxinxin5081
Suasana yang benar-benar aneh. Karl duduk di kursi yang berhadapan dengan Stephen seraya menyilangkan kaki panjangnya, sementara kedua tangannya bertumpu di atas lutut kanannya, menunggu Stephen menjelaskan sendiri perubahan sikap pria itu kepadanya. Di hadapannya yang sudah hidup ratusan tahun dan melihat banyaknya watak dari semua orang berdasarkan pengalamannya, pria itu jelas sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Bahkan pesan yang tadi ia kirim pada Stephen saja hanya dibaca oleh pria itu. Hal yang tidak asing dilakukan pria itu, mengingatkannya akan sikap pria itu saat berusaha menghindar darinya sewaktu awal-awal pertemuannya kembali dengan Nikki. Masalahnya, ia tidak mengerti apa yang tengah disembunyikan pria itu darinya, jadi ia membiarkan suasana canggung itu tetap terjadi. Dan ia sekarang tengah menunggu pria itu menjelaskan sendiri alasan di balik sikap menyebalkan pria itu pad
“Me-mengacuhkan? Si-siapa?” pria itu berkelit, menghindari tatapan mata dengannya. Ia beranjak dari kursinya mengeluarkan kembali aura naganya, mengumpulkannya menjadi untaian akar tanaman yang bergerak menjalar di atas telapak tangannya yang tidak mencegat tangan pria iut seperti denyut jantung, lalu mendekatkannya pada pria itu hingga sedikit lagi mengenai pelipis pria itu. “Sekali lagi kamu mengelak dari pertanyaanku, aku terpaksa akan melakukannya. Membaca isi pikiranmu dan memaksamu untuk melihat isi kenanganmu sendiri. Bagaimana? Jawab atau tidak?” Pria itu menatap bergantian antara dia dan tangannya. Reaksi tubuh membeku pria itu sudah cukup memberinya informasi bahwa pria itu tengah mempertimbangkan perkataannya. Setelah beberapa menit kemudian, pria itu menghela napas panjang, menyerah.
Perasaan Nikki jelas tidak menentu saat ini. Ia terbangun dengan mata setengah terpejam, berharap bahwa ia akan menemukan sosok Stephen yang berbaring di sampingnya. Entah dengan wajah yang tenang dan tertidur lelap, atau terbangun dengan senyum lembut terlukis di wajah pria itu, menyambutnya dengan hangat seperti layaknya sinar matahari pagi yang hangat, yang menyelinap masuk melalui celah jendela korden kamar Stephen tempat mereka menghabiskan malam mereka berdua di sana. Rasa nyeri menghantam tubuhnya, namun lebih menyakitkan lagi saat terbangun dan mendapati bahwa ia sudah tidak menemukan sosok Stephen di sampingnya seperti yang ia harapkan. Kosong. Bahkan jejak keberadaan pria itu saja tidak ada di sana, selain jejak yang ditinggal pria itu pada tubuhnya. Susah payah ia menuruni tempat tidur, menyeret tubuhnya untuk meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai dan mengenakannya, m
"Bukan pasti lapar. Tapi memang lapar. Memangnya aku belum ngomong sama kamu tadi?" sahutnya seraya menggembungkan kedua pipinya. Kedua pria itu terdiam mendengar perkataannya, memandang satu sama lain dengan tatapan yang tidak ia mengerti. Tahu-tahu saja mereka saling berhadapan, dengan wajah licik. "Rock, scissor, paper! Tiga kali!" Mereka berdua mengatakannya bersamaan, sukses membuatnya bergeming. Tiga kali melakukannya, dan Stephen keluar sebagai pemenang sementara pacarnya langsung jongkok sambil mengacak-acak rambutnya penuh frustrasi. Sebelum ia memahami apa yang sedang mereka lakukan sampai harus taruhan seperti itu, Stephen sudah menghampirinya, memintanya untuk menyandarkan kedua tangannya pada bahu pria itu. Dan dalam sekejap, ia sudah berada dalam gendongan pria itu, dengan kruknya yang dibawa oleh Stephen tanpa merasa kerepotan.
Sore harinya, ia dikejutkan oleh panggilan masuk dari Erna. Stephen sudah keluar bersama Karl untuk urusan yang tidak ia ketahui setelah sarapan, karena mereka pergi terburu-buru. Mengingat Karl sudah mengatakannya dengan jelas bahwa pria itu tidak akan membiarkannya menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, ia tidak perlu mencemaskan apa yang sedang mereka lakukan, karena pacar laki-lakinya pasti langsung akan memberitahunya nanti. Ia percaya pada Karl dan bisa memegang perkataan Karl karena pria itu selalu menepati semua perkataannya. Jadi seharusnya memang tidak ada masalah. Tapi Stephen? Entahlah. Pria itu lain ceritanya. Ia bahkan tidak yakin setelah mencuri dengar pengakuan pria itu yang terang-terangan pada Karl begitu didesak, juga saat pria itu mengatakan sendiri padanya di hadapannya bahwa pria itu akan serius mengejarnya. Maksudnya, seperti yang dikatakan Dania beberapa bulan yang l
Veronica mengatakannya jelas bukan karena alasan. Erna pernah mengatakan pada ia dan Bianca tentang identitas orientasi seksualnya sebagai biseksual saat mereka masih SMA. Dan sejak saat itu, ia menyadari perubahan sikap Bianca yang mulai sering membuat Erna marah, seakan seperti mendapatkan tiket loterei begitu mendengar pengakuan Erna. Dulu, ia tidak mengerti alasan di balik perubahan sikap Bianca tersebut. Sekarang, setelah ia bertanya langsung pada Bianca sendiri beberapa bulan yang lalu, ia mengerti alasan di balik perubahan sikap Bianca tersebut. “Apa tidak masalah? Apa menurutmu tidak aneh jika aku melupakan perasaanku pada Alec dan mulai menyukai keseriusan Bianca?” “Kata ‘melupakan’ bukan frase yang tepat untuk menggambarkan perasaanmu sekarang, Erna. Kamu bingung? Ya, mungkin apa yang kukatakan itu terdengar
Tidak pernah terbayang di pikirannya sama sekali sampai sekarang. Tidak pernah sekali pun, terlintas di pikirannya, bahwa ia akan menyukai seseorang yang serapuh Nicholas Southampton. Niat awalnya bergabung bersama William itu murni karena ia merasa frustrasi dengan perasaannya terhadap Odelia Winterwood. Putri dari petinggi klan Winterwood yang masih menyukai mantan tunangannya, Karl Smith, walaupun berulang kali mantan tunangannya itu menepis perasaan wanita itu. Ia memutuskan untuk bergabung dengan alasan yang harus ia akui, sangat kekanakan; ia ingin membuktikan pada wanita itu bahwa ia lebih layak bersama wanita itu dibandingkan Karl. Ia memang dari keturunan naga kasta rendah, tapi ia memiliki bakat sebagai warlock berkat darah campurannya yang ia dapat dari pihak mendiang ayahnya, seorang warlock yang mati kare
Suara penuh kecongkakan membuatnya sontak memutar tubuhnya, menghadap Sean Laurent yang berdiri di depan pintu kamar Nicholas sambil bersedekap, berjalan menghampirinya sambil menggeleng pelan melihat kondisi Nicholas. "Biarkan saja sampah sepertinya mati. Itu jauh lebih baik. Coba ingat-ingat lagi, berapa kali ia melakukan keributan hingga merepotkan Yang Mulia?" "Apa maumu, Sean? Kalau hanya datang ke sini untuk menghinanya, lebih baik kamu keluar dari tempat ini sekarang. Aku sibuk." "Aku hanya penasaran. Belakangan ini aku selalu memperhatikanmu. Mempertanyakan alasanmu yang terus melindungi Nicholas," pria itu berjalan mengelilingi ruangan, memerhatikan satu per satu barang milik Nicholas yang sengaja ditinggalkan oleh Nicholas di tempat yang sudah menjadi tempat