Erick memandangi sosok Theo yang saat ini berdiri di hadapannya dari atas ke bawah, berulang kali, hingga membuat pacar laki-lakinya itu kebingungan dengan reaksinya.
“Ada apa? Apa ada yang aneh denganku?”
Ia mengangguk, membenarkan perkataan pacar laki-lakinya itu tanpa ragu. “Apa tidak ada pakaian yang lebih santai lagi dibandingkan pakaian yang kamu kenakan sekarang? Kita hanya akan pergi ke museum dan pantai, bukan ke teater.”
“Tidak pergi ke teater?” pacar laki-lakinya tampak terperangah tidak percaya begitu mendengar perkataannya. “Ta––tapi kupikir tadi kita akan kencan.”
“Memang. Tapi aku nggak bilang kalau kita akan pergi ke teater. Hari ini,” ia mendekati pacar laki-lakinya yang kini menunduk
Halo semuanya, Terima kasih karena sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca Choosing Between Dragon and Werewolf. Jika kalian suka dengan ceritanya, kalian bisa tinggalkan kesan kalian pada ceritaku di kolom komentar dan dukung ceritaku dengan memberikan gem agar membantuku untuk tetap bisa menulis karya ini. Instagram: @zhenxinxin5081
Karl menghentakkan kaki kanannya segera begitu ia duduk di kursinya, merutuki Stephen yang lebih memilih untuk keluar dari ruang kerja pria itu sendiri dan meninggalkan ia dan Nikki di sana. Berulang kali ia mendecak penuh frustrasi. Ingin rasanya ia melempari sahabatnya itu menggunakan sepatunya jika ia tidak ingat bahwa sepatu yang ia kenakan itu baru saja selesai ia buat kemarin. Perhatiannya lalu teralih pada Nikki yang kembali memusatkan perhatian pada laporan yang ia tunjukkan pada Nikki. Walaupun ia yakin seratus persen bahwa wanita itu juga sebenarnya menyimpan perasaan jengkel yang sama terhadap Stephen, namun wanita itu malah jauh lebih berhasil tidak menunjukkannya di wajah imut wanita itu saat menanggapi sikap Stephen. Malah, wanita itu berhasil melakukan hal yang tidak pernah ia lihat dari seluruh wanita lain yang pernah mendekati Stephen atau berada di sekeliling Stephen
Nicholas Southampton kembali terbangun dari tidur mereka pagi ini dengan perasaan kesal bercampur kebencian. Akhir-akhir ini sejak mereka berhasil keluar dari masa kritis mereka akibat proses pemulihan tubuh mereka yang berjalan lebih lambat dibandingkan selama ini membuat mereka mulai terus memimpikan hal yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Di dalam mimpinya, mereka menjadi sosok seorang anak kecil yang selalu dikelilingi oleh orang-orang di sekitarnya dengan perhatian dan kasih sayang. Semua yang selama ini mereka harapkan akan mereka dapatkan dari keluarga mereka dulu ada pada diri anak kecil yang ada di dalam mimpi mereka. Tawa anak itu, dan juga sambutan hangat dari seluruh keluarga anak itu memunculkan sedikit ingatan pahit yang tidak pernah ingin mereka ingat kembali.
Alec duduk melipat lutut, menyangga kepalanya di atas lutut dengan tangan kanannya yang melemparkan kerikil berukuran kecil ke kolam air yang tenang tanpa ada ikan hias atau makhluk apa pun di dalamnya. Matanya menerawang jauh, lebih jauh dari kolam itu. Membawanya ke masa-masa saat sebelum ia nyaris mati dan keadaan bertambah kacau seperti yang saat ini harus ia hadapi. “Bukan kamu. Tapi aku yang beruntung karena bisa memiliki pacar sepertimu, Alec Berthold.” Matanya otomatis terpejam saat suara Erna tahu-tahu saja datang menghampirinya, terpantul di dalam pikirannya. Menciptakan gema yang nyaris membuatnya gila karenanya. Perasaan rindu akan kehadiran wanita itu meluap di dalam hatinya hanya mendengar ilusi suara wanita itu di dalam pikirannya. Ingin rasanya ia meninggalkan tempat ini, berlari keluar mencari keberadaan
Bianca memandangi pemandangan yang ada di hadapannya begitu mobil yang disiapkan oleh ayahnya Erick tiba di pantai La Concha. Ia segera turun dari mobil setelah menutup kaca jendela mobil yang sempat ia turunkan saat mobil mereka memasuki area pantai tersebut, berniat membuka pintu untuk Erna saat ia melihat wanita itu ternyata sudah turun dari mobil lebih dulu darinya, berhasil menciptakan sedikit perasaan kecewa di dalam dirinya. “Cantiknya …” Komentar Erna yang langsung terucap di bibir mungil wanita itu saat memandangi pemandangan pantai yang ditawarkan oleh pantai La Concha itu melenyapkan seketika perasaan kecewa yang menyelimuti hatinya barusan. Ia hendak menutup pintu mobil saat sopir mobil keluarga Zhang melarangnya untuk melakukannya dan memintanya untuk langsung menyusul Erna yang sudah berjalan terlebih dahulu meningg
Ternyata, bukan hanya di pantai saja suasana kuno seperti menjelajahi kapsul waktu itu berlangsung. Restoran yang mengandalkan hidangan makanan laut sebagai menu andalan mereka––tempat mereka saat ini menghabiskan pagi hari mereka menikmati menu sarapan juga menyajikan suasana yang sama seperti saat mereka di pantai. Baik ia maupun Erna mencoba menghalau perasaan aneh saat mendapati tatapan ganjil orang-orang yang memandang mereka dengan berpura-pura tidak menggubris tatapan-tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang tersebut, namun semakin lama mereka mencoba mengabaikannya, semakin intens juga tatapan mereka padanya. Beberapa orang bahkan tanpa segan mencoba mendekati mereka dengan wajah datar dan gerakan yang kaku seperti layaknya boneka, seperti seorang wanita berambut bob keriting berwarna auburn yang mengenakan setelan tahun 1920-an layaknya aktris film bisu bernama Clara Bow.
Bianca memandangi pemandangan yang ada di hadapannya begitu mobil yang disiapkan oleh ayahnya Erick tiba di pantai La Concha. Ia segera turun dari mobil setelah menutup kaca jendela mobil yang sempat ia turunkan saat mobil mereka memasuki area pantai tersebut, berniat membuka pintu untuk Erna saat ia melihat wanita itu ternyata sudah turun dari mobil lebih dulu darinya, berhasil menciptakan sedikit perasaan kecewa di dalam dirinya. “Cantiknya …” Komentar Erna yang langsung terucap di bibir mungil wanita itu saat memandangi pemandangan pantai yang ditawarkan oleh pantai La Concha itu melenyapkan seketika perasaan kecewa yang menyelimuti hatinya barusan. Ia hendak menutup pintu mobil saat sopir mobil keluarga Zhang melarangnya untuk melakukannya dan memintanya untuk langsung menyusul Erna yang sudah berjalan terlebih dahulu meningg
Alec mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tempat ia berada saat ini. Begitu gelap hingga matanya sulit untuk terbiasa dengan keadaan yang begitu gelap. Rasa takutnya terus bergerak menyelimuti dirinya, walaupun hatinya terus mencoba menanamkan rasa keberanian di dalam dirinya seperti ajaran kakek pihak ayahnya sejak kecil. Ia takut-takut memandang ke belakang, berharap akan menemukan jalan keluar secepatnya dari tempat yang tidak berujung tersebut, namun sialnya, tidak ada apa pun. Hanya ia dan kegelapan yang menemaninya. Sambil menelan ludah, ia mencoba lagi menutupi ketakutannya itu dengan terus memaksakan dirinya bergerak melangkah menyusuri lorong tanpa akhir tersebut. Tidak ada batas apa pun, dan ia tidak tahu sudah berapa lama ia menghabiskan waktunya di tempat yang semakin lama semakin dingin tersebut. Yang j
Ia segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, mengenyahkan gagasan yang baru saja terlintas di dalam pikirannya sambil terus merutuki ketololannya sendiri. Ia pasti gila. Ia pasti sudah tidak waras, sampai berpikir bahwa ia ingin mencurahkan semuanya untuk melindungi Nicholas Southampton seperti yang ia pikirkan barusan. Sebenarnya, apa sih yang terjadi padanya? Matanya tanpa sadar kembali mengikuti sosok Nicholas kecil yang akhirnya berpisah dengan sosok wanita menyebalkan tadi. Kakinya secara otomatis bergerak mendekati sosok Nicholas kecil tersebut, dan kali ini, ia bisa menyentuh benda yang ada di sana. Segera ia gunakan kesempatan tersebut untuk membantu Nicholas kecil membuka pintu tersebut, walaupun pikirannya yang lain berusaha keras mencerna situasi aneh yang tengah ia alami saat ini. Bibir anak itu bergerak samar, dengan suara lirih serak yang nyaris tidak tertangkap oleh telinganya, namun ia masih memahami apa yang baru saja dikatakan oleh sosok Nicholas dalam wujud