“For your information, saya dan Wira masih single.”
Seulas senyum penuh kelegaan tercetak jelas di wajah Gita. Satu tanda tanya besar tentang Wira sudah terjawab. Semakin muluslah jalan Gita untuk menggait sang pujaan hati.
Sebenarnya Gita ingin tertawa karena jawaban Dira sedikit berlebihan. Bukankah sebelumnya Gita hanya menanyakan apakah Wira sudah memiliki calon? Kenapa Dira malah menambahkan informasi tentang dirinya sendiri?
“Kenapa senyumnya kayak gitu banget, sih? Lega, ya, karena tau saya belum punya pacar?” goda Dira sambil menaik-turunkan kedua alis.
Gita ingin sekali menyanggah. Sayangnya, dia masih harus bersikap sopan dan menjaga mulut agar tidak terlihat sama seperti Gami. Sebab itulah Gita hanya tersenyum, tapi tidak mengangguk atau menggeleng.
Rupanya, reaksi Gita mengundang spekulasi berkelanjutan. Di mata Dira, Gita malah kelihatan seperti tersipu malu. Tak pelak, pria itu berasumsi bahwa Gita malu mengaku
Gita me-reject panggilan Wira. “Silent-silent-silent.” Dia merapalkan kata itu sambil cepat-cepat menyetel mode senyap di HP-nya.Gita tak jadi mengurungkan niat mengejar Wira. Setelah selesai dengan urusan HP, dia pun berlari mendatangi Wira.Ketukan heels-nya yang beradu dengan keramik membuat Wira dengan cepat menyadari keberadaannya. Pria yang berdiri di ujung tangga itu membalikkan badan, menunggu sampai Gita sampai ke hadapannya.Dalam hati, Gita bersyukur karena Wira mengantongi HP. Artinya, pria itu sudah berhenti berusaha menghubungi Gami.“Mas, maaf kalau saya harus nyamperin sampai ke sini. Saya enggak enak kalau harus teriak manggil nama Mas,” jelas Gita dengan napas terengah-engah. Posisinya berada di bawah Wira dua tingkat.Wira tidak menggubris. Dia hanya menatap Gita dengan tatapan sayu.Dalam hati, Gita merasa aneh dengan cara Wira menatapnya. Pria itu seperti orang yang jengah setelah diganggu terus-
Dalam perjalanan pulang, Gita berpikir keras. Menduga-duga berbagai kemungkinan, kira-kira apa penyebab Wira bersikap sedemikian kasar sampai membanting pintu. Padahal saat masuk rumah, pria itu kelihatan baik-baik saja.“Sebenarnya, apa yang dibilang Bang Dira itu benar enggak, sih?” gumamnya dengan kening berkerut.“Kenapa, Mbak?” Sopir wanita yang sedang menyetir mendengar gumaman Gita. Dia mengira bahwa penumpangnya mengajak bicara.“Oh, enggak, Mbak. Saya cuma ngeluh aja. Kok, bisa macet banget, sih?” Gita terpaksa berdusta. Dia tidak enak hati kalau harus membuat sopir itu malu.Kebetulan, situasi juga sangat mendukung. Taksi yang ditumpangi Gita tak kunjung bergerak sejak 5 menit yang lalu. Terjebak di antara mobil box di depan dan belakang, serta mini bus di sisi kiri.“Maklumlah, Mbak. Menit-menit menjelang magrib gini emang padat. Mungkin karena lalu lintasnya diisi dua makhluk beda alam kali,&nbs
“Bagus yang ini atau yang ini?”Wira bertanya sambil memasang dua topi ke kepalanya secara bergantian. Pertama warna hitam, lalu berganti putih. Dua-duanya memiliki model yang serupa.“Serius, nih, tanyanya ke saya?” tanya Gami yang menggendong Usro.“Pertanyaan saya bukan itu, ya. Tolong diperhatikan lagi jawabannya.”Teguran Wira membuat Gami tertawa. “Mas Wira pakai topi model apa aja tetap ganteng, kok. Mau warna hitam, putih, abu-abu burik, kuning-kuning eek--kadar kegantengannya enggak bakal berkurang.”“Sialan!” Wira memaki, tapi sambil tertawa. Dia juga memukul kepala Gami menggunakan topi putih.Saat ini, Wira dan Gami berada di pasar kaget yang lokasinya tidak jauh dari car free day. Di sini, berbagai macam penjual untuk kelas menengah ke bawah berkumpul. Dagangan yang dijajakan tidak sekadar makanan, tapi juga pakaian, sepatu, mainan anak-anak, serta aksesoris khusus pere
Gita menyengir dan tertawa garing. “Ya, jelas saya tau, lah, Mas. Saya, ‘kan, pernah menginap di rumah Mas. Waktu itu Gami ngajakin saya ke rumah belakang. Terus dikenalin, deh, sama kucing imut yang satu ini.”Gita mati-matian menjaga ekspresi dan suaranya agar kegugupannya tidak terekspos. Hatinya merapalkan doa, semoga Wira percaya.Rupanya, doa Gita tidak dikabulkan dengan mudah. Tatapan pria itu masih kelihatan menyelidik.“Emangnya udah berapa kali kamu menginap tanpa sepengetahuan saya?”“Baru satu kali, Mas--yang waktu itu kita ketemu pas saya selesai mandi.” Gita mengingatkan momen pertemuan pertamanya dengan Wira.“Kalau yang Jumat kemarin enggak jadi. Soalnya, ‘kan, enggak dapat izin,” sambungnya.Niatnya, sih, ingin memancing Wira. Lebih tepatnya ingin melihat reaksi Wira setelah tahu dirinya batal menginap gara-gara sikap kasarnya kemarin.Gita ingin melihat, ada
“Tau gini saya enggak bakal biarin dia sendirian.”Kali ini, Gita mulai mengulum senyum mendengar keluh kesah Wira. Dia mulai menyadari, seberapa besar kekhawatiran yang membungkus perasaan Wira untuk Gami yang asli.Kekhawatiran itu terlihat alami. Tidak fake dan dibuat-dibuat.“Nyusahin.”Walaupun dibilang menyusahkan, Gita tak keberatan sama sekali. Dia masih mengulum senyum, berusaha menyembunyikan wajah agar tidak ketahuan.Namun, wanita itu diserang kepanikan saat melihat Wira mengeluarkan HP dan menempelkan ke telinga. Jantungnya mulai berdebar kencang. Jangan-jangan Wira menelepon ....“Tck! Kok, malah di-reject, sih?”Garis kekesalan tergambar jelas di wajah Wira. Pria itu menatap layar HP-nya, seolah benda itulah yang menjadi biang kerok kemelut di hatinya.“Nelepon Gami, ya, Mas?” Gita menebak dengan suara bergetar.Kali ini kegugupannya tidak dapat ditutupi. Kal
“Maaf, ya. Saya udah keliling pasar, tapi enggak ketemu juga sama copetnya.”Wira mengacak pinggang. Berdiri di hadapan Gita dengan napas terengah.“Kemungkinan copetnya udah pindah ke kawasan car free day. Saya mau ke sana, tapi keingat kamu sama Gami, jadi terpaksa balik dulu ke sini. Sekarang kamu mau gimana, nih? Lapor polisi atau kita cari sendiri?”“Lapor polisi aja, Mas. Korban yang tadi juga udah ke pos polisi. Bareng aja sekalian. Biar copetnya cepat ditindak.”Ibu di sebelah Gita memberikan usul dengan antusias. Namun, tentu saja Wira tidak menggubrisnya. Keputusan ada di tangan Gita.Pada akhirnya, Gita malah menggeleng lemah. Berusaha tersenyum, meskipun sangat tipis.“Enggak usah, deh, Mas. Saya mau pulang aja.”Sebenarnya, Gita tidak bisa merelakan HP dan dompetnya begitu saja. Namun, mencari pencopet tanpa bekal apa pun sangatlah sulit. Lagipula dia tidak tahu di mana mark
“Terus ini gimana ceritanya, Mas?” Gami menatap barang di pangkuannya. Kantong plastik berisi kotak sneakers baru.“Cerita apa? Saya enggak bisa ngedongeng.” Wira memutar setir karena mengitari bundaran.“Bukan itu, Mas. Maksud saya, ini gimana ceritanya? Mas Wira, ‘kan, minta belikan sneakers, tapi kok, bayar sendiri?”Sebelumnya, setelah Gami meminta ampun di parkiran, Wira mengajukan syarat. Dia bersedia memaafkan kesalahan Gami, asalkan dibelikan sepatu baru.Gami setuju. Namun, dia tidak tahu harus membayar pakai apa, sementara dompetnya sudah raib di tangan pencopet.Ketika itu, Wira kelihatan tidak peduli. Dia kembali ke pasar dan memilih sneakers dengan harga tertinggi. Membuat Gami panik setengah mati.Namun, kepanikan itu hanya terjadi selama beberapa saat sebelum Wira mengeluarkan dompet. Ternyata, dia membeli sepatu itu dengan dana pribadi.“Mas! Kok, malah diam, sih? Ini gim
“Bye! Hati-hati, ya, Dis! Jangan ngebut!”Gami membungkuk di depan kaca jendela mobil yang terbuka. Di dalamnya ada Dira dan Adisti di balik kemudi.“Iya. Doain selamat sampai tujuan, ya,” kata Adisti, lalu melambaikan tangan dengan jemarinya.“Amin.”“Titip rumah, ya, Mi. Bilangin ke Wira, langsung susulin kalau kerjaannya udah selesai,” pesan Dira.“Siap, komandan!” Gami berdiri tegak dan memasang gesture hormat ala tentara.Setelah itu, mobil Dira melaju pelan meninggalkan halaman rumah. Gami menutup gerbang, lalu pergi ke rumah belakang.“Hai, guys!” sapanya pada makhluk-makhluk berbulu yang tengah tidur siang. Mereka bergelimpangan di sembarang tempat. Ada yang tidur di dalam kandang dan di atasnya. Ada pula di bawah kolong meja, di atas lemari, di sudut ruangan, dan di belakang pintu.Sebagian dari anabul itu terbangun mendengar sapaan G