Share

Cincin Pemikat Jodoh
Cincin Pemikat Jodoh
Author: JihanMarc

KALAH DENGAN KARBOL

Seorang wanita dengan pipi penuh jerawat tengah menguncir rambut yang sedikit kusut. Tubuh depannya berbalut apron merah yang warnanya tak lagi cerah. Kumal, dekil, dan robek di beberapa bagian.

“Are you ready, Gami?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian meraih sepasang sarung tangan karet di meja kecil di hadapannya. Warnanya serupa dengan apron yang dikenakan.

“Ready, dong, pastinya. Demi sebongkah berlian,” jawabnya sendiri sambil memasang sarung tangan.

“Eh, enggak, deh. Demi Mas Wira,” ralatnya, lalu terkekeh geli. Kemudian memasang dua lapis masker yang sudah diolesi minyak angin roll on aromaterapi.

Usai memakai atribut ‘perang’, wanita yang kerap dipanggil Gami itu meraih ember hitam. Isinya adalah sikat bergagang panjang, deterjen bubuk, sebotol karbol, sapu lidi, dan sendok semen. Dia bergegas keluar kamar, lalu memakai sepatu boots yang terparkir di samping pintu.

“Di bawah mesin cuci dibersihkan juga, ya, Gam,” pinta seorang wanita yang sebaya dengannya. Mereka berpapasan di lorong menuju dapur.

Sama seperti Gami, wanita itu juga mengenakan apron serupa. Bedanya, dia tidak memakai masker, sarung tangan, apalagi sepatu boots.

“Ada ‘ranjau’ juga?” tanya Gami ketika mereka sama-sama berhenti. Mereka juga kompak memutar badan agar berhadapan.

“Yoi. Encer pula.”

Gami mendesah jengah sambil menengadah. “Pasti kerjaannya si Unyil,” gumamnya pada diri sendiri.

“Ya, udah, deh. Saya mau ber-‘tempur’ dulu. Jangan lupa, ya, Dis—susu cokelat panas sama bakwan sayur,” pesannya yang direspons Adisti dengan acungan jempol.

Setelah itu, keduanya sama-sama melanjutkan langkah; Adisti ke kamar, sedangkan Gami ke rumah kucing peliharaan bosnya. Rumah kucing itu terletak di halaman belakang. Bentuknya sama persis seperti hunian manusia. Hanya saja ukurannya jauh lebih kecil dari rumah tipe 21. Tanpa kamar, toilet, ataupun kamar mandi.

Bangunan seluas 9 meter persegi itu dihuni oleh 15 ekor kucing betina. Usianya beragam. Mulai dari 2, 5, dan 8 bulan. Hanya ada satu kucing yang berusia 1 setengah tahun. Dia menjadi induk dari semua kucing di rumah itu.

Sudah setahun Gami bekerja sebagai perawat kucing. Tugasnya berbeda jauh dengan Adisti yang mengurus keperluan dua majikan mereka.

Jika ingin membanding-bandingkan, jelas bahwa tugas Adisti jauh lebih berat. Dia bekerja tanpa henti dari subuh hingga jam 6 sore. Terkadang harus lembur jika majikannya pulang telat. Sementara itu, Gami hanya bekerja beberapa jam setiap pagi, siang, dan malam.

Ketika sampai di rumah kucing, aroma busuk yang tajam menguar ke segala penjuru. Saking busuknya, aroma itu berhasil menembus benteng perlindungan hidungnya yang terdiri dari dua lapis masker yang juga diolesi minyak angin.

Rupanya dua lapis masker belum cukup untuk menangkis busuknya bau ‘ranjau’. Ya, ‘ranjau’. Gami mengganti sebutan kotoran kucing dengan ‘ranjau’. Alasannya karena setiap orang yang menginjak kotoran kucing pasti akan membeku, persis seperti orang yang menginjak ranjau asli.

“Satu-satunya alasan aku betah kerja di sini hanya karena Mas Wira. Coba aja kalau bosku bukan Mas Wira, aku pasti udah resign tujuh bulan yang lalu.” Gami bicara sendiri sambil memulai pekerjaannya. Dia mengeluarkan semua kucing ke halaman agar lebih mudah membersihkan setiap sudut rumah.

Gami mengangkut satu per satu tumpukan ‘ranjau’ menggunakan sendok semen dan menampungnya ke dalam ember khusus. Kotoran itu berbaris di sepanjang sudut rumah. Ada pula yang menyelip di bawah kolong lemari, meja, kursi, bahkan dalam kandang.

Warna dan tingkat kekentalan setiap ‘ranjau’ berbeda. Ada yang hitam kecokelatan dengan tekstur keras seperti batu atau biji kurma, ada pula yang berwarna mustard gelap dan sedikit lembek seperti kotoran manusia, hingga encer seperti semen.

Selesai menyisir ‘ranjau’, sekarang giliran menyemprot lantai. Ketika seluruh permukaan keramik basah, Gami menaburkan deterjen bubuk ke penjuru sudut. Dia menyikat lantai menggunakan sapu lidi, sedangkan untuk mencuci kandang dia menggunakan sikat bergagang panjang.

Selesai dengan kegiatan siram-menyiram, pekerjaan Gami belumlah selesai. Dia masih harus menuangkan karbol dan mengeringkan lantai dengan pel kering.

Sesudah step-step itu tuntas, barulah Gami menuangkan sereal ke dalam wadah makanan. Wadah itu disusun rapi ke semua penjuru rumah.

“Gami!”

Gerakan tangan Gami yang hendak melepas sarung tangan karet langsung berhenti. Dia menoleh ke pintu. Mendapati seorang pria semampai dengan rambut gondrong sebahu tengah menggendong seekor kucing kampung belang putih hitam seperti sapi Swiss.

Pria itu memiliki visual yang sangat elok. Meskipun rambutnya gondrong, penampilannya tetap bersih, rapi, dan menawan. Kulitnya sawo matang dan dadanya tampak bidang. Meskipun berbalut jaket kulit hitam, otot lengannya terlihat sombong. Bahkan kotak-kotak di dadanya juga membusung angkuh.

Gami yang tadinya berjongkok langsung berdiri. Kakinya berlari kecil menghampiri sang majikan dengan semringah. “Iya, Mas?”

“Siap-siap!”

Meski hanya instruksi singkat, Gami langsung mengangguk mengerti. Dia melepaskan semua atribut dan mengemasi peralatan ‘tempur’. Dia bergegas menghampiri majikan yang menunggu di halaman.

“Udah, Mas.”

Gami mengulurkan tangan, siap menjemput kucing yang terkulai lemas dalam gendongan tuannya. Namun, uluran tangan itu hanya berakhir dengan mengapung di udara ketika majikannya justru menjauhkan si kucing. Tindakan sang majikan membuat Gami terpegun dan berpikir keras, kesalahan apa yang sudah diperbuat hingga majikannya berekspresi sedemikian kesal?

“Tadi saya bilang apa? Siap-siap, ‘kan?” tanya pria itu dengan kening berkerut. Kedua ujung alisnya nyaris menyatu.

Melihat Gami menggaruk kepala dan terlihat bingung, pria itu menyadari bahwa sinyal yang diberikan belum tertangkap radar. Dengan nada gemas pria itu menjelaskan, “Mandi, Gami! Kamu itu dekil banget tau enggak! Bau! Ganti baju, pakai parfum, dan juga dandan yang lebih manusiawi. Saya enggak mau dikira jalan bareng gelandangan.”

Alih-alih tersinggung, Gami malah memandangi penampilannya. Dia baru menyadari bahwa kakinya masih berbalut sepatu boots dan celana training abu-abu yang kotor. Dia juga mengenakan kaus oblong hitam yang bolong-bolong. Dia yakin bahwa kulit wajahnya juga sangat berminyak. Kunciran rambutnya pun sudah pasti berantakan. Wajar kalau bosnya mengatakan bahwa dia mirip gelandangan.

“Kalau gitu tunggu bentar, ya, Mas. Lima menit aja,” ujarnya sambil mengapungkan lima jari.

Begitu Gami hendak berlari, pria itu kembali menginterupsi. “Dua puluh menit. Mandi itu jangan kayak itik. Asal celap-celup doang. Pakai sabun. Shampoo-an. Kalau perlu luluran sekalian.”

Setelah merevisi waktu yang dibuat sendiri oleh Gami, pria bernama lengkap Sugandi Perwira itu berlalu melewati pengasuh kucingnya. Tanpa menghentikan langkah dan memalingkan badan, pria itu menambahkan, “Saya tunggu di mobil.”

Normalnya, wanita mana pun akan cemberut, kesal, sakit hati, dan mungkin saja menangis mendengar hinaan Wira. Meskipun nada bicaranya tidak ketus, tapi sebutan dekil, gelandangan, dan seperti itik rasanya sudah cukup melukai harga diri wanita.

Anehnya, Gami justru tidak merasa demikian. Wanita itu malah mengulum senyum, menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga, dan tersipu malu layaknya orang yang baru saja mendengar gombalan pria.

“Mas Wira gemesin banget, deh,” gumamnya sambil menahan lebar senyum yang makin menjadi. “Jadi makin cinta. Kapan, ya, dia bisa naksir aku.”

Gami sendiri merasa heran, kenapa menatap punggung Wira yang kian menjauh saja membuat hatinya berbunga-bunga? Bahkan ketika pria itu menghilang di balik pintu, Gami langsung menjerit heboh dan melompat kegirangan.

“I love you, Mas Wira! I love you!” bisiknya keras menghadap pintu yang telah tertutup.

Sambil bersenandung riang, Gami kembali ke kamar. Dia menari-nari sambil melangkah memasuki kamar mandi.

Kehebohannya tidak berhenti sampai di situ. Dia mengguyur tubuh menggunakan gayung yang terkadang beralih fungsi menjadi microphone. Dia menyanyikan lagu tentang cinta secara random. Dia tidak peduli dengan nada sumbang yang tidak tertolong.

Selesai mandi, berpakaian, menguncir rambut yang masih basah, dan menabur bedak bayi ke wajah, Gami mengamati pantulan diri di cermin. Memang tidak ada yang berubah setelah dia mandi. Kulitnya tetap kusam dan pipinya tetap dipenuhi jerawat. Namun, dia merasa lebih percaya diri. Mungkin karena tubuhnya sudah lebih wangi.

Masih bersenandung riang, Gami berlari santai keluar rumah. Begitu melihat mobil Wira terparkir di depan teras, senyumnya kembali merekah dan pipinya bersemu merah.

“Jangan malu-maluin, Gami! Bersikaplah sewajarnya! Jangan bikin Mas Wira risi!” Dia mewanti-wanti diri sendiri sambil menampar pelan kedua pipi.

Setelah berhasil mengontrol senyuman, Gami berdeham dan bergegas menghampiri mobil. Tanpa aba-aba, dia membuka pintu belakang.

Gara-gara fokus menonton film horor di HP, Wira nyaris terkena serangan jantung mendengar bunyi pintu dibuka. Dia terkinjat sampai memekik dan memegang dada.

“Bisa ketuk pintu dulu enggak, sih?” omelnya sambil mengelus dada. Megap-megap.

Gami hanya menyengir dan meminta maaf. Kemudian duduk di kursi belakang dan memangku tas berisi kucing.

“Ke klinik hewan, ‘kan, Mas?” tanyanya.

“Iya. Ke klinik kamu.” Wira membalas sambil melajukan mobil. Dia kesal karena pertanyaan Gami seolah menjadikannya supir taksi.

Alih-alih tersinggung disamakan dengan hewan, Gami justru tersenyum lebar dan bertanya dengan nada riang, “Saya udah wangi, ‘kan, Mas?”

“Masih kalah sama bau karbol.”

Alih-alih memasang muka masam, Gami malah mengulum senyum dan mengipasi pipi yang terasa hangat. Bahkan sambil tersipu dia berkata, “Mas bisa aja.” Seolah hinaan Wira adalah pujian baginya.

Tingkah absurd Gami nyatanya tidak membuat Wira risi. Pria gondrong itu malah mendengus geli sambil menggelengkan kepala. “Dasar enggak waras!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status