Sarlita tidak menduga kalau Dissa juga ikut Casting. Proses seleksi yang ketat, karena peserta yang ikut pun cukup banyak membuat Sarlita hopeless. “Sepertinya aku gak ikutan, Dis, banyak syarat yang gak bisa aku penuhi.” Sarlita seperti orang yang kalah sebelum berperang. “Gak ada yang berat deh, Sar, syaratnya cuma pakai swimsuit. Selebihnya biasa aja.”Sarlita tidak mungkin menggunakan pakaian renang, karena dia harus menyembunyikan kehamilannya. Kristo menghampiri Sarlita dan menanyakan kesiapannya, “Kok kamu belum ganti pakaian renang, Sar? Kamu tinggal minta sama wardrobe kok?”Dissa yang merasa Sarlita adalah pesaingnya, sangat senang Sarlita menolak ikut casting. Namun, dia pura-pura menyesalinya, “Wah! Gak asyik kalau kamu gak ikutan, Sar. Padahal aku ingin kita berdua yang jadi bintangnya.” ujar Dissa seakan menyesali. Sarlita pamit begitu saja pada Kristo dan Dissa, dia keluar ruangan casting. Di halaman luar kantor Advertising, Sarlita melihat mobil Jody di kejauhan.
Setelah Jody pulang, Mama Sarlita mengungkapkan sesuatu yang di luar dugaan Sarlita, “Sar.. sudah berapa lama kamu berhubungan dengan Jody? Kok Mama kurang respek sama Jody, Sar? Kamu serius berhubungan sama dia?” tanya Mama Sarlita. Jody memang tidak pandai berasa-basi, sehingga karakter aslinya tampak secara terang benderang. Bahkan saat pamit pulang pun Jody tidak memperlihatkan sikap hormatnya pada Mama Sarlita. “Kok Mama nanya sampai segitunya? Ada yang salah dari Jody, Ma?” Sarlita malah balik bertanya. “Kamu belum jawab pertanyaan Mama, kok malah balik bertanya sih? Jawab dulu dong pertanyaan Mama.”Sarlita jelaskan pada Mamanya bahwa, dia belum lama berhubungan dengan Jody. Sarlita juga tidak terlalu setuju dengan penilaian Mamanya terhadap Jody. “Apa alasan Mama tidak respek pada Jody?”“Jody memang ganteng, Sar. Tapi, dia bukanlah tipikal lelaki yang setia. Dari sikapnya yang pecicilan, kelihatan kalau dia Play Boy.”Sarlita terus berdalih dan membela Jody dari tuduhan
Sarlita mengunjungi Mamanya di hotel, karena perasaan bersalah yang begitu besar. Sarlita memang belum punya pengetahuan tentang kehamilan, dia menganggap hal biasa saat mengalami muntah dan mual (morning sickness). Mama Sarlita curiga melihat Sarlita kerap muntah dan mual, “Kenapa kamu, Sar? Masuk angin?” tanya Mama Sarlita. “Gak tahu nih, Ma.. Dari bangun tidur begini terus.” jawab Sarlita dengan polosnya. “Kamu kurang tidur semalam? Atau malah gak tidur?” cecar Mama Sarlita. Ada kecurigaan yang mendalam di benak Mama Sarlita. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman tentang masa-masa kehamilan, hal seperti itu dianggapnya bukanlah hal yang biasa. Sarlita pun tidak membayangkan kalau apa yang dialaminya itu adalah Morning Sickness. Sesuatu yang dialami wanita saat kehamilan memasuki usia 7 minggu. Sarlita dipapah oleh Mamanya ke tempat tidur, “Kamu tiduran deh, biar Mama gosok minyak kayu putih perut kamu.”Mendengar itu, Sarlita sempat khawatir kalau Mamanya sempat tahu kead
Deg!! Wajah Sarlita pucat-pasti, apa yang ditakutkannya benar terjadi. Sementara Mamanya tetap bersikap biasa di depan dokter. Sarlita memaksakan mengekspresikan kesenangan, “Ooh.. terima kasih dokter.” hanya itu yang dikatakannya sembari menyunggingkan senyum yang dipaksakan. “Kenapa kamu tidak bersuka cita, Sar? Sementara banyak wanita di dunia ini sangat mengharapkannya?” pertanyaan Mamanya begitu menohok. “Ma.. nanti kita bahasnya,” ucap Sarlita. “Jadi secara umum kesehatan saya gak ada masalah dok?”“Gak ada mbak, apa yang mbak alami itu biasa di sebut Morning Sickness.”Karena memang hanya karena morning sickness, maka Sarlita dan Mamanya segera pulang. Dalam perjalanan ke hotel, Mama Sarlita berpikir keras untuk menghadapi situasi yang tidak diinginkannya tersebut. Sarlita merasa berdosa karena telah berbohong pada Mamanya. Tidak ada kemarahan terpancar di wajah Mama Sarlita, karena dia harus menjaga situasi agar tidak membuat Sarlita tertekan. Sesampai di hotel, Sarlita
“Jody.. kamu sudah tahu kalau Sarlita hamil?”Jody tergagap mendengar pertanyaan Mama Sarlita, sulit dia mengatakan sudah tahu. Tapi, kalau mengatakan tidak tahu pun rasanya tidak mungkin. “Belum tahu, Ma.. “ cuma itu yang bisa dikatakan Jody“Kamu tahu? Kehamilan Sarlita sudah memasuki usia tujuh minggu! Sudah berapa lama kalian berhubungan?”“Sudah hampir tiga bulan, Ma.”Kegarangan Jody sebagai lelaki tiba-tiba hilang begitu saja, saat diinterogasi Mama Sarlita. “Saya minta kamu jelaskan pada orang tua kamu, bahwa Sarlita hamil. Dan kamu harus menikahinya!!” tegas Mama Sarlita. “Tapi Ma.. aku gak berani untuk mengatakan itu pada kedua orang tua saya.” ucap Jody dengan wajah memelas. Mama Sarlita seketika mulai mengkelap mendengar jawaban Jody, dia sudah menduga kalau Jody adalah lelaki pengecut. “Apa!!? Kok kamu berani melakukannya pada Sarlita!? Harusnya, kamu juga berani hadapi orang tua kamu!!” nada suara Mama Sarlita mulai meninggi. “Saya berani kalau Mama bersedia mendam
“Kamu ini gimana sih? Pacarannya gak ketahuan, gak tahunya udah hamil aja!! Terus kamu mau hidupi dengan apa anak dan isteri kamu!!?”“Pliiiss Ma.. bantu Jody untuk bicarakan ini sama Papa.”“Mama akan usahakan, tapi Mama tidak janji kalau Papa merestui rencana kamu!!”Jody merasa kalau usahanya tidak berhasil, karena dia tahu persis karakter Papanya. “Sebagai perempuan, Mama bisa memaklumi perasaan Sarlita. Mama tidak masalah kalau kamu mau menikahi dia.”“Nah! Itu maksud Jody, Ma.. Mama rayu Papa agar mau menikahkan Jody sama Sarlita.”Jody katakan pada Mamanya kalau dia sudah bertemu Mama Sarlita. Mama Sarlita menuntut tanggung jawab Jody. Namun, Mama Jody tidak ingin masalah itu hanya menguntungkan satu pihak. “Mama tidak ingin terjadinya pernikahan hanya karena tekanan orang tua Sarlita, Jod!! “Tapi Ma, sebagai pihak laki-laki kita memang harus bertanggung jawab?”***Mama Sarlita jelaskan, bahwa Papanya akan segera datang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Sarlita, “P
Tiga hari kemudianSesama kepala dinas di sebuah instansi, tentunya mudah bagi Papa Sarlita - - Wiryawan Wicaksono untuk menemui Tantrianus Samosa, Papa Jody. Wiryawan menemui Tantrianus di ruang kerjanya, “Lho? Pak Wiryawan kapan datang? Ada apa nih tiba-tiba ke Jakarta?”“Maaf pak Tantri.. pertemuan ini di luar konteks pekerjaan. Saya datang dalam misi anak-anak kita.”Tantrianus belum memahami apa yang dikatakan Wiryawan, dia kembali bertanya pada Wiryawan, “Maksudnya gimana Pak? Saya benar-benar belum mengerti?” Tantrianus mengernyitkan dahinya. “Ini semua di luar kekuasaan kita pak, ternyata selama ini anak saya Sarlita berhubungan dengan Jody anak bapak.”“Ooo Sarlita itu anak bapak? Saya baru mengerti, kemarin memang Mama Jody juga sudah cerita soal ini.”Tantrianus merasa satu level dengan Wiryawan. Sehingga dia bisa membicarakan persoalan itu secara lapang dada. Tantrianus secara tidak langsung merasa keberatan pada awalnya, karena Jody dan Sarlita masih kuliah. Tapi, al
Satu bulan kemudianSebuah pernikahan tanpa perayaan sudah dilalui. Pernikahan yang seharusnya begitu sakral dan hanya dilakukan satu kali seumur hidup, tidak memberikan kebahagiaan bagi Sarlita. Kuliahnya terbengkalai, sehari-hari hanya diisi Sarlita dengan meratapi nasibnya. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan Sarlita sebelumnya, kini di rumah yang begitu besar dan dihuni hanya 4 orang dan beberapa pembantu. Sarlita serasa disangkar emas, terkurung tanpa bisa melakukan apa pun. Saat Jody sudah berangkat kuliah, Sarlita hanya bermalas-malasan di kamar. Ibu mertuanya menegurnya, “Kamu itu lagi hamil, harusnya banyak bergerak dan beraktivitas.” tegur mertuanya “Tapi Ma, Sarlita harus mengerjakan apa? Semua sudah dikerjakan pembantu.”Bukan hanya kali itu Sarlita ditegur mertuanya, hampir setiap hari ada saja yang dijadikan masalah. “Ya setidaknya kamu olahraga kecil di luar rumah, Sar. Maaf kalau Mama agak cerewet, semua demi kamu kok!”Sarlita mencoba cari kesibukan di dapur, di