5 tahun kemudian.
Rangga duduk di meja makan, menatap putranya yang kini sudah masuk TK, tangannya mengusap kepala bocah yang wajahnya mirip sekali dengannya. Di samping bocah itu, duduk Mita yang sedang menyiapkan bekal makanan untuk putra mereka – Sean – yang mengunyak macaroni keju sebagai menu sarapannya.
“Pa,” panggi Sean.
“Hm?” jawab Rangga.
“Papa sama Mama, kenapa tidurnya beda kamar? Sean tanya ke temen-temen di sekolah, Papa dan Mama mereka tidur satu kamar?” tatapan bocah itu penuh rasa penasaran. Rangga tak menjawab, hanya tersenyum lalu beranjak.
“Papa duluan, Sean, belajar yang serius, ya,” ucap Rangga sembari mengusap kepala Sean.
“Papa nggak pamit ke Mama?” tanya bocah itu.
“Nggak perlu.” Jawab Rangga tak acuh. Ia masa bodoh jika anaknya suatu hari akan membencinya karena bersikap mengabaikan Mita – mamanya – karena nantinya
“Kamu pikir, anak saya hanya pajangan dan pelampiasan kamu atas perjodohan ini, Rangga?” tanya wanita yang ia panggil mama, karena ia ibu dari Mita. Rangga masih diam. Ia hanya menatap kelat kedua orang tua Mita, sembari menghela napas, tatapannya datar, bisa dikatakan lebih tak ingin menunjukkan ekpsresi apa pun juga.“Mau mu, apa? Anak saya juga perasaan, dan cucu saya, Sean sudah semakin besar dan mengerti keadaan orang tuanya. Apa kamu nggak bisa, sedikittt… saja mencoba mencintai Mita? Seburuk itukah Mita di mata kamu, Rangga? Lima tahun, bukan waktu sebentar untuk menahan segalanya sendirian.” Kini papa mertuanya yang bicara. Rangga masih menatap lekat, bahkan ia duduk dengan begitu santai.Mita dan Sean tak ikut, mereka di rumah kedua orang tuanya. Ranggang tak bergeming, ia terus menatap bergantian. Membuat kedua orang tua itu merasa salah tingkah sendiri.“Papa dan Mama, saling cinta?” tanya Rangga yang akhirny
“Nggak! Sean harus sama Mita,” tolak wnaita itu tegas saat kedua orang tuanya memberikan penjelasan setelah bertemu dengan Rangga. Bahkan, sang papa begitu detil menjelaskan jika Rangga tak akan mencintai putrinya itu.“Mita nggak apa-apa cerai, Pa, tapi jangan pisahin Mita dari Sean,” pintanya dengan mata berkaca-kaca.“Mita, ini bukan selamanya. Rangga hanya mau Sean tidak selalu ada di bawah pengasuhan kamu, kamu juga bisa ikut Papa dan Mama ke Belanda, di sana kamu bisa kerja lagi, dan bangun karir kamu. Rangga juga membolehkan kamu untuk komunikasi setiap saat dengan Sean. Rangga, dia cuma mau kamu kasih dia waktu untuk mendidik Sean supaya tidak menjadi seperti dirinya dikemudian hari.” Papa menatap dengan penuh memohon. Mita sesenggukkan, ia takut jika Rangga mengambil Sean darinya. Ia tahu kesalahannya di lima tahun lalu, tetapi tidak begini caranya.“Mita…, Rangga tidak mau Sean menjadi seperti dirinya ya
Rangga menunggu putranya berjalan keluar dari dalam rumah keluarga Mita, ia tak sudi masuk ke dalam rumah itu, malas bertemu Mita. Bocah lima tahun itu berjalan sembari menyeret satu tas koper sekolahnya bergambar spiderman dan tangan satunya digandeng mama mertua Rangga.Pintu pagar terbuka, Rangga menatap Sean, lalu berjongkok. Putranya tampak bingung dan kaku, tak tahu apakah papanya hanya sekedar memeluk lalu melepaskan lagi atau kali ini justru erat mendekapnya.“Pa,” sapa Sean. Rangga segera menggendong Sean, memeluk erat dengan mata terpejam.“Tinggal sama Papa ya, Sean,” lirihnya.“Papa nggak pulang malam terus, kan?” tanya bocah itu.“Nggak. Sean jangan khawatir,” jawab Pandu. Ia mencium punggung tangan wanita yang sebentar lagi tak menjadi ibu mertuanya.“Jaga Sean, ya Rangga, hati-hati kalian,” tampak kesenduan, namun Rangga segera menjawab dengan anggukan sembari berucap
Decitan suara sepatu bertemu dengan lantai lapangan basket indoor itu terdengar begitu serahutan. Rangga tampak ngos-ngosan, ia dan Reno sedang bermain basket sekedar membuat tubuh keduanya bugar. Sean terkejut hingga menganga saat melihat papanya selincah dan jago dalam olahraga itu.“Sean, kaget ya, lihat Papanya jago main basket?” senggol Ghania dengan bahunya ke bahu Sean yang duduk di bangku penonton.“Iya. Mama nggak pernah bilang atau cerita, kata Mama, Papa sibuk kerja terus.” Sean menoleh ke Ghania yang tersenyum. Ia tak mau membalas ucapan Sean. Biar itu menjadi urusan Mita yang banyak menutupi hal tentang Rangga.“Yuk! Udah pakai sepatunya, kan, Tante kenalin sama teman-teman seumuran Sean, ya. Ayo kita latihan basket….” Ghania menggandeng tangan Sean yang begitu senang. Rangga dan Reno melihat hal itu dari sisi lapangan lainnya.“Bang, Sean seneng banget diajak ke sini,” ujar Reno.
“Papa!” panggil Sean kencang yang kaget saat terbangun, ia berada di dalam kamar papanya.“Ya, Sean, Papa di kamar mandi…!” sahut Rangga. Sean menyibak selimut, ia berjalan ke arah pintu keluar, dilihatnya rumah sudah ramai dengan suara TV menyala, harum masakan juga tercium.“Bi…, Bibi,” panggil Sean sembari menuruni anak tangga.“Sean, udah bangun, ayok, ke kamar mandi dulu, dong, apa dulu kalau bangun tidur?” ujar Bibi membawa Sean ke kamar mandi di lantai satu. Sean melirik ke meja makan.“Bubur ayam?” tanya Sean.“Iya, yang suka lewat depan rumah, Sean kan, suka, Bibi beliin,” ujar Bibi sembari membantu Sean membuka piyama tidurnya.“Tapi kata Mama, kan—““Boleh, kan ada Papa. Papa izinin, kita sarapan di teras mau?” Rangga mengambil dua mangkok. Sean bingung lagi, ia mengangguk pelan lalu masuk ke dalam kamar mandi
“Kamu pura-pura lupa siapa aku, Aya?” suara Rangga terdengar berat saat keduanya berada di ruang rapat kantor. Aya diam, ia membaca surat perjanjian dan dokumen yang sudah disiapkan sekretarisnya.“Apa sepuluh miliar cukup? Karena perusahaan anda masih baru akan dimulai dan mencangkup pembiayaan untuk kalangan mahasiswa dan UMKM, kami tidak berani menyuntikkan dana di atas nilai tersebut, bagaimana?” tatapan Aya serius, ia tak menggubris pertanyaan Rangga sebelumnya. Rangga diam, ia lekat menatap Aya serius, tubuhnya ia sandarkan di kursi, perlahan jemarinya mengusap bibir atas hingga dagunya.“Faraya Cempaka…, Hmm… sejak kapan nama kamu ditambah ‘Cempaka’? Apa Pak Agung yang menyematkan nama itu?” Rangga justru membahas hal lain diluar apa yang Aya ucapkan.“Jadi, gimana Pak Rangga, bisa ditanda tangani sekarang? Atau perlu untuk membahas hal lainnya dahulu seb—““Aya!&
Arinda duduk di sofa ruang TV, Ia baru saja berbicara dengan kedua orang tua Mita, menjelaskan duduk perkaranya tapi, kedua orang tua Mita tak mau lagi percaya dengan apa yang diucapkan Arinda. Wanita itu menatap tajam layar TV, tangannya mengepal-ngepal kesal. Ia begitu marah dengan Rangga.Tak lama, muncul tiga orang temannya yang memang akan berkunjung ke rumahnya, membahas tentang liburan ke negara Eropa yang mereka selenggarakan.“Hai, Arinda… Oma cantik yang awet muda,” sapa salah satunya yang berambut sasak tinggi.“Hai…, sini duduk-duduk,” ucap Arinda sembari beranjak, bercipika-cipiki dahulu lalu kembali duduk.“Rin, tadi kita udah urus semua ke travel agennya, dan mereka udah info, kalau nanti semuanya fasilitas kelas atas,” lapor wanita lainnya lagi.“Kita jadi bayar masing-masing enam puluh juta, untuk liburan satu minggu tapi diluar kalau kita mau berkunjung ke restoran mewah, itu
Aya dan Abi sedang berada di toko perhiasan, keduanya tertawa bersama, merasa lucu dengan acara pertunangan mereka yang akan terselenggara beberapa hari lagi. Tangan Aya menghapus peluh yang mendadak muncul di kening Abi. “Thank you,” lirih Abi sembari mengecup pipi Aya. Wanita itu tersenyum, digamitnya lengan Abi, ia juga mengusap lengan pria itu. Abi diam, ia hanya bisa tersenyum mendapat perlakuan itu dari Faraya. Ia tak pernah memanggilnya Aya, selalu Faraya. Cincin sudah di dapat, keduanya segera pulang ke rumah keluarga Agung, karena kedua orang tua Aya juga sudah datang dari kampung. Aya tak sabar bertemu kembali, juga dengan Jani yang kini sudah dewasa dan tak kalah cantik dengan dirinya. “Aku yang nyetir, ya,” ucap Aya. Abi mengangguk. Ia duduk di kursi penumpang, memakai seatbelt, duduk bersandar, lalu melepaskan kancing jas yang ia kenakan, menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan. Aya menoleh, lalu memeluk kepala Abi, diusapnya pelan. Abi terk