Share

Bab 2. PDKT

Aya merasa kikuk saat Rangga mengantar hingga ke rumahnya. Bukan rumah besar, jangan bayangkan. Tapi rumah kecil merangkap tempat usaha orang tuanya di daerah kawasan padat penduduk.

Kontras sekali daerah itu dengan apartemen-apartemen tinggi menjulang yang mengelilingi daerah tersebut. Aya memainkan jemarinya. Iya begitu gugup. Ia melirik ke Rangga yang tampak santai.

"Besok ke kampus jam berapa?" Rangga menoleh. Membuat Aya terkejut.

"Jam, jam tujuh udah di kampus." Aya semakin gugup. Ditambah jalanan ramai dengan motor berlalu lalang dan anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan. Mobil sport milik Rangga pasti sangat mewah masuk ke lingkungan itu.

"Gue turun di sini, Ngga, lo balik aja. Nggak akan bisa parkir."

"Lho, emang rumah lo mana?" Rangga celingukan.

"Pagar hitam." Aya melepaskan seatbelt nya.

Rangga terkekeh.

"Hampir semuanya pagar hitam Aya, yang mana rumah lo?" Rangga menatap Aya yang tampak tak nyaman.

"Itu. Pokok nya di depan situ." Aya begitu gugup dan mencoba tahu diri ia siapa.

Aya turun dari mobil itu. Melambaikan tangan saat Rangga semakin menjauh.

"Huffhhhh. Lega .... " Aya mengusap dadanya lalu menyebrang jalan.

Dilihatnya kedua orang tuanya sedang bersiap membuka warung nasi gorengnya. Aya menghampiri. Menyapa kedua orang tuanya dan berjalan ke lantai dua rumah itu melalui tangga kayu.

Ia menyapa adiknya yang masih SMP kelas tiga. Adik perempuan satu-satunya.

"Lagi ngapain? Ada tugas nggak?" Tas kuliah ia taruh di meja kecil yang ada di pojok kamar. Mereka tidur satu kamar dirumah yang disewa keluarganya itu.

"Ada. Udah tadi ngerjainnya. Kakak besok jadi berangkat pagi banget?"

"Jadi. Kenapa?"

"Itu, aku mau pinjem sepatu Kakak. Besok aku olahraga. Sepatu yang ini, nggak enak di pakainya."

"Pakai aja. Aku nanti pake sepatu kamu. Kakak mandi ya, kamu kalo udah selesai gambar, ke bawah. Bantuin Ibu sama Bapak,"

"Iya Kak," jawab Jani. Ia lalu merapihkan buku gambar dan pinsil warnanya. Setelah rapih langsung ke lantai bawah untuk membantu kedua orang tuanya bersiap jualan.

***

"Bapak pesan apa aja?" tanya Aya saat pelanggan sudah mulai datang. Seperti biasa, ia mencatat pesanan dan pembayaran, bapak dan ibu memasak dan menyiapkan, Jani membuat minuman jika ada yang makan di tempat.

Karena sudah biasa. Dengan cekatan keluarga itu melayani pesanan pelangkan.

Dari kejauhan. Rangga berdiri menatap Aya yang hanya mengenakan celana jeans pendek selutut dan kaos besar berwarna hitam sibuk mencatat pesanan, juga  memberikan nomor antrian. Ramai sekali warung nasi goreng itu.

Senyum selalu tersungging dari wajah cantik natural Aya. Rangga juga ikut tersenyum. Ia kembali ke rumah Aya. Kali ini dengan motor matic biasa hasil meminjam ke supir bundanya.

Satu jam sudah Rangga berdiri di sana. Menatap kagum kepada gadis itu. Ia lalu berjalan menghampiri sambil menuntun motor tanpa menyalakan mesinnya. Setelah standar motor terpasang. Ia masuk kedalam warung.

"Permisi. Nasi goreng ayam satu, pedes ya," ucapnya.

"Oh iya seben- tar," kedua mata Aya membulat. Rangga tersenyum menatapnya.

"Ngga," hanya itu yang bisa diucapkan Aya.

"Aya. Temen kamu?" tanya bapak. Aya mengangguk. Rangga dengan sopan meraih tangan lelaki tua itu dan mencium punggung tangannya. Berganti ke ibunya. Keduanya tampak heran.

"Makan di sini apa di bungkus?" tanya Aya.

"Di sini aja," jawab Rangga.

"Duduk, Ngga," Aya menarik kursi plastik. Rangga lalu duduk. Jani menghampiri. Menanyakan Rangga mau minum apa.

"Es jeruk ada," Rangga tersenyum.

"Ada Kak. Sebentar dibuatin," jawab Jani.

Harum bau masakan nasi goreng tersebar kemana-mana. Rangga memperhatikan cekatannya kedua orang tua Aya dalam memasak dan menyiapkan. Sedangkan Aya mendadak menjadi diam dan salah tingkah.

"Aya,"

"Ya Bu,"

"Temenin aja temen kamu. Udah tinggal sedikit kan pelanggannya. Sana," ibu menunjuk dengan dagunya. Aya mengangguk pelan. Ia duduk di dekat Rangga. Walau jaraknya cukup berjauhan.

"Kenapa tadi turunnya di ujung sana, bukan minta di depan sini?" Rangga menatap Aya yang menunduk sambil memainkan jari tangannya.

Aya tersenyum lalu menggeleng. Ia menatap Rangga ragu. Kedua tatapan mata saling bertemu. Mereka sama-sama diam. Terikat diantara dua netra mereka. Aya memutuskan tatapan itu lebih dulu karena Jani memanggilnya. Lalu tak lama ia kembali dengan membawa satu gelas es jeruk.

"Makasih Aya," suara Rangga yang lembut menyebut namanya membuat ia hanya bisa mengangguk.

Aya menuju ke ibunya. Lalu kembali ke Rangga dengan satu piring nasi goreng.

"Selamat makan," Aya lalu berjalan ke sudut meja. Melakukan tugasnya. Menghitung pemasukan malam itu. Sudah jam setengah sepuluh malam. Pelanggan juga sudah berkurang.

Bapak dan ibu sudah tampak santai. Sedang duduk berdua dan saling tertawa entah apa yang mereka bicarakan. Pemandangan itu tak luput dari Rangga. Ia kagum dengan keluarga Aya.

Rangga beranjak ketika selesai makan. Berjalan ke Aya dan memberikan yang lima puluh ribu. Aya mengembalikan uang dua puluh lima ribu kepada Rangga.

"Makasih ya, Ngga," Aya tersenyum manis. Rangga mengangguk.

Aya beranjak dari duduknya dan mengantar Rangga yang berjalan keluar warung. Sebelumnya ia pamit ke kedua orang tua Aya.

"Ngobrol sebentar bisa, Aya, duduk di sana," pinta Rangga sambil menunjuk ke bangku kayu panjang dibawah lampu yang menempel di tiang listrik.

"Mmm.." Aya ragu. Ia menoleh ke kedua orang tuanya yang asik ngobrol karena pelanggan sudah tak ada.

"Sebentar kan?" Aya menatap Rangga.

"Iya, pingin ngobrol aja kok," Rangga juga tampak malu.

Mereka akhirnya duduk di bangku panjang itu. Cahaya lampu berwarna kuning itu membuat suasana malam cukup hangat. Aya menoleh ke Rangga yang tak berbicara sejak beberapa menit lalu.

"Mau ngobrol apa?" Aya mencoba memecahkan keheningan mereka berdua. Rangga terkekeh dan mengusap tengkuknya pelan.

"Kok aku grogi gini," kekehan Rangga membuat Aya terkikik geli.

Rangga gemas saat lirikan matanya menatap raut wajah Aya.

"Aku- aku mau deket sama kamu nggak pa-pa kan? Maksudnya, nggak ada yang marah atau tiba-tiba ngajak ribut aku karena deket sama kamu Aya?"

Aya tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Tapi, harus banget ngomongnya aku kamu gini?" Aya tampak tak nyaman ditatapan Rangga.

"Aku- gu-"

"Yaudah kalo maunya aku kamu, aku cuma mastiin aja. Takutnya seorang Rangga yang dingin dan angkuh tiba-tiba jadi kalem dan lembut banget, kan aneh,"

"Kan sama kamu aja kaya gini. Nggak pernah aku kaya gini sama cewek mana pun,"

"Masa si? Bohongnya pinter banget,"

"Serius Aya. Tanya anak-anak yang kenal aku di kampus. Mana pernah aku deket sama cewek. Apalagi punya pacar. Nggak ada," Rangga menunduk lalu melirik Aya lagi. Ia sedikit ngegas.

"Percaya kok," mereka kembali saling menatap.

"Jadi, nggak pa-pa nih, aku deket sama kamu?"

"Iya Rangga. Nggak ada yang marah,"

Rangga menepuk-nepuk dadanya pelan.

"Kenapa?" Aya menoleh lagi.

"Degdegan," cengir Rangga. Aya kembali tertawa.

Mereka lalu beranjak. Aya mengantar Rangga sampai ke motornya.

"Besok aku jemput ya. Jam enam pagi aku udah di sini,"

"Iya. Hati-hati kamu," Rangga mengangguk. Ia menepuk-nepuk kepala Aya. Ia mengenakan helm dan menyalakan mesin motornya.

"Sampe lupa. Simpen nomor HP kamu di sini ya," Rangga memberikan ponselnya ke tangan Aya. Gadis itu mengangguk lalu mengetik nomor nya.

"Kamu aja yang tulis nama aku," Aya memberikan ponsel Rangga ke pemiliknya. Rangga mengangguk lalu mengetik sesuatu, setelahnya ia menunjukan layar ponselnya ke arah Aya.

'Calon pacar'

Nama itu yang ditulis Rangga. Aya merona seketika jika Rangga melihatnya. Ia mengulum senyum.

Rangga pergi dari rumah Aya dengan senyum terus mengembang di bibirnya. Begitupun Aya yang tak henti diledek kedua orang tuanya dan Jani yang melihat Aya senyum-senyum terus.

Bahkan ia sampai harus menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkan dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status