Share

Bab 2. PDKT

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2021-08-19 12:16:35

Aya merasa kikuk saat Rangga mengantar hingga ke rumahnya. Bukan rumah besar, jangan bayangkan. Tapi rumah kecil merangkap tempat usaha orang tuanya di daerah kawasan padat penduduk.

Kontras sekali daerah itu dengan apartemen-apartemen tinggi menjulang yang mengelilingi daerah tersebut. Aya memainkan jemarinya. Iya begitu gugup. Ia melirik ke Rangga yang tampak santai.

"Besok ke kampus jam berapa?" Rangga menoleh. Membuat Aya terkejut.

"Jam, jam tujuh udah di kampus." Aya semakin gugup. Ditambah jalanan ramai dengan motor berlalu lalang dan anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan. Mobil sport milik Rangga pasti sangat mewah masuk ke lingkungan itu.

"Gue turun di sini, Ngga, lo balik aja. Nggak akan bisa parkir."

"Lho, emang rumah lo mana?" Rangga celingukan.

"Pagar hitam." Aya melepaskan seatbelt nya.

Rangga terkekeh.

"Hampir semuanya pagar hitam Aya, yang mana rumah lo?" Rangga menatap Aya yang tampak tak nyaman.

"Itu. Pokok nya di depan situ." Aya begitu gugup dan mencoba tahu diri ia siapa.

Aya turun dari mobil itu. Melambaikan tangan saat Rangga semakin menjauh.

"Huffhhhh. Lega .... " Aya mengusap dadanya lalu menyebrang jalan.

Dilihatnya kedua orang tuanya sedang bersiap membuka warung nasi gorengnya. Aya menghampiri. Menyapa kedua orang tuanya dan berjalan ke lantai dua rumah itu melalui tangga kayu.

Ia menyapa adiknya yang masih SMP kelas tiga. Adik perempuan satu-satunya.

"Lagi ngapain? Ada tugas nggak?" Tas kuliah ia taruh di meja kecil yang ada di pojok kamar. Mereka tidur satu kamar dirumah yang disewa keluarganya itu.

"Ada. Udah tadi ngerjainnya. Kakak besok jadi berangkat pagi banget?"

"Jadi. Kenapa?"

"Itu, aku mau pinjem sepatu Kakak. Besok aku olahraga. Sepatu yang ini, nggak enak di pakainya."

"Pakai aja. Aku nanti pake sepatu kamu. Kakak mandi ya, kamu kalo udah selesai gambar, ke bawah. Bantuin Ibu sama Bapak,"

"Iya Kak," jawab Jani. Ia lalu merapihkan buku gambar dan pinsil warnanya. Setelah rapih langsung ke lantai bawah untuk membantu kedua orang tuanya bersiap jualan.

***

"Bapak pesan apa aja?" tanya Aya saat pelanggan sudah mulai datang. Seperti biasa, ia mencatat pesanan dan pembayaran, bapak dan ibu memasak dan menyiapkan, Jani membuat minuman jika ada yang makan di tempat.

Karena sudah biasa. Dengan cekatan keluarga itu melayani pesanan pelangkan.

Dari kejauhan. Rangga berdiri menatap Aya yang hanya mengenakan celana jeans pendek selutut dan kaos besar berwarna hitam sibuk mencatat pesanan, juga  memberikan nomor antrian. Ramai sekali warung nasi goreng itu.

Senyum selalu tersungging dari wajah cantik natural Aya. Rangga juga ikut tersenyum. Ia kembali ke rumah Aya. Kali ini dengan motor matic biasa hasil meminjam ke supir bundanya.

Satu jam sudah Rangga berdiri di sana. Menatap kagum kepada gadis itu. Ia lalu berjalan menghampiri sambil menuntun motor tanpa menyalakan mesinnya. Setelah standar motor terpasang. Ia masuk kedalam warung.

"Permisi. Nasi goreng ayam satu, pedes ya," ucapnya.

"Oh iya seben- tar," kedua mata Aya membulat. Rangga tersenyum menatapnya.

"Ngga," hanya itu yang bisa diucapkan Aya.

"Aya. Temen kamu?" tanya bapak. Aya mengangguk. Rangga dengan sopan meraih tangan lelaki tua itu dan mencium punggung tangannya. Berganti ke ibunya. Keduanya tampak heran.

"Makan di sini apa di bungkus?" tanya Aya.

"Di sini aja," jawab Rangga.

"Duduk, Ngga," Aya menarik kursi plastik. Rangga lalu duduk. Jani menghampiri. Menanyakan Rangga mau minum apa.

"Es jeruk ada," Rangga tersenyum.

"Ada Kak. Sebentar dibuatin," jawab Jani.

Harum bau masakan nasi goreng tersebar kemana-mana. Rangga memperhatikan cekatannya kedua orang tua Aya dalam memasak dan menyiapkan. Sedangkan Aya mendadak menjadi diam dan salah tingkah.

"Aya,"

"Ya Bu,"

"Temenin aja temen kamu. Udah tinggal sedikit kan pelanggannya. Sana," ibu menunjuk dengan dagunya. Aya mengangguk pelan. Ia duduk di dekat Rangga. Walau jaraknya cukup berjauhan.

"Kenapa tadi turunnya di ujung sana, bukan minta di depan sini?" Rangga menatap Aya yang menunduk sambil memainkan jari tangannya.

Aya tersenyum lalu menggeleng. Ia menatap Rangga ragu. Kedua tatapan mata saling bertemu. Mereka sama-sama diam. Terikat diantara dua netra mereka. Aya memutuskan tatapan itu lebih dulu karena Jani memanggilnya. Lalu tak lama ia kembali dengan membawa satu gelas es jeruk.

"Makasih Aya," suara Rangga yang lembut menyebut namanya membuat ia hanya bisa mengangguk.

Aya menuju ke ibunya. Lalu kembali ke Rangga dengan satu piring nasi goreng.

"Selamat makan," Aya lalu berjalan ke sudut meja. Melakukan tugasnya. Menghitung pemasukan malam itu. Sudah jam setengah sepuluh malam. Pelanggan juga sudah berkurang.

Bapak dan ibu sudah tampak santai. Sedang duduk berdua dan saling tertawa entah apa yang mereka bicarakan. Pemandangan itu tak luput dari Rangga. Ia kagum dengan keluarga Aya.

Rangga beranjak ketika selesai makan. Berjalan ke Aya dan memberikan yang lima puluh ribu. Aya mengembalikan uang dua puluh lima ribu kepada Rangga.

"Makasih ya, Ngga," Aya tersenyum manis. Rangga mengangguk.

Aya beranjak dari duduknya dan mengantar Rangga yang berjalan keluar warung. Sebelumnya ia pamit ke kedua orang tua Aya.

"Ngobrol sebentar bisa, Aya, duduk di sana," pinta Rangga sambil menunjuk ke bangku kayu panjang dibawah lampu yang menempel di tiang listrik.

"Mmm.." Aya ragu. Ia menoleh ke kedua orang tuanya yang asik ngobrol karena pelanggan sudah tak ada.

"Sebentar kan?" Aya menatap Rangga.

"Iya, pingin ngobrol aja kok," Rangga juga tampak malu.

Mereka akhirnya duduk di bangku panjang itu. Cahaya lampu berwarna kuning itu membuat suasana malam cukup hangat. Aya menoleh ke Rangga yang tak berbicara sejak beberapa menit lalu.

"Mau ngobrol apa?" Aya mencoba memecahkan keheningan mereka berdua. Rangga terkekeh dan mengusap tengkuknya pelan.

"Kok aku grogi gini," kekehan Rangga membuat Aya terkikik geli.

Rangga gemas saat lirikan matanya menatap raut wajah Aya.

"Aku- aku mau deket sama kamu nggak pa-pa kan? Maksudnya, nggak ada yang marah atau tiba-tiba ngajak ribut aku karena deket sama kamu Aya?"

Aya tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Tapi, harus banget ngomongnya aku kamu gini?" Aya tampak tak nyaman ditatapan Rangga.

"Aku- gu-"

"Yaudah kalo maunya aku kamu, aku cuma mastiin aja. Takutnya seorang Rangga yang dingin dan angkuh tiba-tiba jadi kalem dan lembut banget, kan aneh,"

"Kan sama kamu aja kaya gini. Nggak pernah aku kaya gini sama cewek mana pun,"

"Masa si? Bohongnya pinter banget,"

"Serius Aya. Tanya anak-anak yang kenal aku di kampus. Mana pernah aku deket sama cewek. Apalagi punya pacar. Nggak ada," Rangga menunduk lalu melirik Aya lagi. Ia sedikit ngegas.

"Percaya kok," mereka kembali saling menatap.

"Jadi, nggak pa-pa nih, aku deket sama kamu?"

"Iya Rangga. Nggak ada yang marah,"

Rangga menepuk-nepuk dadanya pelan.

"Kenapa?" Aya menoleh lagi.

"Degdegan," cengir Rangga. Aya kembali tertawa.

Mereka lalu beranjak. Aya mengantar Rangga sampai ke motornya.

"Besok aku jemput ya. Jam enam pagi aku udah di sini,"

"Iya. Hati-hati kamu," Rangga mengangguk. Ia menepuk-nepuk kepala Aya. Ia mengenakan helm dan menyalakan mesin motornya.

"Sampe lupa. Simpen nomor HP kamu di sini ya," Rangga memberikan ponselnya ke tangan Aya. Gadis itu mengangguk lalu mengetik nomor nya.

"Kamu aja yang tulis nama aku," Aya memberikan ponsel Rangga ke pemiliknya. Rangga mengangguk lalu mengetik sesuatu, setelahnya ia menunjukan layar ponselnya ke arah Aya.

'Calon pacar'

Nama itu yang ditulis Rangga. Aya merona seketika jika Rangga melihatnya. Ia mengulum senyum.

Rangga pergi dari rumah Aya dengan senyum terus mengembang di bibirnya. Begitupun Aya yang tak henti diledek kedua orang tuanya dan Jani yang melihat Aya senyum-senyum terus.

Bahkan ia sampai harus menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkan dirinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cincin terakhir istriku   81. Cincin terakhir istriku

    Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe

  • Cincin terakhir istriku   80. Satu kata maaf

    Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah

  • Cincin terakhir istriku   79. Kebahagiaan yang tertunda

    Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per

  • Cincin terakhir istriku   78. Pengakuan

    Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg

  • Cincin terakhir istriku   77. Vonis kehidupan

    Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka

  • Cincin terakhir istriku   76. Keyakinan Aya

    Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status