Seorang mahasiswa tingkat akhir turun dari mobil sport miliknya dan berjalan santai menuju ke area kampus. Suara gelak tawa para mahasiswa mahasiswi yang asik duduk di tangga kampus menjadi pemandangan biasa. Justru itu letak seru dan asiknya 'ngampus'.
Rangga. Cowok dua puluh dua tahun yang seumur hidupnya selalu merasa nyaman atas semua hal yang ia dapatnya dari keluarganya, begitu tampak luar biasa di mata para mahasiswi yang tak tersentuh olehnya. Rangga terkenal dingin juga kaku. Namun, hanya satu wanita yang tiba-tiba menarik hati Rangga yang begitu angkuh.
Faraya, atau biasa dipanggil Aya. Mahasiswi tingkat enam yang begitu acuh kepadanya di saat banyak wanita yang menggilai seorang Rangga. Aya sang ketua dewan kegiatan mahasiswa untuk kegiatan sosial kampus, memiliki cara berbeda untuk kenal dengan Rangga. Ternyata di balik ke acuhannya itu, Aya cukup mengagumi sosok Rangga.
Mereka akhirnya saling kenal, tapi bukan untuk asmara. Kenal karena Rangga dijadikan target penyumbang dana untuk kegiatan pembagian obat-obatan gratis di suatu lingkungan pemukiman padat.
Aya anak fakultas seni tari. Ia mendalami tari daerah. Walau menari sudah menjadi bagian dirinya, ia tetap menjalankan dan membantu melakukan pembukuan untuk usaha orang tuanya walau ilmu akuntansinya pas-pasan. Ia bukan anak orang kaya, kedua orang tuanya penjual nasi goreng jika malam hari dan pagi harinya berjualan nasi uduk.
Berkuliah lewat jalur bantuan subsidi silang, membuatnya merasa ringan dalam membayar biaya kuliah setiap semesternya.
Rangga begitu terpesona dengan Aya, rambut hitam sebahu, senyum ceria yang selalu membuat Rangga ikut tersenyum, cara Aya menyapa teman-temannya dengan ramah dan hangat. Membuat Rangga begitu mengaguminya.
Aya menatapnya. Ia melambaikan tangan dan berlari ke arahnya. Jantung Rangga berdetak sangat cepat. Hari itu untuk pertama kalinya mereka bertemu. Setelah selama ini lebih sering chat atau jika Rangga ingin menyumbang, langsung di transfer ke rekening yang disiapkan khusus pihak kampus. Tanpa bertemu langsung dengan penanggung jawabnya. Aya.
"Rangga."
"Aya."
Mereka saling menyapa. Keduanya tersenyum. Aya tampak sedikit malu dan gugup. Padahal biasanya ia tak begitu. Apalagi Rangga. Ia berusaha mengontrol kegugupanya lewat diam.
"Akhirnya bisa ketemu. Sorry ya, setiap mau ketemu langsung gue seringnya di lapangan. Lo juga sibuk skripsi, kan?" Diakhir kalimat Aya tersenyum. Rangga mengangguk.
"Ini." Rangga menyerahkan amplop coklat ketangan Aya. Wajahnya sumringah.
"Terima kasih ya, bermanfaat banget buat mereka."
"Sama-sama. Masih ada kelas habis ini?" Rangga menatap Aya yang mencoba mengingat jadwal kuliahnya.
"Enggak sih... kayaknya. Lagi loading lama nih otak gue kalo urusan kuliah." Ia terkekeh sebelum kemudian lanjut berbicara.
"Ada kok. Cuma praktek aja. Latihan tari Bali, bisa susulan juga. Kenapa?" Aya balik bertanya. Rangga menggelengkan kepala. Aya manggut-manggut, yang pada akhirnya membuat keduanya saling melempar tawa.
"Kalau begitu, gue ke basecamp. Terima kasih sekali lagi, udah mau jadi donatur tetap di setengah tahun ini, bye." Aya balik badan. Berjalan meninggalkan Rangga. Rangga hanya memperhatikannya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Aya balik badan dan melihat senyuman Rangga. Alisnya mengkerut. "Ada yang lucu sama gue?" Aya menunjuk dirinya. Rangga menggeleng.
"Ada apa?" tanya Rangga balik.
"Mmm, kalau lo nggak ada kelas atau bimbingan, bisa ke base camp, bantu kita hitung obat dan pendataan. Karena bes-"
"Bisa. Ayok!" Dengan semangat Rangga berjalan sambil menarik tangan Aya.
Aya tertawa disela keterlejutannya. Rangga menoleh dan ikut tertawa tanpa melepaskan genggamannya.
***
"Ya, lo kok bisa ajak cowok dingin itu ke sini. Serem gue lihatnya," bisik Caca sambil melirik ke Rangga yang sedang menghitung jarum suntik yang akan digunakan untuk vaksin anak.
"Nggak dingin kok. Baik, suka ketawa." Aya tersenyum malu-malu. Caca melirik.
"Berarti sama lo doang dia gitu. Suka kali sama lo!"
"Ngaco lo. Mana ia orang sekaya dia suka sama gue. Ngaca lah, gue langsung." Aya menunjuk dirinya.
Rangga menoleh. Menatap Aya yang asik berbisik dengan temannya. Sesekali Aya tertawa. Tawa itu yang juga menggetarkan hati Rangga tanpa ia minta. Ingin tersenyum. Tapi tak mampu. Terlalu malu.
Sore menjelang. Rangga dan Aya berjalan menuju ke parkiran. "Terima kasih ya, Rangga, udah terlibat tadi. Makasih udah ikut repot hitung perlengkapan buat besok. Sekali lagi mak-"
"Aya gue suka sama lo." Rangga menghentikan langkah dan menatap Aya lekat. Aya melongo. Membuat Rangga terkekeh sekaligus gemas dnegan reaksi gadis di hadapannya.
"Heiii.." Rangga mengusap kepala Aya.
"Ta-tapi, Ngga. Nggak salah lo. Ih, ngaco kali lo. Ngigo ya!" kedua mata Aya terbelalak. Rangga menggeleng.
"Serius Aya. Gue suka sama lo," ulang Rangga. Aya lalu terkekeh dan manggut-manggut.
"Makasih kalau gitu," jawab Aya lagi.
"Kok makasih?"
"Ya terus apaan?"
"Bukannya kalau gue udah bilang suka, lo juga harus balas." Oh, Polosnya Rangga. Ya bagaimana, ia tak pernah pacaran dan mengenal cinta selama hidupnya itu. Semua di atur oleh bundanya. Tapi sekarang rasa itu begitu hebat dan menggila didirinya. Ia mau mengabaikan aturan bundanya.
"Balesnya apa?" Aya tampak bingung.
"Yaudah nggak usah dipikirin. Yang penting gue udah bilang gue suka sama lo. Ayo, gue antar pulang."
"Rangga tapi, lo yakin?" Keduanya saling menatap. Rangga mengangguk. Sedangkan Aya merasa risih dan ragu.
"Kita belum slaing kenal, Rangga. Baru hari ini kita bisa bareng, dan-"
"Gue suka lo Aya, Faraya. Apa lo nggak ngerasain juga? Mungkin ini pertemuan pertama kita setelah selam ini hanya kenal lewat saling sapa atau lewat chat. Gue janji akan ada pertemuan-pertemuan kita berikutnya. Nggak usah jawab sekarang, karena gue juga nggak memaksa. Biar lo rasain kehadiran gue dulu, oke?" Rangga mengusap kepala Aya yang hanya bisa diam.
"Rangga, tapi gue bukan anak orang kaya. Nggak pantes kalau lo suk--"
Lagi-lagi kalimat Aya di putus oleh Rangga sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya.
"Gue nggak peduli, Faraya, gue suka sama lo. Tolong jangan bahas masalah kaya dan miskin sama gue, karena hal itu nggak ada di hidup gue, semua sama rata, cuma kebaikan dan keburukan yang ada. Bukan perkara materi, paham, Faraya. Ayo pulang, gue antar, maaf kalau kesannya gue memaksa, tapi gue tau, kalau gue nggak bisa untuk diam dan cuma mengagumi lo dari kejauhan, sosok lo udah lama gue amati, dan ini benar, gue jatuh cinta sama lo." Rangga tersenyum, tak ada sikap dingin atau angkuh, justru Rangga begitu hangat dan mampu membuat Aya mengangguk saat Rangga ingin mengantarkannya pulang.
Aya merasa gugup saat sudah duduk di dalam mobil mewah itu yang seumur-umur tak pernah ia bayangkan akan bisa berada di dalamnya. Semua terlalu mendadak, ia seperti mendapatkan durian runtuh.
Aya merasa kikuk saat Rangga mengantar hingga ke rumahnya. Bukan rumah besar, jangan bayangkan. Tapi rumah kecil merangkap tempat usaha orang tuanya di daerah kawasan padat penduduk.Kontras sekali daerah itu dengan apartemen-apartemen tinggi menjulang yang mengelilingi daerah tersebut. Aya memainkan jemarinya. Iya begitu gugup. Ia melirik ke Rangga yang tampak santai."Besok ke kampus jam berapa?" Rangga menoleh. Membuat Aya terkejut."Jam, jam tujuh udah di kampus." Aya semakin gugup. Ditambah jalanan ramai dengan motor berlalu lalang dan anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan. Mobil sport milik Rangga pasti sangat mewah masuk ke lingkungan itu."Gue turun di sini, Ngga, lo balik aja. Nggak akan bisa parkir."
Motor matic hitam itu sudah sampai di depan rumah Aya. Gadis itu terkejut karena ia tak menganggap pernyataan Rangga malam sebelumnya tentang ia yang akan menjemput Aya itu serius. Lelaki itu tersenyum sambil duduk diatas motornya. Aya menutup pintu dan berjalan menghampiri."Kamu, beneran jemput?" Aya masih mencoba yakin."Iya lah. Helm kamu, nih, Ay...." Rangga memberikan helm warna putih ke Aya. Dengan ragu Aya menerima. Namun ia segera menepis pikiran aneh nya dengan memakai helm tersebut dan naik membonceng Rangga."Kamu bawa jas alamater nggak?" Aya sedikit mendekat ke telinga Rangga saat berbicara."Nggak. Kalo aku nggak boleh kedalam, aku tunggu kamu di parkiran" Rangga menyalakan mesin motornya.
Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk."Makasih ya Rangga,b
Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.***Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk."Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun."He-em, udah disia
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian