Share

Cincin terakhir istriku
Cincin terakhir istriku
Penulis: Rianievy

Bab 1. Pertemuan Pertama

Seorang mahasiswa tingkat akhir turun dari mobil sport miliknya dan berjalan santai menuju ke area kampus. Suara gelak tawa para mahasiswa mahasiswi yang asik duduk di tangga kampus menjadi pemandangan biasa. Justru itu letak seru dan asiknya 'ngampus'.

Rangga. Cowok dua puluh dua tahun yang seumur hidupnya selalu merasa nyaman atas semua hal yang ia dapatnya dari keluarganya, begitu tampak luar biasa di mata para mahasiswi yang tak tersentuh olehnya. Rangga terkenal dingin juga kaku. Namun, hanya satu wanita yang tiba-tiba menarik hati Rangga yang begitu angkuh.

Faraya, atau biasa dipanggil Aya. Mahasiswi tingkat enam yang begitu acuh kepadanya di saat banyak wanita yang menggilai seorang Rangga. Aya sang ketua dewan kegiatan mahasiswa untuk kegiatan sosial kampus, memiliki cara berbeda untuk kenal dengan Rangga. Ternyata di balik ke acuhannya itu, Aya cukup mengagumi sosok Rangga. 

Mereka akhirnya saling kenal, tapi bukan untuk asmara. Kenal karena Rangga dijadikan target penyumbang dana untuk kegiatan pembagian obat-obatan gratis di suatu lingkungan pemukiman padat.

Aya anak fakultas seni tari. Ia mendalami tari daerah. Walau menari sudah menjadi bagian dirinya, ia tetap menjalankan dan membantu melakukan pembukuan untuk usaha orang tuanya walau ilmu akuntansinya pas-pasan. Ia bukan anak orang kaya, kedua orang tuanya penjual nasi goreng jika malam hari dan pagi harinya berjualan nasi uduk.

Berkuliah lewat jalur bantuan subsidi silang, membuatnya merasa ringan dalam membayar biaya kuliah setiap semesternya.

Rangga begitu terpesona dengan Aya, rambut hitam sebahu, senyum ceria yang selalu membuat Rangga ikut tersenyum, cara Aya menyapa teman-temannya dengan ramah dan hangat. Membuat Rangga begitu mengaguminya.

Aya menatapnya. Ia melambaikan tangan dan berlari ke arahnya. Jantung Rangga berdetak sangat cepat. Hari itu untuk pertama kalinya mereka bertemu. Setelah selama ini lebih sering chat atau jika Rangga ingin menyumbang, langsung di transfer ke rekening yang disiapkan khusus pihak kampus. Tanpa bertemu langsung dengan penanggung jawabnya. Aya.

"Rangga."

"Aya."

Mereka saling menyapa. Keduanya tersenyum. Aya tampak sedikit malu dan gugup. Padahal biasanya ia tak begitu. Apalagi Rangga. Ia berusaha mengontrol kegugupanya lewat diam.

"Akhirnya bisa ketemu. Sorry ya, setiap mau ketemu langsung gue seringnya di lapangan. Lo juga sibuk skripsi, kan?" Diakhir kalimat Aya tersenyum. Rangga mengangguk.

"Ini." Rangga menyerahkan amplop coklat ketangan Aya. Wajahnya sumringah.

"Terima kasih ya, bermanfaat banget buat mereka."

"Sama-sama. Masih ada kelas habis ini?" Rangga menatap Aya yang mencoba mengingat jadwal kuliahnya.

"Enggak sih... kayaknya. Lagi loading lama nih otak gue kalo urusan kuliah." Ia terkekeh sebelum kemudian lanjut berbicara.

"Ada kok. Cuma praktek aja. Latihan tari Bali, bisa susulan juga. Kenapa?" Aya balik bertanya. Rangga menggelengkan kepala. Aya manggut-manggut, yang pada akhirnya membuat keduanya saling melempar tawa. 

"Kalau begitu, gue ke basecamp. Terima kasih sekali lagi, udah mau jadi donatur tetap di setengah tahun ini, bye." Aya balik badan. Berjalan meninggalkan Rangga. Rangga hanya memperhatikannya sambil tersenyum.

Tiba-tiba Aya balik badan dan melihat senyuman Rangga. Alisnya mengkerut. "Ada yang lucu sama gue?" Aya menunjuk dirinya. Rangga menggeleng.

"Ada apa?" tanya Rangga balik.

"Mmm, kalau lo nggak ada kelas atau bimbingan, bisa ke base camp, bantu kita hitung obat dan pendataan. Karena bes-"

"Bisa. Ayok!" Dengan semangat Rangga berjalan sambil menarik tangan Aya.

Aya tertawa disela keterlejutannya. Rangga menoleh dan ikut tertawa tanpa melepaskan genggamannya.

***

"Ya, lo kok bisa ajak cowok dingin itu ke sini. Serem gue lihatnya," bisik Caca sambil melirik ke Rangga yang sedang menghitung jarum suntik yang akan digunakan untuk vaksin anak.

"Nggak dingin kok. Baik, suka ketawa." Aya tersenyum malu-malu. Caca melirik.

"Berarti sama lo doang dia gitu. Suka kali sama lo!"

"Ngaco lo. Mana ia orang sekaya dia suka sama gue. Ngaca lah, gue langsung." Aya menunjuk dirinya.

Rangga menoleh. Menatap Aya yang asik berbisik dengan temannya. Sesekali Aya tertawa. Tawa itu yang juga menggetarkan hati Rangga tanpa ia minta. Ingin tersenyum. Tapi tak mampu. Terlalu malu.

Sore menjelang. Rangga dan Aya berjalan menuju ke parkiran. "Terima kasih ya, Rangga, udah terlibat tadi. Makasih udah ikut repot hitung perlengkapan buat besok. Sekali lagi mak-"

"Aya gue suka sama lo." Rangga menghentikan langkah dan menatap Aya lekat. Aya melongo. Membuat Rangga terkekeh sekaligus gemas dnegan reaksi gadis di hadapannya. 

"Heiii.." Rangga mengusap kepala Aya.

"Ta-tapi, Ngga. Nggak salah lo. Ih, ngaco kali lo. Ngigo ya!" kedua mata Aya terbelalak. Rangga menggeleng.

"Serius Aya. Gue suka sama lo," ulang Rangga. Aya lalu terkekeh dan manggut-manggut.

"Makasih kalau gitu," jawab Aya lagi.

"Kok makasih?"

"Ya terus apaan?"

"Bukannya kalau gue udah bilang suka, lo juga harus balas." Oh, Polosnya Rangga. Ya bagaimana, ia tak pernah pacaran dan mengenal cinta selama hidupnya itu. Semua di atur oleh bundanya. Tapi sekarang rasa itu begitu hebat dan menggila didirinya. Ia mau mengabaikan aturan bundanya.

"Balesnya apa?" Aya tampak bingung.

"Yaudah nggak usah dipikirin. Yang penting gue udah bilang gue suka sama lo. Ayo, gue antar pulang."

"Rangga tapi, lo yakin?" Keduanya saling menatap. Rangga mengangguk. Sedangkan Aya merasa risih dan ragu. 

"Kita belum slaing kenal, Rangga. Baru hari ini kita bisa bareng, dan-"

"Gue suka lo Aya, Faraya. Apa lo nggak ngerasain juga? Mungkin ini pertemuan pertama kita setelah selam ini hanya kenal lewat saling sapa atau lewat chat. Gue janji akan ada pertemuan-pertemuan kita berikutnya. Nggak usah jawab sekarang, karena gue juga nggak memaksa. Biar lo rasain kehadiran gue dulu, oke?" Rangga mengusap kepala Aya yang hanya bisa diam. 

"Rangga, tapi gue bukan anak orang kaya. Nggak pantes kalau lo suk--"

Lagi-lagi kalimat Aya di putus oleh Rangga sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. 

"Gue nggak peduli, Faraya, gue suka sama lo. Tolong jangan bahas masalah kaya dan miskin sama gue, karena hal itu nggak ada di hidup gue, semua sama rata, cuma kebaikan dan keburukan yang ada. Bukan perkara materi, paham, Faraya. Ayo pulang, gue antar, maaf kalau kesannya gue memaksa, tapi gue tau, kalau gue nggak bisa untuk diam dan cuma mengagumi lo dari kejauhan, sosok lo udah lama gue amati, dan ini benar, gue jatuh cinta sama lo." Rangga tersenyum, tak ada sikap dingin atau angkuh, justru Rangga begitu hangat dan mampu membuat Aya mengangguk saat Rangga ingin mengantarkannya pulang. 

Aya merasa gugup saat sudah duduk di dalam mobil mewah itu yang seumur-umur tak pernah ia bayangkan akan bisa berada di dalamnya. Semua terlalu mendadak, ia seperti mendapatkan durian runtuh. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status