Motor matic hitam itu sudah sampai di depan rumah Aya. Gadis itu terkejut karena ia tak menganggap pernyataan Rangga malam sebelumnya tentang ia yang akan menjemput Aya itu serius. Lelaki itu tersenyum sambil duduk diatas motornya. Aya menutup pintu dan berjalan menghampiri.
"Kamu, beneran jemput?" Aya masih mencoba yakin.
"Iya lah. Helm kamu, nih, Ay...." Rangga memberikan helm warna putih ke Aya. Dengan ragu Aya menerima. Namun ia segera menepis pikiran aneh nya dengan memakai helm tersebut dan naik membonceng Rangga.
"Kamu bawa jas alamater nggak?" Aya sedikit mendekat ke telinga Rangga saat berbicara.
"Nggak. Kalo aku nggak boleh kedalam, aku tunggu kamu di parkiran" Rangga menyalakan mesin motornya.
"Emang kamu nungguin? Nggak ada bimbingan skripsi?" Motor mulai berjalan pelan meninggalkan area tempat tinggal Aya.
"Enggak. Besok baru ada. Pegangan Aya!" Ucap Rangga dari balik helmnya. Aya menggeleng. Ia malu dan takut jika ia melingkarkan tangannya melingkar di pinggang dan perut Rangga.
"Malu ya?" Rangga menatap dari kaca spion. Aya hanya terkekeh dan membuang tatapan.
"Yaudah. Pegang aja jaket gue ya" lalu Rangga menambah kecepatan sepeda motornya. Aya tersenyum sesekali saat Rangga tak menyalip kendaraan didepannya. Ia tetap stabil mengendarai motornya.
"Salip-salip juga nggak pa-apa ngga , nggak usah takut aku marah" Aya sedikit meninggikan nada bicaranya. Rangga menoleh.
"Nggak. Bawa anak orang nggak boleh ngebut-ngebut" jawab Rangga sambil melirik melalui kaca spion kiri motornya. Aya terkikik.
Mereka sampai dilokasi acara jam tujuh kurang sepuluh menit. Lapangan luas di pemukiman padat penduduk itu sudah didirikan tenda dengan beberapa meja tersusun rapih dan bangku-bangku untuk duduk warga yang antri.
Aya melambaikan tangan ke tim nya. Sebagai penanggung jawab, ia langsung turun tangang mengecek semua kelengkapan kegiatan. Rangga berjalan dibelakang Aya. Semua mata menatap bingung dan kaget. Seorang Rangga ada di antara mereka. Paham kan reputasi Rangga seperti apa.
"Kita pakai ID card ini ya, setiap panitia jangan ada yang nggak pakai. Jas almamater juga. Yang belum hadir siapa aja?" Aya menatap sekeliling dengan kertas berisi nama-nama panitia.
"Hampir semua udah ya" Kartika dari tim bagian pendaftaran dan pendataan menjawab.
"Kita briefing dan berdoa dulu yuk, supaya dilancarkan kegiatan baksi sosial kita hari ini"
Semuanya berkumpul. Rangga duduk di bawah pohon besar yang terdapat beberapa bangku disana. Dari jauh ia memperhatikan sosok gadis yang mampu mengisi ruang kosong dihatinya. Tanpa senyum, ia terus menatap. Wajah ceria Aya sudah mewakili apa yang ia rasakan juga. Ia bahagia.
"Semoga dikegiatan kita hari ini berjalan lancar tanpa halangan berat, semua panitia mudah dalam menjalaskan tugasnya dan bisa menjadi maafkan bagi masyarakat banyak. Berdoa dimulai" pimpin Aya. Mereka menunduk dan berdoa dengan keyakinan masing-masing.
"Selesai" Ujar Aya lagi. Mereka melakukan tos ala panitia. Semua orang bersiap di posisi masing-masing. Aya duduk di kursi sebelah Rangga. Memantau para anak buahnya bekerja. Satu persatu warga sekitar yang sudah didata dan mendapatkan undangan sebelumnya, berdatangan hadir.
Kegiatan bakti sosial suntik vaksin untuk anak dan balita, lalu cek kesehatan lansia, pemberian obat gratis, hingga sembako. Cukup ramai dan disambut hangat. Seksi dokumentasi mengabadikan tiap moment dan menyempatkan membuat video Aya sebagai ketua penyelenggara dan penangggung jawab untuk memberikan komentar serta kesan berjalannya program kegiatan kampus mereka. Sekaligus mengucapkan terima kasih kepada donatur yang sudah berkontribusi.
Rangga merasa bangga karena menjadi bagian dari kegiatan itu. Gadis yang disukainya itu begitu bersemangat dan membuat ceria semua orang. Termasuk dirinya.
***
Siang hari semakin terik. Acara mereka selesam jam tiga sore. Masih dua jam lagi.
"Kamu mau makan bakso nggak?" Aya berdiri didekat Rangga yang sedang memainkan ponselnya.
"Boleh" ia beranjak sambil menaruh ponsel kedalam sakunya.
"Saya jangan paka seledri ya bang, sambalnya dua sendok, nggak pake kecap" ucap Aya.
"Kamu apa? Lengkap semua?" Tanyanya kepada Rangga yang dijawab anggukan.
Mereka kembali duduk dibawah pohon besar dengan kursi-kursi yang tertata disana. Panitia lain juga sedang istirahat di lokasi masing-masing. Mereka seperti menjaga jarak dari Aya yang sedang bersama Rangga. Selain segan, mereka takut mengganggu acara pdkt Rangga ke Aya.
Aya membuka tutup botol air mineral yang masih baru untuk Rangga. Kekehan tampak diwajah cowok itu. Ia bahksan sampai harus menunduk.
"Kenapa? Ada yang aneh?" Aya juga membuka tutup botol air mineral miliknya.
"Aku baru tau. Rasanya diperhatiin sama orang lain selain keluarga sendiri. Gini rasanya" Rangga meminum air mineral miliknya.
"Kenapa? Aneh ya?" Aya senyum-senyum.
"Nggak. Justru suka" Rangga mengusap kepala Aya. Ia beranjak dan mengeluarkan dompetnya seraya membayar bakso yang sudah habis mereka makan.
"Aku kesana ya" tunjuk Rangga ke sudut kebun yang terdapat teman-teman cowok Aya.
"Kamu, ngerokok?" Tanya Aya dengan tatapan bingung. Rangga tersenyum.
"Sebentar ya" Rangga lalu berjalan dan Aya mengangguk.
Aya dihampiri Kartika.
"Aih gilaaaa.. gercep banget bos besar"
"Mulut lo ya tik kalo ngomong" Aya terkekeh. Kartika menatap Aya lekat.
"Pdkt? Apa mau langsung nembak?" Wajah Kartika begitu penasaran.
"Mana gue tau. Rangga cuma bilang mau deket sama gue"
"Ya itu pdkt namanya Ayaaaa, hih lemot" Kartika mengetuk-ngetuk kepala Aya dengan pulpen.
"Terus, perasaan lo gimana?"
Aya menjawab dengan senyum-senyum malu. Kartika bersorak. Ia lalu tertawa.
"Tika. Berisik deh lo" Aya ngomel.
"Biarin. Kalo udah sama-sama suka. Yaudah langsung aja Aya. Lagian, emang lo dari dulu suka sama Rangga kan. Tapi lo diem dan tenang-tenang aja"
"Kagum Tika. Bukan suka"
"Alahhhh.. sama aja ya. Mudah-mudahan cepet ditembak sama Rangga ya" Kartika semangat. Aya hanya berdecak sambil menunduk mengulum senyum.
***
Menjelang senja mereka sudah selesai merapihkan lokasi acara dibantu beberapa warga dan aparat terkait. Aya dan semua tim merasa senang dan puas.
Acara baksos sebelum libur semester pun berjalan sukses. Rangga juga ikut puas setelah seharian ini mengikuti Aya.
"Aku mau ajak jalan-jalan kamu sebentar boleh?" Rangga masih berdiri di sisi motornya.
"Kemana?" Aya memakai helm keatas kepalanya.
"Nonton adek aku tanding basket mau?"
"A-adek?" Aya merasa ragu. Rangga menatapnya lekat.
"Iya. Aku mau kenalin kamu ke adek ku. Perempuan, Gania namanya. Club basketnya lagi tanding sama club basket perempuan lainnya"
"Mmm- sebentar kan" Aya masih ragu. Rangga mengangguk. Aya lalu menyetujui.
***
Setengah jam kemudian mereka sampai di GOR Basket putri di kawasan senanyan. Suara decit sepatu dengan lantai lapangan beradu seru. Rangga duduk dibangku penonton bersama Aya. Gadis SMA kelas 3 itu tampak cekatan bermain basket.
"Dia adek aku satu-satunya. Aku deket sama dia. Makanya aku mau kenalin ke kamu ya" Rangga menoleh. Aya mengangguk.
"Aya,"
"Ya"
Rangga tersenyum. Ia cukup tampak grogi. Terlihat dari posisi duduknya yang tenang sejak beberapa waktu lalu.
"Kita jadian mau?"
"Eh..?" Aya menatap bingung. Rangga terkekeh malu-malu.
"Aku nggak ngerti cara bilangnya gimana Aya" Rangga tampak salah tingkah.
"Ini untuk pertama kalinya aku kaya gini. Kaya orang bodoh ya?" Rangga menatap Aya dengan sebelah alis mata terangkat. Suara peluit tanda waktu selesai pun terdengar.
Rangga dan Aya menatap ke lapangan. Tampak Gania loncat-loncat karena tim nya menang. Ia melambaikan tangan ke Rangga. Lalu berlari menghampiri.
Nafasnya ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.
"Bang!" Sapa Gania. Rangga mengangkat dagunya. Sorot mata Gania melihat ke Aya yang tampak kikuk.
Gania melirik ke Rangga. Memainkan kode yang hanya diketahui mereka.
"Gania" ucap Gania sambil mengulurkan tangannya.
"Aya" balas Aya.
"Udah jadian belum. Buruan terima deh kak. Pusing aku denger curhatan dia tentang kak Aya terus"
Aya menoleh. Rangga membekap mulut adiknya itu. Gania melotot sambil mencubit perut Rangga.
"Udah Rangga. Kasian Gania nggak bisa nafas nanti" Aya menarik tangan Rangga yang membekap Gania.
"Udah diterima kan? Aku jamin abang ku ini super baik. Nggak pernah nyakitin perempuan. Nurutttttt banget sama orang tua. Beda sama aku yang suka ngeyel" ujar Gania yang memang tampak lebih tomboy, berani dan blakblakan.
"Bongkar aja. Mulut ember" celetuk Rangga.
"Bodo. Udah ya bang. Gue mau mandi. Kak Aya"
"Hm"
"Abang suka sama kakak. Udah lama, tapi gini deh. Suka pasif orangnya. Cupu." Ghania lalu berlari sebelum dijewer Rangga.
Kini mereka duduk berdua. Sambil menunggu Gania yang akan menghampiri mereka lagi.
Keduanya terdiam. Sama-sama malu.
"Jadi, gimana Aya. Aku diterima apa di tolak?" Rangga menatap serius ke Aya. Kedua mata mereka saling mengunci. Tak lama, Aya tersenyum sambil mengangguk.
Rangga merasa lega. Ia menghela nafas dan mengangkat kedua tangan ke udara. Aya tertawa.
Aya tak mungkin bilang tidak. Karena ia terlalu memuja pria yang bersamanya itu. Iya sudah mengambil keputusan, dan itu akan ia jalankan.
Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk."Makasih ya Rangga,b
Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.***Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk."Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun."He-em, udah disia
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh