Share

Permainan Rindu

“Langsung aja, Rin, maumu apa?” 

“Mau makan.” Rindu memotong bakso jumbonya dalam potongan besar dan langsung melahapnya. Mengunyah dengan menggumam nikmat dan menunjukkan semua itu tanpa rasa sungkan di depan Dewa. “Dimakan, Pak. Kalau udah dingin nggak enak.”

Dewa menarik napas dan langsung membuangnya dalam waktu singkat. Berdecak kecil lalu ikut melahap bakso, yang tempatnya tidak jauh dari komplek perumahannya. Mencoba mengabaikan keberadaan Rindu, karena gadis itu sedikit mengingatkannya pada Hening. Sedikit kasar dan apa adanya. Hanya saja, otak Rindu sepertinya lebih berisi daripada Hening. 

“Bapak kenapa belum nikah-nikah? Padahal sudah tua.”

Dewa sontak terbatuk dan hampir saja tersedak dengan pentol baksonya. Segera mengambil teh hangat dan meminumnya dengan perlahan. 

“Umurku baru 30, dan aku sudah pernah nikah!” 

“Ciyee, pake aku kamu nih sekarang.” Rindu sengaja menaik turunkan kedua alisnya untuk menggoda Dewa. Ditambah, senyum meledek yang membuat Dewa semakin geram dan salah tingkah. 

Kenapa juga Dewa sampai berbicara kasual seperti tadi pada Rindu, pikirnya. 

Ck, kalau seperti ini terus-terusan, Dewa bisa terjatuh dalam permainan Rindu. Niat untuk memojokkan Rindu, kini malah berbalik arah kepadanya.

“Kita nggak lagi di kantor,” balas Dewa untuk berdalih dan tidak ingin terus terpojok dengan ucapan gadis berambut lurus kecoklatan itu.

Rindu mengangkat kedua bahunya dengan cuek. “Jadi, kenapa Pak Dewa nggak nikah lagi? trauma , atau orientasi seksuàlnya sudah belok?”

“Astagaaa, Rinduuuu.” Dewa benar-benar ingin melahap gadis itu saat ini juga. Mulut Rindu itu, apa tidak pernah diatur sama sekali. Bertanya hal sensitif seperti itu di tempat umum seperti ini.

“Saya, masih, normal!”

“Hemm, percaya, percaya.” Namun, wajah Rindu tidak menunjukkan hal yang diucapkannya. Wajah imut itu terlihat seolah-oleh kembali meledek Dewa.

Napas Dewa terbuang pelan. Lebih baik, ia segera menghabiskan makanannya dari pada terus berada bersama Rindu seperti sekarang.

“Pak …” Rindu kembali berceletuk setelah keheningan melanda mereka berdua untuk beberapa saat.

“Apa?”

“Jadi anggota dewan itu, susah nggak, sih, Pak?”

“Kamu belum cukup umur.”

Rindu mengangguk paham akan hal itu. Sebelumnya, ia juga pernah bertanya dengan iseng, kepada wartawan yang ditugaskan di Senayan.  “Tapi tahun depan sudah bisa, sih.”

“Kamu mau jadi anggota Dewan?” Sepertinya, Dewa sudah bisa menarik sebuah kesimpulan, mengapa Rindu mendekatinya saat ini.

“Tapi, uangnya kudu banyak, ya, Pak?” Rindu bertanya balik dan menyingkirkan semua sifat usilnya di belakang. Kali ini, Rindu memasang wajah serius yang jarang sekali ia tunjukkan kepada semua orang.

“Syarat formalnya sebenarnya, enggak. Tapi, praktek di lapangan memang seperti itu. Mencari simpatisan, melakukan pencitraan. Dan, yaa! kampanye itu butuh dana yang nggak sedikit. Terlebih, kalau kamu bukan siapa-siapa, cuma orang biasa.”

Itu dia syarat yang berat bagi Rindu. Dirinya bukanlah siapa-siapa. “Demokrasi itu mahal ternyata.”

“Mahal!” seru Dewa membenarkan. “Jadi, wani piro?” lanjutnya dengan manik yang bersirobok tegas dengan Rindu.

“Bayar kuliah aja, saya engap-engapan, Pak. Kalau cuma ngandelin gaji pokok marketing iklan, angkat tanganlah saya.”

“Tapi kalau dapat iklan besar, komisinya juga lumayan, kan?”

Rindu mencibir Dewa sebentar. “Media udah banyak sekarang, Pak. Jadi budget perusahaan yang masang iklan makin kecil, soalnya dibagi-bagi, kan. Tapi lumayanlah, bisa dipake buat nyicil motor.”

“Sebentar, Rin.” Dewa baru menyadari kalau dirinya melewatkan sesuatu. “Kamu bayar kuliah dan nyicil motor sendiri? Orang tua kamu udah nggak ada?”

Kunyahan Rindu memelan, tapi bibirnya tetap tersenyum menatap Dewa. “Ada.”

“Tapi, kena—“

“Kayaknya mau hujan deh, Pak,” putus Rindu melihat gelapnya langit di luaran sana. Teringat, kalau mereka berdua pergi ke warung kaki lima dengan menggunakan motor. “Mending buruan dihabisin, habis itu saya antar Bapak pulang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status