“CK!” Wajah Rindu memberengut dengan bibir tertarik maju. “Bapak, sih, bawa motor kayak siput! Basah semua, kan, jadinya!”
Rindu buru-buru membuka tas rajutnya dan mengeluarkan semua isinya di atas meja teras. Hasilnya … semua basah tidak bersisa. Pandangannya segera tertuju pada ponsel yang terlihat kuyup. “Hape!” Meraih ponselnya lalu mencoba menekan semua tombol yang berada di samping.
“Pak! Hape saya mati, Pak!” Tubuh Rindu langsung merosot lemah, lalu duduk di kursi teras. Masih mencoba menekan tombol yang ada hingga berkali-kali. “Gara-gara Bapak, kan!”
“Masuk dulu,” titah Dewa setelah membuka pintu rumah, dengan tubuh yang lebih basah dari Rindu. “Kamu mandi, terus ganti baju.”
Masih dengan wajah yang tertekuk masam, Rindu mengangkat kepala dan menatap kesal. “Mau pake baju siapa? Pinjam baju ibu yang kerja di rumah Bapak?”
“Ibu Nana sudah pulang kalau jam segini.” Sudah tidak tahan dengan dinginnya udara luar, Dewa meraih tangan Rindu dan menariknya masuk ke dalam rumah. “Buruan mandi, ganti baju, daripada kamu sakit.”
Rindu memasrahkan dirinya ditarik dan menaiki tangga dengan terburu.
“Tunggu di sini,” titah Dewa setelah membukakan pintu sebuah kamar untuk Rindu dan mempersilakan gadis itu masuk. “Saya ambilkan baju dulu.”
“Kok, pake saya lagi?” sindir Rindu sudah memasuki kamar dan berbicara tanpa menatap Dewa sama sekali. Maniknya berlari menyusuri ruang dengan nuansa putih nan luas dan begitu indah. Berbanding terbalik, dengan kondisi kamarnya di rumah yang sempit, serta harus berbagi dengan kakak tirinya.
Tidak ingin mengacuhkan Rindu, Dewa berlalu menuju kamarnya untuk mengambilkan sebuah kaos serta celana training. Meskipun Dewa yakin, kalau tubuh Rindu itu pasti tenggelam ketika memakai pakaianya.
Dengan tergesa, Dewa melepaskan semua pakaian basahnya di kamar mandi. Memakai bathrobe, lalu mengambilkan pakaian untuk Rindu terlebih dahulu.
“Rin …” Dewa mengetuk pintu kamar tamu yang masih terbuka lebih dahulu. Tidak melihat Rindu di dalam sana, Dewa kemudian masuk dan memanggil gadis itu sekali lagi. Kali ini, suara Dewa terdengar lebih keras.
“Rindu.”
“Di kamar mandi, Pak. Sebentar!”
Karena Dewa yakin bahwa Rindu tengah melepaskan pakaian basahnya juga, maka, ia lebih memilih pergi untuk segera mandi di kamarnya. Meletakkan pakaiannya di atas ranjang. Namun, sebuah benda persegi yang tergeletak di atas bantal, membuatnya mengurungkan niat.
Dewa duduk di tepi ranjang, lalu meraih ponsel Rindu. Mencoba menyalakannya berulang kali, tapi tidak kunjung bisa. Sepertinya, ponsel gadis itu benar-benar rusak, pikir Dewa.
“Ngapain pegang-pegang hape saya?” tanya Rindu yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis itu, memakai bathrobe putih yang sama dengan yang dikenakan oleh Dewa. “Udah mati gara-gara Bapak!”
Rindu merampas benda persegi miliknya dari tangan Dewa, kemudian meratap. “Gajian masih seminggu lagi, Pak,” decaknya masih menekuk wajah. Menunduk pilu melihat ponsel yang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. “Moga aja besok bisa nyala.”
Dewa hanya bergeming. Sedari tadi, kepalanya menoleh untuk menelisik wajah imut dan manis itu di depan mata.
“Rin …”
“Hem?” Rindu menggumam lalu menoleh pada Dewa. “Apa, Pak?”
“Di rumah ini, kita cuma berdua, nggak ada orang lain,” kata Dewa tanpa melepaskan pandangan pada bibir tipis yang tampak pucat, tapi tetap menggairahkan. “Kamu nggak takut, kalau aku apa-apain?”
“Nggak malu sama jabatan, mau ngapa-ngapain saya?” Rindu memutar separuh tubuhnya lalu bersedekap tegak seolah menantang Dewa.
“Bukannya kamu yang selalu mancing, Rin?” Dua pasang mata itu beradu, tanpa tahu isi hati dan kepala masing-masing.
Rindu menelan ludah, tapi tetap memasang wajah tidak gentarnya. “Saya bisa lapor security, loh, kalau Bapak macam-macam.”
“Dan tebak.” Dewa bangkit, kemudian mempersempit jarak wajahnya dengan Rindu. “Kira-kira, siapa yang dibela security di depan, kamu atau aku?”
“Uang dan jabatan Bapak yang mereka bela,” jawab Rindu kembali meneguk ludah yang sudah sangat tercekat di tenggorokan. Melihat wajah tampan nan bersinar itu tanpa jarak, membuat jantungnya langsung berdetak liar.
“Coba kalau Bapak cuma pedagang kaki lima yang jualan di pinggir jalan, masih yakin kalau mereka bakal bela, Bapak?”
Setelah mata, kini giliran napas mereka yang beradu panas. Saling menerpa wajah, dan menimbulkan gelenyar aneh di dalam dada.
“Nggak akan, Pak,” lanjut Rindu menahan gugup, tapi ingin mengeluarkan isi kepalanya dalam satu waktu. “Kecuali, ada yang blow up kasus Bapak di media, tinggal tunggu heboh, baru aparat turun tangan.”
Dewa lantas menarik diri, kembali duduk di tepi ranjang, tapi tidak melepas tatapannya pada Rindu. “Pemikiranmu itu, harusnya kamu tuang dalam media sosial.”
“Takut saya, Pak.” Ketegangan di wajah Rindu mulai memudar. Memundurkan langkah, Rindu kemudian duduk pada sofa single, yang berada di samping tempat tidur. “Nanti, tiba-tiba hilang aja dari peredaran. Saya, kan, nggak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Jadi, Bapak bisa bayangkan sendirilah, nasib saya kalau berani cuap-cuap di media sosial.”
Dewa menarik napas panjang lalu membuangnya dengan kasar. Ia kemudian berdiri lalu menoleh pada Rindu sebentar. “Mandi, terus ganti baju. Tunggu hujan reda, baru kamu boleh pulang.”
“Kalau nggak reda-reda, Pak?”
“Pulang naik taksi.” Telunjuk Dewa mengetuk pelipisnya dua kali. “Mikirlah Rin, begitu aja pake ditanyakan.”
“Saya dari tadi mikir, kok, Pak.”
“Mikir apa?”
“Mikirin Bapak,” jawab Rindu secepat kilat. “Kenapa rumah sebesar ini cuma ditinggalin sendiri. Nggak pengen cari istri gitu, Pak? Yang manis, imut, pintar masak dan beres-beres rumah, kayak saya?”
“Nggak,” tolak Dewa. “Kamu masih labil, nanti, di tengah jalan malah cari laki-laki lain.”
Berkaca dari hubungannya dengan Hening dahulu kala, Dewa tidak ingin lagi menjalani hubungan dengan gadis yang usianya seperti Rindu.
Rindu akhirnya berdiri dari duduknya dengan berdecak. “Saya kok curiga kalau Bapak itu belok, ya? Nggak tertarik sama sekali, sama cewek.”
“Jangan sembarangan kalau ngomong.” Dewa kembali mengikis jaraknya dengan Rindu. Meraih pinggang ramping itu mendekat ke arahnya. Ucapan Rindu kali ini, sungguh menyinggung harga dirinya sebagai seorang pria. “Aku bisa buktiin sekarang juga, kalau aku masih normal.”
“Bapak nggak khawatir dengan akibatnya satu bulan ke depan?”
Tentu saja Dewa tidak bodoh, untuk menafsirkan maksud dari ucapan Rindu. Ia mengerti dengan sangat, dengan konsekuensi yang bisa saja didapatnya nanti.
“Kamu takut?” tantang Dewa yang menganggap Rindu hanyalah seorang gadis, yang menginginkan hartanya saja.
“Bapak berani tanggung jawab?” Rindu menantang balik. Sudah kepalang tanggung dengan cuaca di luar sana, yang sangat mendukung. Tentunya Rindu tidak akan kembali mundur.
“Kenapa nggak berani?” Dewa melepaskan tangannya dari tubuh Rindu. Mundur satu langkah ke belakang, lalu menunjuk pakaian yang tadi sempat dibawakannya untuk Rindu. “Kamu cuma punya dua pilihan, pakai baju itu dan pergi dari rumah ini sekarang juga. Atau, kamu di sini, sampai esok pagi. It’s up to you.”
Rindu mengepalkan kedua tangannya yang terasa tremor. Menarik napas dalam-dalam, untuk menenangkan gejolak pertentangan yang ada di dalam dada.
Kemudian, tanpa melepaskan tatapannya pada Dewa, tangan Rindu menarik ujung tali bathrobe yang dipakainya. Lantas, dengan satu gerakan pelan Rindu melepaskan jubah mandi itu dari tubuhnya.
“Di sini, sampai esok pagi.”
“Harusnya, kamu bilang kalau masih perawan, Rin.” Mata Dewa terpejam, menikmati aliran dopamin yang baru saja terlepas begitu nikmat. Masih tersengal, karena sebuah rasa puas yang yang tidak bisa diungkap dengan kata. Sekaligus merutuk, karena pikiran dan tubuhnya tidak bisa menolak pesona Rindu sama sekali. Terlebih, ketika Dewa mengetahui bahwa dirinyalah, pria pertama yang menyentuh gadis itu. “Udah nggak lagi,” hela Rindu yang masih mengatur napas dan merasakan sebuah rasa nyeri pada bagian inti tubuhnya. Akan tetapi hal itu sepadan dengan sensasi nikmat yang ia rasakan untuk pertama kalinya. Bagi Rindu, semua ini seperti bermain judi. Menyerahkan diri pada Dewa tanpa adanya sebuah ikatan, adalah sebuah hal yang benar-benar gila. Namun, ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan keinginannya. Meskipu
Hampir semalaman Dewa tidak bisa melelapkan pikirannya. Hingga pagi menjelang, barulah kedua mata itu terpejam. Namun, hanya selang beberapa jam, Dewa kembali terbangun dan memilih untuk mandi lalu ingin berbicara serius dengan Rindu. Setelah semua aktivitas paginya selesai di dalam kamar. Dewa keluar dan langsung menuju kamar yang ditempati oleh Rindu. Sebelumnya, Dewa melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Gadis itu pasti sudah terbangun, atau, mungkin masih tertidur lelap. Dewa mengetuk pintu kamar tamu sebanyak dua kali dengan perlahan. Tidak mendengar jawaban, ia pun berinisiatif untuk membuka pintu. Namun, sosok Rindu sudah tidak ada di dalam sana. Dewa masuk lebih dalam dan langsung menuju ke kamar mandi. Namun, kosong dengan pintu yang terbuka dengan lebar. Berbalik, dan berhenti sejenak. Ia baru menyadari kalau sprei yang membungkus tempat tidur, kini sudah tidak ada di atas sana. Bergegas keluar dan menuruni tangga,
“Dari mana aja semalam, Rin?” tanya Radit, bapak tiri Rindu yang tiba-tiba muncul dan sudah berada di samping gadis itu. “Hapemu nggak bisa dihubungi.” Rindu yang sudah berada di depan pintu kamar, reflek memundurkan langkah untuk menjaga jarak. Bagi Rindu, tatapan pria paruh baya yang menikah dengan ibunya tujuh tahun yang lalu itu, selalu saja membuatnya bergidik jijik. Radit bukan melihat Rindu seperti seorang ayah yang memandang putrinya, tapi, pria itu melihat Rindu sebagaimana pria melihat wanita. Rindu sebenarnya heran, jika Radit bisa memiliki pemikiran seperti itu. Pasalnya, pria itu juga memiliki seorang putri bernama Lita, dari mendiang istrinya terdahulu. Bahkan usia Lita kini hanya terpaut satu tahun lebih tua daripada Rindu. Selain anak perempuan, Randi juga membawa satu orang anak laki-laki y
“Dari mana aja semalam?” Untuk kedua kalinya, pagi ini Rindu mendengar pertanyaan yang sama. Namun, kali ini pertanyaan tersebut meluncur dari mulut sang ibu yang baru saja kembali dari pasar. Rindu yang tengah berjongkok dan sedang mengelap roda dua miliknya yang sudah dicuci itu, kemudian mendongak. Mendapati sang ibu sudah berdiri di sebelah motor yang baru dicucinya. “Tempat teman.” Manik Rindu beralih sebentar pada Fandy yang sedang memarkirkan motornya di belakang sang ibu, yang tengah menghadap Rindu. Fandy menoleh sebentar padanya kemudian melangkah pergi ke dalam rumah, dengan membawa banyak barang belanjaan tanpa mengucap satu patah kata pun. “Hapemu ke mana? Gak bisa di telepon semalaman.” Tiara, ibu Rindu itu kembali mengajukan pertanyaan. Rindu kembali menoleh pada Tiara. “Mati, kehujanan kemarin.” Tiara menatap putrinya curiga. Merasa kalau Rindu menyembunyikan sesuatu darinya. “Temanmu perempuan?” Rindu menahan napas men
Jelang siang, tamu yang ditunggu-tunggu oleh Radit akhirnya datang juga ke rumah. Satu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri paruh baya dengan anak lelakinya itu, mengobrol panjang lebar di ruang tamu dengan gelak tawa yang bisa Rindu dengar sampai ke dapur. Jelas saja Rindu bisa mendengarnya, karena rumah mereka memang tidaklah begitu besar.Hanya ada ruang tamu, ruang keluarga yang jadi satu dengan meja makan, dan dua kamar di sebelahnya. Serta dapur yang ukurannya juga tidak seberapa, karena ada tambahan tangga untuk jalan menuju kamar Fandy yang ada di atas.Sesuai instruksi dari Tiara, mendekati makan siang, Rindu harus menata makanan yang sudah dirinya dan sang ibu masak di meja makan. Sementara Lita, saudara tiri Rindu itu lebih memilih berada di dalam kamar, untuk bersantai dengan menggulirkan sosial medianya sambil rebahan.Setelah melakukan semua yang diminta oleh sang ibu, Rindu kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di samping Lita. Belum
Setelah briefing pagi di ruang divisi iklan selesai, Rindu tidak langsung keluar dari tempat tersebut. Rindu merebahkan separuh tubuhnya pada meja meeting yang berada di tengah ruang iklan, sembari menatap ponselnya yang tidak bisa lagi menyala. “Dilembiru napa, Rin, daripada dilihatin mulu,” ucap salah satu rekan kerjanya yang bernama Eca. Rindu melirik malas, tanpa bergerak sedikit pun. “Elo yang mau beliin?” “Ogahlah, lo, kan, punya duit. Masa’ gue yang beliin,” sewot Eca meletakkan tas selempangnya di meja lalu mengambil lipstik dan sebuah kaca kecil dari dalam sana. Rindu hanya diam dan memperhatikan Eca menyapu lipstik berwarna peach tersebut ke bibir tebalnya. “Makanya cari cowok, Rin. Biar beban hidup, lo, sedikit berkurang,” ujar Eca menasehati dengan sok bijak. “Kalau mau apa-apa, lo, tinggal minta aja sama cowok, lo. Beres!” Hal seperti inilah yang membuat otak polos Rindu lama-lama terkontaminasi. Eca selalu saj
Sedari pagi, Rindu sudah mengirimkan banyak chat kepada Dewa. Namun, tidak ada satu pun yang dibaca oleh pria itu itu. Pesan di aplikasi hijau itu, hanya menunjukkan tanda centang dua, tanpa berubah warna. Pesan yang dikirimkan Rindu sebenarnya tidak ada yang aneh, ia hanya bertanya di mana posisi Dewa saat ini dan ingin menemui pria itu karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan. Rindu jadi bertanya-tanya, apa ponsel pemberian Dewa ini, merupakan bayaran atas kegiatan panas mereka malam itu? Jika iya, itu berarti, tidak akan ada lagi hubungan yang akan terjalin di antara mereka berdua ke depannya. Rindu harus berlapang dada, jika kegadisannya ternyata hanya diberi harga senilai ponsel merek ternama, keluaran terbaru. Miris. Kalau begini, lebih baik ia jual diri saja sekalian. Atau, mencari seorang pria yang mau menjadikannya seorang sugar baby. Sesat! Pikiran Rindu benar-benar sudah terlampau sesat, karna semua perlakuan yang suda
Dewa menarik satu sudut bibirnya ke atas, ketika melihat Reno memasuki kafe lobi gedung apartemen yang ditempatinya saat ini. “Rindu, Rindu …” ucap Reno sembari menggeser kursi lalu duduk di sana. “Cuma gara-gara Rindu, sampai ngungsi ke apartemen. Ckckck.” Dewa tertawa pelan mendengar ucapan mantan asisten, yang kini sudah menjabat sebagai direktur utama di perusahaan milik Abraham, ayah Dewa. Dulunya, Renolah yang mengurus segala sesuatu tentang Dewa, sampai Abraham meminta sahabat sekaligus asisten putranya itu, untuk menduduki posisi penting di perusahaan. Sejak saat itulah, Reno sudah terlalu sibuk dan keduanya sangat jarang bertemu seperti sekarang. Sementara Dewa, masih ingin mendedikasikan hidupnya untuk menjadi wakil rakyat yang duduk di Senayan. Ia masih betah begelut di dalam pemerintahan untuk lebih memperluas jaringan relasi yang ada. Agar nantinya, Dewa bisa dengan mudah masuk ke dalam setiap lini untuk mempermudah jalannya untuk lebih b