Irena entah harus merasa bersyukur atau tidak, dia bisa seharian semalaman latihan bersama Satria, meski kenyataannya Satria berada jauh dari tempatnya. Irena satu kelompok dengan Arie dan Igna, sementara Satria dengan Rara. Sementara itu dadanya terasa sesak dan patah hati, melihat Rara begitu serasi dengan Satria. Pedih banget rasanya, melihat seseorang yang kita sukai bersama orang lain. Meskipun di hadapannya ada bakso enak dan es teh manis, tetap saja Irena enggak bakal tergoda.
“Mereka sangat cocok dan serasi, ah Rara memang cantik dan Satria juga tampan, mereka cocok kalau jadi pasangan kekasih.” Celetuk salah satu temannya, membuat Irena semakin miris.
‘Iya sih aku mah apa atuh hanya remahan rengginang di kaleng Khong Guan.’
Bukan hanya Irena yang berpikir hidup tidak adil, coba lihat Igna. Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menghias matanya, tanda beberapa hari ini tidak bisa tidur. Igna menyukai Rara, tapi sayangn
Irena tidak sanggup lagi, lebih baik segera ke toilet, untuk menyelesaikan urusannya yang mungkin bertambah dengan menangis. Di perjalanan, dia melihat Arie bersama dengan Mita. Ah, mengapa dunia tidak adil? Irena juga ingin seperti Rara dan Mitha. Apa benar apa kata orang, orang ganteng hanya untuk orang cantik? Irena ingin sekali mematahkan persepsi itu karena benar-benar membuat dirinya atau orang lain yang mengalami hal yang sama seperti dirinya merasa tidak nyaman.“Ra, harusnya lu tahu gue suka sama lu.” Irena baru saja menyelesaikan urusannya, ia duduk sebentar di toilet tapi ia mendengar suara seorang cowok yang sedang menangis.‘Apa hantu? Kenapa ada suara cowok di toilet cewek?’ “Ra, gue sayang sama lu, kenapa sih lu milih si Satria itu.”‘Suaranya kayak Kak Igna?’ Irena membuka pintu dengan takut-takut. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sosok cowok jangkung sedang m
Motor gede itu keluar dari tempat latihan, Irena duduk nyaman di belakang sang ketua OSIS dan Igna mendengkus sendirian di luar pagar, dia pun menelepon temannya buat datang menjemput lagipula otaknya butuh di refresh, barangkali nongkrong di base camp atau di tempat latihan band bisa membuatnya lebih segar.“Kak Arie kok ngajak saya, kenapa enggak ngajak Kak Igna aja?” tanya Irena di jalan. Arie fokus mengendarai motornya.“Karena aku pengennya kamu, bukan Igna.”“Hah?” Irena merasa pendengarannya berdengung dadakan, perkataan kakak kelasnya itu ambigu, dia jadi mikir aneh-aneh jadinya. Irena berusaha menormalkan detak jantungnya yang mendadak seperti bedug di malam takbiran. Motor Arie melaju di atas jalan kota Jakarta, Irena tanpa terasa memegang pinggang kakak kelasnya itu dan menyenderkan kepalanya di punggung Arie. Entah kenapa, bersama Arie segala kesedihan di dalam rongga dadanya perlahan hilang.“Ma
Kata orang cinta pertama itu sering meninggalkan kesan yang dalam, sedalam palung Mariana. Kalau kata Slank terlalu manis untuk dilupakan tapi, juga terlalu sakit untuk dikenang.Irena kudu kuat menerima kenyataan kalau Tria sekarang sudah sold out dan pemenangnya adalah Rara. Kebencian di hati Pie semakin menumpuk terhadap Rara dan Tria, mereka seolah-olah pamer kemesraan dan sering membuat Irena terlihat terluka. Seperti siang ini, mereka jalan bergandengan tangan sambil mengumbar keromantisan ala drama Korea.“Boleh kami di duduk di sini?”“Memangnya bangku cuma ada di sini? Cari saja tempat lain.” Pie mendengus kesal.“Irena saja tidak keberatan, kenapa kamu sewot?!” Rara mencebikkan bibirnya. Dia dan Satria duduk di depan Irena dan Pie yang sedang makan siang di kantin. Irena hanya tersenyum miris, melihat kemesraan dua sejoli di depannya, udah kayak Galih dan Ratna versi now. Pie kesal pada Tria, co
Lagi dan lagi kakak kelasnya itu menjadi penolong untuknya saat dia terluka, sementara itu manusia lain di sana tertawa keras, seakan dia adalah badut yang lucu dan patut untuk ditertawakan. Rasanya ingin menangis keras, namun dia hanya menahanya di dalam hati. “Terima kasih, Kak Arie.” “Hmm sama-sama, lain kali berhati-hatilah.” “Terima kasih, Kak.” Arie berlalu dari hadapan Irena dengan wajah dinginnya, Pie terlihat terburu-buru mendekati Irena. “Ngapain Kak Arie?” “Ngasih ini.” Irena menunjukkan sebungkus tisu basah pada Pie. “Hoh? Jadi dia beli ini tadi buat kamu, dia sampai diolok-olok sama teman-temannya.” “Hah serius?” “Iya serius, Kak Arie baik ya sama maneh. Hmm jangan-jangan dia—” “Stop enggak usah diteruskan dan jangan mengada-ngada. Mana airnya aku haus.” Irena seperti ikan mujair yang kehausan, dia meminum habis air mineral yang diberikan Pie padanya. Rasanya cukup sak
Di ruang BP, mereka bertiga duduk berjejer di bangku menghadap Pak Mujiharto yang menatap ketiga muridnya satu per satu dengan tatapan tajam. Kumisnya yang tebal bergerak-gerak seperti ulat bulu dan kacamatanya selalu merosot ke hidung. Arie Lucas duduk di tempat lain memandang ketiganya. Jujur dia sejak tadi mengikuti kelinci chubby-nya dan berakhir di warung seblak cubit-cubit manja dengan Ignatius Herry. Dia kesal, bukan hanya karena mereka betiga membolos tapi karena Igna begitu leluasa mencubit pipi gadis gendut-nya."Kamu, Igna to? Kenapa malah ngajarin adik kelas kamu hal-hal negatif to? Merokok, membolos, harusnya kamu jadi contoh yang baik buat adik kelasmu. Apalagi ini, oalah yang kamu bawa anak perempuan, piye to?" Igna kesal, orang dua adik kelasnya datang sendiri bukan dia yang ngajak kenapa dia yang disalahkan? Duh selalu salah menjadi orang tampan, pikirnya.Irena dan Pie saling cubit mereka sebenarnya kasihan dengan Igna yang dijadikan kambi
Irena tidak tahu dia ada di mana, sebuah taman bunga yang berwarna-warni. Irena melihat gaun yang dipakainya, gaun pengantin warna putih dengan hiasan mahkota bunga melingkari kepalanya. Irena berjalan mengelilingi taman, suara petikan gitar menginterupsi, ditambah suara bariton yang menghipnotis langkah kakinya mencari sumber suara. Suara itu semakin jelas, memperdengarkan lagu yang merdu bahkan dua kali lipat sempurna dari suara Tria. Di depanya, siluet tubuh seseorang membuat Irena semakin mempercepat langkahnya. Petikan gitar terhenti, sosok itu dengan jas putih dan celana putih. Dia berbalik, menatap Irena hanya saja Irena tidak bisa melihatnya jelas karena wajahnya seperti tertutup kabut tipis. Irena hanya melihat dia tampak tersenyum, lalu mengulurkan tangannya yang memegang buket bunga mawar merah. Saat tangan Irena ingin meraihnya tiba-tiba ….“Kebakaran!”“Hah? Di mana? Mana?” Irena bangun tergesa-gesa, tidak peduli rambutnya ya
Tak berapa lama, pesanan Arie datang, dua mangkuk bubur ayam yang masih hangat plus ati ampela. Duh jangan sampai deh Irena ilernya netes, saking laparnya. Arie menyodorkan semangkuk bubur itu ke depan Irena. Irena menggeleng padahal perutnya udah jelas meraung-raung minta diisi, tapi Irena mempertahankan keinginannya untuk tidak sarapan. Arie menghela napas lalu menyodorkan sesendok bubur ayam itu ke depan mulut Irena.“Aaaa buka mulutnya.”“Ih, aku enggak mau. Aku bisa makan sendiri.”“Ya sudah makan dong, dari tadi dianggurin.”“Tapi aku—”“Lagi diet? Biar Tria lirik kamu?” Tuh ‘kan kenapa sih Arie selalu pandai menebak jalan pikiran Irena? sebenarnya bukan itu, dia enggak niat kok jadi pelakor antara Rara sama Tria. Tap kalau dia langsing mungkin akan ada cowok yang meliriknya.“Kok ngomongnya gitu,”“Jangan berubah jadi orang lain, jadilah d
Cinta itu buta Buta itu Hejo [1]Hejo itu leho [2]Jadi cinta sama dengan leho kitu?Ya karena orang jatuh cinta mendadak jadi kardus, karena cinta membuat preman pun jadi rasa Hello Kitty. Makan enggak enak, tidur enggak nyenyak, kalau kata orang sunda mah kaedanan.[3] Kayak lagu sunda itu loh Bangbung hidueng, [4]jung nangtung asa rangkibung, leumpang asa ngalayang. Lah tahi ayam pun rasa cokodot, duh amit-amit Gusti.[5] Itu yang sekarang dialami sama cowok ganteng blasteran Arie Lucas. Berjuta-juta bintang di langit hanya satu yang bercahaya, berjuta-juta cewek yang cantik hanya Irena yang dicinta. Ibarat kata nih, enggak peduli lah seberapa kilo berat badannya, yang pasti berat cintanya mengalahkan berat badannya Irena. Sayangnya Irena enggak peka atau dianya yang kurang gercep? Mau ngomong kok rasanya susah banget. Padahal dia o