Share

Chapter 1

Cahaya matahari yang terik pada musim panas membias jendela kaca ruang konseling Dokter Haikal pada pukul setengah satu siang ini. Gorden tropical green menyisih membelah dinding kaca sebelah barat ruangan menjadi dua bagian. Warna itu terkesan menyejukkan di tengah berjalannya musim panas. Dekorasi dalam ruang konseling yang berukuran cukup luas pun mengundang perasaan nyaman bagi orang yang berada di dalamnya. Haikal, yang seorang dokter spesialis kejiwaan—psikiater—sengaja mendekorasi ruang kerjanya menjadi senyaman mungkin untuk pasien yang melakukan konsultasi maupun konseling.

Di seberang meja kerja yang terbuat dari kayu berwarna coklat kilap Haikal duduk terdiam. Komputer di atas mejanya menampilkan warna hitam pada layar setelah beberapa waktu lalu ia menekan tombol shut down.

‘Klinik Psikiatri Dokter Haikal’

Tulisan berwarna biru itu menempel di saku jubah dokter berwarna putih yang membalut tubuh tegap Haikal. Haikal, yang harusnya telah melepas jubah dokter karena waktu telah memasuki jam makan siang, masih duduk di tempatnya untuk mendengar cerita dari salah seorang pasien. Padahal waktu telah memasuki istirahat siang. Haikal harus makan siang sekarang juga karena ada banyak pasien yang mengantre untuk sesi konseling begitu jam istirahat berakhir. Tetapi karena seorang pasien wanita yang keras kepala itu, sepertinya hari ini Haikal harus melupakan makan siangnya.

Seperti sebuah keajaiban karena Haikal tak merasa lapar sedikit pun. Sedangkan sejak pagi pria itu memiliki jadwal penuh mengisi konseling dan hipnoterapi pada pasiennya dan sampai kini belum beristirahat. Aneh. Perutnya terasa kenyang. Entah karena asupan nutrisi yang ia makan saat sarapan pagi tadi telah memenuhi kebutuhan tubuh. Entah karena suplemen yang ia minum sehingga tidak merasa lapar. Atau karena alasan lain, seperti alasan keberadaan seseorang yang membuat perutnya terasa kenyang. Kenyataan bahwa Haikal tak merasa lapar sedikit pun menjadi sebuah misteri untuk ia sendiri.

“Aku tidak begitu tahu pastinya. Hanya sebagian dari mimpiku semalam yang sampai saat ini masih kuingat jelas di otakku.”

Seorang pasien wanita bercerita. Wajahnya tampak berkonsentrasi. Ia mencoba mengingat dengan jelas mimpi—entah itu mimpi indah atau mimpi penuh misteri—yang semalam mendatanginya.

“Ceritakan saja apa yang sampai saat ini masih kau ingat. Seperti tempat seperti apa yang ada di mimpimu. Atau mungkin, kau bisa mendeskripsikan perasaan yang kau rasakan saat berada dalam mimpi itu,” kata Haikal. Ia memberi penjelasan singkat kepada Yasmin—pasien langganannya yang keras kepala sampai meminta waktu konseling di jam istirahat siang.

Yasmin yang duduk berseberangan meja dengan Haikal, memiringkan kepala untuk mengingat-ingat. Bola matanya berputar ke kiri atas untuk mengingat secara mendetail mengenai mimpi yang menurutnya aneh itu.

“Aku berenang di kolam renang yang sangat dalam dan luas sampai terlihat seperti lautan. Sebenarnya aku tidak yakin apa itu benar kolam renang atau sungguh laut. Yang pasti, tempat itu benar-benar luas dan membuatku seperti akan tenggelam. Beberapa orang yang kukenal juga ada di kolam renang... atau lautan... ah, aku tidak yakin.”

“Anggap saja itu kolam renang.” Haikal menyela Yasmin yang kelihatan bingung menyebutkan tempat aneh dalam mimpinya itu. “Biar kamu lebih mudah ceritanya.”

“Oke. Beberapa orang yang kukenal juga ada di kolam renang itu. Tetapi mereka meninggalkanku. Aku ingin renang sama mereka, tapi mereka ninggalin aku. Setelah itu... secara mengejutkan ada laki-laki yang datang.” Yasmin menjeda sejenak ceritanya. Ia bergeming untuk mengingat wajah dari laki-laki yang muncul dalam mimpinya. Tetapi hasilnya mengecewakan. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba untuk mengingat, wajah laki-laki itu telah hilang dari kepala Yasmin.

Haikal mengernyitkan salah satu alis. Ia cukup terkejut mendengar Yasmin memimpikan seorang laki-laki.

“Laki-laki? Oh, maksudmu ... Rezza?” tanya Haikal memastikan.

Seketika Yasmin menggeleng. “Bukan. Dia bukan Mas Rezza. Aku yakin kok.”

Haikal pun mengangguk. “Setelah itu gimana?”

Yasmin kembali diam untuk mengingat-ingat mimpinya.

“Laki-laki itu hampirin aku. Dia ngajak aku renang. Aku naik kei punggungnya, trus kami renang sama-sama. Anehnya, aku beneran bahagia dibawa dia renang. Punggungnya yang lebar itu dingin karena air kolam. Tetapi bawa kehangatan buat aku. Dan anehnya, aku manggil laki-laki itu ...  ‘Suamiku’.”

Suami? Haikal membatinkan satu kata itu selagi menatap Yasmin yang terlihat kebingungan. Samar-samar wanita itu mengingat mimpinya. Namun, mimpi tetaplah menjadi mimpi yang semu. Sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Yasmin mengerti betul bagaimana perasaannya ketika mimpi itu berlangsung. Perasaannya benar-benar bahagia dan tenteram saat bersama laki-laki yang ia sebut suami itu.

“... Aku manggil laki-laki itu suami. Aku juga ngrasain ikatan yang sangat kuat saat mamandang laki-laki dalam mimpiku itu. Kayak... perasaan kami sama-sama terpatri.” Yasmin lanjut bercerita.

Sampai kini. Setelah mimpi itu berlalu setengah hari, Yasmin masih dapat merasakan dengan baik bagaimana perasaannya ketika mimpi itu berputar di alam bawah sadarnya. Seolah bawah sadarnya mengendalikan gadis itu hingga ia melangkah dengan sendirinya menuju klinik Haikal untuk mengetahui lebih dalam tentang mimpinya yang terasa aneh namun terikat.

Sejurus kemudian Yasmin menaikkan pandangan. Ia menatap Haikal yang duduk di seberang meja sambil memegangi pulpen. Laki-laki itu mengernyitkan satu alis ketika merasa Yasmin hendak mengatakan sesuatu.

“Mas, apa artinya mimpiku tadi? Apa itu berhubungan sama kehidupan aku?” Yasmin melontarkan pertanyaan pada Haikal. “Tapi aneh. Kenapa aku mimpi laki-laki lain padahal aku punya pacar? Aku nggak selingkuh kan? Tentu tidak, dong. Toh, laki-laki itu cuman muncul dalam mimpiku. Bagaimana mungkin aku selingkuh dalam mimpi?” Yasmin menggumam-gumam tak jelas pada dirinya sendiri.

Sedikit banyak ia merasa bersalah pada Rezza—kekasihnya—karena telah memimpikan laki-laki lain dan memanggil laki-laki lain tersebut dengan sebutan ‘suami’. Padahal, sudah berjalan tiga tahun sejak Yasmin pacaran dengan laki-laki bernama Rezza yang merupakan seorang atlet. Tetapi ia malah memimpikan laki-laki lain yang dalam mimpi itu menjadi suaminya. Mustahil! Berkali-kali Yasmin meneriakkan kata itu dalam benaknya untuk membangun benteng pertahanan.

“Mimpi hanyah sebatas mimpi, Yasmin.” Tepat ketika Yasmin selesai menggumam Haikal menyahut. Ia menenangkan Yasmin yang sepertinya cemas karena mimpi tersebut. “Nggak usah kamu pikirin. Mungkin kondisi psikologis kamu yang kurang stabil. Apa kau stres belakangan ini? Atau merasa tertekan dan semacamnya?” lanjut Haikal bertanya.

Yasmin terdiam dan menimbang-nimbang. “Memang aku sedikit stres. Akhir-akhir ini kerjaanku banyak banget karena menghendel pekerjaan Mbak Jihan yang lagi cuti. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali tidur nyenyak. Ah, mungkin semalam aku tidur nyenyak. Aku bahkan mimpi kayak itu,” ucap Yasmin yang terdengar seperti keluhan.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status