Share

Chapter 2

Chapter 2

“Kamu masih sering lembur?” sahut Haikal. Ia benar melihat area bawah mata Yasmin yang kehitaman seperti panda karena kurang tidur.

Sambil menggerutu Yasmin menjawab, “Iyalah. Kalo nggak lembur gimana? Aku butuh uang tambahan untuk biaya les adikku, Yoga.”

Tatapan Haikal menyendu dalam sekejap. Napas panjangnya berembus. Ia menatap kalut Yasmin yang bekerja begitu keras untuk keluarganya. Terutama untuk Yoga yang merupakan adik laki-laki Yasmin.

Saat melirik jam dinding, Yasmin menyadari jika waktu yang ia habiskan untuk bercerita dengan Haikal baru dua puluh menit. Jam pukkuk yang ada di dalam ruang konseling menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit. Ia masih memiliki waktu empat puluh menit sebelum jam istirahat klinik ini berakhir.

Sambil menenteng tas selempangnya yang cukup berat Yasmin beranjak bangkit dari duduk. Ia meninggalkan Haikal di meja kerja. Berjalan menuju sofa berwarna coklat karamel yang terlihat nyaman di sudut selatan ruang konseling.

“Aku bakal senang banget deh kalo punya ruang kerja kayak gini. Mas beruntung loh. Mas diriin klinik begitu kembali dari Amerika. Dalam waktu nggak lama klinikmu udah menjadi klinik psikiatri paling terkenal di kota ini.” Yasmin menggumam sambil berjalan melewati dinding kaca ruangan yang menampilkan pemandangan kota Jakarta. Seolah merasa puas memandangi pemandangan kota melalui dinding kaca ruang konseling, Yasmin menolehkan tubuhnya pada Haikal yang mulai beranjak dari duduk. Lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa nyaman yang membuatnya mengantuk.

“Siapa yang peduli? Aku hanya jalanin tugas aku sebagai dokter jiwa.” Haikal menyahut dan ikut mendaratkan tubuhnya ke atas sofa. Ia melihat Yasmin yang tengah mengeluarkan sesuatu dari dalam tas putih yang terbuat dari kanvas.

“Maaf, Mas. Lagi-lagi aku menyita jam makan siangmu, hehe.” Yasmin berkata kepada Haikal yang duduk di atas sofa bersamanya. “Aku berencana datang nanti sore. Tapi mimpi itu terus ganggu aku, mau tidak mau aku cepat-cepat datang ke sini.”

“Nggak apa-apa,” balas Haikal dengan ringan hati. “Datanglah kapan pun kamu mau. Aku seneng tiap kali kamu datang. Klinik selalu sepi di jam makan siang. Semua pegawaiku makan siang bersama di restoran seberang sana. Sedangkan Fernan yang biasanya makan siang bersamaku sekarang selalu menghilang saat masuki jam istirahat.”

Haikal memang sering sendirian ketika jam makan siang seperti ini. Pegawai wanita yang ada di klinik berjumlah empat orang dan selalu makan siang bersama di restoran seberang. Sedangkan laki-laki bernama Fernan yang merupakan teman sekaligus rekan psikiater Haikal di klinik sering kali menghilang seperti hantu ketika memasuki jam istrahat siang. Laki-laki itu pasti lari ke gedung sebelah. Menemui kekasihnya yang bekerja sebagai pengacara di firma hukum sebelah untuk makan siang bersama. Sehingga mau tidak mau Haikal harus menghabiskan makan siangnya yang telah disiapkan oleh pegawai sendirian. Haikal merasa sangat kesepian. Dan ia merasa senang setiap kali Yasmin datang di jam makan siang seperti ini.

Sembari mengeluarkan dua bungkus sandwich dari dalam tasnya, Yasmin tersenyum miring. Ia menyeringai kepada Haikal yang baru saja selesai bicara.

“Karena itu aku bawain makan siang buat Mas. Begini-begini aku masih punya hati nurani, lho. Setidaknya aku bawain makan siang karena udah nyita waktu istirahatmu.”

Yasmin mengulurkan satu bungkus sandwich kepada Haikal yang tersenyum geli mendengarnya. Pria itu menerima sandwich pemberian Yasmin sambil menunjukkan senyumnya yang menawan.

“Makasih,” ucap Haikal sambil terkekeh.

Sambil membuka bungkus sandwich itu Yasmin mencerocos sendirian. “Ah, aku rasa di dunia ini tidak ada junior sebaik aku. Bawain makan siang untuk seniorku yang jomblo. Jadi temannya agar tak kesepian di siang bolong begini. Mana ada junior sepertiku di dunia ini?” Yasmin berbicara seolah-olah senior—Haikal—yang ia bicarakan itu benar-benar memiliki nasip malang. Haikal yang mendengarnya, terkekeh-kekeh dan tak bisa menyangkal. Ucapan Yasmin itu ada benarnya!

Tujuh tahun berlalu sejak kedua junior-senior kampus itu bertemu untuk pertama kalinya di masa-masa kuliah. Saat itu Yasmin masih berumur dua puluh dan menjadi mahasiswa baru dari Fakultas Seni. Sedangkan Haikal adalah senior tingkat akhir yang berasal dari Fakultas Kedokteran.

Pada suatu sore keduanya bertemu di depan auditorium kampus. Yasmin masih terlihat polos sehingga ia begitu penurut. Demi mengikuti sebuah festival di kampus, Yasmin yang merupakan mahasiswa baru dari Fakultas Seni berdiri berjam-jam di depan stan fakultasnya untuk menyebarkan selebaran. Hari itu suasana begitu dingin setelah hujan deras. Tetapi Yasmin yang ingin menunjukkan kesungguhannya mengikuti organisasi fakultas, melawan dinginnya udara dan menyebarkan selebaran sampai sore hari. Para senior yang memiliki banyak kesibukan lain memasrahkan stan dan selebaran kepada Yasmin. Sedangkan junior lainnya sibuk menyebarkan selebaran di beberapa titik lain di kampus dan membantu para senior.

Festival kampus itu diadakan besar-besaran di setiap akhir tahun. Haikal yang merupakan mahasiswa tingkat akhir dari Fakultas Kedokteran, kembali ke stan fakultasnya begitu menyelesaikan beberapa pekerjaan sebagai panitia. Ketika kembali ke stan, untuk pertama kalinya Haikal melihat Yasmin.

Letak stan Fakultas Seni dan Fakultas Kedokteran berhadap-hadapan. Di hari yang sangat dingin ini, Haikal melihat Yasmin yang bibirnya membiru karena kedinginan. Wajah Yasmin dan tangannya yang tak terbalut sarung tangan tampak begitu pucat. Haikal yang melihat itu pun tergerak hatinya. Ia menghampiri Yasmin dan berkata, ‘Festival kampus memang penting. Tapi keselamatanmu jauh lebih penting’. Kemudian ia menyuruh Yasmin untuk beritirahat. Haikal, yang terlahir dengan hatinya yang lembut, meminjami Yasmin sarung tangan dan beberapa hotpack. Setelahnya, Haikal membantu menyebarkan beberapa selebaran yang masih tersisa kepada mahasiswa yang lalu lalang.

Begitulah keduanya saling mengenal. Yasmin bukanlah orang yang tidak tahu terima kasih setelah mendapat perlakuan seperti itu dari Haikal. Ia yang merasa berhutang budi kepada Haikal selalu berkata akan membalas kebaikan laki-laki itu. Lalu pada semester berikutnya, Yasmin dan Haikal di pertemukan di sebuah organisasi sukarelawan luar kampus. Keduanya semakin akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Hingga akhirnya Haikal lulus dan pergi ke Amerika untuk menempuh pendidikan profesi.

Keduanya sempat lost contact ketika empat tahun Haikal berada di Amerika. Lalu bertemu kembali ketika Haikal pulang ke Indonesia begitu ia menjadi dokter spesialis kejiwaan setelah bekerja di sebuah rumah sakit besar di Amerika selama satu tahun setengah. Dua tahun lalu Haikal kembali ke Indonesia. Lalu mendirikan klinik psikiatri di daerah Jakarta yang saat ini ia tempati.

“Seandainya saja Mas punya pacar, pasti akan sempurna. Mas itu ganteng, keren, punya pekerjaan mapan, latar belakang keluarga yang bagus. Hanya satu kekuranganmu, Mas; jomblo.” Yasmin yang telah menelan rotinya kembali berkelakar. Ia mencandai Haikal yang sekarang sedang menjomblo setelah dicampakkan kekasihnya beberapa minggu lalu.

Mendengar Yasmin yang kembali membahas kencan, Haikal menghela napas panjang.

“Hish, kamu bahas itu lagi kan. Aku masih nggak ingin pacaran dengan siapa pun,” kata Haikal.

“Kenapa, Mas?” sahut Yasmin spontan. “Mungkinkah... Mas belum move on dari cewek jaksa itu? Aku cuman heran sih. Kok bisa-bisaya cowok kayak Mas ini ditinggalin? Mas tampan, banyak uang, seorang dokter, dan putra bungsu dari keluarga Hessal Grup. Apa yang kurang darimu? Apa wanita itu tidak waras?”

Yasmin menceletuk panjang lebar tanpa menggubris Haikal yang masih mengunyah sandwich. Haikal memang baru putus dari kekasihnya dua minggu lalu. Dan sepertinya Haikal benar-benar telah melupakan mantan kekasihnya itu.

Melupakan wanita itu tidak begitu sulit untuk Haikal lakukan. Karena sejak awal Haikal tidak pernah mencintai Sania, seorang jaksa muda di Kejaksaan Pusat yang pacaran dengan Haikal selama kurang lebih dua musim. Bisa dikatakan perkencanan itu hanya untuk formalitas, bagi Haikal. Dan Haikal merasa tidak perlu melanjutkan perkencanan itu sehingga memutuskan Sania. Benar. Haikal yang memutuskan wanita itu. Hanya saja Yasmin salah paham ketika mendengar berita itu dari orang lain. Ia mengira jika Haikal yang dicampakkan.

“Sudahlah. Jangan membahas hal itu lagi. Aku hanya ingin menjalani kehidupanku yang seperti ini.” Haikal dengan tegas dan lembut menyela ucapan Yasmin. Padahal pria itu yang ‘dicampakkan’. Tetapi yang terlihat kesal dan marah adalah Yasmin.

Napas panjang berembus dari rongga hidung Yasmin.

“Baiklah. Aku bisa mengerti perasaan Mas.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status