“Tumben sekali Mas datang tanpa hubungi aku lebih dulu?” Yasmin bertanya selagi menoleh pada Haikal yang tengah mengendarai mobil.
Pria itu datang secara mendadak karena ingin mengajak Yasmin pergi ke suatu tempat. Namun tanpa sengaja ia melihat Yasmin bersama Rezza sedang berbicara di samping gedung perusahaan. Haikal mengamati mereka selama beberapa waktu sebelum akhirnya Yasmin datang menghampirinya.
“Ada suatu hal yang ingin kukatakan padamu.” Haikal menjawab sembari menaruh konsentrasi penuh pada jalanan dan mesin kendali mobil. “Kamu belum makan kan? Kita makan dulu. Lalu bicara nanti,” lanjut Haikal berujar. Sekilas ia menoleh pada Yasmin dan menguntai senyum.
“Baiklah.”
Keduanya melesat menuju sebuah restoran untuk makan malam. Yasmin menikmati makan malamnya dengan nikmat sementara Haikal terlihat aneh. Laki-laki itu seperti menyimpan kepedihan kepada Yasmin. Raut wajahnya tampak sendu. Tidak sepert
“Untuk item coupe de diamant, bagaimana jika pencahayaannya berwarna biru? Saya pikir warna biru akan lebih menonjolkan kesan dari berliannya.” Yasmin menyampaikan pendapatnya mengenai tampilan cangkir berlian bernama ‘coupe de diamant’. Cangkir itu merupakan salah satu item unggulan buatan seniman terkenal Perancis yang akan dipamerkan dalam pameran seni musiman yang diselenggarakan oleh Hessal Galeri pada pertengahan musim gugur mendatang.“Ya. Aku menyukainya,” sahut Laras. Untuk pameran seninya pada pertengahan musim gugur nanti, ia bekerja sama dengan Quirech dalam dekorasi ruang dan panggung untuk pameran. “Tapi kalau menggunakan lampu biru, apa tidak terlalu mencolok? Item utama yang akan dipamerkan adalah lukisan dari Rusia. Kalau dibuat seperti itu, takutnya coupe de diamant yang akan lebih menarik pengunjung,” imbuh Laras.Yasmin yang duduk bersebera
Setelah seharian ini bekerja di lapangan untuk penelitiannya. Haikal hendak mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Pria itu baru selesai mandi dan sedang membaringkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang nyaman. Tetapi dering telepon menghentikan niatan Haikal yang ingin tidur setelah mematikan lampu kamar hotel tempatnya menginap.“Yasmin? Kamu belum tidur?”Haikal kembali duduk di atas kasur. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Kaki Haikal lurus menyilang di balik selimut tebal berwarna putih sementara kedua sikunya menumpu di atas bantal tidur yang ia pangku. Di antara kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh lampu tidur kuning temaram, Haikal mengukir senyumnya yang menawan. Ia merasa senang mendengar suara Yasmin yang ia rindukan sejak hari pertama keberangkatannya ke Malaysia. Tidak. Haikal bahkan telah merindukan Yasmin sejak ia tiba di Bandara Kansai, Malaysia.[Mas sudah mau tidur? Kamu pasti sudah lelah seharian bekerja. Ap
Ruang resepsi amat indah nan luas. Cahaya lampu temaram mewah memancar keemasan dari langit-langit ruang yang penuh dekorasi. Ratusan, bahkan ribuan tangkai bunga mawar aneka warna menghiasi setiap sudut ruang tempat dilaksanakannya pernikahan.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang tak menunjukkan kebahagiaan. Senyum bahagia. Senyum haru. Senyuman indah dari setiap orang. Kehangatan terpancar jelas melalui senyuman yang memekar indah bersama ribuan kelopak mawar di penjuru ruang. Menebarkan aroma kebahagiaan. Menebarkan aroma indah yang tak dapat seorang pun deskripsikan.Gaun putih berenda perak membalut tubuh Yasmin yang ramping dengan indah. Entah karena pencahayaan ruang yang pas, atau karena pengaruh glitter yang dibalurkan di seluruh tubuh pengantin wanita. Kulit Yasmin yang seputih susu tampak berkilauan di bawah cahaya keemasan ruangan. Wajahnya yang cantik alami semakin menawan dengan balutan wedding make up. Wanita itu terlihat cantik da
Cahaya matahari yang terik pada musim panas membias jendela kaca ruang konseling Dokter Haikal pada pukul setengah satu siang ini. Gorden tropical green menyisih membelah dinding kaca sebelah barat ruangan menjadi dua bagian. Warna itu terkesan menyejukkan di tengah berjalannya musim panas. Dekorasi dalam ruang konseling yang berukuran cukup luas pun mengundang perasaan nyaman bagi orang yang berada di dalamnya. Haikal, yang seorang dokter spesialis kejiwaan—psikiater—sengaja mendekorasi ruang kerjanya menjadi senyaman mungkin untuk pasien yang melakukan konsultasi maupun konseling.Di seberang meja kerja yang terbuat dari kayu berwarna coklat kilap Haikal duduk terdiam. Komputer di atas mejanya menampilkan warna hitam pada layar setelah beberapa waktu lalu ia menekan tombol shut down.‘Klinik Psikiatri Dokter Haikal’Tulisan berwarna biru itu menempel di saku jubah dokter berwarna putih yang membalut tubuh tegap Haikal.
Chapter 2“Kamu masih sering lembur?” sahut Haikal. Ia benar melihat area bawah mata Yasmin yang kehitaman seperti panda karena kurang tidur.Sambil menggerutu Yasmin menjawab, “Iyalah. Kalo nggak lembur gimana? Aku butuh uang tambahan untuk biaya les adikku, Yoga.”Tatapan Haikal menyendu dalam sekejap. Napas panjangnya berembus. Ia menatap kalut Yasmin yang bekerja begitu keras untuk keluarganya. Terutama untuk Yoga yang merupakan adik laki-laki Yasmin.Saat melirik jam dinding, Yasmin menyadari jika waktu yang ia habiskan untuk bercerita dengan Haikal baru dua puluh menit. Jam pukkuk yang ada di dalam ruang konseling menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit. Ia masih memiliki waktu empat puluh menit sebelum jam istirahat klinik ini berakhir.Sambil menenteng tas selempangnya yang cukup berat Yasmin beranjak bangkit dari duduk. Ia meninggalkan Haikal di meja kerja. Berjalan menuju sofa berwarna
“Yaampun. Aku nggak ngerti kenapa temenku yang sempurna ini jadi bego.”Fernan menggumam pelan di samping Haikal yang berdiri menghadap jendela. Pandangan Haikal terpaku pada sosok wanita yang baru berlari keluar dari ruangannya. Yang sekarang ada di depan klinik untuk menghampiri sang kekasih.Lima menit lalu Yasmin bergegas keluar dari ruang konseling. Ia mendapat telepon dari Rezza yang berkata sekarang sedang berada di depan klinik Haikal. Sepertinya pria itu hendak mengajak kekasihnya untuk makan siang bersama. Yasmin bergegas keluar dan turun menuju Rezza yang menunggu di dalam mobil depan klinik. Tepat setelah Yasmin keluar, Fernan yang baru selesai makan siang masuk ke dalam ruang konseling Haikal. Ia melihat temannya itu yang mengamati Yasmin dari lantai dua gedung klinik berada.“... Sampai kapan kamu mendam perasaanmu itu, Haikal? Kamu pikir Yasmin bakal tahu perasaanmu dengan cara kayak gini?” lanjut Fernan merutuk. L
Chapter 4Yasmin melepas sabuk pengaman yang melintasi bahu dan pinggang. Kemudian menoleh pada Rezza yang baru saja mematikan mesin mobil. Satu pasang manusia itu baru saja menyelesaikan kegiatan makan siang mereka bersama. Dan sekarang saatnya Yasmin untuk kembali bekerja. Rezza yang dua minggu terakhir ini tidak bisa melihat Yasmin karena pergi ke Vietnam untuk kompetisi renang, sedikit merasa berat hati mengakhiri kencan singkat mereka hari ini.“Mulai minggu depan kita bakal sulit ketemu. Aku mau ke Tokyo buat olimpiade musim panas. Selanjutnya aku ada kompetisi di China.”Rezza, laki-laki dua puluh delapan tahun berwajah oval yang memiliki tatapan nakal itu menunjukkan raut wajah yang memelas di hadapan Yasmin. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah dua minggu berpisah karena kesibukan Rezza sebagai atlet renang. Ia yang tidak yakin sebesar apa rasa rindunya kepada Yasmin setelah dua minggu berlalu tanpa bertemu,
Chapter 5Yasmin hanya dapat cengingisan ketika Indah memergokinya datang terlambat setelah jam makan siang selesai. Padahal bukan pertama kali gadis itu terlambat kembali ke perusahaan seselesainya jam istirahat siang. Juga bukan pertama kalinya ia dipergoki oleh Indah Mayasari yang merupakan CEO dari Quirech Design and Decoration tempat Yasmin bekerja.“Bukahnya tadi kamu bilang mau bertemu Dokter Haikal?”Pertanyaan Indah yang terdengar mengintimidasi itu seketika membuat Yasmin menutup mulutnya rapat. Wanita tiga puluh tujuh tahun itu memicingkan kedua matanya menatap Yasmin yang ketahuan terlambat lebih dari lima belas menit.“Aku baru tahu kalau wajah Dokter Haikal sudah ganti jadi Rezza. Kamu habis kencan kan?!” Indah meninggikan nada bicaranya kepada Yasmin. Tetapi nada suaranya yang tinggi seperti itu sama sekali tidak terdengar seram.“Aduh... Bu Indah. Aku kan udah