Share

Dari jendela kelas, ku lihat tawamu.

Bab 2

Jarum jam menunjukkan pukul 8 malam.

Hujan telah usai, angin bertiup semilir sejuk menyapu awan mendung.

Lily duduk sendiri di sebuah kursi taman, di depan rumah Rino.

Melihat indahnya langit malam ini, begitu bersih indah bertabur bintang, meskipun tak berhias bulan.

Merenung jauh, pikiran melayang entah kemana. Yang ada hanyalah bayangan pria gila yang selama ini dia kagumi.

Mengagumi seorang pria karena tampan, bukanlah sifat Lily. Dia tak pernah memandang seseorang berdasarkan penampilan untuk dijadikan teman.

Ia lebih suka mendalami karakter seseorang.

Manusia yang berhasil mematahkan hatinya adalah Didi. Murid pindahan dari Jakarta, kemampuan otaknya di atas rata-rata, meskipun penampilan berandalan. Pandai memahami pelajaran dan cerdas berbahasa asing.

Mungkin karena penampilannya yang arogan, ayah Lily tak menyukai Didi berkunjung ke rumahnya.

Hingga suatu sore setelah kejadian itu, Lily mendapatkan sebuah pesan berisi pengakuan.

Ya, pengakuan. Dari seorang wanita yang katanya bernama Vrita.

Pengakuan yang membuat Lily tak habis pikir, kenapa Didi begitu mudah mempermainkan hatinya. Padahal selama ini Lily tak pernah jatuh cinta. Didi adalah orang pertama yang dia temukan.

Telah banyak Didi membantu Lily dalam pelajaran dan ujian.

Kini tahun terakhir sekolah yang berat.

"Tuhaann.. begini ya rasanya patah hati?"

Gumam Lily, sembari menengadah menghadap langit yang indah.

Tak disangka, Rino ternyata memperhatikan dari kejauhan.

Merasa iba, kemudian ia menghampiri Lily.

"Udah jangan sedih, sini nyanyi sama aku aja"

Rino membuka percakapan, sambil menunjukkan gitar di tangannya.

"Eh, kamu... Kok gak hang out bareng kawanmu? Bukankah sekarang malam minggu ya.."

Lily membalas senyuman Rino.

"Iya nih, malam ini di suruh di rumah aja. Reni lagi ada yang ngapelin. Ayah sama ibu lagi ke rumah Nenek. Jadi aku jaga rumah, takut Reni kelewatan sama pacarnya" jawab Rino.

"Oh,, iya.. yaudah duduk sini. Gimana kalau aku bikin susu hangat sebentar ke dapur? Tadi Ibumu bilang boleh bikin teh atau susu atau kopi. Bebas katanya". Usul Lily.

"Boleh, yuk aku temenin." Ajak Rino.

***

Malam itu mereka habiskan berdua di bangku taman sembari bernyanyi entah lagu apapun. Asalkan hati Lily bahagia.

Sudah tak ada lagi yang harus dipikirkan.

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal yang tak seharusnya.

Ujian Akhir Sekolah sudah di depan mata.

Ia harus bersiap menghadapi, ini akan jadi penentu hidupnya ke depan.

Harus ke mana ia melangkah, harus seperti apa jalan yang akan ia lalui.

Tuhan memang tau apa yang terbaik bagi umatnya.

***

Sementara itu, Rino selalu memperhatikan Lily ketika jam istirahat tiba.

Hanya mengintip lewat jendela kelas, memandang keluar, memastikan Lily baik-baik saja.

Apalah daya, Rino hanya adik tingkat yang tabu untuk melakukan pendekatan pada kakak tingkat.

Apalagi Lily adalah perempuan yang suka bergaul bareng teman cowok. Penampilannya pun hampir seperti cowok.

Tapi tak disangka, Lily mempunyai hati yang begitu lembut ketika mengenal apa itu Cinta.

Logat bicaranya judes dan ceplas ceplos. Terkesan arogan. Ia tak akan berbasa-basi pada siapapun. Tak suka, ya dia bilang tak suka. Bagus ya bilang bagus, buruk ya dibilang buruk. Sungguh ini cewek aneh dan langka.

Rino tak kuasa ketika melihat Lily tertawa lepas bersama teman-temannya. Seperti tak ada beban di hatinya sama sekali.

Padahal minggu lalu, ia menangis sesenggukan meratapi nasibnya yang gagal total menjalin cinta.

Dihianati setelah 2 bulan berpacaran.

"Dasar cewek aneh, seandainya dia bisa lihat mukanya seperti apa waktu nangis kemarin.. harusnya kemarin aku rekam pakai HP. Hahaha.."

Rino bicara pelan, sembari menatap Lily dari kejauhan.

***

Bell nyaring berbunyi, pertanda jam sekolah telah usai.

Semua murid berhamburan keluar dari kelasnya.

Rino berjalan santai menuju gerbang sekolah.

Tidak ada rencana apapun hari ini. Keinginannya hanya segera sampai di rumah dan menyantap makan siang buatan ibunya, yang sangat lezat di lidah Rino.

Tiba-tiba Lily menghampiri dari belakang, menuntun sepeda berwarna biru muda, dengan keranjang putih di depannya. 

"Lho, Rino.. kamu jalan kaki? Biasanya kamu pulang sama Aji, kan?" Sapa Lily.

"Eh, Lily.. iya nih. Aji lagi ada perlu nganterin pacarnya lomba desain batik" jawab Rino.

"Yaudah ayoo kita bareng aja. Tapi sepeda doank nih, ayahku gak kasih aku naik motor ke sekolah" ajak Lily.

"Tumben nih cewek jadi-jadian baik banget. Biasanya dia galak sama orang lain, lagi kumat apa gimana yak.." Rino bergumam, dan bingung.

"Eh, kutu air.. mikirin apa? Mau gak pulang bareng? Kalau gak, yaudah..bye..."  Lily berlalu begitu saja, mengayuh sepedanya.

"Tungguuuuuuuu.... Ikuuttttt..." Rino berlari menyusul.

Siang begitu panas, matahari seperti berada tepat di atas kepala.

Namun angin berhembus semilir khas pegunungan.

Ya, tempat tinggal mereka adalah daerah perbukitan. Jauh dari kota, dan minim polusi.

Masih sejuk saat pagi datang, dihiasi hamparan hijau sawah penuh embun di dedaunan padi.

Ketika siang datang, panas terik seperti ini, sungguh membuat siapapun membayangkan betapa nikmatnya es kelapa hijau.

" Kamu cowok bukan sih?" Tiba-tiba Lily menanyakan hal aneh kepada Rino.

"Hah.. apa maksudnya? Ya cowok lah. Emang kamu" jawab Rino sekenanya.

"Aku kenapa? Kayak laki?" Bentak Lily.

"Eh, salah ngomong ya? Emang kenapa gitu, nanya cowok apa bukan? Apa gak keliatan ini segede gini?" Timpal Rino lagi.

"Ya kalau kamu cowok, harusnya kamu yang boncengin aku. Bukan kebalik begini, adek maniisss" jawab Lily jengkel.

"Ya kamu, kenapa gak bilang dari tadi. Kan aku gak tau. Soalnya badan kamu kekar, kirain kuat gitu boncengin aku sampai rumah"  Rino menyangkal sambil tertawa..

***

"Aaaahhh... Seger banget nih kelapa..sllluurrrrppppppp" suara Lily tiba-tiba mengagetkan Rino.

Dasar cewek aneh, kenapa gak seperti cewek pada umumnya yang manis, sopan ketika makan atau minum. Setidaknya cewek lain, tidak mengeluarkan suara ketika sedang minum menggunakan sedotan.

"Udah yuk, pulang. Aku yang bayarin nih, sebagai tanda terimakasih karena udah dikasih tumpangan pulang" 

Rino berdiri sembari merogoh saku celana, kemudian menyodorkan uang sepuluh ribuan kepada penjual es kelapa

Lily berdiri bersiap membonceng di belakang Rino.

Cowok manis berkulit putih, berbadan langsing namun tinggi. Rambut cepak rapi, menambah kegantengan cowok kecil ini.

Baju seragamnya selalu disetrika rapi. Saking rapinya, mungkin lalat tak bisa hinggap di bajunya.

Jam tangan hitam selalu dikenakan di pergelangan tangan kirinya.

Penampilannya sederhana, namun nyentrik.

Sungguh akan membuat siapapun terkesima ketika memandangnya.

Benar-benar cowok idaman banyak ciwi-ciwi di sekolahnya.

Selalu harum dalam setiap kesempatan, selalu tersenyum ketika bertemu siapapun.

Pandai membuat lawan bicara tertawa. Memang bawaan bayi, bahwa kesan humoris melekat pada dirinya.

Sayangnya, Rino bukanlah tipe cowok yang mudah jatuh cinta.

Ia akan menemukan cintanya ketika hati kecilnya bilang "yes, ini yang ku butuhkan".

Dengan penampilan seperti itu, sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan gandengan, walaupun usianya baru 16 tahun.

Tapi apalah usia, toh teman sebayanya pun banyak yang berpacaran.

Ah, entahlah. Rino memang berbeda dari teman-temannya.

Cowok kecil ini sungguh berkharisma.

Terlahir dari ayah dan ibu sederhana, mungkin itu yang membuatnya rendah diri pula.

Tutur kata yang lembut, senyum yang selalu merekah di bibirnya.

Betapa beruntungnya wanita yang kelak menjadi pasangannya.

Ah, sudahlah. Tak akan usai jika terus membahas Rino. Cowok yang hampir sempurna. 

Sementara Lily, berbanding terbalik 180° dengan Rino. Cewek ini benar-benar diluar dugaan. Padahal jika diperhatikan, sebenarnya Lily manis meskipun tone kulitnya yang gelap. Gigi gingsulnya adalah sebagian kecil tanda bahwa ia manis. Sayang sekali kelakuannya sering biking orang lain heran menggelengkan kepala.

Pernah suatu hari Lily pergi dari rumah beberapa hari. Usut punya usut, Lily mengikuti lomba balap motor di kota.

Itulah alasan Ayahnya tak lagi memberi ijin pada Lily untuk menggunakan motor ke sekolah. Selain khawatir keselamatan anak perempuannya, juga untuk memberi pelajaran pada Lily, bahwa tidak semua keinginannya bisa terpenuhi.

Lily adalah anak perempuan bungsu. Dua kakaknya sudah menikah dan tinggal bersama pasangannya. Jadi ketika tau anaknya rada meleng, Ayahnya khawatir berlebihan.

Pasalnya, ketika lomba balap digelar, Lily tak mendapatkan ijin dari ayahnya untuk mengikutinya. Keluarganya tak pernah mendukung apa yang jadi hobi Lily.

Ya dipikir memang aneh. Anak perempuan, kok hobi motor.

Walaupun jaman sekarang ini gender tak lagi berpengaruh. Yang dibutuhkan dunia adalah keberanian. Laki atau perempuan, akan sama di mata dunia luar. Sudah tak ada lagi yang namanya perempuan harus selalu terkurung dalam lingkaran ketidakberdayaan. Bukan lagi jaman dulu, wanita harus memendam dalam-dalam sebuah cita-cita, hanya karena mereka PEREMPUAN.

Lily, begitu kuat.

Meskipun larangan dari kedua orang tua untuk tak lagi menunggangi motor kesayangannya, ia tetap patu pada kedua orang tuanya. Tetap sayang dan tak pernah membantah. Apapun perintah ayahnya, selalu ia lakoni sebisa mungkin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status