Share

Debaran kekhawatiran.

Bab 3

Lily membenamkan tubuhnya dalam dekapan selimut tebal.

Bulan desember kali ini, hujan sering mengguyur tempat ia tinggal. Hawa semakin dingin ketika malam datang.

Matanya terpejam, banyak sekali pertanyaan dalam benaknya. Apa yang harus dilakukan ketika lulus nanti, langkah apa yang bisa diambil untuk memperbaiki nasibnya, terutama ekonomi keluarga.

Lily selalu teringat moments ketika ia berada di arena. Mengulir gas motor dan melesat cepat. Tak butuh waktu dan jarak yang jauh. Cukup 201 meter, kemudian ia akan mendapatkan uang. Meskipun tak seberapa, tapi cukup untuk ia tabung guna bekal kuliah nanti.

Dalam benaknya selalu memikirkan pendidikan selanjutnya.

Namun kemungkinan besar, orangtuanya tak lagi punya banyak uang untuk membiayainya.

'ahh.. entahlah, harus apa aku ini. Masa iya begini terus, gak ada kemajuan?'

Ia bertanya dalam hati.

Hanya itu yang ia bisa. Selama ini banyak sekali keinginannya yang harus tertunda, atau bahkan sama sekali tak akan pernah terwujud.

Sejak ayahnya bangkrut, kehidupan keluarganya hancur secara ekonomi.

Ayahnya dulu adalah pedagang kain grosiran. Cukup tersohor, karena mempunyai 2 cabang toko di kota besar.

Kemudian krisis melanda negri ini, ditambah sekarang banyak sekali pabrik garmen dan toko yang menyediakan beragam model baju dengan harga murah.

Keuangan semakin carut marut ketika kakak Lily mengalami kecelakaan, hingga mengharuskannya terbaring berbulan-bulan di rumah sakit.

Semua itu butuh biaya.

Terakhir, toko ayahnya dijual dan kemudian beralih usaha sembako. Penghasilannya hanya cukup untuk hidup sehari-hari.

Lily, tak mungkin lagi merengek pada ayahnya soal kuliah. Sepertinya ia memang harus memendam keinginannya satu ini.

'Aku mau kerja apa ya..?'

Tanyanya lagi dalam hati.

Semua kenangan manis saat kecil, berputar-putar dalam pikirannya. Sungguh saat itu adalah saat terindah dalam hidupnya selama ini. Lily menyadari bahwa menjadi dewasa sangat tidak menyenangkan. Banyak sekali yang harus dipahami. Banyak sekali yang harus dilakukan, dan banyak sekali tanggung jawabnya.

***

"Rino... Bareng gak? Sapa Lily dari kejauhan.

Rino kemudian berlari menghampiri Lily yang menunggu di sebrang jalan.

Memang sejak saat Lily mengenal Rino, mereka berdua sering berangkat sekolah bareng. Apalagi Rino ini anaknya ramah dan murah senyum.

Sudah banyak sekali Lily menceritakan tentang kehidupannya pada Rino.

"Kok tumben pagi banget, kamu belum ngerjain PR ya?" Tanya Rino.

Memang hari ini Lily berangkat pagi sekali, karena akan ada ujian praktek. Sebentar lagi Lily akan menempuh UAN, sebagai penentu lulus atau tidaknya ia.

"Hari ini aku ada ujian praktek, doain ya semoga lancar!" Jawab Lily.

"Iya, semoga lancar. Biar nanti lulus dapat nilai bagus." Jawab Rino, sambil terengah mengayuh sepeda.

Dua anak manusia yang dipertemukan dalam ikatan pertemanan.

Mereka berdua terlihat akrab meski dalam kesederhanaan.

Rino yang merupakan anak seorang Angkatan Darat, tak pernah menunjukkan kesombongannya. Benar-benar cowok idaman.

Banyak pula teman sebayanya yang naksir. Namun sepertinya Rino tak tertarik untuk itu.

***

Waktu berlalu begitu cepat, bulan Mei adalah bulan penentu, ujian akan dilaksanakan sebentar lagi. Tinggal menghitung hari, Lily akan berjuang sekuatnya untuk mendapatkan nilai sebagus mungkin, sebisa yang ia mampu

Pikiran semakin bergejolak, antara diam atau pergi dari tempat ini.

Jika diam di sini, hidupnya akan begini saja. Tak akan pernah berubah dan tak akan pernah maju.

Pikiran untuk merantau, selalu menghantuinya saat malam-malam menjelang tidur.

Ketakutannya akan masa depan terus saja mendatanginya kapanpun dan di manapun.

Harus berbuat apa pada diri sendiri, bingung.

Sementara itu, Rino justru sibuk dengan perasaannya. Perasaan takut kehilangan, takut ditinggalkan.

Perasaan yang ia sendiri tak tahu apa ini. Kenapa begini, harus ngapain, dan bagaimana bisa.

Ada getar dalam jiwanya saat tak sengaja mencium harum parfum Lily.

Ada perasaan tenang di hatinya.

Perasaan yang belum pernah ia dapatkan selama ini.

Lebih seperti kehangatan yang mendekapnya di tengah cuaca dingin malam hari.

Ia tak menyadari, begitu banyak hari mereka lalui bersama. Terkadang dari pagi hingga sore, bahkan pernah beberapa kali ia lalui bersama seharian penuh, dari pagi hingga pagi lagi. Yaitu ketika mereka mengikuti kemah yang diadakan oleh OSIS sekolah.

'Aku kenapa ya,.." gumam Rino.

Sepertinya anak muda satu ini sedang merasakan benih kasih sayang yang tak sengaja tumbuh dalam hatinya, dan tak sengaja pula ada yang menyirami setiap hari. Hingga akhirnya muncullah tunah-tunas harapan. Harapan agar Lily selalu bersamanya suatu saat nanti.

Rino memejamkan mata, tak terasa pagi telah menjelang. Seperti biasanya, ia bersiap ke sekolah dan sengaja menunggu Lily di persimpangan jalan. Berharap Lily datang lebih pagi.

Namun, jam sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi.

Kenapa Lily tak kunjung terlihat? Apa dia tidak sekolah? Apakah Lily sakit?

Beragam pertanyaan berjubel di hatinya.

Siang ketika jam istirahat pun, Rino tak melihat Lily pergi ke kantin seperti biasanya.

Kemudian Rino mengumpulkan keberanian untuk pergi ke kelas Lily.

Tak mendapati Lily di tempat duduknya. Bahkan tak terlihat tasnya ada di kursi tempat biasa Lily duduk.

Kemudian Rino menghampiri seorang teman Lily dan bertanya.

"Mas, Lily ke mana ya? Tanya Rino pada seseorang.

"Ohhh, Lily hari ini gak masuk. Gak tau ya kenapa, soalnya gak ada keterangan. Coba aja ditelpon, barangkali nyaut!" Jawab Sigit, teman Lily.

"Begitu ya Mas? Yasudah, saya permisi ya." 

Rino sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat terhadap kakak kelas.

Rupanya, Rino sangat khawatir terhadap keadaan Lily.

Beberapa hari yang lalu, ia sempat mendengar curhatan Lily tentang motor. Lily berniat turun arena lagi, demi mendapatkan uang. Besar harapan Lily bahwa ia akan meneruskan pendidikannya ke jenjang kuliah.

Sepulang sekolah, tanpa menyantap makan siangnya, Rino segera bergegas mengendarai motornya, menuju ke arah rumah Lily.

"Permisi.. assallamuallaikum.." Rino bersalam pada tuan rumah.

Keluarlah seseorang. Perempuan paruh baya dengan pakaian daster seadanya. Ya, itu ibunya Lily.

"Waalaikumsallam.. Rino, ada apa? Lily belum pulang. Mungkin ada kerja kelompok sama temannya. Kan mau ujian minggu depan."  Ibunya Lily menjawab tanpa harus Rino bertanya ke mana Lily pergi.

"Oh, rupanya begitu ya Tante,.. kalau begitu saya permisi ya, nanti biar saya telepon Lily saja." Rino permisi pergi, tak lupa ia menyalami tangan Ibunya Lily, sambil mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

Rino berlalu mengendarai motornya, bayangannya hilang di ujung gang.

***

Tuuuutttt..... Tuuutttt.... Tuuuttttt...

Rino berusaha menghubungi Lily, tapi tak ada jawaban.

Sedari siang Rino mencoba menghubungi, dan Nihil.

Tak ada jawaban, tak tau Lily di mana.

Tanpa pikir panjang, Rino melajukan motornya dengan hati yang terlalu khawatir.

Ya, tentu saja ia khawatir jika terjadi apa-apa dengan Lily.

Khawatir Lily kembali ke arena balap.

Sejam kemudian, Rino sampai di arena.

Kosong.

Tak ada apapun di sana. Hanya sisa debu beterbangan, serta banyak bendera sponsor yang masih terpasang.

"Gak salah lagi. Ini anak pasti habis turun" gumam Rino.

Tapi, Rino tak tau lagi harus mencari Lily ke mana 

Mungkin saat ini Lily sedang merayakan kemenangannya bersama team nya. Atau malah ia sedang terbaring di ranjang Rumah sakit karena patah tulang kaki akibat kecelakaan?

Berbagai macam pertanyaan buruk timbul begitu saja dalam benaknya.

Pukul 6 sore.

Rino masih berdiri di depan toko serba ada, yang tak jauh dari gang menuju rumah Lily.

Ia tahu, Lily akan pulang melewati jalan ini. Karena memang inilah satu-satunya jalan menuju rumahnya.

Benar saja.

Terlihat dari kejauhan, Lily mengayuh sepeda dan masih menggunakan seragam sekolah.

Rino sigap mencegat Lily.

"Pulang, sekarang! Aku tungguin di sini. Aku pengen ajak kamu pergi." pinta Rino pada gadis itu.

Dan Lily hanya membalas dengan senyuman.

Berlalu begitu saja. Lily sudah tau apa yang akan dilakukan Rino.

Paling-paling ia akan menginterogasi Lily tentang hari ini 

Tak butuh waktu lama lagi, setelah Lily menemui Rino di depan toko. Rino memboncengkan Lily, dengan motor bututnya.

Tibalah mereka berdua di sebuah bukit.

Hari sudah malam, dan bintang bertaburan indah di langit.

"Aku gak suka kamu jalani hobi kamu itu!" Tiba-tiba Rino berkata tegas pada Lily.

Tak disangka, Rino yang selama ini lembut, tiba-tiba sangat tegas.

Tak ada sorot mata imutnya. Malam ini ia berubah.

"Kenapa emang? Kamu gak suka? Ya gak masalah buat aku. Ini diriku, kamu bukan siapa-siapaku. Gak ada yang bisa mencegah aku untuk ini itu. Lebih baik kamu pikirin diri kamu sendiri!" Jawab Lily.

Rino terperangah. Ia lupa bahwa cewek satu ini adalah cewek jadi-jadian. Tak ada sama sekali tutur lembut. Menjadi sangat jengkel, Rino berucap keras,

"kamu gak tau gimana aku nyariin kamu seharian kesana kemari? Kamu gak tau gimana aku khawatir keadaan kamu? Kamu gak tau kalau aku takut kamu kenapa-kenapa? Kemungkinan kamu patah kaki atau tangan, terus kamu sakit berbulan-bulan di rumah sakit seperti kakak kamu dulu, terus ayah kamu akan semakin repot dengan keadaan kamu. Apa kamu gak mikirin semua itu?"

Lily mengeryitkan alisnya. Ia tak pernah menyangka, sejauh itu sahabatnya memikirkan dirinya. Sebegitu pengertiannya Rino pada dirinya.

Lily hanya terdiam. Masih memandang Rino yang marah.

Kemudian Rino menatapnya.

"Kamu juga gak tau perasaan aku ke kamu kan?"

Lily kembali tersentak. Ia kaget dengan ucapan Rino.

"Perasaan apa memangnya?" Tanya Lily.

Rino diam. Ia sadar sudah terlalu jauh ia berkata, tak seharusnya ia mengungkapkan perasaannya di saat seperti ini. Sebaiknya ia pendam saja. Nanti pasti akan ia ungkapkan. Tapi bukan saat ini.

Bulir bening perlahan menetes dari sudut mata Lily. Selama ini Rino belum pernah melihat Lily menangis. Malam ini, justru ia yang membuatnya menangis.

'Oh Tuhan, ...'

"Udah, jangan nangis. Aku minta maaf, gak seharusnya aku bentak kamu. Maaf aku kasar, maafin aku ya. Aku gak berniat bikin kamu sedih, aku tau tujuan kamu baik. Tapi cobalah pikir ulang, kasian orang-orang yang menyayangimu."

Rino mencoba menenangkan Lily. Menarik tubuh Lily ke dalam dekapannya. Mengelus lembut rambut Lily.

"Sudah, tolong diam. Jangan menangis lagi. Maafkan aku. Maafkan kebodohanku" ucap Rino lagi.

Rino lupa, bahwa Lily adalah perempuan. Meskipun penampilannya terkesan sangar, namun hatinya tetap saja hati seorang perempuan.

Malam ini dingin angin meniupkan bisik-bisik doa, memohon pengampunan. Hati kecil Rino tau, bahwa sebenarnya Lily tak berniat membuat sahabatnya khawatir. Terlebih ayah dan ibunya.

Semua ini rahasia.

Tuhan menciptakan berbagai macam hati, dan bermacam pula cerita kehidupan.

Dan setiap manusia berhak menggunakan hatinya, untuk melengkapi cerita kehidupannya.

Bukankah mencintai dan mengasihi adalah anugerah Tuhan?

Dan rasa khawatir adalah sebagian dari rasa Cinta?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status