Bab 15
"Rino, ya?"
Suara seseorang di balik kemudi mengagetkan Rino."Iya, Om." Jawab Rino, polos.
"Ayo masuk. Saya Edi, adiknya mas Gatot."
Ajak orang itu, justru malah sambil membuka pintu mobilnya dan keluar.Kemudian berjalan ke arah belakang, rupanya dia berniat membuka pintu bagasi.Rino membawa barang-barangnya ke bagasi mobil, kemudian Ia masuk mobil dan duduk di samping Pak Edi.
Mobil merah tersebut langsung tancap gas menuju ke sebuah rumah di komplek perumahan.Setelah memarkirkan mobilnya, Pak Edi turun. Begitupun Rino.
Rino berdecak kagum melihat rumah yang bergaya minimalis itu. Meskipun tidak terlalu besar, namun rumah ini sangat rapi dan asri.Temboknya bercat putih keseluruhan, dengan pintu cokelat bergaya minimalis modern.Banyak tanaman bunga di halaman, mulai dari bunga mawar hingga tanaman menjalar.Di sisi lain, ada sebuah kolam kecil, dengan banyak ikan Koi di dalamnya. Ada pula
Bab 16 "Telah terukir walau setitik, senyumanmu di hatiku. Meski nanti akan pergi, setidaknya aku pernah menemuimu. Ada rasa dalam jiwa ini, untukmu yang selalu di sampingku. Walau nanti takdir berganti, setidaknya masih tersisa hangat pelukmu. Haruskah beban ini ku pikul sendiri, jika berat Rindu ini semakin menjadi setiap hari?" Lily memandangi fotonya bersama Rino, yang sempat mereka abadikan ketika saat itu mereka berdua berada di pantai. Sejujurnya, hati kecil Lily menginginkan hubungan ini lebih dari pertemanan. Namun pikirannya selalu menolak, Ia sadar semua itu hanya akan membawanya dalam lingkaran sakit hati yang tak ujung henti. Keluarga Rino tau siapa dirinya, gadis desa yang kurang pendidikan. Berasal dari keluarga biasa. Parasnya pun pas-pasan. Tidak ada yang istimewa, yang bisa dibanggakan Rino atas dirinya. Apalagi usianya yang lebih tua dari Rino. Ini adalah hal yang memalukan, mana mungkin Rino
Bab 17"Bagaimana aku bisa tertidur di sini?"Lily berusaha bangkit, namun tak bisa. Nyeri di punggungnya masih terasa, bahkan semakin menjadi. Rasanya seperti sedang menggendong beban berat, melebihi berat badannya sendiri.Di samping tempat tidurnya, duduk lelaki yang baru beberapa hari yang lalu menabraknya.Masih terpejam matanya. Tubuh menyender di tembok belakangnya.'Tok. Tok. Tokk..'Suara pintu diketuk dari luar.Erik segera terbangun karena kaget.Ia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu.Ternyata, Dokter yang akan memeriksa Lily, datang bersama suster."Selamat pagi Lily. Apa kabar? Gimana punggungnya, apa yang dirasakan?"Dokter bertanya sembari akan memeriksa keadaan Lily.Sementara, suster meletakkan makanan dan minuman, serta beberapa obat yang harus diminum pagi ini."Saya merasa punggung saya seperti sedang menggendong beban berat, Dok."Jawab Lily."Lily, sebelumnya
Bab 18"Sudah ku cukupkan rasa ini sampai di sini. Seharusnya aku tau, kamu bukan tujuan utamaku.Seharusnya aku tau dari dulu, bahwa aku bukan apa dan siapa di hatimu dan pikiranmu. Maafkan aku yang terlalu berharap, aku sudahi perasaan ini. Tidak ada lagi yang harus kau pikirkan tentang aku. Biar saja semua berlalu begitu saja. Menguap seperti air di lautan, walau aku tahu akan tiba saatnya semua akan kembali tercurah bagaikan hujan.Sudah.Aku harus pergi dari hidupmu. Terimakasih, Lily."Sebuah pesan di ponselnya, membuat Lily terhenyak.Seketika Ia berderai air mata. Semua ini salah paham. Tidak seperti yang Rino lihat, sebenarnya Lily dan Erik hanya sebatas teman. Erik melakukan semua kebaikan itu, karena tanggung jawab telah membuat Lily harus dirawat."Rino, aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan perasaanku sendiri sungguh aneh. Aku takut menyakitimu, tapi ini telah terjadi. Bahkan sebelum kita terikat."Lily masih melamun
Sebuah kisah dua anak manusia, dalam kesederhanaan penuh makna.Bahwasanya Cinta ada untuk mencerahkan hidup, dan bukan sebaliknya. *** Lily, gadis remaja berperawakan mungil, dengan tone kulit sawo matang hampir busuk. Rambut cepak muka kucel, namun selalu wangi.Sedang mengenyam pendidikan di sebuah sekolah Negri tingkat SMA.Mempunyai banyak imajinasi, lebih tepatnya halu berkelanjutan. Tahun ini adalah tahun terakhir ia duduk di bangku sekolah ini.Sekolah ini akan menjadi saksi bisu, di mana ia dan kawan-kawannya pasti akan lulus dengan nilai yang memuaskan. Setiap jam istirahat, Lily manusia yang paling pertama lari ke kantin.Bukan karena lapar, tapi untuk mendapatkan udara segar di lingkup sekolah ini, kantin adalah satu satunya tempat yang bisa ia ibaratkan surga.Bagaimana tidak? Banyak makanan, banyak minuman, tempatnya adem. Kantin ini berada di belakang bangunan sekolahku. Bersebelahan dengan mushola, dan gedung
Bab 2 Jarum jam menunjukkan pukul 8 malam.Hujan telah usai, angin bertiup semilir sejuk menyapu awan mendung.Lily duduk sendiri di sebuah kursi taman, di depan rumah Rino.Melihat indahnya langit malam ini, begitu bersih indah bertabur bintang, meskipun tak berhias bulan.Merenung jauh, pikiran melayang entah kemana. Yang ada hanyalah bayangan pria gila yang selama ini dia kagumi. Mengagumi seorang pria karena tampan, bukanlah sifat Lily. Dia tak pernah memandang seseorang berdasarkan penampilan untuk dijadikan teman.Ia lebih suka mendalami karakter seseorang. Manusia yang berhasil mematahkan hatinya adalah Didi. Murid pindahan dari Jakarta, kemampuan otaknya di atas rata-rata, meskipun penampilan berandalan. Pandai memahami pelajaran dan cerdas berbahasa asing. Mungkin karena penampilannya yang arogan, ayah Lily tak menyukai Didi berkunjung ke rumahnya.Hingga suatu sore setelah kejadian itu, Lily mendapatkan sebuah pesan berisi
Bab 3 Lily membenamkan tubuhnya dalam dekapan selimut tebal.Bulan desember kali ini, hujan sering mengguyur tempat ia tinggal. Hawa semakin dingin ketika malam datang.Matanya terpejam, banyak sekali pertanyaan dalam benaknya. Apa yang harus dilakukan ketika lulus nanti, langkah apa yang bisa diambil untuk memperbaiki nasibnya, terutama ekonomi keluarga.Lily selalu teringat moments ketika ia berada di arena. Mengulir gas motor dan melesat cepat. Tak butuh waktu dan jarak yang jauh. Cukup 201 meter, kemudian ia akan mendapatkan uang. Meskipun tak seberapa, tapi cukup untuk ia tabung guna bekal kuliah nanti. Dalam benaknya selalu memikirkan pendidikan selanjutnya.Namun kemungkinan besar, orangtuanya tak lagi punya banyak uang untuk membiayainya. 'ahh.. entahlah, harus apa aku ini. Masa iya begini terus, gak ada kemajuan?'Ia bertanya dalam hati. Hanya itu yang ia bisa. Selama ini banyak sekali keinginannya yang harus tertunda, atau bah
Bab 4Lily bangun lebih pagi. Membersihkan diri dan bersiap pergi ke sekolah. Hari ini adalah pengumuman Kelulusannya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Melebihi apa yang biasa Lily rasakan di arena.Hari ini, akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupnya. Masa putih abu-abu akan segera ditinggalkan. Akan berganti menjadi lebih dewasa. Semoga saja uang tabungannya cukup untuk mendaftar ke Universitas idamannya."Ibu, Lily berangkat dulu ya!" Pamitnya pada sang ibunda, sambil mencium punggung tangan Ibu."Yasudah, hati-hati. Nanti Ayah nyusul. Undangan katanya jam 9 ya?" Jawab ibunya."Iya Bu. Tapi Lily mau ngumpul dulu sama teman-teman. Siapa tau ini terakhir kami ngumpul. Soalnya udah lulus kan biasanya susah ngumpul lagi." Kata Lily."Iya, gak apa. Hati-hati di jalan ya!" Pesan ibu.Di sekolah, Lily terduduk diam di kelas. Memandangi setiap sudut ruangan. Ini yang akan ia rindukan setelah kelulusan. Suasana kela
Bab 5Pagi telah datang.Mentari bersinar terang, langit begitu indah. Biru tak berawan. Seolah Tuhan menciptakan hari ini sangat sempurna untuk mengiringi kepergian Lily.Barang yang sudah dikemas rapi, kini sudah siap di depan pintu.Telah siap pula Lily dengan pakaian rapi, berjaket jeans, sepatu putih.Penampilan Lily kali ini berbeda dari biasanya, yang sering mengenakan celana rombeng.Kali ini Lily begitu rapi.Dengan rambut ditali, dan sedikit pewarna bibir, ide pemaksaan dari Ibu."Anak ayah sudah besar. Sekarang sudah mau cari duit sendiri. Hehe.." kata sang ayah.Kemudian Ibu menimpali, "Iya ya, kayak baru kemarin Ibu nganterin Lily ke sekolah pakai seragam TK. Kok sekarang sudah mau merantau. Hhmmm... Ibu bakalan kesepian Nak. Semoga kerasan ya, jangan nakal di sana. Kasian Pakdemu nanti."Lily tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa suasana sedih ini."Ah, Ibuk.. bentar lagi juga Lily pulang kok. Kan pasti L