Share

Surat dari Lily.

Bab 6

Semua terasa begitu sepi. Sejak kepergian Lily, hidup Rino seperti kosong, tak ada lagi tempat berbagi cerita, tak ada teman untuk sekedar melewati jalan yang sama setiap pagi, atau menikmati es kelapa muda pinggir jalan seperti saat itu.

Apalagi sekarang Rino telah naik kelas, sudah berbeda nuansa ruangan. Tak seperti dulu lagi ketika jam istirahat Rino masih bisa melihat Lily berlari ke kantin sekolah, walau kadang menyakitkan hati. Bagaimana tidak, Lily selalu terlihat akrab dengan siapapun. Bahkan dengan semua siswa laki-laki di sekolah ini, Lily sangat akrab.

Pembawaan Lily yang santai dan terkesan cuek, membuat hati Rino penasaran.

Sayang seribu sayang, pujaan hatinya tak pernah menganggap semua ini lebih dari pertemanan.

Tiga bulan sudah sejak Lily meninggalkannya.

Kabar terakhir yang Ia terima, bahwa Lily kehilangan handphone.

Itu dikarenakan hidup di lingkungan Mess, dan Lily adalah anak baru. Meskipun kehilangan, Lily tak berani bilang siapapun. Mungkin karena perasaan takutnya pada senior. Lagipula, Lily takut kehilangan pekerjaan karena mungkin jika dia buka suara, maka fitnah akan terjadi.

Semakin sepi hidup Rino terasa.

Entah kapan Lily akan kembali menemaninya lagi, duduk bersama memandangi hamparan langit penuh bintang.

Rino sangat bingung. Satu sisi, Lily cewek yang terkesan tomboy. Tapi, di sisi lain sebenarnya Lily sangat manis. Ia memperhatikan hal-hal kecil yang kadang terlewatkan oleh sebagian orang. Wajahnya meskipun tidak seputih teman-temannya, tapi tak ada jerawat satupun. Satu lagi, saat tersenyum terlihat sangat manis.

***

Hari itu hari Senin, semua siswa diharuskan mengikuti upacara di lapangan sekolah. Rino bertindak sebagai Ketua OSIS baru, menyampaikan pidato pertamanya.

Semua murid bertepuk tangan meriah, bangga atas Visi dan Misi Rino, menjunjung tinggi semangat Pancasila.

Selesai upacara, Rino tak sengaja melewati kantor TU.

Kemudian terdengar suara memanggil namanya, Rino menoleh dan mendapati Bu Dina sedang melambaikan tangannya.

"Rino, sini! Ini ada surat." 

Rino yang tak pernah menerima surat sebelumnya, hanya bisa nyengir. Berpikir, memangnya surat dari siapa, kok aneh.

"Iya Bu, surat buat saya? Dari siapa Bu?" 

Rino mendekat meja Bu Dina.

"Dari Lily Bunga Pamungkas."  Jawab Bu Dina seraya menyerahkan amplop berwarna coklat muda.

Rino tersenyum, "Terimakasih ya Bu.. terimakasih."

"Iyaaaa, girang banget, pacarmu ya? Tapi kok namanya kaya gak asih ya? Kaya pernah dengar, gitu."  Jawab Bu Dina.

Rino sudah tak menjawab, hanya melambaikan tangan dan pergi menuju kelasnya.

Jam istirahat pun tiba.

Rino tak ingin beranjak sedikitpun dari bangku tempatnya duduk. Tak ada niat sedikitpun untuk membeli makanan atau sekedar air kemasan.

Baginya saat itu adalah saat yang tepat untuk membuka surat dari sahabatnya.

Mumpung kelas sepi, tak kan ada orang lain yang tahu. Maklum, Rino berulang kali menerima ejekan dari teman-temannya, hanya karena Ia berteman dengan cewek yang lebih tua.

Rino membuka perlahan kertas amplop, kemudian menarik isinya.

Selembar foto, selembar kertas putih, dan selembar kertas biru muda.

" Hai, apa kabar? Semoga kamu sehat ya.. Aku di sini sehat, kerjaanku lancar. Aku udah gajian, jadi aku bisa kirim surat ini. Mungkin beberapa bulan lagi batu bisa beli HP baru.

Gimana harimu? Menyenangkan kan berada di kelas baru, atau semakin menyebalkan? Hahaha..

Apapun itu, aku harap kamu tetap semangat belajar.

Salam ya buat Ayah Ibu kamu. Semoga beliau sehat selalu."

Isi surat singkat itu membuat hati Rino berdebar. Rasa bahagia memuncak, ketika Ia membuka lembaran berikutnya, yaitu kertas berwarna biru muda.

" Awan selalu beriring pergi dan datang lagi, Seperti kehidupan dan persahabatan.

Namun langit akan tetap sama, BIRU

Dan Mentari tak akan pernah ingkar pada bumi, untuk kembali menyinari, meskipun malam memisahkan. Meskipun tak pernah bumi memintanya.

Karena Tuhan menciptakan semua pada tempatnya. Saling mengisi dan memberi."

Rino semakin bahagia, terasa begitu cepat jantungnya berdetak.

Sesaat Ia melihat sebuah foto.

Gambar diri seorang Lily yang telah sedikit berubah.

Ada riasan di wajahnya, dengan perona pipi dan pewarna bibir tipisnya.

Rambut yang dahulu terbiasa pendek, terakhir kali Rino lihat panjang di bawah telinga.

Kiri semakin manis dengan poni menutupi keningnya.

Sebuah jepit berwarna ungu, serasi dengan baju yang tengah Ia kenakan.

"Kenapa kamu begitu manis?" Ucap Rino dalam hati.

Rino memejamkan mata, mendekap dalam foto itu. Membayangkan betapa bahagia dirinya ketika nanti bertemu kembali dengan sahabatnya itu.

***

Sejak saat itu, sepertinya hari-hari yang dilalui semakin berat. Ya, berat karena menahan rindu yang perih dan entah sampai kapan akan begini. Sedangkan kelulusan sekolah masih sangat jauh. 

Padahal seharusnya Rino konsentrasi dengan sekolahnya, agar nilainya bisa terus naik.

Selama ini Rino termasuk siswa yang berprestasi. Hingga sering mendapat keringanan pembayaran sekolah.

Surat yang waktu itu belum terbalas, karena Rino tak tahu harus dikirim ke mana. Lily tak menuliskan alamat yang jelas pada kolom 'pengirim'.

Entahlah, bingung dan bimbang selalu menyelimutinya.

Hingga suatu saat setelah dua bulan Ia mendapatkan surat itu, datang lagi surat ke dua dari Lily.

Dalam surat itu, Lily bilang akan sesegera mungkin pulang.

Karena sudah berhak mengambil cuti setelah lewat tiga bulan bekerja.

Lagi-lagi Rino tak bisa membalas. Sepertinya Lily memang sengaja tidak mencantumkan alamatnya. Agar Rino tak bisa membalas suratnya.

Entah apa yang dipikirkan Lily. Selalu datang dan pergi sesuka hatinya.

Rino pun tak mau ambil pusing. Baginya, sudah biasa Ia seperti ini. Hilang harapan dan selalu pupus begitu saja. Sudah terbiasa dengan sikap Lily yang seenaknya sendiri.

Rino menyibukkan dirinya, berniat melupakan rasa yang ada.

Mengurus kegiatan sekolah adalah salah satu caranya untuk mencari penghiburan.

Bulan depan, sekolah berencana menyelenggarakan Pentas seni, yang akan diisi oleh karya para siswa.

Rino bertindak sebagai ketua OSIS, harus terjun langsung menyiapkan semua yang diperlukan. Hingga Ia lupa akan rasa yang selama ini Ia pendam.

Tiba saatnya, hari di mana Pensi akan digelar.

"Kriingggg...kriinggg.." bunyi handphone Rino.

Berkali-kali berbunyi, namun sepertinya Rino terlalu sibuk, hingga tak mendengar dering handphone.

"Ji, aku istirahat dulu ya di kelas. Capek banget, dari malam belum tidur.". Rino meminta izin pada sahabatnya, Aji.

"Iya, nanti aku bangunin kalau acara udah mau mulai." Jawab Aji.

Sementara itu, di halaman sekolah telah penuh dengan hiruk pikuk para siswa.

Berjalan seorang perempuan di tengah-tengah kerumunan siswa. Terlihat tidak asing di mata para siswa SMA HARAPAN BANGSA.

Perempuan dengan kulit Tan, mengenakan stelan kasual, celana Jeans warna biru di atas mata kaki, terdapat beberapa robekan di celana itu, namun tetap terkesan elegan. Kaos oblong putih bertuliskan "I Love my Life".

Serta sepatu kets warna putih.

Dan tas selempang kecil berwarna hitam.

Rambutnya dibiarkan tergerai panjang sepunggung, ikal hitam dengan sedikit coklat di ujungnya. Tak ada aksesoris apapun, hanya dibiarkan tergerai indah. 

Senyum di bibir tipis yang berhias lipstik warna orange seolah mampu mendebarkan hati siapapun.

"Hai Alin.." sapa perempuan itu.

Alin, adalah teman sekelas Rino.

Ia masih tertegun bingung. Seperti kenal, tapi lupa.

"Eehh.. mbak, temennya Rino bukan sih?"

"Iya, tau Rino di mana?" Jawab perempuan itu.

"Ada tuh lagi tidur di kelas. IPA dua. Kelasnya di ujung itu." Alin menerangkan.

"Oke, aku ke sana sendiri. Makasih ya.." ucap perempuan itu sambil berlalu.

Di tengah Ia berjalan, tak sedikit yang memandang heran padanya.

Sempat bertemu pula dengan cowok yang pernah ada di hatinya. Yaitu Didi.

Didi sedang duduk di depan kelas sambil bermain Handphone.

Melihat ada seseorang berjalan, Didi menoleh. Kaget, heran, namun berusaha tetap tersenyum.

"Hai, Di.. apa kabar?" Sapa perempuan itu sambil berlalu begitu saja.

Tak ada niatan berhenti untuk sekedar berjabat tangan dengan Didi.

Tibalah Ia di depan kelas bertuliskan IPA².

Ia memutar kenop pintu dan menariknya. Kakinya mulai melangkah memasuki ruangan, dan matanya tertuju pada bangku paling belakang.

Ia dapati seorang laki-laki sedang tidur terlentang di antara tiga kursi yang berjejer.

Ia berjalan mendekatinya, memandangi wajah yang tampan dengan alis tebal itu.

Kemudian mendekatkan wajahnya pada laki-laki itu, hingga hidungnya beradu.

"Hai, belut sawah.. mau sekolah apa mau tidur?"

Suara sayup-sayup itu membuat mata Rino perlahan terbuka.

Masih susah terbuka.

Sepertinya Rino mengira ini hanyalah mimpi.

Kemudian wajah Rino terasa seperti ada yang menyentuh. Dingin.

Matanya kembali perlahan terbuka.

Ia mengerutkan alisnya, berpikir 'siapa yang sedang di hadapannya'.

Lalu Rino kaget, dan membuka matanya lebar-lebar. Melongo, mengucek matanya.

Tangannya berkali-kali mengucek matanya.

"Lily..?" Tanya Rino.

"Iyaaaa.. baweeelll." Jawab perempuan itu tersenyum, yang ternyata adalah Lily.

"Haaahh.. kapan datang?" Rino masih bingung.

"Tadi pagi. Kamu sih aku telponin gak diangkat. Jadi udah aku kesini aja. Eh ternyata lagi ada acara juga ya?" Lily menjawab sembari berlalu dari hadapan Rino.

Lily keluar kelas, berjalan menuju aula ingin menyaksikan Pensi yang sebentar lagi dimulai.

Rino berlari mengejar Lily, dan berhasil meraih tangan kanan Lily.

Lily berbalik, memperhatikan Rino. Ia bingung apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu.

Kemudian Rino tersenyum, langsung memeluknya. Membenamkan wajahnya di balik rambut lebat Lily.

Hingga tak terasa air mata Rino menetes begitu saja tanpa aba-aba.

"Cacing kremi, aku kangeeenn.." ucap rino sesenggukan.

"Iya, aku juga kangen." Balas Lily.

Mereka berpelukan lama, hingga tak disadari Didi menyaksikan kejadian itu.

Hari ini, Rino seperti terbang ke awan. Pujaan hatinya datang tiba-tiba. Membuat semua orang pangling dengan penampilannya.

Semua telah berubah, apa yang dulu dilihat banyak orang tentang Lily, sepertinya akan mulai hilang berkat penampilan baru Lily.

Siapapun berhak berubah, siapapun berhak melangkah. Tak ubahnya Lily, Ia berhak merubah dirinya menjadi lebih baik lagi. Menjadi lebih Cantik dari sebelumnya, adalah hal yang lumrah pada wanita manapun, seperti yang Ibunya selalu bilang.

'Jadilah wanita yang cantik, dan juga Mandiri.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status