Bab 5
Pagi telah datang.
Mentari bersinar terang, langit begitu indah. Biru tak berawan. Seolah Tuhan menciptakan hari ini sangat sempurna untuk mengiringi kepergian Lily.Barang yang sudah dikemas rapi, kini sudah siap di depan pintu.Telah siap pula Lily dengan pakaian rapi, berjaket jeans, sepatu putih.Penampilan Lily kali ini berbeda dari biasanya, yang sering mengenakan celana rombeng.Kali ini Lily begitu rapi.Dengan rambut ditali, dan sedikit pewarna bibir, ide pemaksaan dari Ibu."Anak ayah sudah besar. Sekarang sudah mau cari duit sendiri. Hehe.." kata sang ayah.
Kemudian Ibu menimpali, "Iya ya, kayak baru kemarin Ibu nganterin Lily ke sekolah pakai seragam TK. Kok sekarang sudah mau merantau. Hhmmm... Ibu bakalan kesepian Nak. Semoga kerasan ya, jangan nakal di sana. Kasian Pakdemu nanti."
Lily tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa suasana sedih ini.
"Ah, Ibuk.. bentar lagi juga Lily pulang kok. Kan pasti Lily kangen Ibu juga. Gak ada yang masakannya seenak masakan Ibu.""Ayah harap, tahun depan bisa daftarkan kamu ke Universitas. Biar anak Ayah ini bisa meraih cita-citanya. Katanya mau jadi perawat?" Ayah masih tersenyum menggenggam tangan Lily.
Kakak Lily yang pertama, Arin, menimpali "lhah, perawat? Tampangnya aja sangar begitu. Pasien bukannya sembuh, malah tambah drop dibentak sama dia."
"Tapi aku yakin, adik kita ini bakalan sukses nantinya." Kakak kedua, Indri. Menimpali.
"Ya sudah, Ayah Ibu baik-baik di rumah. Jaga kesehatan. Mbak Arin, Mbak Indri, nitip Ayah sama Ibu ya. Jagain, biar gak berantem lagi. Hehe". Lily masih menahan bulir bening yang siap menetes dari ujung matanya.
Sementara itu, Pakde sudah siap meluncur membelah jalanan.
Koper dan tas-tas Lily masuk bagasi terlebih dahulu.Kemudian disusul Lily masuk, duduk di samping Pakde yang menStarter mobilnya.Keluarga ini menangis melepas kepergian Lily.
Namun mereka tau, bahwa anak bungsunya itu sangat istimewa. Ia tak pernah menyerah, mempunyai semangat yang tinggi, dan selalu ceria.Mereka percaya Lily akan betah di tempat yang baru. Karena Lily adalah pribadi yang mudah bergaul dan gampang beradaptasi.
Tidak sulit pasti bagi Lily mendapatkan pertemanan.Deru mesin mobil Kijang LGX membelah jalanan pedesaan. Untuk sampai di jalan kota, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dari desa tempat tinggal Lily.
Tiba-tiba pakde kaget karena di depan ada yang melambaikan tangan. Seperti isyarat yang ditujukan pada pengendara mobil agar berhenti.
Pakde mengerem mobilnya, pelan dan berhenti tepat di hadapan orang itu.Lily yang sedari tadi membaca buku, langsung menoleh ke luar jendela mobil.Ia kaget mendapati ada seseorang yang ia kenal, sedang berdiri di pinggir jalan. Masih dengan seragam sekolah putih abu-abu.Kemudian mendekat dan memberikan sebuah bungkusan tas kertas coklat.
"Rino, ngapain di sini, kenapa gak sekolah?" Lily kaget.
Rino tersenyum, "aku bolos cuma sejam. Ini buat kamu. Semoga bisa nemenin kamu di sana kalau bosan. Hati-hati ya! Jangan lupa berkabar kalau sudah sampai"
"Iya, pasti." Jawab Lily singkat.
Rino melambaikan tangan, seraya berucap selamat jalan. Pakde segera melajukan kembali mobilnya, dan berlalu meninggalkan Rino sendirian di pinggir jalan.
Lily masih terus memperhatikan bayangan Rini dari kaca spion mobil."Pacarmu ya?" Tanya Pakde.
""Bukan, Pakde. Kami cuma teman. Gak lebih" Lily berusaha meyakinkan Pakde.
"Gak masalah kalian berteman. Siapa tau berjodoh. Hahaha." Pakde menggoda Lily. Tapi masuk akal juga. Karena banyak orang di luar sana yang akhirnya menikah setelah berteman cukup lama.
"Gak mungkin, Pakde.. kami hanya teman, dan saling support aja. Dia tahun ini sudah penjurusan. Tahun depan akan jadi penentu. Seperti kemarin kan aku ujian juga disupport sama dia. Lagian, mana pantas aku buat dia kan, Pakde?" Lily balik bertanya.
"Lho, Pakde dulu sama Budemu juga cuma berteman awalnya. Dulu pakde suka bantu ngerjain tugas kuliahnya. Eh, lama-lama kok berjodoh." Terang Pakde.
Lily tampak berfikir, "Tapi kayaknya juga gak mungkin lho, lha dia anak orang terpandang. Bapaknya itu Babinsa kita, Pakde. Mana mungkin mau punya mantu model begini. Apalagi punya besan modelan Ayah, yang gak punya pangkat."
"Tapi, kalau anak saling suka, saling cinta.. orang tua bisa apa? Bisanya ya merestui." Ringkas Pakde.
"Tapi kami cuma berteman, Pakde. Dia banyak yang naksir tuh di sekolah." Masih dengan jawaban yang sama, Lily mencoba menepis.
"Denger ya Nduk, pertemanan antara laki dan perempuan itu, jarang sekali yang HANYA BERTEMAN. Entah kamu, atau dia, pasti ada rasa yang lain. Pertemanan lawan jenis itu susah untuk tulus. Pakde sudah mengalami itu. Sudah mencoba menepis anggapan itu, dan gagal." Ucap pakde serius, sambil memperhatikan jalan yang berlubang.
Lily terdiam. Memikirkan ucapan pakde yang masuk akal. Teringat wajah Rino saat marah ketika tau Lily turun ke Arena. Bahkan Rino sempat bilang bahwa Lily tidak tau perasaan Rino.
Ah, semua mungkin kebetulan saja.Lily harus berusaha melupakan. Harus menepis. Karena saat ini tujuan utamanya adalah mencari kerja. Kemudian mengumpulkan uang untuk kuliah.Pakde tersenyum, kemudian menyalakan Tape mobilnya. Memutar tembang lawas kesukaannya demi membunuh rasa kantuk saat menyetir.
Tidak terasa sudah memasuki jalan Provinsi, Lily sudah tertidur pulas. Sepertinya tembang lawasan berhasil meninabobokkan Lily.Setelah berkendara empat jam, akhirnya pakde memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah.
Kemudian membangunkan Lily.Mereka turun dari mobil, disambut oleh Budhe."Waah. Anakku cewek sudah datang. Ayo masuk, mandi dulu terus makan ya!" Sambut bude girang.
Bude memang baik sekali pada Lily. Karena Bude hanya punya anak satu, itu pun laki-laki, dan sekarang tinggal di luar kota bersama istrinya.Lily menyambut pelukan Budhe, dan kemudian mengekor masuk ke dalam rumah.
Tanpa basa basi, Lily masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Perutnya sudah teramat perih, menahan lapar.Tadi pagi Lily tidak sempat makan banyak, karena suasana haru di rumahnya.Selesai mandi, Lily bersiap duduk di meja makan, bersama Pakde dan Budhe.
"Ly, makan yang banyak. Anggap saja rumah sendiri. Nanti juga kalau kamu dapat kerja, gak usah kost. Tinggal di sini saja, biar bude punya temen nonton TV." Ucap Budhe sambil memperhatikan Lily yang makan dengan lahap.
"Iya, Budhe.. tenang aja. Lily akan jadi anak baik. Siap menemani Budhe nonton sinetron. Siap ngabisin makanan yang Budhe masak. Tenang.. santai.." jawab Lily enteng.
Pakde hanya tersenyum melihat kelakuan keponakannya yang mulai tumbuh dewasa.
Meskipun warna kulit Lily coklat, tapi dia tetap terlihat manis. Ditambah lesung pipinya ketika tersenyum, giginya taringnya menonjol sedikit ketika senyum tercipta di bibir Lily.Sepertinya hubungan mereka cukup akrab. Buktinya Lily tak malu-malu makan bareng dengan lahap.
***
Beeeppp....beeeeepp..
Suara getar HP punya Lily.
Sebuah SMS masuk. Terlihat tulisan "Kutu Air" di atas pojok kiri."Udah sampai? Kok gak berkabar? Aku kan khawatir." Rupanya Rino yang mengirimnya pesan.
"Udah preett, sampe siang tadi. Terus mandi, makan. Bongkar barang sama beresin kamar. Ini baru saja kelar terus rebahan." Balas Lily. Tak lupa emoticon 'lelah'
"Gimana, kamu kerasan gak? Trus rencana besok apa? Langsung ngelamar ke mana?"
Sudah seperti introgasi polisi, balasan Rino."Buseettt.. baru juga sampai, sudah ditanya kerasan apa enggak. Hadeueh.. besok gak gau ya mau ngapain. Kata Pakde sih beliau mau nanya dulu, ada lowongan gak di toko temennya." Balas Lily.
"Aku harap, segeralah dapat pekerjaan. Biar gak suntuk. Aku tau kamu anaknya bosenan. Aku kesepian ini, gak ada kamu." Rino sedih.
"Jangan begitu. Teman kamu kan banyak. Gak cuma aku. Main sana sama teman-teman kamu. Biar fresh tuh otak. Gkakakaka".
"Besok, kalau gak sibuk, kita telponan ya. Pasti kamu juga gak punya teman kan di situ?" Rino berusaha menebak.
"Oke booosss.. siap lahir batin telpon mah..gampang. yaudah, aku tidur dulu nih. Capek banget, sumpah." Lily kembali mengirim balasan.
"Oke. Oke. Selamat tidur, semoga nightmare ya! Bye..." Rino mengakhiri percakapan mereka.
***
Hampir setiap malam Rino menghubungi Lily, dari yang hanya sekedar say hello, sampai bahas hal-hal gak penting lainnya.
Sudah terlanjur nyaman, tak ada Rahasia di antara mereka berdua.Seminggu berlalu, Lily akhirnya mendapatkan panggilan kerja di sebuah Toserba.
Berkat kenalan Pakde yang merupakan teman dari manager toko.Lily sangat bersyukur, Pakde adalah orang baik yang ia kenal. Begitupun Budhe yang sayang sama Lily.Pagi itu hari Selasa, Lily bersiap-siap pergi untuk interview.
Dengan diantar Pakde naik motor, Lily mengenakan stelan hitam putih khas orang melamar kerja.Di toko, Lily dipanggil naik ke lantai dua yang merupakan kantor manajemen toko tersebut.
Ia menemukan pintu kaca besar, dengan stiker tulisan "Mitra" yang merupakan nama toko tersebut.Kemudian Lily mengetuk pintu dan mengucap salam.
Tok..tok..tok..
"Permisi..""Silahkan masuk!" Jawab seseorang dari dalam.
Duduk di sebuah kursi hitam, seorang perempuan muda kisaran 30 tahun usianya.
Parasnya cantik, dengan rambut sebahu, sedikit curly dan berwarna agak kecoklatan.Mengenakan kemeja putih bermotif bunga. Semakin cantik, kerah bajunya dihiasi scraft polos berwarna ungu."Silahkan duduk." Wanita tersebut mempersilahkan Lily, sambil menunjuk kursi di depan mejanya.
Kemudian Lily duduk, senyum tak lupa ia sematkan di bibir manisnya.
"Kamu keponakan pak Heru ya?" Tanya wanita tersebut.
Lily kembali tersenyum "Iya Bu, saya Lily keponakan pak Heru. Maksud kedatangan saya ke sini untuk melamar pekerjaan sebagai pelayan toko." Jawab Lily.
"Iya saya sudah lihat profil kamu di surat lamaran. Tapi ada beberapa hal yang harus saya tanyakan. Salah satunya adalah, kamu siap gak kerja bareng team? Karena di toko ini kami tidak bekerja secara individu, semua kami lakukan bersama dan harus saling support. Kami tidak berkenan dengan orang yang tidak mau bekerja sama dengan orang lain."
Tanya wanita itu panjang lebar.
Lily bingung harus menjawab apa, yang ia ingat pesan dari pakde adalah, apapun pertanyaan yang menyangkut pekerjaan, jawab saja IYA.
"Iya Bu, saya sanggup." Tegas Lily.
"Oke, yang ke dua adalah, kami menyediakan tempat tinggal gratis bagi karyawan. Tapi karyawan harus bangun pagi untuk membantu persiapan buka toko jam 8 pagi. Apa kamu sanggup?"
"Sanggup, Bu" jawab Lily yakin.
"Yang terakhir, apakah kamu mau mengubah penampilanmu? Kami kerja sebagai penjual. Harus menarik konsumen untuk berbelanja di toko kami. Selain pelayanan yang ramah dan baik, karyawan yang berpenampilan menarik juga adalah sebagian dari marketing. Bagaimana?" Perempuan itu memastikan.
"Baik Bu, saya akan mengikuti ketentuan toko ini sebisa yang saya mampu"
"Oke, sekarang kamu pulang dulu. Besok datang kesini sekalian bawa baju dan barang yang dibutuhkan selama tinggal di mess. Nanti minta antar pak Heru saja ya!" Wanita itu tersenyum.
Kemudian Lily berdiri dari tempatnya duduk, sambil menyodorkan tangannya berniat salaman dengan wanita tersebut.
"Terimakasih Bu, saya akan berusaha. Maaf, bisa saya tahu nama Ibu siapa?" Ucap Lily.
"Anita." Jawabnya singkat padat jelas. Wanita ini memang sedikit dingin. Entah karena alasan pekerjaan, atau memang sudah dari pembawaannya.
Kemudian Lily permisi, pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Keluar Toko dan menghampiri Pakde yang sedang ngobrol dengan tukang parkir."Pakde, ayo kita balik. Lily diterima, besok disuruh kesini lagi kerja."
"Alhamdulillah... Alhamdillah.. ayo pulang kalau begitu!" Pakde ikutan girang rupanya.
Siapa sangka, sebentar lagi Lily akan mulai bekerja, mendapatkan uang dengan jerih payahnya. Akan segera menabung demi cita-citanya. Akan segera pulang lagi bertemu Ayah Ibu.
Hari ini tak akan pernah Lily lupakan sepanjang hidupnya kelak.
Semua benar-benar indah pada waktunya.Sudah terbayangkan betapa ia akan mempunyai banyak uang, kuliah di kampus ternama, dan akan lulus dengan bangga.Semua mimpinya akan segera terwujud."Alhamdulillah ya Allah. Engkau baaaaaiikkk.."
Lily tak kuasa mengungkapkan kegembiraannya. Ia berteriak lepas di sepanjang jalan. Bahagia.
Bab 18"Sudah ku cukupkan rasa ini sampai di sini. Seharusnya aku tau, kamu bukan tujuan utamaku.Seharusnya aku tau dari dulu, bahwa aku bukan apa dan siapa di hatimu dan pikiranmu. Maafkan aku yang terlalu berharap, aku sudahi perasaan ini. Tidak ada lagi yang harus kau pikirkan tentang aku. Biar saja semua berlalu begitu saja. Menguap seperti air di lautan, walau aku tahu akan tiba saatnya semua akan kembali tercurah bagaikan hujan.Sudah.Aku harus pergi dari hidupmu. Terimakasih, Lily."Sebuah pesan di ponselnya, membuat Lily terhenyak.Seketika Ia berderai air mata. Semua ini salah paham. Tidak seperti yang Rino lihat, sebenarnya Lily dan Erik hanya sebatas teman. Erik melakukan semua kebaikan itu, karena tanggung jawab telah membuat Lily harus dirawat."Rino, aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan perasaanku sendiri sungguh aneh. Aku takut menyakitimu, tapi ini telah terjadi. Bahkan sebelum kita terikat."Lily masih melamun
Bab 17"Bagaimana aku bisa tertidur di sini?"Lily berusaha bangkit, namun tak bisa. Nyeri di punggungnya masih terasa, bahkan semakin menjadi. Rasanya seperti sedang menggendong beban berat, melebihi berat badannya sendiri.Di samping tempat tidurnya, duduk lelaki yang baru beberapa hari yang lalu menabraknya.Masih terpejam matanya. Tubuh menyender di tembok belakangnya.'Tok. Tok. Tokk..'Suara pintu diketuk dari luar.Erik segera terbangun karena kaget.Ia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu.Ternyata, Dokter yang akan memeriksa Lily, datang bersama suster."Selamat pagi Lily. Apa kabar? Gimana punggungnya, apa yang dirasakan?"Dokter bertanya sembari akan memeriksa keadaan Lily.Sementara, suster meletakkan makanan dan minuman, serta beberapa obat yang harus diminum pagi ini."Saya merasa punggung saya seperti sedang menggendong beban berat, Dok."Jawab Lily."Lily, sebelumnya
Bab 16 "Telah terukir walau setitik, senyumanmu di hatiku. Meski nanti akan pergi, setidaknya aku pernah menemuimu. Ada rasa dalam jiwa ini, untukmu yang selalu di sampingku. Walau nanti takdir berganti, setidaknya masih tersisa hangat pelukmu. Haruskah beban ini ku pikul sendiri, jika berat Rindu ini semakin menjadi setiap hari?" Lily memandangi fotonya bersama Rino, yang sempat mereka abadikan ketika saat itu mereka berdua berada di pantai. Sejujurnya, hati kecil Lily menginginkan hubungan ini lebih dari pertemanan. Namun pikirannya selalu menolak, Ia sadar semua itu hanya akan membawanya dalam lingkaran sakit hati yang tak ujung henti. Keluarga Rino tau siapa dirinya, gadis desa yang kurang pendidikan. Berasal dari keluarga biasa. Parasnya pun pas-pasan. Tidak ada yang istimewa, yang bisa dibanggakan Rino atas dirinya. Apalagi usianya yang lebih tua dari Rino. Ini adalah hal yang memalukan, mana mungkin Rino
Bab 15"Rino, ya?"Suara seseorang di balik kemudi mengagetkan Rino."Iya, Om." Jawab Rino, polos."Ayo masuk. Saya Edi, adiknya mas Gatot."Ajak orang itu, justru malah sambil membuka pintu mobilnya dan keluar.Kemudian berjalan ke arah belakang, rupanya dia berniat membuka pintu bagasi.Rino membawa barang-barangnya ke bagasi mobil, kemudian Ia masuk mobil dan duduk di samping Pak Edi.Mobil merah tersebut langsung tancap gas menuju ke sebuah rumah di komplek perumahan.Setelah memarkirkan mobilnya, Pak Edi turun. Begitupun Rino.Rino berdecak kagum melihat rumah yang bergaya minimalis itu. Meskipun tidak terlalu besar, namun rumah ini sangat rapi dan asri.Temboknya bercat putih keseluruhan, dengan pintu cokelat bergaya minimalis modern.Banyak tanaman bunga di halaman, mulai dari bunga mawar hingga tanaman menjalar.Di sisi lain, ada sebuah kolam kecil, dengan banyak ikan Koi di dalamnya. Ada pula
Bab 14Rino melangkah masuk ruangan berukuran 3x5 itu. Tanpa babibu, Ia duduk di kursi panjang berwarna coklat muda."Bapak ada perlu apa?" Tanya Rino pada Pak Gatot." Tidak ada perlu, cuma mau kasih tau saja, ini kampus bagus buat kamu. Katanya kamu gak mau nerusin jadi seperti Bapakmu 'kan?"Pak Gatot menyodorkan selembar kertas katalog Universitas."Tapi ini jauh Pak.""Kamu kan laki-laki. Masa' kalah sama kakakmu yang perempuan, dia saja mau ditugaskan ke luar Jawa. Kamu, ke kota saja sudah ngeluh. Laki-laki macam apa kamu?""Sejujurnya saya ragu Pak. Bagaimana jika orang tua saya tidak mengijinkan, dari mana saya harus membayar biaya kuliah?""Rino, dulu saya jualan gorengan setelah selesai jam kuliah. Kalau pas hari libur, saya jualnya full seharian. Saya juga belajar makelar motor, ya demi bisa bayar uang kuliah. Lha wong orang tua saya cuma petani, uangnya tidak banyak, sedangkan saya masih punya adik yang harus dibiayai
Bab 13 "Cukup!" Lily mendorong tubuh Rino. "Gak! ini gak akan cukup untuk mewakili rasaku padamu. Aku bahkan memikirkanmu setiap hari." "Rino, kamu terlalu baik untuk ku dapatkan. Masa depan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Masa depan yang indah tentunya, kita bisa bersama sampai tua. Sampai maut memisahkan kita." "Kamu masih anak SMA. Tau apa kamu soal masa depan hari tua?"Lily menyeka air matanya. "Ly, pliss beri aku kesempatan. Beri aku waktu untuk membuktikan. Aku gak mau kamu disakiti orang lain lagi."Rino menggenggam jemari Lily, meremas perlahan. "Aku sudah gak percaya apa itu cinta. Sebenarnya di balik cinta hanya ada nafsu belaka." Lily menunduk. "Tidak Ly, aku tidak seperti itu. Semua ini benar-benar tulus." "Rino, mendingan sekarang kamu pikirin masa depan kamu sendiri. Mau dibawa kemana nanti, mau jadi apa kamu nanti, mau seperti apa hidupmu nanti. Pikirkan dari sekarang."