Medina kembali mengingat bagaimana ketika semua mimpi buruknya berawal ketika ia menerima beasiswa untuk bersekolah di sekolah kaum Elite.
Tak menyangka, ternyata mengambil beasiswa ke sekolah tersebut adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Medina tidak pernah melupakan hari-hari buruk di masa SMA itu. Ia selalu merasa seperti orang luar, terperangkap dalam tubuh yang gemuk, wajah penuh jerawat, dan penampilan yang jauh dari standar kecantikan yang dimiliki teman-temannya. Di sekolah itu, ia sering menjadi sasaran ejekan dan hinaan, terutama dari kelompok anak-anak populer, yang termasuk Shinji. Suatu hari, saat hujan deras turun di siang hari, Medina sedang berjalan menuju toilet sekolah dengan langkah yang hati-hati. Tak disangka, teman-temannya yang jahat sengaja menjatuhkan ember berisi lumpur got tepat di atas kepalanya. Tertawaan keras mengisi udara, dan semua mata tertuju padanya. Lumpur itu menutupi wajahnya, meresap ke dalam rambut, dan membuatnya tampak seperti sosok yang kotor dan menjijikkan. “Wah, lihat tuh! Si lumpur hidup!” salah satu teman perempuannya tertawa terbahak-bahak. Medina hanya bisa menunduk, wajahnya terbakar malu. Dalam kebingungannya, ia berjalan mundur untuk segera keluar dari toilet, namun malang, ia menubruk seseorang. Tepat sekali—Shinji. Semua lumpur yang menempel di tubuhnya tercecer ke pakaian Shinji, membuat jas dan sepatu mahalnya basah kuyup dan berbau tak sedap. “Dasar bego!” Shinji memaki sambil menatap Medina dengan tajam. “Kamu itu nggak pantes ada di sini! Lihat apa yang kamu buat! Sekarang baju aku bau!” Shinji mengomel, suaranya penuh amarah. Medina merasa dirinya semakin kecil, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri di sana, terdiam, menerima setiap hinaan dari Shinji dan teman-temannya yang terus tertawa. Sejak saat itu, keduanya mulai terjebak dalam permusuhan yang tak pernah selesai. Beberapa hari kemudian, teman-temannya kembali membuat Medina jadi sasaran. Kali ini, mereka sengaja melemparkan tahi kucing ke arah Medina. Dalam sekejap, ia sudah dipenuhi dengan bau busuk yang memalukan. Namun, bukan Medina namanya kalau tidak melawan. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Medina mengambil tumpukan tahi kucing itu dan melemparkannya kembali ke arah kelompok teman-temannya. Sayangnya, tembakan Medina meleset, dan tahi itu malah mengenai sepatu mahal Shinji. “Aduh!” Shinji berteriak marah, menatap sepatu yang kotor. “Kamu! Kamu benar-benar nggak ada otak!” Ia membentak Medina lagi. Medina merasa ingin menghilang dari dunia ini. Tetapi dia tahu, semakin ia mencoba untuk menghindar, semakin banyak ia dihantui oleh cemoohan dan hinaan dari Shinji. Puncaknya terjadi saat olahraga. Pada suatu pertandingan bola basket antar kelas, Medina hanya duduk di pinggir lapangan, tak berani bergabung karena tubuhnya yang tak atletis. Namun, teman-temannya yang suka mengolok-oloknya, tak membiarkannya tenang. Mereka dengan sengaja melemparkan bola basket yang cukup keras ke arahnya. Medina, yang selama ini mencoba menghindar, akhirnya memutuskan untuk melempar bola itu balik ke teman-temannya. Tetapi nasib buruk kembali menimpanya. Bola yang ia lempar malah mengenai wajah Shinji, membuat hidungnya berdarah. Shinji langsung terjatuh ke lantai, tampak kesakitan. Semua orang terdiam sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak, terkecuali Shinji yang bangkit dengan wajah penuh amarah. “Kamu benar-benar nggak tahu diri, kan?” Shinji berteriak sambil mengusap darah di hidungnya. “Aku nggak akan biarkan kamu begitu saja, Medina! Ini salahmu!” Sejak saat itu, permusuhan mereka semakin parah. Shinji mulai melihat Medina sebagai sasaran empuk untuk segala bentuk keisengan. Setiap hari, Medina tak pernah lepas dari bully-an dan hinaan dari Shinji dan teman-temannya. Baginya, Medina adalah orang yang harus dihukum karena telah menghinanya berkali-kali. Dan untuk Shinji, tidak ada seorang pun yang boleh merendahkan harga dirinya—termasuk Medina. Masa SMA itu penuh dengan rasa sakit dan ketidakadilan bagi Medina. Setiap hari ia merasa dihina, ditertawakan, dan dipermalukan di depan semua orang. Ia bertahan hanya dengan harapan kelulusan yang semakin dekat. *** Medina duduk termenung di mejanya, merenung tentang apa yang baru saja terjadi. Semua ingatan tentang masa SMA kembali menghantuinya. Rasa sakit yang telah lama terkubur muncul lagi, terasa begitu nyata. Kejadian-kejadian buruk itu tiba-tiba terputar ulang di pikirannya, dan ia merasa seluruh tubuhnya merinding. “Kenapa aku harus bertemu dengan Shinji lagi?” pikir Medina, menghela napas berat. “Dia tak berubah. Dia tetap sama. Dan aku... aku masih takut.” Medina menundukkan kepala, berusaha untuk melupakan ingatan-ingatan itu. Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin jelas ingatan tentang Shinji yang dulu dan sekarang saling tumpang tindih. Kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Shinji kembali dalam hidupnya. Tetapi kali ini, bukan sebagai teman sekolah yang suka menghinanya, melainkan sebagai CEO perusahaan tempat ia bekerja. Dengan perasaan campur aduk, Medina berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Ia tahu, ia tidak bisa membiarkan masa lalu menguasai dirinya lagi. Tapi bagaimana jika Shinji yang sekarang, dengan kekuasaan yang dimilikinya, kembali membuat hidupnya menderita? *** Medina berjalan terburu-buru keluar dari mobil perusahaan, matanya masih berbinar-binar karena baru saja bangun dari pingsan. Suasana malam yang sepi terasa sangat menekan. Namun, hal yang lebih mengganggu adalah perasaan janggal yang terus mengikutinya sejak pertemuannya dengan Shinji di lift tadi. "Aku harus melupakan ini," gumamnya, menyeka keringat yang menetes dari dahinya. Sejak kejadian kemarin, perasaan cemas di dadanya tak kunjung reda. Pintu lift yang sempit, tubuh Shinji yang mendekat, semuanya menambah ketegangan yang membuat pernapasannya sesak. Terlebih lagi, tatapan Shinji yang tajam dan penuh teka-teki. Entah mengapa, rasanya seperti dia sudah mengetahui lebih banyak tentangnya daripada yang Medina ingin ungkapkan. Tiba-tiba, telinganya menangkap suara langkah kaki. Medina terdiam sejenak, kemudian menoleh. Tak jauh darinya, terlihat Shinji yang sedang berbicara dengan asistennya, Bima. "Shinji," bisik Medina dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa tak enak hati. Medina memilih untuk menghindari mereka dan berjalan cepat menuju pintu utama kantor. Saat melangkah keluar, angin malam yang dingin menyapa wajahnya, memberinya sedikit ketenangan. Namun, tidak ada ketenangan yang bisa menenangkan kegelisahan dalam dirinya. Tiba-tiba, teleponnya berdering. Medina mengangkatnya dengan buru-buru. "Halo?" "Medina," suara Lisa terdengar lembut di ujung telepon. "Ada sedikit perubahan jadwal. Besok kamu harus hadir rapat dengan CEO. Jangan sampai telat, ya." Medina terdiam, matanya terbelalak mendengar kata-kata Lisa. Rapat? Dengan Shinji? "Rapat… dengan CEO?" tanya Medina, sedikit tidak percaya. "Betul. CEO ingin melihat performa kamu secara langsung. Sepertinya dia tertarik dengan cara kerjamu," jawab Lisa. "Jadi, siapkan dirimu. Jangan bikin malu." Medina mengusap wajahnya frustasi. Bagaimana ia bisa bekerja dengan pria yang satu itu? Apalagi jika harus berada di ruang rapat bersamanya. “Terima kasih, Kak,” jawab Medina, lalu menutup telepon dan kembali melangkah. Keesokan harinya, suasana kantor terasa semakin intens. Medina bisa merasakan tatapan karyawan yang penasaran, seolah mereka menilai dirinya, seolah ada yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Namun, yang paling mengganggu adalah keberadaan Shinji di ruang rapat. Medina mengenakan blazer hitam yang lebih rapi dari sebelumnya, berharap ia bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Satu hal yang pasti, dia tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa rapat ini adalah ujian terbesarnya. Pintu ruang rapat terbuka, dan suasana menjadi hening. Medina melangkah masuk, dan di tengah meja panjang itu, Shinji duduk dengan postur tegapnya yang tak berubah. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. “Medina,” suara Shinji akhirnya memecah kesunyian. “Selamat datang. Duduklah.” Medina menunduk dan duduk di kursi kosong di sebelah kiri Shinji. Jantungnya kembali berpacu, dan ia berusaha untuk tidak menatap langsung pria itu. Aroma floral yang masih teringat itu kembali menghantui indra penciumannya. “Pekerjaanmu akhir-akhir ini menarik perhatian saya,” lanjut Shinji tanpa menoleh. “Tapi saya ingin melihat lebih dalam. Coba presentasikan apa yang sudah kamu kerjakan sejauh ini.” Medina merasakan beban yang luar biasa. Ia meraih folder yang sudah disiapkan dan membuka halaman pertama dengan tangan yang sedikit gemetar. Namun, saat berbicara, ia mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menyeruak di dalam dirinya. Saat presentasi berlangsung, Shinji duduk diam, hanya sesekali memberi penilaian singkat. Namun, setiap kali mata mereka bertemu, ada ketegangan yang tak bisa disangkal. Medina merasa semakin terjepit, seolah Shinji bisa membaca setiap pikiran yang tersembunyi di balik wajahnya. Tiba-tiba, Shinji berhenti menulis dan menatapnya dengan tajam. “Ada yang ingin kamu katakan, Medina?” tanyanya. Medina terdiam. Sejenak, ia ingin mengatakan yang sebenarnya, ingin mengungkapkan ketakutannya, atau bahkan rasa benci yang terpendam selama bertahun-tahun. Namun, ia tahu ini bukan waktunya. “Tidak ada, Pak,” jawabnya dengan suara pelan. Shinji menatapnya lama, seolah mencoba menelusuri setiap inci wajahnya. Kemudian, ia kembali menulis tanpa berkata-kata. Sementara itu, Medina merasa dadanya sesak. Ia tahu bahwa rapat ini belum berakhir, dan tantangan yang lebih besar masih menantinya. Ia bertanya-tanya apakah identitasnya segera terbongkar?“Medina…”Shinji menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, jari-jarinya mengetuk pelan meja.“Medina…” ia mengulang nama itu, nyaris seperti desisan.Nama itu tidak asing. Terasa seperti serpihan bayangan masa lalu yang hampir tenggelam. Tapi wajah, sosok, atau apa pun yang bisa ia kaitkan dengan nama itu—semuanya kosong. Hanya samar.Sebelum ia bisa menggali lebih jauh, telepon kantornya berdering.“Ya?”Suaranya dingin seperti biasa.Suara di seberang terdengar familiar, tenang namun mengandung nada provokatif.“Hyung,” sapa Shenoval. “Aku akan mengirimkan undangan pertunanganku. Pastikan kamu datang, ya. Dan… tentu saja, datanglah bersama kekasihmu.”Diam.Shinji memejamkan mata, menggenggam gagang telepon lebih erat.“Sudah kubilang, jangan terlalu menyindir,” balasnya datar.“Aku serius. Masa CEO Shin yang tampan, terkenal, dan sukses datang sendirian? Jangan memalukan keluarga,” cibir Shenoval sebelum menutup sambungan.Shinji melempar gagang telepon ke meja.Harga dirinya—sebagai p
Setelah rapat yang berlangsung lebih dari satu jam itu selesai, Medina buru-buru melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang masih bergemuruh. Ia nyaris lupa bagaimana caranya bernapas selama berada dalam ruangan yang sama dengan Shinji, terlebih dengan insiden lift semalam yang terus terbayang. Namun langkahnya terhenti ketika ia melewati lorong dekat ruang kerja CEO. Suara dari balik pintu yang sedikit terbuka membuatnya refleks berhenti. “Bima, berkas karyawan magang yang saya minta kemarin, sudah ada?” suara Shinji terdengar dingin seperti biasa. Medina menahan napas. Berkas? Hatinya langsung mencelos. “Sudah, Pak. Ada di meja saya. Saya tinggal mengantarkannya,” jawab Bima santai. “Antar nanti sore. Saya ingin tahu latar belakang mereka. Siapa tahu ada yang menonjol... atau bermasalah.” Medina mundur pelan-pelan, tubuhnya seketika dingin seperti disiram air es. Ia tahu satu hal pasti—bahayanya bukan main. Shinji mungkin dulu tak tahu namanya. Bagi Shinji, ia hanya “si b
Medina kembali mengingat bagaimana ketika semua mimpi buruknya berawal ketika ia menerima beasiswa untuk bersekolah di sekolah kaum Elite. Tak menyangka, ternyata mengambil beasiswa ke sekolah tersebut adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Medina tidak pernah melupakan hari-hari buruk di masa SMA itu. Ia selalu merasa seperti orang luar, terperangkap dalam tubuh yang gemuk, wajah penuh jerawat, dan penampilan yang jauh dari standar kecantikan yang dimiliki teman-temannya. Di sekolah itu, ia sering menjadi sasaran ejekan dan hinaan, terutama dari kelompok anak-anak populer, yang termasuk Shinji.Suatu hari, saat hujan deras turun di siang hari, Medina sedang berjalan menuju toilet sekolah dengan langkah yang hati-hati. Tak disangka, teman-temannya yang jahat sengaja menjatuhkan ember berisi lumpur got tepat di atas kepalanya. Tertawaan keras mengisi udara, dan semua mata tertuju padanya. Lumpur itu menutupi wajahnya, meresap ke dalam rambut, dan membuatnya tampak seperti s
Medina tetiba teringat masa lalunya yang muncul sekilas seperti lampu flash yang berkelebatan dengan membawa perasaan muram. Pesta perpisahan malam itu harusnya jadi kenangan manis. Gedung aula dihiasi lampu warna-warni, dentuman musik terdengar hingga lapangan sekolah. Tapi bagi Medina, malam itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak pernah usai. Ia hanya ingin mencoba merasa "normal", menyatu dengan teman-temannya yang selama ini menjauhinya. Ia menenggak minuman manis dalam gelas plastik. Tidak sadar bahwa itu bukan sekadar soda. Kepalanya mulai pening. Langkahnya goyah. Ia berjalan keluar aula, menyusuri lorong gelap dan dingin. Di belakang sekolah, dekat pohon besar yang sering jadi tempat bolos, dunia seakan berputar. Lalu—gelap. Seseorang membekapnya. Entah siapa. Medina hanya ingat tangan itu begitu kuat menahan mulutnya untuk tidak berteriak. Medina tak bisa mengingat wajahnya. Hanya ingat nafasnya yang tercekat, tubuhnya yang lemas, lalu… Ia terbangun dalam semak den
Ada luka yang tak pernah sembuh, meski waktu berusaha menutupinya.Bagi Medina, masa SMA adalah neraka. Hari-hari di mana tawa berubah menjadi pisau, saat dirinya menjadi sasaran empuk cemoohan. Ia tumbuh dengan label burik, jelek, tak pantas dicintai. Lebih dari itu, ada satu malam kelam yang tak pernah bisa ia lupakan—malam ketika harga dirinya direnggut paksa, meninggalkan bekas luka yang menghantui setiap tidurnya.Ia pikir, setelah lulus dan menata diri, masa lalu itu akan terkubur. Ia berusaha mati-matian mengubur nama, wajah, bahkan dirinya yang dulu. Namun semesta rupanya gemar bercanda. Karena di puncak perjuangannya mencari pekerjaan, ia justru dipertemukan kembali dengan salah satu pria yang paling ingin ia lupakan—Shinji, sang penguasa dingin yang dulu ikut membuat masa SMA-nya terasa seperti neraka.Dan kali ini, ia tak bisa kabur.Ia butuh pekerjaan itu… meski artinya ia harus berhadapan dengan mimpi buruknya setiap hari.*** Gedung tinggi menjulang di hadapannya, ber