Home / Romansa / Cinta CEO Kembar / Awal Mula Permusuhan

Share

Awal Mula Permusuhan

Author: Kinanti
last update Last Updated: 2025-05-01 11:51:13

Medina kembali mengingat bagaimana ketika semua mimpi buruknya berawal ketika ia menerima beasiswa untuk bersekolah di sekolah kaum Elite.

Tak menyangka, ternyata mengambil beasiswa ke sekolah tersebut adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Medina tidak pernah melupakan hari-hari buruk di masa SMA itu. Ia selalu merasa seperti orang luar, terperangkap dalam tubuh yang gemuk, wajah penuh jerawat, dan penampilan yang jauh dari standar kecantikan yang dimiliki teman-temannya. Di sekolah itu, ia sering menjadi sasaran ejekan dan hinaan, terutama dari kelompok anak-anak populer, yang termasuk Shinji.

Suatu hari, saat hujan deras turun di siang hari, Medina sedang berjalan menuju toilet sekolah dengan langkah yang hati-hati. Tak disangka, teman-temannya yang jahat sengaja menjatuhkan ember berisi lumpur got tepat di atas kepalanya. Tertawaan keras mengisi udara, dan semua mata tertuju padanya. Lumpur itu menutupi wajahnya, meresap ke dalam rambut, dan membuatnya tampak seperti sosok yang kotor dan menjijikkan.

“Wah, lihat tuh! Si lumpur hidup!” salah satu teman perempuannya tertawa terbahak-bahak.

Medina hanya bisa menunduk, wajahnya terbakar malu. Dalam kebingungannya, ia berjalan mundur untuk segera keluar dari toilet, namun malang, ia menubruk seseorang. Tepat sekali—Shinji. Semua lumpur yang menempel di tubuhnya tercecer ke pakaian Shinji, membuat jas dan sepatu mahalnya basah kuyup dan berbau tak sedap.

“Dasar bego!” Shinji memaki sambil menatap Medina dengan tajam. “Kamu itu nggak pantes ada di sini! Lihat apa yang kamu buat! Sekarang baju aku bau!” Shinji mengomel, suaranya penuh amarah.

Medina merasa dirinya semakin kecil, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri di sana, terdiam, menerima setiap hinaan dari Shinji dan teman-temannya yang terus tertawa. Sejak saat itu, keduanya mulai terjebak dalam permusuhan yang tak pernah selesai.

Beberapa hari kemudian, teman-temannya kembali membuat Medina jadi sasaran. Kali ini, mereka sengaja melemparkan tahi kucing ke arah Medina. Dalam sekejap, ia sudah dipenuhi dengan bau busuk yang memalukan. Namun, bukan Medina namanya kalau tidak melawan. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Medina mengambil tumpukan tahi kucing itu dan melemparkannya kembali ke arah kelompok teman-temannya. Sayangnya, tembakan Medina meleset, dan tahi itu malah mengenai sepatu mahal Shinji.

“Aduh!” Shinji berteriak marah, menatap sepatu yang kotor. “Kamu! Kamu benar-benar nggak ada otak!” Ia membentak Medina lagi.

Medina merasa ingin menghilang dari dunia ini. Tetapi dia tahu, semakin ia mencoba untuk menghindar, semakin banyak ia dihantui oleh cemoohan dan hinaan dari Shinji.

Puncaknya terjadi saat olahraga. Pada suatu pertandingan bola basket antar kelas, Medina hanya duduk di pinggir lapangan, tak berani bergabung karena tubuhnya yang tak atletis. Namun, teman-temannya yang suka mengolok-oloknya, tak membiarkannya tenang. Mereka dengan sengaja melemparkan bola basket yang cukup keras ke arahnya. Medina, yang selama ini mencoba menghindar, akhirnya memutuskan untuk melempar bola itu balik ke teman-temannya.

Tetapi nasib buruk kembali menimpanya. Bola yang ia lempar malah mengenai wajah Shinji, membuat hidungnya berdarah. Shinji langsung terjatuh ke lantai, tampak kesakitan. Semua orang terdiam sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak, terkecuali Shinji yang bangkit dengan wajah penuh amarah.

“Kamu benar-benar nggak tahu diri, kan?” Shinji berteriak sambil mengusap darah di hidungnya. “Aku nggak akan biarkan kamu begitu saja, Medina! Ini salahmu!”

Sejak saat itu, permusuhan mereka semakin parah. Shinji mulai melihat Medina sebagai sasaran empuk untuk segala bentuk keisengan. Setiap hari, Medina tak pernah lepas dari bully-an dan hinaan dari Shinji dan teman-temannya. Baginya, Medina adalah orang yang harus dihukum karena telah menghinanya berkali-kali. Dan untuk Shinji, tidak ada seorang pun yang boleh merendahkan harga dirinya—termasuk Medina.

Masa SMA itu penuh dengan rasa sakit dan ketidakadilan bagi Medina. Setiap hari ia merasa dihina, ditertawakan, dan dipermalukan di depan semua orang. Ia bertahan hanya dengan harapan kelulusan yang semakin dekat.

***

Medina duduk termenung di mejanya, merenung tentang apa yang baru saja terjadi. Semua ingatan tentang masa SMA kembali menghantuinya. Rasa sakit yang telah lama terkubur muncul lagi, terasa begitu nyata. Kejadian-kejadian buruk itu tiba-tiba terputar ulang di pikirannya, dan ia merasa seluruh tubuhnya merinding.

“Kenapa aku harus bertemu dengan Shinji lagi?” pikir Medina, menghela napas berat. “Dia tak berubah. Dia tetap sama. Dan aku... aku masih takut.”

Medina menundukkan kepala, berusaha untuk melupakan ingatan-ingatan itu. Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin jelas ingatan tentang Shinji yang dulu dan sekarang saling tumpang tindih. Kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Shinji kembali dalam hidupnya. Tetapi kali ini, bukan sebagai teman sekolah yang suka menghinanya, melainkan sebagai CEO perusahaan tempat ia bekerja.

Dengan perasaan campur aduk, Medina berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Ia tahu, ia tidak bisa membiarkan masa lalu menguasai dirinya lagi. Tapi bagaimana jika Shinji yang sekarang, dengan kekuasaan yang dimilikinya, kembali membuat hidupnya menderita?

***

Medina berjalan terburu-buru keluar dari mobil perusahaan, matanya masih berbinar-binar karena baru saja bangun dari pingsan. Suasana malam yang sepi terasa sangat menekan. Namun, hal yang lebih mengganggu adalah perasaan janggal yang terus mengikutinya sejak pertemuannya dengan Shinji di lift tadi.

"Aku harus melupakan ini," gumamnya, menyeka keringat yang menetes dari dahinya.

Sejak kejadian kemarin, perasaan cemas di dadanya tak kunjung reda. Pintu lift yang sempit, tubuh Shinji yang mendekat, semuanya menambah ketegangan yang membuat pernapasannya sesak. Terlebih lagi, tatapan Shinji yang tajam dan penuh teka-teki. Entah mengapa, rasanya seperti dia sudah mengetahui lebih banyak tentangnya daripada yang Medina ingin ungkapkan.

Tiba-tiba, telinganya menangkap suara langkah kaki. Medina terdiam sejenak, kemudian menoleh. Tak jauh darinya, terlihat Shinji yang sedang berbicara dengan asistennya, Bima.

"Shinji," bisik Medina dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa tak enak hati.

Medina memilih untuk menghindari mereka dan berjalan cepat menuju pintu utama kantor. Saat melangkah keluar, angin malam yang dingin menyapa wajahnya, memberinya sedikit ketenangan. Namun, tidak ada ketenangan yang bisa menenangkan kegelisahan dalam dirinya.

Tiba-tiba, teleponnya berdering. Medina mengangkatnya dengan buru-buru.

"Halo?"

"Medina," suara Lisa terdengar lembut di ujung telepon. "Ada sedikit perubahan jadwal. Besok kamu harus hadir rapat dengan CEO. Jangan sampai telat, ya."

Medina terdiam, matanya terbelalak mendengar kata-kata Lisa. Rapat? Dengan Shinji?

"Rapat… dengan CEO?" tanya Medina, sedikit tidak percaya.

"Betul. CEO ingin melihat performa kamu secara langsung. Sepertinya dia tertarik dengan cara kerjamu," jawab Lisa. "Jadi, siapkan dirimu. Jangan bikin malu."

Medina mengusap wajahnya frustasi. Bagaimana ia bisa bekerja dengan pria yang satu itu? Apalagi jika harus berada di ruang rapat bersamanya.

“Terima kasih, Kak,” jawab Medina, lalu menutup telepon dan kembali melangkah.

Keesokan harinya, suasana kantor terasa semakin intens. Medina bisa merasakan tatapan karyawan yang penasaran, seolah mereka menilai dirinya, seolah ada yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Namun, yang paling mengganggu adalah keberadaan Shinji di ruang rapat.

Medina mengenakan blazer hitam yang lebih rapi dari sebelumnya, berharap ia bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Satu hal yang pasti, dia tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa rapat ini adalah ujian terbesarnya.

Pintu ruang rapat terbuka, dan suasana menjadi hening. Medina melangkah masuk, dan di tengah meja panjang itu, Shinji duduk dengan postur tegapnya yang tak berubah. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun.

“Medina,” suara Shinji akhirnya memecah kesunyian. “Selamat datang. Duduklah.”

Medina menunduk dan duduk di kursi kosong di sebelah kiri Shinji. Jantungnya kembali berpacu, dan ia berusaha untuk tidak menatap langsung pria itu. Aroma floral yang masih teringat itu kembali menghantui indra penciumannya.

“Pekerjaanmu akhir-akhir ini menarik perhatian saya,” lanjut Shinji tanpa menoleh. “Tapi saya ingin melihat lebih dalam. Coba presentasikan apa yang sudah kamu kerjakan sejauh ini.”

Medina merasakan beban yang luar biasa. Ia meraih folder yang sudah disiapkan dan membuka halaman pertama dengan tangan yang sedikit gemetar. Namun, saat berbicara, ia mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menyeruak di dalam dirinya.

Saat presentasi berlangsung, Shinji duduk diam, hanya sesekali memberi penilaian singkat. Namun, setiap kali mata mereka bertemu, ada ketegangan yang tak bisa disangkal. Medina merasa semakin terjepit, seolah Shinji bisa membaca setiap pikiran yang tersembunyi di balik wajahnya.

Tiba-tiba, Shinji berhenti menulis dan menatapnya dengan tajam. “Ada yang ingin kamu katakan, Medina?” tanyanya.

Medina terdiam. Sejenak, ia ingin mengatakan yang sebenarnya, ingin mengungkapkan ketakutannya, atau bahkan rasa benci yang terpendam selama bertahun-tahun. Namun, ia tahu ini bukan waktunya.

“Tidak ada, Pak,” jawabnya dengan suara pelan.

Shinji menatapnya lama, seolah mencoba menelusuri setiap inci wajahnya. Kemudian, ia kembali menulis tanpa berkata-kata.

Sementara itu, Medina merasa dadanya sesak. Ia tahu bahwa rapat ini belum berakhir, dan tantangan yang lebih besar masih menantinya.

Ia bertanya-tanya apakah identitasnya segera terbongkar?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta CEO Kembar   Bab 35: Mata Tajam Selena

    Malam sudah jatuh sepenuhnya. Lampu gantung di ruang makan apartemen Shinji memantulkan cahaya lembut ke meja kayu gelap. Dua piring nasi, dua gelas air putih, dan lauk sederhana terhidang rapi. Medina duduk di seberang Shinji. Ia nyaris tidak bersuara sejak makanan datang. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar memecah hening. Shinji makan dengan tenang, wajahnya seperti biasa—tanpa ekspresi, tapi entah kenapa malam ini justru terasa lebih menenangkan. Kadang ia melirik ke arah Medina, tapi cepat mengalihkan pandangan, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak seharusnya muncul di sana. Medina menunduk, memainkan sendok di ujung piringnya. “Terima kasih… sudah mau menampungku,” katanya pelan. Shinji berhenti sebentar, lalu meletakkan sendok. “Aku sudah bilang, bukan soal menampung. Kau hanya sementara di sini. Sampai urusan kontrakanmu selesai.” Nada suaranya datar, tapi anehnya justru terasa menenangkan. Medina mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Namun, setelah i

  • Cinta CEO Kembar   Bab 34: Duniaku Tiba-Tiba Dekat Denganmu

    Shinji juga membeku, matanya terkejut. Tangannya otomatis bertumpu di sisi kepala Medina, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas hangat keduanya bertemu di udara dingin itu. Cahaya senter yang redup membuat bayangan di wajah Shinji tampak dalam — garis rahangnya tegas, matanya bergetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Medina…” suaranya serak, nyaris berbisik. "Maaf. Aku tidak sengaja.” Medina menatapnya diam-diam, masih terkejut, tapi tidak langsung menyingkir. Ada detak cepat di dadanya — bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang berbeda. Entah sejak kapan, ia sadar bahwa jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan denyut jantung Shinji melalui dada yang nyaris menempel. Udara seolah membeku. Hujan di luar seperti berhenti sementara waktu. Shinji perlahan menegakkan tubuhnya. Di antara mereka ada hening yang muncul dan membuat canggung. Keduanya diam cukup lama, hanya suara hujan rintik di luar yang menjadi saksi. Shinji akhirnya berdiri perlahan

  • Cinta CEO Kembar   Bab 33: Kesalahan Lisa

    Tenda-tenda di area perkemahan kini basah kuyup. Lampu-lampu darurat menggantung di antara tali-tali tambang, memantulkan cahaya kekuningan yang bergetar tertiup angin malam. Beberapa staf berlari mondar-mandir membawa handuk dan termos air panas. Medina duduk di kursi lipat di dekat api unggun kecil yang baru dinyalakan, tubuhnya masih diselimuti jaket tebal milik Shinji. Uap hangat mengepul dari cangkir teh di tangannya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar halus, tapi matanya—meski lelah—masih menatap kosong ke arah hutan. Shinji berdiri tak jauh darinya. Kemejanya juga basah sebagian, rambutnya meneteskan air yang jatuh di sisi wajah. Namun, bukan rasa dingin yang mengerutkan alisnya, melainkan sesuatu yang lain—kegelisahan yang dalam. Setelah beberapa menit sunyi, ia akhirnya bicara dengan suara rendah, nyaris hanya terdengar oleh Medina. “Kenapa kau bisa sampai masuk sejauh itu?” Medina menunduk, menggenggam cangkirnya lebih erat. Hujan masih turun rintik-rintik di luar te

  • Cinta CEO Kembar   Bab 32: Aku Ingat Hal Ini

    Awan kelabu mulai menutup matahari sore. Suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan, pertanda hujan akan turun dalam waktu tak lama lagi. Di area perkemahan, suasana yang semula riuh mulai berubah cemas ketika Bima mengumumkan hilangnya Medina. Shinji menatap ke arah pepohonan di kejauhan. Angin mulai berhembus lebih kencang, membuat dedaunan bergoyang seperti memberi isyarat buruk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jaketnya. “Kumpulkan semua staf laki-laki. Kita cari dia sekarang.” Bima mengangguk cepat. “Baik, Pak!” Dalam waktu singkat, empat orang staf berkumpul membawa senter dan jas hujan tipis. Shinji mengambil satu senter, matanya fokus menatap jalan menuju hutan yang perlahan diselimuti kabut senja. “Kita berpencar,” ucapnya tegas. “Dua orang ke arah timur, dua ke arah utara. Aku ke jalur tengah. Gunakan peluit kalau menemukan jejaknya.” “Baik, Pak!” seru mereka hampir bersamaan. Langkah-langkah sepatu terdengar menjejak tanah lembab. Suara ranting patah, daun

  • Cinta CEO Kembar   Bab 31: Akulah yang Amnesia

    Ia memanggil lagi, lebih keras. “Lisa, jangan bercanda! Ini tidak lucu!” Masih tak ada sahutan. Angin tiba-tiba berembus dingin, membuat daun-daun bergoyang. Langit perlahan menggelap, tanda senja segera turun. Medina menggigit bibir, mencoba menahan rasa panik yang merambat naik dari dadanya. Ia melihat ke arah jalur tadi, tapi semuanya tampak sama—hijau, berkabut, dan sunyi. “Tidak mungkin…” gumamnya pelan. Rasanya hal ini pernah terjadi. Tentu saja. Ia mengingatnya. 7 tahun yang lalu hal ini pernah terjadi. 7 tahun yang lalu Medina masih remaja waktu itu, ikut study tour sekolah ke tempat wisata alam di kaki gunung yang berbeda tempat dengan yang sekarang. Hari itu semua teman sekelasnya sibuk berfoto dan bercanda, sementara ia malah ditarik oleh Raisa—sahabatnya sendiri—untuk jalan ke area belakang hutan. “Katanya di sana ada air terjun kecil, Na! Ayo, cuma sebentar kok!” seru Raisa dengan mata berbinar. Medina mengangguk polos. Mereka berjalan menyusuri

  • Cinta CEO Kembar   Bab 30: Outing

    Udara di dalam lemari begitu pengap, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Shinji perlahan membuka pintu. Cahaya sore yang temaram menyusup masuk, menyingkap wajah mereka berdua yang sama-sama tegang.Medina segera melangkah keluar, mengatur napas yang tak beraturan. Ia menatap Shinji tajam.“Kau selalu menyeretku ke situasi aneh seperti ini,” gumamnya dengan nada kesal, tapi suaranya terdengar bergetar.Shinji membalas tatapan itu dengan tenang, meski matanya tak benar-benar tenang. “Kau bisa saja kabur tanpa aku tadi.”“Dan kau bisa saja tidak menarikku ke dalam lemari.”Shinji diam sejenak, lalu menatap lurus ke arah Medina.“Kalau aku tak menarikmu, mereka akan melihatmu. Lalu aku tak tahu apa yang akan kukatakan kalau penjaga rumah itu menemukan kita berdua di kamar ini.”Nada suaranya datar, tapi di ujungnya ada nada gugup yang nyaris tak terdengar.Medina memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau selalu punya alasan.”Shinji berjalan menu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status