Home / Romansa / Cinta CEO Kembar / Berkas Mencurigakan

Share

Berkas Mencurigakan

Author: Kinanti
last update Last Updated: 2025-05-01 12:20:35

Setelah rapat yang berlangsung lebih dari satu jam itu selesai, Medina buru-buru melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang masih bergemuruh. Ia nyaris lupa bagaimana caranya bernapas selama berada dalam ruangan yang sama dengan Shinji, terlebih dengan insiden lift semalam yang terus terbayang.

Namun langkahnya terhenti ketika ia melewati lorong dekat ruang kerja CEO. Suara dari balik pintu yang sedikit terbuka membuatnya refleks berhenti.

“Bima, berkas karyawan magang yang saya minta kemarin, sudah ada?” suara Shinji terdengar dingin seperti biasa.

Medina menahan napas. Berkas? Hatinya langsung mencelos.

“Sudah, Pak. Ada di meja saya. Saya tinggal mengantarkannya,” jawab Bima santai.

“Antar nanti sore. Saya ingin tahu latar belakang mereka. Siapa tahu ada yang menonjol... atau bermasalah.”

Medina mundur pelan-pelan, tubuhnya seketika dingin seperti disiram air es. Ia tahu satu hal pasti—bahayanya bukan main.

Shinji mungkin dulu tak tahu namanya. Bagi Shinji, ia hanya “si burik”. Tapi jika sekarang dia melihat berkas resminya, lengkap dengan foto dan data sekolah asal, maka semuanya akan terbongkar.

“Tidak! Aku nggak bisa biarin itu terjadi,” bisik Medina panik.

Sore itu, saat sebagian besar karyawan mulai bersiap pulang, Medina malah menuju ke lantai HRD dengan langkah hati-hati. Ia beralasan ingin menyerahkan berkas tambahan, dan petugas resepsionis membiarkannya masuk ke ruang dokumen.

Medina tahu ini tindakan nekat. Tapi ia merasa ini satu-satunya cara.

Ia menyusuri rak-rak berkas dengan mata liar, mencari namanya. “Aha!” gumamnya pelan saat melihat map berwarna biru muda bertuliskan: MEIDINA ARSYA – MAGANG PPM DIVISI PEMASARAN.

Tangannya bergetar saat membuka map tersebut. Dan benar saja—di dalamnya ada salinan data lengkap dirinya, termasuk foto lamanya yang sudah di-scan—foto yang diambil sebelum ia berubah. Wajah bulat, pipi tembam, jerawat, dan rambut yang dikepang dua. Semuanya ada di sana.

Medina nyaris menangis.

Ia buru-buru merobek lembaran itu, lalu menyelipkan salinan baru yang telah ia siapkan: data diri dengan nama yang sama, tapi tanpa foto, dan dengan riwayat pendidikan SMA yang diubah.

“SMA PELITA HATI”, bukan lagi “SMA Cahaya Bangsa” tempat ia dan Shinji dulu bersekolah.

Namun ada satu masalah—Medina tak sempat mencari atau mencetak ulang foto baru. Akhirnya, ia meninggalkan bagian foto itu kosong.

Dengan jantung masih berpacu cepat, ia menutup kembali mapnya, menyusunnya seperti semula, dan buru-buru keluar dari ruangan. Tidak ada yang memergokinya. Tidak ada yang bertanya.

Tapi ia tahu, keanehan itu tidak akan luput dari mata Shinji.

---

Di lantai atas, Bima akhirnya meletakkan berkas magang di meja kerja Shinji.

“Ini data karyawan magang, Pak,” ucapnya singkat.

Shinji, yang tengah menatap layar monitor, langsung menoleh dan membuka satu per satu map yang disusun rapi. Ia tak benar-benar tertarik pada semua orang. Namun saat membuka map dengan nama Meidina Arsya, dahinya berkerut.

“Kenapa tidak ada fotonya?” gumamnya pelan.

Ia melihat bagian riwayat pendidikan dan matanya menyipit. SMA Pelita Hati?

“Hmm…”

Nama itu tidak terdengar asing, tapi bukan itu yang Shinji pikirkan. Ia masih mencoba mencocokkan aroma, suara, dan sorot mata wanita aneh yang ia temui di toilet dan lift beberapa hari terakhir.

Ada sesuatu yang terasa familiar.

Dan sekarang berkas ini—tanpa foto—hanya memperkuat rasa curiganya.

Shinji menekan tombol interkom. “Bima, tolong cek ulang file Meidina Arsya. Minta HRD kirimkan versi lengkapnya, termasuk pas foto dan ijazah asli jika perlu.”

“Baik, Pak.”

Shinji bersandar di kursinya. Matanya masih menatap nama di map biru itu. Meidina Arsya.

“Siapa sebenarnya kamu?” batinnya.

***

Sementara itu, di sisi lain kota Jakarta, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gedung pencakar langit bertuliskan SHIN CORP.

Seorang pria turun dari dalam mobil itu. Sosoknya tampan dan berkharisma, tubuhnya tinggi tegap mengenakan jas abu muda yang elegan. Sekilas wajahnya tampak seperti Shinji, namun ada aura yang lebih hangat dan santai dari senyumnya.

Ia adalah Shenoval Shin, saudara kembar Shinji, yang telah lama menetap di Korea untuk mengurus cabang perusahaan keluarga di sana. Kini, setelah lima tahun, ia kembali ke Indonesia untuk sebuah tujuan penting: bertunangan dengan Selena, kekasih yang sudah lama dipacarinya.

Namun sebelum pertunangan itu digelar akhir pekan ini, Shenoval ingin terlebih dahulu menemui kembarannya.

Ia melangkah masuk ke lobby SHIN CORP, dikelilingi tatapan kagum para karyawan yang sempat berpikir Shinji berubah penampilan hari ini.

Shenoval menyapa ramah beberapa karyawan yang salah mengira dirinya sebagai CEO mereka, lalu melangkah ke arah resepsionis.

“Selamat siang, saya ingin bertemu Shinji Shin. Katakan padanya, Shenoval sudah datang.”

Resepsionis wanita itu nyaris tersedak saat mendengar nama itu. “S-Saudara kembar Pak Shinji?”

Shenoval tersenyum lembut. “Ya. Tolong beri tahu dia, aku di sini.”

Di ruang eksekutif lantai 26, suasana terasa lebih dingin daripada biasanya.

Pintu terbuka. Shenoval melangkah masuk tanpa mengetuk. Shinji yang sedang duduk di balik meja kerjanya mengangkat alis sekilas. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, ruangan itu seperti dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata.

"Masih belum berubah ya, suka menerobos begitu saja," ujar Shinji dengan suara datar.

Shenoval menyeringai kecil. "Dan kau masih belum berubah juga. Dingin seperti freezer."

Shinji berdiri, menghampiri saudaranya, lalu menjabat tangan Shenoval sebentar tanpa kehangatan. “Apa kabar?”

“Baik. Korea dingin, tapi tidak sedingin kamu.” Shenoval duduk santai tanpa diminta. “Aku datang bukan cuma untuk reuni keluarga. Aku akan bertunangan akhir pekan ini. Dan aku ingin kau datang.”

Shinji menyandarkan punggung ke meja kerjanya. “Kau tahu aku tidak suka acara formal.”

"Ini keluarga," sahut Shenoval. "Selena ingin kau datang. Aku juga."

Shinji menatapnya lama sebelum berkata, “Aku akan mempertimbangkannya.”

Tak lama kemudian, Shenoval berdiri dan bersiap pergi. Saat ia keluar dari ruangan Shinji dan menuruni lorong, ia tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang.

Seorang wanita berambut hitam kecoklatan dengan blazer abu muda dan rok pensil hitam melangkah cepat sambil menunduk.

Shenoval menoleh. Ada sesuatu yang membuatnya menahan langkah.

Wanita itu… seperti pernah ia lihat sebelumnya. Atau setidaknya aroma parfumnya terasa sangat familiar.

“Maaf,” ucap Medina buru-buru tanpa menatap wajahnya.

Shenoval menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh. “Aneh… kenapa terasa seperti déjà vu?”

Sementara itu, Medina mempercepat langkahnya.

Itu Shenoval. Kembarannya. Meski pria itu terlihat lebih hangat dan tidak menatap seperti hendak membunuh seperti Shinji, Medina tetap merasa cemas. Ia tak ingin dikenali, tak ingin siapa pun dari masa lalunya—meski hanya lewat wajah yang mirip—mengguncang pertahanannya.

Medina berdiri di tangga darurat untuk mengatur nafasnya. Seharusnya bertemu dengan Shenoval adalah hal yang diinginkannya.

Shenoval dulu pernah menjadi seseorang yang berkebalikan dari kembarannya yang seperti iblis.

Sementara itu, pria yang bernama Shenoval itu tertegun setelah berpapasan dengan Medina.

Ia berusaha mengingat-ingat. "Rasanya kenal."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta CEO Kembar   Bab 35: Mata Tajam Selena

    Malam sudah jatuh sepenuhnya. Lampu gantung di ruang makan apartemen Shinji memantulkan cahaya lembut ke meja kayu gelap. Dua piring nasi, dua gelas air putih, dan lauk sederhana terhidang rapi. Medina duduk di seberang Shinji. Ia nyaris tidak bersuara sejak makanan datang. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar memecah hening. Shinji makan dengan tenang, wajahnya seperti biasa—tanpa ekspresi, tapi entah kenapa malam ini justru terasa lebih menenangkan. Kadang ia melirik ke arah Medina, tapi cepat mengalihkan pandangan, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak seharusnya muncul di sana. Medina menunduk, memainkan sendok di ujung piringnya. “Terima kasih… sudah mau menampungku,” katanya pelan. Shinji berhenti sebentar, lalu meletakkan sendok. “Aku sudah bilang, bukan soal menampung. Kau hanya sementara di sini. Sampai urusan kontrakanmu selesai.” Nada suaranya datar, tapi anehnya justru terasa menenangkan. Medina mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Namun, setelah i

  • Cinta CEO Kembar   Bab 34: Duniaku Tiba-Tiba Dekat Denganmu

    Shinji juga membeku, matanya terkejut. Tangannya otomatis bertumpu di sisi kepala Medina, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas hangat keduanya bertemu di udara dingin itu. Cahaya senter yang redup membuat bayangan di wajah Shinji tampak dalam — garis rahangnya tegas, matanya bergetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Medina…” suaranya serak, nyaris berbisik. "Maaf. Aku tidak sengaja.” Medina menatapnya diam-diam, masih terkejut, tapi tidak langsung menyingkir. Ada detak cepat di dadanya — bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang berbeda. Entah sejak kapan, ia sadar bahwa jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan denyut jantung Shinji melalui dada yang nyaris menempel. Udara seolah membeku. Hujan di luar seperti berhenti sementara waktu. Shinji perlahan menegakkan tubuhnya. Di antara mereka ada hening yang muncul dan membuat canggung. Keduanya diam cukup lama, hanya suara hujan rintik di luar yang menjadi saksi. Shinji akhirnya berdiri perlahan

  • Cinta CEO Kembar   Bab 33: Kesalahan Lisa

    Tenda-tenda di area perkemahan kini basah kuyup. Lampu-lampu darurat menggantung di antara tali-tali tambang, memantulkan cahaya kekuningan yang bergetar tertiup angin malam. Beberapa staf berlari mondar-mandir membawa handuk dan termos air panas. Medina duduk di kursi lipat di dekat api unggun kecil yang baru dinyalakan, tubuhnya masih diselimuti jaket tebal milik Shinji. Uap hangat mengepul dari cangkir teh di tangannya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar halus, tapi matanya—meski lelah—masih menatap kosong ke arah hutan. Shinji berdiri tak jauh darinya. Kemejanya juga basah sebagian, rambutnya meneteskan air yang jatuh di sisi wajah. Namun, bukan rasa dingin yang mengerutkan alisnya, melainkan sesuatu yang lain—kegelisahan yang dalam. Setelah beberapa menit sunyi, ia akhirnya bicara dengan suara rendah, nyaris hanya terdengar oleh Medina. “Kenapa kau bisa sampai masuk sejauh itu?” Medina menunduk, menggenggam cangkirnya lebih erat. Hujan masih turun rintik-rintik di luar te

  • Cinta CEO Kembar   Bab 32: Aku Ingat Hal Ini

    Awan kelabu mulai menutup matahari sore. Suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan, pertanda hujan akan turun dalam waktu tak lama lagi. Di area perkemahan, suasana yang semula riuh mulai berubah cemas ketika Bima mengumumkan hilangnya Medina. Shinji menatap ke arah pepohonan di kejauhan. Angin mulai berhembus lebih kencang, membuat dedaunan bergoyang seperti memberi isyarat buruk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jaketnya. “Kumpulkan semua staf laki-laki. Kita cari dia sekarang.” Bima mengangguk cepat. “Baik, Pak!” Dalam waktu singkat, empat orang staf berkumpul membawa senter dan jas hujan tipis. Shinji mengambil satu senter, matanya fokus menatap jalan menuju hutan yang perlahan diselimuti kabut senja. “Kita berpencar,” ucapnya tegas. “Dua orang ke arah timur, dua ke arah utara. Aku ke jalur tengah. Gunakan peluit kalau menemukan jejaknya.” “Baik, Pak!” seru mereka hampir bersamaan. Langkah-langkah sepatu terdengar menjejak tanah lembab. Suara ranting patah, daun

  • Cinta CEO Kembar   Bab 31: Akulah yang Amnesia

    Ia memanggil lagi, lebih keras. “Lisa, jangan bercanda! Ini tidak lucu!” Masih tak ada sahutan. Angin tiba-tiba berembus dingin, membuat daun-daun bergoyang. Langit perlahan menggelap, tanda senja segera turun. Medina menggigit bibir, mencoba menahan rasa panik yang merambat naik dari dadanya. Ia melihat ke arah jalur tadi, tapi semuanya tampak sama—hijau, berkabut, dan sunyi. “Tidak mungkin…” gumamnya pelan. Rasanya hal ini pernah terjadi. Tentu saja. Ia mengingatnya. 7 tahun yang lalu hal ini pernah terjadi. 7 tahun yang lalu Medina masih remaja waktu itu, ikut study tour sekolah ke tempat wisata alam di kaki gunung yang berbeda tempat dengan yang sekarang. Hari itu semua teman sekelasnya sibuk berfoto dan bercanda, sementara ia malah ditarik oleh Raisa—sahabatnya sendiri—untuk jalan ke area belakang hutan. “Katanya di sana ada air terjun kecil, Na! Ayo, cuma sebentar kok!” seru Raisa dengan mata berbinar. Medina mengangguk polos. Mereka berjalan menyusuri

  • Cinta CEO Kembar   Bab 30: Outing

    Udara di dalam lemari begitu pengap, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Shinji perlahan membuka pintu. Cahaya sore yang temaram menyusup masuk, menyingkap wajah mereka berdua yang sama-sama tegang.Medina segera melangkah keluar, mengatur napas yang tak beraturan. Ia menatap Shinji tajam.“Kau selalu menyeretku ke situasi aneh seperti ini,” gumamnya dengan nada kesal, tapi suaranya terdengar bergetar.Shinji membalas tatapan itu dengan tenang, meski matanya tak benar-benar tenang. “Kau bisa saja kabur tanpa aku tadi.”“Dan kau bisa saja tidak menarikku ke dalam lemari.”Shinji diam sejenak, lalu menatap lurus ke arah Medina.“Kalau aku tak menarikmu, mereka akan melihatmu. Lalu aku tak tahu apa yang akan kukatakan kalau penjaga rumah itu menemukan kita berdua di kamar ini.”Nada suaranya datar, tapi di ujungnya ada nada gugup yang nyaris tak terdengar.Medina memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau selalu punya alasan.”Shinji berjalan menu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status