Setelah rapat yang berlangsung lebih dari satu jam itu selesai, Medina buru-buru melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang masih bergemuruh. Ia nyaris lupa bagaimana caranya bernapas selama berada dalam ruangan yang sama dengan Shinji, terlebih dengan insiden lift semalam yang terus terbayang.
Namun langkahnya terhenti ketika ia melewati lorong dekat ruang kerja CEO. Suara dari balik pintu yang sedikit terbuka membuatnya refleks berhenti. “Bima, berkas karyawan magang yang saya minta kemarin, sudah ada?” suara Shinji terdengar dingin seperti biasa. Medina menahan napas. Berkas? Hatinya langsung mencelos. “Sudah, Pak. Ada di meja saya. Saya tinggal mengantarkannya,” jawab Bima santai. “Antar nanti sore. Saya ingin tahu latar belakang mereka. Siapa tahu ada yang menonjol... atau bermasalah.” Medina mundur pelan-pelan, tubuhnya seketika dingin seperti disiram air es. Ia tahu satu hal pasti—bahayanya bukan main. Shinji mungkin dulu tak tahu namanya. Bagi Shinji, ia hanya “si burik”. Tapi jika sekarang dia melihat berkas resminya, lengkap dengan foto dan data sekolah asal, maka semuanya akan terbongkar. “Tidak! Aku nggak bisa biarin itu terjadi,” bisik Medina panik. Sore itu, saat sebagian besar karyawan mulai bersiap pulang, Medina malah menuju ke lantai HRD dengan langkah hati-hati. Ia beralasan ingin menyerahkan berkas tambahan, dan petugas resepsionis membiarkannya masuk ke ruang dokumen. Medina tahu ini tindakan nekat. Tapi ia merasa ini satu-satunya cara. Ia menyusuri rak-rak berkas dengan mata liar, mencari namanya. “Aha!” gumamnya pelan saat melihat map berwarna biru muda bertuliskan: MEIDINA ARSYA – MAGANG PPM DIVISI PEMASARAN. Tangannya bergetar saat membuka map tersebut. Dan benar saja—di dalamnya ada salinan data lengkap dirinya, termasuk foto lamanya yang sudah di-scan—foto yang diambil sebelum ia berubah. Wajah bulat, pipi tembam, jerawat, dan rambut yang dikepang dua. Semuanya ada di sana. Medina nyaris menangis. Ia buru-buru merobek lembaran itu, lalu menyelipkan salinan baru yang telah ia siapkan: data diri dengan nama yang sama, tapi tanpa foto, dan dengan riwayat pendidikan SMA yang diubah. “SMA PELITA HATI”, bukan lagi “SMA Cahaya Bangsa” tempat ia dan Shinji dulu bersekolah. Namun ada satu masalah—Medina tak sempat mencari atau mencetak ulang foto baru. Akhirnya, ia meninggalkan bagian foto itu kosong. Dengan jantung masih berpacu cepat, ia menutup kembali mapnya, menyusunnya seperti semula, dan buru-buru keluar dari ruangan. Tidak ada yang memergokinya. Tidak ada yang bertanya. Tapi ia tahu, keanehan itu tidak akan luput dari mata Shinji. --- Di lantai atas, Bima akhirnya meletakkan berkas magang di meja kerja Shinji. “Ini data karyawan magang, Pak,” ucapnya singkat. Shinji, yang tengah menatap layar monitor, langsung menoleh dan membuka satu per satu map yang disusun rapi. Ia tak benar-benar tertarik pada semua orang. Namun saat membuka map dengan nama Meidina Arsya, dahinya berkerut. “Kenapa tidak ada fotonya?” gumamnya pelan. Ia melihat bagian riwayat pendidikan dan matanya menyipit. SMA Pelita Hati? “Hmm…” Nama itu tidak terdengar asing, tapi bukan itu yang Shinji pikirkan. Ia masih mencoba mencocokkan aroma, suara, dan sorot mata wanita aneh yang ia temui di toilet dan lift beberapa hari terakhir. Ada sesuatu yang terasa familiar. Dan sekarang berkas ini—tanpa foto—hanya memperkuat rasa curiganya. Shinji menekan tombol interkom. “Bima, tolong cek ulang file Meidina Arsya. Minta HRD kirimkan versi lengkapnya, termasuk pas foto dan ijazah asli jika perlu.” “Baik, Pak.” Shinji bersandar di kursinya. Matanya masih menatap nama di map biru itu. Meidina Arsya. “Siapa sebenarnya kamu?” batinnya. *** Sementara itu, di sisi lain kota Jakarta, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gedung pencakar langit bertuliskan SHIN CORP. Seorang pria turun dari dalam mobil itu. Sosoknya tampan dan berkharisma, tubuhnya tinggi tegap mengenakan jas abu muda yang elegan. Sekilas wajahnya tampak seperti Shinji, namun ada aura yang lebih hangat dan santai dari senyumnya. Ia adalah Shenoval Shin, saudara kembar Shinji, yang telah lama menetap di Korea untuk mengurus cabang perusahaan keluarga di sana. Kini, setelah lima tahun, ia kembali ke Indonesia untuk sebuah tujuan penting: bertunangan dengan Selena, kekasih yang sudah lama dipacarinya. Namun sebelum pertunangan itu digelar akhir pekan ini, Shenoval ingin terlebih dahulu menemui kembarannya. Ia melangkah masuk ke lobby SHIN CORP, dikelilingi tatapan kagum para karyawan yang sempat berpikir Shinji berubah penampilan hari ini. Shenoval menyapa ramah beberapa karyawan yang salah mengira dirinya sebagai CEO mereka, lalu melangkah ke arah resepsionis. “Selamat siang, saya ingin bertemu Shinji Shin. Katakan padanya, Shenoval sudah datang.” Resepsionis wanita itu nyaris tersedak saat mendengar nama itu. “S-Saudara kembar Pak Shinji?” Shenoval tersenyum lembut. “Ya. Tolong beri tahu dia, aku di sini.” Di ruang eksekutif lantai 26, suasana terasa lebih dingin daripada biasanya. Pintu terbuka. Shenoval melangkah masuk tanpa mengetuk. Shinji yang sedang duduk di balik meja kerjanya mengangkat alis sekilas. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, ruangan itu seperti dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. "Masih belum berubah ya, suka menerobos begitu saja," ujar Shinji dengan suara datar. Shenoval menyeringai kecil. "Dan kau masih belum berubah juga. Dingin seperti freezer." Shinji berdiri, menghampiri saudaranya, lalu menjabat tangan Shenoval sebentar tanpa kehangatan. “Apa kabar?” “Baik. Korea dingin, tapi tidak sedingin kamu.” Shenoval duduk santai tanpa diminta. “Aku datang bukan cuma untuk reuni keluarga. Aku akan bertunangan akhir pekan ini. Dan aku ingin kau datang.” Shinji menyandarkan punggung ke meja kerjanya. “Kau tahu aku tidak suka acara formal.” "Ini keluarga," sahut Shenoval. "Selena ingin kau datang. Aku juga." Shinji menatapnya lama sebelum berkata, “Aku akan mempertimbangkannya.” Tak lama kemudian, Shenoval berdiri dan bersiap pergi. Saat ia keluar dari ruangan Shinji dan menuruni lorong, ia tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang. Seorang wanita berambut hitam kecoklatan dengan blazer abu muda dan rok pensil hitam melangkah cepat sambil menunduk. Shenoval menoleh. Ada sesuatu yang membuatnya menahan langkah. Wanita itu… seperti pernah ia lihat sebelumnya. Atau setidaknya aroma parfumnya terasa sangat familiar. “Maaf,” ucap Medina buru-buru tanpa menatap wajahnya. Shenoval menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh. “Aneh… kenapa terasa seperti déjà vu?” Sementara itu, Medina mempercepat langkahnya. Itu Shenoval. Kembarannya. Meski pria itu terlihat lebih hangat dan tidak menatap seperti hendak membunuh seperti Shinji, Medina tetap merasa cemas. Ia tak ingin dikenali, tak ingin siapa pun dari masa lalunya—meski hanya lewat wajah yang mirip—mengguncang pertahanannya. Medina berdiri di tangga darurat untuk mengatur nafasnya. Seharusnya bertemu dengan Shenoval adalah hal yang diinginkannya. Shenoval dulu pernah menjadi seseorang yang berkebalikan dari kembarannya yang seperti iblis. Sementara itu, pria yang bernama Shenoval itu tertegun setelah berpapasan dengan Medina. Ia berusaha mengingat-ingat. "Rasanya kenal."“Medina…”Shinji menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, jari-jarinya mengetuk pelan meja.“Medina…” ia mengulang nama itu, nyaris seperti desisan.Nama itu tidak asing. Terasa seperti serpihan bayangan masa lalu yang hampir tenggelam. Tapi wajah, sosok, atau apa pun yang bisa ia kaitkan dengan nama itu—semuanya kosong. Hanya samar.Sebelum ia bisa menggali lebih jauh, telepon kantornya berdering.“Ya?”Suaranya dingin seperti biasa.Suara di seberang terdengar familiar, tenang namun mengandung nada provokatif.“Hyung,” sapa Shenoval. “Aku akan mengirimkan undangan pertunanganku. Pastikan kamu datang, ya. Dan… tentu saja, datanglah bersama kekasihmu.”Diam.Shinji memejamkan mata, menggenggam gagang telepon lebih erat.“Sudah kubilang, jangan terlalu menyindir,” balasnya datar.“Aku serius. Masa CEO Shin yang tampan, terkenal, dan sukses datang sendirian? Jangan memalukan keluarga,” cibir Shenoval sebelum menutup sambungan.Shinji melempar gagang telepon ke meja.Harga dirinya—sebagai p
Setelah rapat yang berlangsung lebih dari satu jam itu selesai, Medina buru-buru melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang masih bergemuruh. Ia nyaris lupa bagaimana caranya bernapas selama berada dalam ruangan yang sama dengan Shinji, terlebih dengan insiden lift semalam yang terus terbayang. Namun langkahnya terhenti ketika ia melewati lorong dekat ruang kerja CEO. Suara dari balik pintu yang sedikit terbuka membuatnya refleks berhenti. “Bima, berkas karyawan magang yang saya minta kemarin, sudah ada?” suara Shinji terdengar dingin seperti biasa. Medina menahan napas. Berkas? Hatinya langsung mencelos. “Sudah, Pak. Ada di meja saya. Saya tinggal mengantarkannya,” jawab Bima santai. “Antar nanti sore. Saya ingin tahu latar belakang mereka. Siapa tahu ada yang menonjol... atau bermasalah.” Medina mundur pelan-pelan, tubuhnya seketika dingin seperti disiram air es. Ia tahu satu hal pasti—bahayanya bukan main. Shinji mungkin dulu tak tahu namanya. Bagi Shinji, ia hanya “si b
Medina kembali mengingat bagaimana ketika semua mimpi buruknya berawal ketika ia menerima beasiswa untuk bersekolah di sekolah kaum Elite. Tak menyangka, ternyata mengambil beasiswa ke sekolah tersebut adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Medina tidak pernah melupakan hari-hari buruk di masa SMA itu. Ia selalu merasa seperti orang luar, terperangkap dalam tubuh yang gemuk, wajah penuh jerawat, dan penampilan yang jauh dari standar kecantikan yang dimiliki teman-temannya. Di sekolah itu, ia sering menjadi sasaran ejekan dan hinaan, terutama dari kelompok anak-anak populer, yang termasuk Shinji.Suatu hari, saat hujan deras turun di siang hari, Medina sedang berjalan menuju toilet sekolah dengan langkah yang hati-hati. Tak disangka, teman-temannya yang jahat sengaja menjatuhkan ember berisi lumpur got tepat di atas kepalanya. Tertawaan keras mengisi udara, dan semua mata tertuju padanya. Lumpur itu menutupi wajahnya, meresap ke dalam rambut, dan membuatnya tampak seperti s
Medina tetiba teringat masa lalunya yang muncul sekilas seperti lampu flash yang berkelebatan dengan membawa perasaan muram. Pesta perpisahan malam itu harusnya jadi kenangan manis. Gedung aula dihiasi lampu warna-warni, dentuman musik terdengar hingga lapangan sekolah. Tapi bagi Medina, malam itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak pernah usai. Ia hanya ingin mencoba merasa "normal", menyatu dengan teman-temannya yang selama ini menjauhinya. Ia menenggak minuman manis dalam gelas plastik. Tidak sadar bahwa itu bukan sekadar soda. Kepalanya mulai pening. Langkahnya goyah. Ia berjalan keluar aula, menyusuri lorong gelap dan dingin. Di belakang sekolah, dekat pohon besar yang sering jadi tempat bolos, dunia seakan berputar. Lalu—gelap. Seseorang membekapnya. Entah siapa. Medina hanya ingat tangan itu begitu kuat menahan mulutnya untuk tidak berteriak. Medina tak bisa mengingat wajahnya. Hanya ingat nafasnya yang tercekat, tubuhnya yang lemas, lalu… Ia terbangun dalam semak den
Ada luka yang tak pernah sembuh, meski waktu berusaha menutupinya.Bagi Medina, masa SMA adalah neraka. Hari-hari di mana tawa berubah menjadi pisau, saat dirinya menjadi sasaran empuk cemoohan. Ia tumbuh dengan label burik, jelek, tak pantas dicintai. Lebih dari itu, ada satu malam kelam yang tak pernah bisa ia lupakan—malam ketika harga dirinya direnggut paksa, meninggalkan bekas luka yang menghantui setiap tidurnya.Ia pikir, setelah lulus dan menata diri, masa lalu itu akan terkubur. Ia berusaha mati-matian mengubur nama, wajah, bahkan dirinya yang dulu. Namun semesta rupanya gemar bercanda. Karena di puncak perjuangannya mencari pekerjaan, ia justru dipertemukan kembali dengan salah satu pria yang paling ingin ia lupakan—Shinji, sang penguasa dingin yang dulu ikut membuat masa SMA-nya terasa seperti neraka.Dan kali ini, ia tak bisa kabur.Ia butuh pekerjaan itu… meski artinya ia harus berhadapan dengan mimpi buruknya setiap hari.*** Gedung tinggi menjulang di hadapannya, ber