LOGINMedina tetiba teringat masa lalunya yang muncul sekilas seperti lampu flash yang berkelebatan dengan membawa perasaan muram.
Pesta perpisahan malam itu harusnya jadi kenangan manis. Gedung aula dihiasi lampu warna-warni, dentuman musik terdengar hingga lapangan sekolah. Tapi bagi Medina, malam itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak pernah usai. Ia hanya ingin mencoba merasa "normal", menyatu dengan teman-temannya yang selama ini menjauhinya. Ia menenggak minuman manis dalam gelas plastik. Tidak sadar bahwa itu bukan sekadar soda. Kepalanya mulai pening. Langkahnya goyah. Ia berjalan keluar aula, menyusuri lorong gelap dan dingin. Di belakang sekolah, dekat pohon besar yang sering jadi tempat bolos, dunia seakan berputar. Lalu—gelap. Seseorang membekapnya. Entah siapa. Medina hanya ingat tangan itu begitu kuat menahan mulutnya untuk tidak berteriak. Medina tak bisa mengingat wajahnya. Hanya ingat nafasnya yang tercekat, tubuhnya yang lemas, lalu… Ia terbangun dalam semak dengan pakaian tersingkap, bibirnya berdarah, dan hatinya hancur. Tangisnya meraung malam itu, ia sungguh tidak mengerti apa yang telah terjadi padanya ia hanya tahu ia sangat marah dan terluka. Ia tahu ia telah dilecehkan. Dan ia tidak tahu siapa yang melakukannya. Sampai saat ini. Sampai saat ini jugalah hal itu terus menjadi mimpi buruk yang menghantuinya setiap malam. *** Kembali ke toilet pria. Detik terasa seperti menit. Medina menahan napas, punggungnya menempel dinding. Ia ingin hilang. Ingin kabur dari tempat sempit ini. Shinji berdiri sangat dekat. Bahkan terlalu dekat. Tanpa sengaja, ia mengendus aroma dari rambut Medina—floral, samar, lembut… dan anehnya, familiar. Hidungnya berkedut kecil. Ia pernah mengenal aroma ini. Tapi kapan? Ia melirik ke arah wajah wanita itu, tapi Medina dengan cerdas menunduk dan menutup sebagian wajahnya dengan rambut. Langkah kaki terdengar di luar. Lalu pintu terbuka, para karyawan pria telah pergi. Begitu mereka pergi, Medina buru-buru keluar tanpa menoleh. Shinji hendak menghentikannya, mulutnya sudah siap mengeluarkan teguran tajam. Tapi Medina melesat cepat seperti bayangan. Shinji mendengus kesal. Ia tidak suka rasa penasaran ini. Tapi waktu rapat tak bisa ditunda. *** Malam itu, Medina jadi satu-satunya pemagang yang masih bekerja. Yang lain sibuk bermain ponsel atau bercanda. "Kalau magang saja malas, mending nggak usah kerja," gumamnya kesal. Tangannya terus mengetik laporan, menyusun data, mengarsip file. Saat ia pulang, kantor sudah hampir kosong. Ia masuk ke lift, memijat pelipis yang berdenyut. Saat itu pintu hampir menutup… dan seseorang menahan dengan tangan panjang dan kuat. Shinji. Medina menegang. "Sial," gumamnya. Ia membalikkan badan, menutupi wajah dengan rambut dan berdoa semoga lift segera sampai lantai dasar. Tapi takdir kembali mempermainkannya. Lift bergetar keras. Lampu padam sejenak, lalu menyala berkedip-kedip. Lalu... lift anjlok sedikit. Medina menjerit pelan, tubuhnya membeku. Dada sesak. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Shinji berpikir ia akan mengomeli bagian pemeliharaan karena membiarkan lift ini tanpa pemeriksaan. Ia dengan santai menunggu lift berjalan kembali. Tapi ia menoleh pada wanita di belakangnya yang duduk mengkerut di pojok lift seolah ketakutan. "Hei apa kau pikir akan mati di sini?" seloroh Shinji. ia merasa bahwa gadis itu menggelikan. Medina tak bisa menjawab. Ia menempel ke dinding, wajah pucat dan mata panik. "Aku... aku takut gelap... ruang sempit..." bisiknya sambil menarik napas cepat. Shinji menatapnya. Bukankah ia wanita yang di toilet tadi? "Hei, lagi-lagi kau??" Medina memalingkan wajahnya. Shinji berpikir bagaimana bisa ia jatuh dua kali dalam kesialan bersamanya. Ia akan mengomel lagi tapi saat Medina menutup wajahnya pada lututnya Shinji malah menghela nafas berat. "Belum pernah aku melihat karyawan seperti kamu di sini, apa kau baru?" Medina mengangguk tanpa menengadahkan wajahnya. Karena situasi yang canggung itu Shinji buru-buru memanggil keamanan lewat interkom di dalam lift. Rasanya aneh bagi Shinji terjebak dua kali bersama karyawannya sendiri. Shinji perlahan menyadari, ada sesuatu yang salah dengan wanita ini. Ketakutannya bukan sekadar karena lift. Tubuh Medina gemetar hebat, tangan mencengkeram dinding seperti mencari udara. Nafasnya memburu, pendek-pendek, seperti orang sekarat. "Hei... tarik napas. Ikuti aku." Suara Shinji, meski dingin, tapi terdengar sedikit panik. Tapi Medina tak merespons. Matanya kabur, dunia di sekitarnya memudar. Gelap. Sempit. Tak bisa bergerak. Tangan menahan tubuhnya. Bau tanah. Bau tubuh asing. Darah. Luka. Rasa malu. Rasa jijik. Semua itu kembali menyerang dalam satu hantaman besar. “Jangan sentuh aku… jangan sentuh aku…” bisik Medina, matanya mulai basah. Shinji mulai panik. “Hey! Hei!” Ia mencoba menyentuh bahu Medina—tapi wanita itu refleks menepisnya keras. “JANGAN SENTUH AKU!!” Suara itu menggema di ruang sempit. Shinji mundur satu langkah, terkejut. Ia tak biasa dibentak. Lampu berkedip lagi. Sekali. Dua kali. Lalu padam. Medina mengeluarkan satu isakan kecil, lalu pingsan begitu saja. Shinji entah kenapa bergerak cepat, menangkap tubuhnya sebelum terjatuh ke lantai lift yang keras. Tubuh itu ringan. Terlalu ringan. “...Sial,” gumam Shinji, sambil mengangkat tubuh Medina ke pelukannya. Lift perlahan bergerak turun kembali, darurat. Saat pintu terbuka, seorang staf keamanan dan teknisi lift sudah menunggu. Mereka terkejut melihat CEO mereka menggendong seorang wanita. Shinji hanya berkata singkat, “Dia pingsan. Siapkan mobil, antar dia ke rumah.” “Siap, Tuan Shinji.” Di dalam mobil hitam mewah, Medina mulai sadar perlahan. Kepalanya pusing. Ia tak tahu di mana ia berada. Langit malam bergerak perlahan di jendela samping. Wajah Shinji terpantul samar di balik kaca. Ia duduk di sebelah. Medina menegang. “Apa yang terjadi...?” “Kau pingsan di lift,” jawab Shinji pendek. Medina buru-buru bangun, menjaga jarak. “Maaf… saya tidak apa-apa. Tolong turunkan saya di sini saja.” “Kita belum sampai rumahmu.” “Saya bisa naik ojek online. Terima kasih, Tuan Shinji,” katanya cepat, berusaha menahan gejolak dalam dirinya. Shinji memperhatikan wajah itu. Untuk sesaat... ia seperti mengenal sorot matanya. Tapi samar. Terlalu samar. Dan aroma floral itu—lagi-lagi mengusik pikirannya. Sebelum berpikir mencari ingatan tentang wanita itu, Medina buru-buru menyuruh sopir berhenti dan ia segera rusuh turun dari mobil bosnya. Ia berkali-kali membungkuk mengucapkan maaf dan terima kasih. Setelah yakin mobil Shinji pergi ia buru-buru menaiki bus umum untuk pulang. Di dalam bus hatinya masih berkecamuk. Bagaimana bisa hari ini hari yang paling sial dalam hidupnya datang bertubi-tubi lagi. Seolah ia kembali ke masa SMA di mana ia tak ingin hidup di masa itu. Sementara itu di dalam mobil, Shinji menelpon Bima. Bima,” katanya ke asistennya lewat telepon. “Selidiki semua karyawan magang baru. Terutama dengan karyawan yang bernama Medina." "Sepertinya ada yang aneh dengan gadis itu," tambahnya.Malam sudah jatuh sepenuhnya. Lampu gantung di ruang makan apartemen Shinji memantulkan cahaya lembut ke meja kayu gelap. Dua piring nasi, dua gelas air putih, dan lauk sederhana terhidang rapi. Medina duduk di seberang Shinji. Ia nyaris tidak bersuara sejak makanan datang. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar memecah hening. Shinji makan dengan tenang, wajahnya seperti biasa—tanpa ekspresi, tapi entah kenapa malam ini justru terasa lebih menenangkan. Kadang ia melirik ke arah Medina, tapi cepat mengalihkan pandangan, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak seharusnya muncul di sana. Medina menunduk, memainkan sendok di ujung piringnya. “Terima kasih… sudah mau menampungku,” katanya pelan. Shinji berhenti sebentar, lalu meletakkan sendok. “Aku sudah bilang, bukan soal menampung. Kau hanya sementara di sini. Sampai urusan kontrakanmu selesai.” Nada suaranya datar, tapi anehnya justru terasa menenangkan. Medina mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Namun, setelah i
Shinji juga membeku, matanya terkejut. Tangannya otomatis bertumpu di sisi kepala Medina, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas hangat keduanya bertemu di udara dingin itu. Cahaya senter yang redup membuat bayangan di wajah Shinji tampak dalam — garis rahangnya tegas, matanya bergetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Medina…” suaranya serak, nyaris berbisik. "Maaf. Aku tidak sengaja.” Medina menatapnya diam-diam, masih terkejut, tapi tidak langsung menyingkir. Ada detak cepat di dadanya — bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang berbeda. Entah sejak kapan, ia sadar bahwa jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan denyut jantung Shinji melalui dada yang nyaris menempel. Udara seolah membeku. Hujan di luar seperti berhenti sementara waktu. Shinji perlahan menegakkan tubuhnya. Di antara mereka ada hening yang muncul dan membuat canggung. Keduanya diam cukup lama, hanya suara hujan rintik di luar yang menjadi saksi. Shinji akhirnya berdiri perlahan
Tenda-tenda di area perkemahan kini basah kuyup. Lampu-lampu darurat menggantung di antara tali-tali tambang, memantulkan cahaya kekuningan yang bergetar tertiup angin malam. Beberapa staf berlari mondar-mandir membawa handuk dan termos air panas. Medina duduk di kursi lipat di dekat api unggun kecil yang baru dinyalakan, tubuhnya masih diselimuti jaket tebal milik Shinji. Uap hangat mengepul dari cangkir teh di tangannya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar halus, tapi matanya—meski lelah—masih menatap kosong ke arah hutan. Shinji berdiri tak jauh darinya. Kemejanya juga basah sebagian, rambutnya meneteskan air yang jatuh di sisi wajah. Namun, bukan rasa dingin yang mengerutkan alisnya, melainkan sesuatu yang lain—kegelisahan yang dalam. Setelah beberapa menit sunyi, ia akhirnya bicara dengan suara rendah, nyaris hanya terdengar oleh Medina. “Kenapa kau bisa sampai masuk sejauh itu?” Medina menunduk, menggenggam cangkirnya lebih erat. Hujan masih turun rintik-rintik di luar te
Awan kelabu mulai menutup matahari sore. Suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan, pertanda hujan akan turun dalam waktu tak lama lagi. Di area perkemahan, suasana yang semula riuh mulai berubah cemas ketika Bima mengumumkan hilangnya Medina. Shinji menatap ke arah pepohonan di kejauhan. Angin mulai berhembus lebih kencang, membuat dedaunan bergoyang seperti memberi isyarat buruk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jaketnya. “Kumpulkan semua staf laki-laki. Kita cari dia sekarang.” Bima mengangguk cepat. “Baik, Pak!” Dalam waktu singkat, empat orang staf berkumpul membawa senter dan jas hujan tipis. Shinji mengambil satu senter, matanya fokus menatap jalan menuju hutan yang perlahan diselimuti kabut senja. “Kita berpencar,” ucapnya tegas. “Dua orang ke arah timur, dua ke arah utara. Aku ke jalur tengah. Gunakan peluit kalau menemukan jejaknya.” “Baik, Pak!” seru mereka hampir bersamaan. Langkah-langkah sepatu terdengar menjejak tanah lembab. Suara ranting patah, daun
Ia memanggil lagi, lebih keras. “Lisa, jangan bercanda! Ini tidak lucu!” Masih tak ada sahutan. Angin tiba-tiba berembus dingin, membuat daun-daun bergoyang. Langit perlahan menggelap, tanda senja segera turun. Medina menggigit bibir, mencoba menahan rasa panik yang merambat naik dari dadanya. Ia melihat ke arah jalur tadi, tapi semuanya tampak sama—hijau, berkabut, dan sunyi. “Tidak mungkin…” gumamnya pelan. Rasanya hal ini pernah terjadi. Tentu saja. Ia mengingatnya. 7 tahun yang lalu hal ini pernah terjadi. 7 tahun yang lalu Medina masih remaja waktu itu, ikut study tour sekolah ke tempat wisata alam di kaki gunung yang berbeda tempat dengan yang sekarang. Hari itu semua teman sekelasnya sibuk berfoto dan bercanda, sementara ia malah ditarik oleh Raisa—sahabatnya sendiri—untuk jalan ke area belakang hutan. “Katanya di sana ada air terjun kecil, Na! Ayo, cuma sebentar kok!” seru Raisa dengan mata berbinar. Medina mengangguk polos. Mereka berjalan menyusuri
Udara di dalam lemari begitu pengap, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Shinji perlahan membuka pintu. Cahaya sore yang temaram menyusup masuk, menyingkap wajah mereka berdua yang sama-sama tegang.Medina segera melangkah keluar, mengatur napas yang tak beraturan. Ia menatap Shinji tajam.“Kau selalu menyeretku ke situasi aneh seperti ini,” gumamnya dengan nada kesal, tapi suaranya terdengar bergetar.Shinji membalas tatapan itu dengan tenang, meski matanya tak benar-benar tenang. “Kau bisa saja kabur tanpa aku tadi.”“Dan kau bisa saja tidak menarikku ke dalam lemari.”Shinji diam sejenak, lalu menatap lurus ke arah Medina.“Kalau aku tak menarikmu, mereka akan melihatmu. Lalu aku tak tahu apa yang akan kukatakan kalau penjaga rumah itu menemukan kita berdua di kamar ini.”Nada suaranya datar, tapi di ujungnya ada nada gugup yang nyaris tak terdengar.Medina memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau selalu punya alasan.”Shinji berjalan menu







