LOGINMedina menyimpan luka kelam yang tak pernah sembuh—pernah dilecehkan di masa remaja, dalam keadaan rapuh, dan mirisnya hingga kini ia tak pernah tahu siapa pelakunya. Bertahun-tahun berlalu, Medina kembali dengan wajah baru. Bukan lagi gadis lemah, melainkan wanita cerdas dan berkelas. Namun, takdir mempertemukannya kembali dengan Shinji, pria arogan yang dulu menjadi salah satu mimpi buruknya. Lalu muncullah Shenoval—kembaran Shinji yang misterius, penuh rahasia, dan perlahan mengaitkan dirinya dengan potongan masa lalu yang hilang. Di antara cinta, dendam, dan luka lama yang siap terbongkar, Medina harus memilih: mencari kebenaran tentang pelaku yang menghancurkannya, atau terjerat cinta pada salah satu dari dua CEO kembar yang sama-sama berbahaya.
View MoreAda luka yang tak pernah sembuh, meski waktu berusaha menutupinya.
Bagi Medina, masa SMA adalah neraka. Hari-hari di mana tawa berubah menjadi pisau, saat dirinya menjadi sasaran empuk cemoohan. Ia tumbuh dengan label burik, jelek, tak pantas dicintai. Lebih dari itu, ada satu malam kelam yang tak pernah bisa ia lupakan—malam ketika harga dirinya direnggut paksa, meninggalkan bekas luka yang menghantui setiap tidurnya. Ia pikir, setelah lulus dan menata diri, masa lalu itu akan terkubur. Ia berusaha mati-matian mengubur nama, wajah, bahkan dirinya yang dulu. Namun semesta rupanya gemar bercanda. Karena di puncak perjuangannya mencari pekerjaan, ia justru dipertemukan kembali dengan salah satu pria yang paling ingin ia lupakan—Shinji, sang penguasa dingin yang dulu ikut membuat masa SMA-nya terasa seperti neraka. Dan kali ini, ia tak bisa kabur. Ia butuh pekerjaan itu… meski artinya ia harus berhadapan dengan mimpi buruknya setiap hari. *** Gedung tinggi menjulang di hadapannya, berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Logo berwarna perak bertuliskan Shin Corporation menyambut setiap orang yang memasuki pintu kaca otomatis yang terbuka dan tertutup dengan ritme mekanis yang presisi. Medina menarik napas dalam-dalam. Tangannya yang menggenggam tas kerja murahan sedikit berkeringat. Ia mengenakan blazer abu-abu muda dengan rok pensil hitam dan blus putih sederhana. Tidak mencolok, tapi cukup rapi untuk hari pertamanya sebagai karyawan magang. “Bismillah,” bisiknya pelan sebelum melangkah masuk. Langkah pertamanya terasa berat. Bukan karena beban tas, melainkan beban masa lalu yang menempel di punggungnya seperti bayangan hitam yang tak pernah benar-benar hilang. Ia pernah dilecehkan. Yang menyesakkan dadanya sampai saat ini, ia tidak tahu siapa yang melakukannya. Dendam dan luka itu ia simpan bersama rasa depresinya selama ini. Tujuh tahun. Butuh selama itu ia baru mulai menata hidupnya kembali. Mencoba bangkit. Namun seolah semesta sedang menertawakannya. .... “Selamat datang di divisi pemasaran. Ini meja kamu, Medina,” kata seorang staf senior bernama Lisa, ramah. Medina membungkuk sopan. “Terima kasih, Kak.” Lisa tersenyum. “Hari ini kamu belum akan langsung dikasih tugas berat. Santai saja dulu, kenali lingkungan kerja. Tapi—” ia menundukkan suara, lalu berbisik sambil melirik ke arah lorong, “—kalau kamu lihat CEO lewat, diam dan sopan saja ya. Dia agak… intimidating.” Medina tersenyum kaku. “Oke, Kak.” Baru saja ia hendak duduk, tiba-tiba seluruh ruangan terasa hening. Seperti ada badai yang baru saja menyapu keheningan. Medina menoleh. Seorang pria tinggi, mengenakan setelan jas hitam elegan, berjalan melewati lorong kantor. Wajahnya tajam, hidungnya mancung, rahangnya tegas. Matanya… dingin, menusuk. Langkahnya mantap, tanpa ragu sedikit pun. “Wah... itu CEO kita. Dingin banget, tapi tampan parah,” bisik salah satu karyawan perempuan di belakangnya. “Namanya Shinji. Dengar-dengar lulusan luar negeri. Gak banyak omong, tapi tajam kalau kasih arahan,” timpal yang lain. Medina membeku. Darahnya terasa berhenti mengalir. Matanya menatap wajah itu—wajah yang dulu menertawakannya, mengolok-olok pipinya yang bulat, rambutnya yang lepek, kulitnya yang penuh jerawat. Wajah yang pernah mengatakan, “Kamu itu nggak pantes hidup di dunia nyata.” Itu dia. Shinji. Bertahun-tahun berlalu, tapi Medina tak akan pernah lupa wajah itu. Apalagi suaranya. Dulu Shinji adalah mimpi buruk di sekolah, raja dari segala penghinaan. Dan sekarang? Dia CEO-nya. Tubuh Medina mulai gemetar. Ia buru-buru menunduk, berpura-pura melihat sesuatu di layar monitor yang bahkan belum menyala. “Dia nggak akan mengenaliku… dia nggak akan mengenaliku…” gumamnya pelan, seperti mantra penenang. Ia memang bukan lagi Medina si itik buruk rupa dari masa SMA. Sekarang kulitnya lebih bersih, pipinya tirus, kacamatanya telah ditanggalkan, dan rambutnya tak lagi dikepang dua seperti anak-anak. Tapi tetap saja, rasa takut itu muncul. Tangan Medina mencengkeram ujung meja. Ia merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu—ke ruang kelas yang penuh tawa jahat, ke toilet perempuan tempat ia sering menangis diam-diam, ke loker yang sering diisi surat-surat penghinaan. “Sial…” bisiknya. “Kenapa dia harus jadi CEO-nya?” Jam istirahat datang. Karyawan berbondong-bondong ke kantin. Medina tidak ikut. Ia memilih pergi ke toilet, mengunci diri di bilik paling ujung. Ia duduk di atas kloset yang tertutup, menutup wajah dengan kedua tangannya. Kenapa harus dia? Kenapa takdir membawaku ke perusahaan ini? Medina tak kuasa menahan gemuruh di dadanya. Tapi ia tahu, ia tak boleh terlihat lemah. Tidak lagi. Tidak di tempat ini. “Aku butuh pekerjaan ini,” katanya sambil berusaha mengendalikan kegugupannya. Di lantai atas, Shinji sedang berdiri di depan jendela kaca yang menghadap kota. Ia memegang secangkir kopi hitam, matanya kosong menatap jauh. “CEO Shin?” tanya asistennya pelan. “Apakah presentasi jam tiga nanti tetap berjalan sesuai jadwal?” Shinji mengangguk pelan, tapi tak menjawab langsung. Ia memutar cangkir di tangannya. “O ya, apa karyawan magang hari ini sudah mulai bekerja?” "Benar hari ini mereka mulai bekerja." "Kalau begitu kasih mereka banyak pekerjaan. Anggap saja ini masih training. Aku ingin melihat siapa yang menonjol." Asisten bernama Bima mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan permintaan berlebihan dari sang atasan. Dan atasan yang satu ini adalah Tuan yang Tak Bisa Dibantah. Jam istirahat telah usai, dan sesuai perintah Shinji, para karyawan magang diberi segunung tugas administratif yang rumit dan membosankan. Medina tak terkecuali. Ia duduk di kursinya dengan mata lelah, dikelilingi berkas-berkas yang menumpuk dan e-mail instruksi yang membanjiri laptopnya. “Baru juga hari pertama...” gumamnya sambil mengetik cepat. “Bahkan aku belum sempat menghafal nama rekan satu divisi, tapi sudah dibombardir pekerjaan setumpuk begini.” Keningnya berkerut, mulutnya menggumam lirih. “Dia benar-benar tidak berubah…” Tangannya berhenti mengetik. “Dingin. Kejam. Suka menyiksa orang lemah. Sama persis seperti dulu…” Pikirannya masih penuh amarah ketika ia berdiri, bermaksud menuju pantry untuk mengambil air putih. Namun baru beberapa langkah, langkah kaki yang terdengar di ujung lorong membuatnya refleks menoleh. Shinji. Lagi-lagi dia. Dengan setelan berbeda dari pagi tadi, kali ini tanpa jas. Hanya kemeja putih yang sebagian basah di bagian dada—sepertinya terkena sesuatu. Medina refleks menunduk, berusaha berbalik arah secepatnya. Sial. Sial! Kenapa aku harus satu lorong sama dia sekarang?! Medina melipir cepat ke arah pintu terdekat, yang ia kira adalah toilet perempuan. Tanpa berpikir panjang, ia dorong pintu itu dan masuk. Hanya butuh dua detik baginya untuk sadar... tempat ini salah. Dindingnya berbeda. Tidak ada tempat makeup. Tidak ada aroma sabun bunga. Dan lebih dari segalanya— Urinal. Jantungnya berhenti berdetak. Dan saat itulah pintu di belakangnya terbuka. Shinji masuk. Keduanya saling terdiam. Mata mereka bertemu dalam sepersekian detik, dan waktu terasa membeku. Shinji mengerutkan kening. “Sedang apa kau di sini? Apa kamu tidak tahu ini toilet laki-laki?” Medina membeku di tempatnya. Wajahnya memerah, tubuhnya gemetar. “S-saya... saya salah masuk, Pak.” “Salah masuk?” Suara Shinji terdengar tajam. “Matamu buta, ya?” Medina menunduk dalam-dalam, tubuhnya seperti mengecil. “Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Sungguh…” Shinji hendak bicara lagi, namun suara langkah kaki di luar mulai terdengar. Tawa dan obrolan para karyawan pria yang juga akan masuk ke toilet. Wajah Medina langsung pucat pasi. Ya Tuhan. Bagaimana kalau mereka lihat aku di sini? Nanti aku disangka macam-macam… Shinji menyadari hal yang sama. “Kalau kamu ketahuan di sini dengan aku, kariermu selesai,” katanya dingin, namun tegas. Tanpa menunggu persetujuan, ia menarik tangan Medina dan membawanya masuk ke salah satu bilik. Dalam satu gerakan cepat, pintu bilik ditutup dan dikunci dari dalam. Ruang bilik itu sempit, bahkan sangat sempit untuk dua orang. Medina berdiri terpaku, punggungnya hampir menempel ke dinding, sementara Shinji berdiri di hadapannya, begitu dekat hingga Medina bisa mencium aroma sabun maskulin dari tubuh pria itu—bersih, dingin, dan menusuk seperti dirinya. Deg. Deg. Deg. Jantung Medina berdebar liar. Ia ingin mundur, tapi tidak ada ruang. Ingin kabur, tapi terkunci. Ingin berteriak, tapi suara di luar terlalu ramai. Matanya menatap lantai, menghindari kontak mata sejauh mungkin. Shinji juga diam. Nafasnya berat, seperti menahan emosi—atau kebingungan. Beberapa detik mereka hanya terdiam dalam kesempitan bilik itu, hanya terdengar napas dan denyut ketegangan yang menyiksa. Medina menutup matanya rapat-rapat. Kenapa begini? Kenapa aku harus sedekat ini dengan orang yang paling kubenci? Tiba-tiba Shinji berkata pelan, dengan nada penuh kecurigaan. “Kenapa wajahmu seperti familiar…”Malam sudah jatuh sepenuhnya. Lampu gantung di ruang makan apartemen Shinji memantulkan cahaya lembut ke meja kayu gelap. Dua piring nasi, dua gelas air putih, dan lauk sederhana terhidang rapi. Medina duduk di seberang Shinji. Ia nyaris tidak bersuara sejak makanan datang. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar memecah hening. Shinji makan dengan tenang, wajahnya seperti biasa—tanpa ekspresi, tapi entah kenapa malam ini justru terasa lebih menenangkan. Kadang ia melirik ke arah Medina, tapi cepat mengalihkan pandangan, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak seharusnya muncul di sana. Medina menunduk, memainkan sendok di ujung piringnya. “Terima kasih… sudah mau menampungku,” katanya pelan. Shinji berhenti sebentar, lalu meletakkan sendok. “Aku sudah bilang, bukan soal menampung. Kau hanya sementara di sini. Sampai urusan kontrakanmu selesai.” Nada suaranya datar, tapi anehnya justru terasa menenangkan. Medina mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Namun, setelah i
Shinji juga membeku, matanya terkejut. Tangannya otomatis bertumpu di sisi kepala Medina, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas hangat keduanya bertemu di udara dingin itu. Cahaya senter yang redup membuat bayangan di wajah Shinji tampak dalam — garis rahangnya tegas, matanya bergetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Medina…” suaranya serak, nyaris berbisik. "Maaf. Aku tidak sengaja.” Medina menatapnya diam-diam, masih terkejut, tapi tidak langsung menyingkir. Ada detak cepat di dadanya — bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang berbeda. Entah sejak kapan, ia sadar bahwa jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan denyut jantung Shinji melalui dada yang nyaris menempel. Udara seolah membeku. Hujan di luar seperti berhenti sementara waktu. Shinji perlahan menegakkan tubuhnya. Di antara mereka ada hening yang muncul dan membuat canggung. Keduanya diam cukup lama, hanya suara hujan rintik di luar yang menjadi saksi. Shinji akhirnya berdiri perlahan
Tenda-tenda di area perkemahan kini basah kuyup. Lampu-lampu darurat menggantung di antara tali-tali tambang, memantulkan cahaya kekuningan yang bergetar tertiup angin malam. Beberapa staf berlari mondar-mandir membawa handuk dan termos air panas. Medina duduk di kursi lipat di dekat api unggun kecil yang baru dinyalakan, tubuhnya masih diselimuti jaket tebal milik Shinji. Uap hangat mengepul dari cangkir teh di tangannya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar halus, tapi matanya—meski lelah—masih menatap kosong ke arah hutan. Shinji berdiri tak jauh darinya. Kemejanya juga basah sebagian, rambutnya meneteskan air yang jatuh di sisi wajah. Namun, bukan rasa dingin yang mengerutkan alisnya, melainkan sesuatu yang lain—kegelisahan yang dalam. Setelah beberapa menit sunyi, ia akhirnya bicara dengan suara rendah, nyaris hanya terdengar oleh Medina. “Kenapa kau bisa sampai masuk sejauh itu?” Medina menunduk, menggenggam cangkirnya lebih erat. Hujan masih turun rintik-rintik di luar te
Awan kelabu mulai menutup matahari sore. Suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan, pertanda hujan akan turun dalam waktu tak lama lagi. Di area perkemahan, suasana yang semula riuh mulai berubah cemas ketika Bima mengumumkan hilangnya Medina. Shinji menatap ke arah pepohonan di kejauhan. Angin mulai berhembus lebih kencang, membuat dedaunan bergoyang seperti memberi isyarat buruk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jaketnya. “Kumpulkan semua staf laki-laki. Kita cari dia sekarang.” Bima mengangguk cepat. “Baik, Pak!” Dalam waktu singkat, empat orang staf berkumpul membawa senter dan jas hujan tipis. Shinji mengambil satu senter, matanya fokus menatap jalan menuju hutan yang perlahan diselimuti kabut senja. “Kita berpencar,” ucapnya tegas. “Dua orang ke arah timur, dua ke arah utara. Aku ke jalur tengah. Gunakan peluit kalau menemukan jejaknya.” “Baik, Pak!” seru mereka hampir bersamaan. Langkah-langkah sepatu terdengar menjejak tanah lembab. Suara ranting patah, daun
Ia memanggil lagi, lebih keras. “Lisa, jangan bercanda! Ini tidak lucu!” Masih tak ada sahutan. Angin tiba-tiba berembus dingin, membuat daun-daun bergoyang. Langit perlahan menggelap, tanda senja segera turun. Medina menggigit bibir, mencoba menahan rasa panik yang merambat naik dari dadanya. Ia melihat ke arah jalur tadi, tapi semuanya tampak sama—hijau, berkabut, dan sunyi. “Tidak mungkin…” gumamnya pelan. Rasanya hal ini pernah terjadi. Tentu saja. Ia mengingatnya. 7 tahun yang lalu hal ini pernah terjadi. 7 tahun yang lalu Medina masih remaja waktu itu, ikut study tour sekolah ke tempat wisata alam di kaki gunung yang berbeda tempat dengan yang sekarang. Hari itu semua teman sekelasnya sibuk berfoto dan bercanda, sementara ia malah ditarik oleh Raisa—sahabatnya sendiri—untuk jalan ke area belakang hutan. “Katanya di sana ada air terjun kecil, Na! Ayo, cuma sebentar kok!” seru Raisa dengan mata berbinar. Medina mengangguk polos. Mereka berjalan menyusuri
Udara di dalam lemari begitu pengap, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Shinji perlahan membuka pintu. Cahaya sore yang temaram menyusup masuk, menyingkap wajah mereka berdua yang sama-sama tegang.Medina segera melangkah keluar, mengatur napas yang tak beraturan. Ia menatap Shinji tajam.“Kau selalu menyeretku ke situasi aneh seperti ini,” gumamnya dengan nada kesal, tapi suaranya terdengar bergetar.Shinji membalas tatapan itu dengan tenang, meski matanya tak benar-benar tenang. “Kau bisa saja kabur tanpa aku tadi.”“Dan kau bisa saja tidak menarikku ke dalam lemari.”Shinji diam sejenak, lalu menatap lurus ke arah Medina.“Kalau aku tak menarikmu, mereka akan melihatmu. Lalu aku tak tahu apa yang akan kukatakan kalau penjaga rumah itu menemukan kita berdua di kamar ini.”Nada suaranya datar, tapi di ujungnya ada nada gugup yang nyaris tak terdengar.Medina memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau selalu punya alasan.”Shinji berjalan menu






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments