Ada luka yang tak pernah sembuh, meski waktu berusaha menutupinya.
Bagi Medina, masa SMA adalah neraka. Hari-hari di mana tawa berubah menjadi pisau, saat dirinya menjadi sasaran empuk cemoohan. Ia tumbuh dengan label burik, jelek, tak pantas dicintai. Lebih dari itu, ada satu malam kelam yang tak pernah bisa ia lupakan—malam ketika harga dirinya direnggut paksa, meninggalkan bekas luka yang menghantui setiap tidurnya. Ia pikir, setelah lulus dan menata diri, masa lalu itu akan terkubur. Ia berusaha mati-matian mengubur nama, wajah, bahkan dirinya yang dulu. Namun semesta rupanya gemar bercanda. Karena di puncak perjuangannya mencari pekerjaan, ia justru dipertemukan kembali dengan salah satu pria yang paling ingin ia lupakan—Shinji, sang penguasa dingin yang dulu ikut membuat masa SMA-nya terasa seperti neraka. Dan kali ini, ia tak bisa kabur. Ia butuh pekerjaan itu… meski artinya ia harus berhadapan dengan mimpi buruknya setiap hari. *** Gedung tinggi menjulang di hadapannya, berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Logo berwarna perak bertuliskan Shin Corporation menyambut setiap orang yang memasuki pintu kaca otomatis yang terbuka dan tertutup dengan ritme mekanis yang presisi. Medina menarik napas dalam-dalam. Tangannya yang menggenggam tas kerja murahan sedikit berkeringat. Ia mengenakan blazer abu-abu muda dengan rok pensil hitam dan blus putih sederhana. Tidak mencolok, tapi cukup rapi untuk hari pertamanya sebagai karyawan magang. “Bismillah,” bisiknya pelan sebelum melangkah masuk. Langkah pertamanya terasa berat. Bukan karena beban tas, melainkan beban masa lalu yang menempel di punggungnya seperti bayangan hitam yang tak pernah benar-benar hilang. Ia pernah dilecehkan. Yang menyesakkan dadanya sampai saat ini, ia tidak tahu siapa yang melakukannya. Dendam dan luka itu ia simpan bersama rasa depresinya selama ini. Tujuh tahun. Butuh selama itu ia baru mulai menata hidupnya kembali. Mencoba bangkit. Namun seolah semesta sedang menertawakannya. .... “Selamat datang di divisi pemasaran. Ini meja kamu, Medina,” kata seorang staf senior bernama Lisa, ramah. Medina membungkuk sopan. “Terima kasih, Kak.” Lisa tersenyum. “Hari ini kamu belum akan langsung dikasih tugas berat. Santai saja dulu, kenali lingkungan kerja. Tapi—” ia menundukkan suara, lalu berbisik sambil melirik ke arah lorong, “—kalau kamu lihat CEO lewat, diam dan sopan saja ya. Dia agak… intimidating.” Medina tersenyum kaku. “Oke, Kak.” Baru saja ia hendak duduk, tiba-tiba seluruh ruangan terasa hening. Seperti ada badai yang baru saja menyapu keheningan. Medina menoleh. Seorang pria tinggi, mengenakan setelan jas hitam elegan, berjalan melewati lorong kantor. Wajahnya tajam, hidungnya mancung, rahangnya tegas. Matanya… dingin, menusuk. Langkahnya mantap, tanpa ragu sedikit pun. “Wah... itu CEO kita. Dingin banget, tapi tampan parah,” bisik salah satu karyawan perempuan di belakangnya. “Namanya Shinji. Dengar-dengar lulusan luar negeri. Gak banyak omong, tapi tajam kalau kasih arahan,” timpal yang lain. Medina membeku. Darahnya terasa berhenti mengalir. Matanya menatap wajah itu—wajah yang dulu menertawakannya, mengolok-olok pipinya yang bulat, rambutnya yang lepek, kulitnya yang penuh jerawat. Wajah yang pernah mengatakan, “Kamu itu nggak pantes hidup di dunia nyata.” Itu dia. Shinji. Bertahun-tahun berlalu, tapi Medina tak akan pernah lupa wajah itu. Apalagi suaranya. Dulu Shinji adalah mimpi buruk di sekolah, raja dari segala penghinaan. Dan sekarang? Dia CEO-nya. Tubuh Medina mulai gemetar. Ia buru-buru menunduk, berpura-pura melihat sesuatu di layar monitor yang bahkan belum menyala. “Dia nggak akan mengenaliku… dia nggak akan mengenaliku…” gumamnya pelan, seperti mantra penenang. Ia memang bukan lagi Medina si itik buruk rupa dari masa SMA. Sekarang kulitnya lebih bersih, pipinya tirus, kacamatanya telah ditanggalkan, dan rambutnya tak lagi dikepang dua seperti anak-anak. Tapi tetap saja, rasa takut itu muncul. Tangan Medina mencengkeram ujung meja. Ia merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu—ke ruang kelas yang penuh tawa jahat, ke toilet perempuan tempat ia sering menangis diam-diam, ke loker yang sering diisi surat-surat penghinaan. “Sial…” bisiknya. “Kenapa dia harus jadi CEO-nya?” Jam istirahat datang. Karyawan berbondong-bondong ke kantin. Medina tidak ikut. Ia memilih pergi ke toilet, mengunci diri di bilik paling ujung. Ia duduk di atas kloset yang tertutup, menutup wajah dengan kedua tangannya. Kenapa harus dia? Kenapa takdir membawaku ke perusahaan ini? Medina tak kuasa menahan gemuruh di dadanya. Tapi ia tahu, ia tak boleh terlihat lemah. Tidak lagi. Tidak di tempat ini. “Aku butuh pekerjaan ini,” katanya sambil berusaha mengendalikan kegugupannya. Di lantai atas, Shinji sedang berdiri di depan jendela kaca yang menghadap kota. Ia memegang secangkir kopi hitam, matanya kosong menatap jauh. “CEO Shin?” tanya asistennya pelan. “Apakah presentasi jam tiga nanti tetap berjalan sesuai jadwal?” Shinji mengangguk pelan, tapi tak menjawab langsung. Ia memutar cangkir di tangannya. “O ya, apa karyawan magang hari ini sudah mulai bekerja?” "Benar hari ini mereka mulai bekerja." "Kalau begitu kasih mereka banyak pekerjaan. Anggap saja ini masih training. Aku ingin melihat siapa yang menonjol." Asisten bernama Bima mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan permintaan berlebihan dari sang atasan. Dan atasan yang satu ini adalah Tuan yang Tak Bisa Dibantah. Jam istirahat telah usai, dan sesuai perintah Shinji, para karyawan magang diberi segunung tugas administratif yang rumit dan membosankan. Medina tak terkecuali. Ia duduk di kursinya dengan mata lelah, dikelilingi berkas-berkas yang menumpuk dan e-mail instruksi yang membanjiri laptopnya. “Baru juga hari pertama...” gumamnya sambil mengetik cepat. “Bahkan aku belum sempat menghafal nama rekan satu divisi, tapi sudah dibombardir pekerjaan setumpuk begini.” Keningnya berkerut, mulutnya menggumam lirih. “Dia benar-benar tidak berubah…” Tangannya berhenti mengetik. “Dingin. Kejam. Suka menyiksa orang lemah. Sama persis seperti dulu…” Pikirannya masih penuh amarah ketika ia berdiri, bermaksud menuju pantry untuk mengambil air putih. Namun baru beberapa langkah, langkah kaki yang terdengar di ujung lorong membuatnya refleks menoleh. Shinji. Lagi-lagi dia. Dengan setelan berbeda dari pagi tadi, kali ini tanpa jas. Hanya kemeja putih yang sebagian basah di bagian dada—sepertinya terkena sesuatu. Medina refleks menunduk, berusaha berbalik arah secepatnya. Sial. Sial! Kenapa aku harus satu lorong sama dia sekarang?! Medina melipir cepat ke arah pintu terdekat, yang ia kira adalah toilet perempuan. Tanpa berpikir panjang, ia dorong pintu itu dan masuk. Hanya butuh dua detik baginya untuk sadar... tempat ini salah. Dindingnya berbeda. Tidak ada tempat makeup. Tidak ada aroma sabun bunga. Dan lebih dari segalanya— Urinal. Jantungnya berhenti berdetak. Dan saat itulah pintu di belakangnya terbuka. Shinji masuk. Keduanya saling terdiam. Mata mereka bertemu dalam sepersekian detik, dan waktu terasa membeku. Shinji mengerutkan kening. “Sedang apa kau di sini? Apa kamu tidak tahu ini toilet laki-laki?” Medina membeku di tempatnya. Wajahnya memerah, tubuhnya gemetar. “S-saya... saya salah masuk, Pak.” “Salah masuk?” Suara Shinji terdengar tajam. “Matamu buta, ya?” Medina menunduk dalam-dalam, tubuhnya seperti mengecil. “Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Sungguh…” Shinji hendak bicara lagi, namun suara langkah kaki di luar mulai terdengar. Tawa dan obrolan para karyawan pria yang juga akan masuk ke toilet. Wajah Medina langsung pucat pasi. Ya Tuhan. Bagaimana kalau mereka lihat aku di sini? Nanti aku disangka macam-macam… Shinji menyadari hal yang sama. “Kalau kamu ketahuan di sini dengan aku, kariermu selesai,” katanya dingin, namun tegas. Tanpa menunggu persetujuan, ia menarik tangan Medina dan membawanya masuk ke salah satu bilik. Dalam satu gerakan cepat, pintu bilik ditutup dan dikunci dari dalam. Ruang bilik itu sempit, bahkan sangat sempit untuk dua orang. Medina berdiri terpaku, punggungnya hampir menempel ke dinding, sementara Shinji berdiri di hadapannya, begitu dekat hingga Medina bisa mencium aroma sabun maskulin dari tubuh pria itu—bersih, dingin, dan menusuk seperti dirinya. Deg. Deg. Deg. Jantung Medina berdebar liar. Ia ingin mundur, tapi tidak ada ruang. Ingin kabur, tapi terkunci. Ingin berteriak, tapi suara di luar terlalu ramai. Matanya menatap lantai, menghindari kontak mata sejauh mungkin. Shinji juga diam. Nafasnya berat, seperti menahan emosi—atau kebingungan. Beberapa detik mereka hanya terdiam dalam kesempitan bilik itu, hanya terdengar napas dan denyut ketegangan yang menyiksa. Medina menutup matanya rapat-rapat. Kenapa begini? Kenapa aku harus sedekat ini dengan orang yang paling kubenci? Tiba-tiba Shinji berkata pelan, dengan nada penuh kecurigaan. “Kenapa wajahmu seperti familiar…”“Medina…”Shinji menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, jari-jarinya mengetuk pelan meja.“Medina…” ia mengulang nama itu, nyaris seperti desisan.Nama itu tidak asing. Terasa seperti serpihan bayangan masa lalu yang hampir tenggelam. Tapi wajah, sosok, atau apa pun yang bisa ia kaitkan dengan nama itu—semuanya kosong. Hanya samar.Sebelum ia bisa menggali lebih jauh, telepon kantornya berdering.“Ya?”Suaranya dingin seperti biasa.Suara di seberang terdengar familiar, tenang namun mengandung nada provokatif.“Hyung,” sapa Shenoval. “Aku akan mengirimkan undangan pertunanganku. Pastikan kamu datang, ya. Dan… tentu saja, datanglah bersama kekasihmu.”Diam.Shinji memejamkan mata, menggenggam gagang telepon lebih erat.“Sudah kubilang, jangan terlalu menyindir,” balasnya datar.“Aku serius. Masa CEO Shin yang tampan, terkenal, dan sukses datang sendirian? Jangan memalukan keluarga,” cibir Shenoval sebelum menutup sambungan.Shinji melempar gagang telepon ke meja.Harga dirinya—sebagai p
Setelah rapat yang berlangsung lebih dari satu jam itu selesai, Medina buru-buru melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang masih bergemuruh. Ia nyaris lupa bagaimana caranya bernapas selama berada dalam ruangan yang sama dengan Shinji, terlebih dengan insiden lift semalam yang terus terbayang. Namun langkahnya terhenti ketika ia melewati lorong dekat ruang kerja CEO. Suara dari balik pintu yang sedikit terbuka membuatnya refleks berhenti. “Bima, berkas karyawan magang yang saya minta kemarin, sudah ada?” suara Shinji terdengar dingin seperti biasa. Medina menahan napas. Berkas? Hatinya langsung mencelos. “Sudah, Pak. Ada di meja saya. Saya tinggal mengantarkannya,” jawab Bima santai. “Antar nanti sore. Saya ingin tahu latar belakang mereka. Siapa tahu ada yang menonjol... atau bermasalah.” Medina mundur pelan-pelan, tubuhnya seketika dingin seperti disiram air es. Ia tahu satu hal pasti—bahayanya bukan main. Shinji mungkin dulu tak tahu namanya. Bagi Shinji, ia hanya “si b
Medina kembali mengingat bagaimana ketika semua mimpi buruknya berawal ketika ia menerima beasiswa untuk bersekolah di sekolah kaum Elite. Tak menyangka, ternyata mengambil beasiswa ke sekolah tersebut adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Medina tidak pernah melupakan hari-hari buruk di masa SMA itu. Ia selalu merasa seperti orang luar, terperangkap dalam tubuh yang gemuk, wajah penuh jerawat, dan penampilan yang jauh dari standar kecantikan yang dimiliki teman-temannya. Di sekolah itu, ia sering menjadi sasaran ejekan dan hinaan, terutama dari kelompok anak-anak populer, yang termasuk Shinji.Suatu hari, saat hujan deras turun di siang hari, Medina sedang berjalan menuju toilet sekolah dengan langkah yang hati-hati. Tak disangka, teman-temannya yang jahat sengaja menjatuhkan ember berisi lumpur got tepat di atas kepalanya. Tertawaan keras mengisi udara, dan semua mata tertuju padanya. Lumpur itu menutupi wajahnya, meresap ke dalam rambut, dan membuatnya tampak seperti s
Medina tetiba teringat masa lalunya yang muncul sekilas seperti lampu flash yang berkelebatan dengan membawa perasaan muram. Pesta perpisahan malam itu harusnya jadi kenangan manis. Gedung aula dihiasi lampu warna-warni, dentuman musik terdengar hingga lapangan sekolah. Tapi bagi Medina, malam itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak pernah usai. Ia hanya ingin mencoba merasa "normal", menyatu dengan teman-temannya yang selama ini menjauhinya. Ia menenggak minuman manis dalam gelas plastik. Tidak sadar bahwa itu bukan sekadar soda. Kepalanya mulai pening. Langkahnya goyah. Ia berjalan keluar aula, menyusuri lorong gelap dan dingin. Di belakang sekolah, dekat pohon besar yang sering jadi tempat bolos, dunia seakan berputar. Lalu—gelap. Seseorang membekapnya. Entah siapa. Medina hanya ingat tangan itu begitu kuat menahan mulutnya untuk tidak berteriak. Medina tak bisa mengingat wajahnya. Hanya ingat nafasnya yang tercekat, tubuhnya yang lemas, lalu… Ia terbangun dalam semak den
Ada luka yang tak pernah sembuh, meski waktu berusaha menutupinya.Bagi Medina, masa SMA adalah neraka. Hari-hari di mana tawa berubah menjadi pisau, saat dirinya menjadi sasaran empuk cemoohan. Ia tumbuh dengan label burik, jelek, tak pantas dicintai. Lebih dari itu, ada satu malam kelam yang tak pernah bisa ia lupakan—malam ketika harga dirinya direnggut paksa, meninggalkan bekas luka yang menghantui setiap tidurnya.Ia pikir, setelah lulus dan menata diri, masa lalu itu akan terkubur. Ia berusaha mati-matian mengubur nama, wajah, bahkan dirinya yang dulu. Namun semesta rupanya gemar bercanda. Karena di puncak perjuangannya mencari pekerjaan, ia justru dipertemukan kembali dengan salah satu pria yang paling ingin ia lupakan—Shinji, sang penguasa dingin yang dulu ikut membuat masa SMA-nya terasa seperti neraka.Dan kali ini, ia tak bisa kabur.Ia butuh pekerjaan itu… meski artinya ia harus berhadapan dengan mimpi buruknya setiap hari.*** Gedung tinggi menjulang di hadapannya, ber