Saking senangnya, Sandra sampai tidak bisa berkata-kata saat melihat Cita datang ke rumah sakit, tanpa menggunakan kursi roda. Entah apa yang dilakukan Cita bersama Kasih kemarin, sehingga putrinya pagi ini datang dengan kondisi normal. Bahkan, Cita tidak bercerita apa pun padanya, ketika Sandra menelepon.Ini sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.“Apa kemarin terjadi sesuatu?” selidik Sandra langsung membawa Cita duduk di sofa berdampingan.“Aku … ketemu Pandu sama Laura di restonya Kak Duta.” Cita tidak akan menutupi satu hal ini di depan orang tuanya.“Cita—”“Kamu baik-baik aja?” Harry mendadak duduk tegak, setelah mendengar putrinya bertemu dengan Pandu. “Apa dia—”“Aku nggak papa, Pa.” Cita dan Sandra dengan kompak menghampiri Harry. “Papa nyender aja, nanti capek.”Sandra reflek mengusap punggung Harry, lalu membawa sang suami kembali bersandar dengan perlahan.“Papa nggak capek,” ucap Harry lalu menyentuh tangan Sandra. “Justru Mamimu yang kelihatannya capek.”“Nanti malam
“Hei, Cit!” Saat mendengar ada Cita berada di restonya dari salah satu pegawai, Duta yang sedang berada di dapur segera menghampiri gadis itu. “Sendiri?” “Hei, Kak,” balas Cita menatap Duta sebentar, lalu kembali melihat ikan-ikan yang berada di kolam. “Tadinya janjian sama Kak Kasih, tapi dia mendadak nggak bisa datang. Kak Duta kalau mau kerja, dilanjut aja. Aku di sini sudah nggak punya tujuan soalnya. Kayak … asing aja ada di Jakarta.” Tidak hanya itu, Cita pergi dari rumah sakit karena Lee dan Gemi akan membesuk Harry. Mungkin, saat ini kedua orang itu sudah berada di rumah sakit dan membicarakan banyak hal dengan Harry, juga Sandra. “Ohh …” Duta berjalan melewati Cita, lalu mengambil tempat makan ikan dan menyerahkannya pada gadis itu. “Kenapa nggak ke kantornya Kasih.” Duta segera meralat, karena Cita juga salah satu dari pewaris Lukito Grup. “Maksudku, coba ikut kerja di sana dan—” “Aku nggak tertarik dengan perusahaan papa di Jakarta,” sela Cita sambil membuka tutup tempat
“Rumah ini, kelihatan lebih luas dari yang dulu.” Tanpa sungkan, Cita langsung masuk ke ruang keluarga Atmawijaya. Melihat ruangan yang tampak minim perabotan dan hamparan karpet yang hampir menutupi seluruh lantai ruangan. Mungkin karena itulah, ruang keluarga Atmawijaya saat ini terlihat lebih lega.Akan tetapi, tatapan Cita mendadak berhenti di satu sudut sofa. Ada sebuah boneka barbie yang duduk manis di sana dan Cita mulai bisa menyimpulkan sesuatu. Perubahan dekorasi rumah tersebut, kemungkinan dilakukan karena ada seorang anak kecil yang tinggal atau sering datang dan bermain di ruang keluarga.Anak Pandu dan Laura.Cita sempat mendengar, Pasha dan Erinalah yang mengambil bayi tersebut dan mengasuhnya. Namun, Cita tidak tahu, apakah hal tersebut masih dilakukan pasangan suami istri itu hingga saat ini?Atau, justru Pandu dan Laura sudah mengasuh anak mereka sendiri.Dengan sengaja, Cita berjalan menuju sudut sofa tersebut dan duduk di sana tanpa dipersilakan. Cita mengambil bon
Setelah menutup pintu mobil, Lex terdiam sejenak memandang sedan hitam yang tampak asing baginya. Berasumsi di rumahnya ada tamu, barulah Lex menoleh pada Arya yang menghampirinya.“Sepertinya ada tamu.” Lex mengajak Arya masuk dan pria itu tampak terus menatap mobil yang terparkir di sisi halaman yang berbeda. “Kenapa, Ar?”“Ohh, nggak papa, Om,” jawab Arya terus mengikuti Lex dari belakang dan berhenti di ruang tamu.“Nggak ada orang.” Jika Elok membawa tamunya masuk melebihi ruang tamu, itu berarti istrinya sudah sangat akrab dengan tamu tersebut. “Tunggu di sini sebentar.”“Iya, Om,” jawab Arya masih memikirkan sedan, yang terparkir di halaman rumah Lex. Ada sebuah firasat yang mengusiknya, sehingga Arya memutuskan kembali pergi ke depan. Ia menatap sedan tersebut, tetapi tidak kunjung mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.Akan tetapi, saat Arya baru saja berbalik dan berniat kembali ke ruang tamu. Ia melihat sosok pria paruh baya, yang beberapa hari lalu ditemuinya di rumah
“Aku nggak mau.” Setelah tangis Cita reda, ia akhirnya kembali bisa bersuara dengan tenang. Pertemuannya dengan Arya kali ini, sungguh menguras emosi yang tidak pernah Cita sangka sebelumnya. “Aku nggak mau kita baikan.”Arya yang masih berlutut di hadapan Cita, langsung tertunduk. Menarik napas panjang dan masih memikirkan cara agar gadis itu mau kembali padanya.“Kenapa?” tanya Arya kembali menatap Cita. “Kenapa kamu nggak mau ngasih aku kesempatan? Aku sudah berkali-kali jelasin, nggak ada apa-apa antara aku sama Almira. Dia cuma klien dan kami nggak pernah melakukan apa-apa. Semua itu salah paham.”“Klien yang nelpon lewat tengah malam?” Cita tersenyum miring dan melepas satu tawa. “Klien yang bisa buat kamu senyum dan ketawa? Klien yang sudah bisa ngerubah hari-harimu yang membosankan, waktu masih jadi suamiku? Klien yang seperti itu, maksudnya?”“Cita, nggak ada yang terjadi—”“Itulah yang terjadi, Mas!” putus Cita kembali emosional. “Apa kamu nggak ngerti, semua yang aku sebutk
“Hei, Kak.” Cita menyapa, ketika sudah berhenti di samping Duta yang berdiri di depan meja bar. Wajah pria itu tengah tertekuk serius, dengan beberapa kertas yang berisi angka-angka. “Sibuk?”Duta menoleh dan mengerjap untuk beberapa saat. Saat melihat Cita seperti sekarang, pikirannya langsung tertuju pada Nando. Namun, setelah mengingat pembicaraan terakhirnya dengan Cita, Duta tidak jadi mengatakan sesuatuDuta lantas menggeleng, sambil merapikan kertas-kertas yang sedikit berantakan di meja bar. “Oia, sendirian? Atau janjian sama Kasih?”“Sendiri. Aku janjian sama tante Gemi di sini.”Akhirnya, Cita mengiyakan permintaan Kasih untuk bertemu Gemi. Tidak ada lagi yang perlu dihindari, karena Cita sudah lebih dulu bertemu dengan Arya sebelumnya. Jadi, bertemu Gemi setelahnya, pasti akan lebih mudah.Kedua alis Duta terangkat tinggi dan memastikan sekali lagi. “Janjian sama mamanya Arya?”“Iya.”“Waaah, apa kalian—”“Nggak.” Cita segera menyanggah dan memberi klarifikasi. “Kak Duta mi
“Cita, kamu ngapain ke rumah pak David?”Baru saja Cita masuk ke dalam kamar inap untuk menjemput Sandra, wanita itu sudah menodongnya dengan sebuah pertanyaan dengan intonasi tinggi. Sudah ada Kasih di yang juga menatap tanya, tetapi tidak bersuara. Sementara Harry, langsung memberi gelengan ketika Cita menatapnya.“Siapa yang bilang?” tanya Cita langsung duduk di sebelah Kasih. “Pak David, atau istrinya?”“Pak David yang ke sini,” jawab Harry. “Kata—”“Biar Mami yang jelasin.” Sandra yang berada di samping Harry menyela. Ia tidak ingin sang suami kelelahan, karena harus memberi penjelasan pada Cita. “Mas istirahat aja,” ujarnya sambil mengusap lengan Harry.“Kalau pak David sudah ke sini, berarti Mami nggak perlu tanya lagi, aku ngapain datang ke sana.”“Cita, bukan itu masalahnya.” Sebenarnya, Sandra tidak ingin berdebat. Namun, karena ada hal yang harus Sandra ketahui, maka ia harus membicarakannya terlebih dahulu. “Kenapa kamu nggak bicarakan semuanya sama kita? Tahu-tahu datang
“Aku sempat lihat bang Awan sama kak Duta di Bawah,” kata Cita sambil menutup pintu kamar inap Harry. Ada Kasih duduk bersila di ranjang pasien dan berhadapan dengan Harry, yang juga duduk dengan posisi yang sama. Cita melihat ada permainan ular tangga di tengah mereka dan dadu di tangan Kasih.Melihat kedekatan Harry dan Kasih yang seperti sekarang, hal tersebut terkadang membuat Cita iri. Namun, Cita tidak mampu menyuarakan protesnya, karena sadar diri dengan asal usulnya. Meskipun sikap Harry sudah berubah 180 derajat sejak Cita kecelakaan, tetapi tetap saja ada banyak masa kecil yang terlewat dan membuat kekosongan di hatinya.“Hm, mereka mau ngopi dulu,” jawab Kasih lalu menunjuk kursi kosong di samping ranjang pasien. Ia meminta Cita duduk di sana dan kembali melanjutkan permainan dengan Harry. “Soalnya, nanti abang yang jagain papa, terus aku pulang sama Ndut. Terus, ngapain kamu ke sini? Kan, kasihan mamimu sendirian di rumah?”“Mami kayaknya kecapean.” Ujar Cita lalu duduk di