Share

Cinta Cita ~ 3

“Ada Arya dimmpp …”

Kasih buru-buru menutup mulut Duta, agar pria itu tidak meneruskan ucapannya. Mata Kasih melotot dan menggeleng samar, sambil meraih kantong plastik yang dibawa pria itu.

“Diam,” desis Kasih kemudian melepas tangannya ketika Duta mengangguk-angguk. “Ayo masuk!”

Duta menggeleng. “Aku mau ke—”

“Masuuuk!” Kasih meraih tangan Duta dan menyeret pria itu ke dalam ruang rawat inap yang ditempati Harry. “Nggak sopan banget jadi anak.”

“Kas—”

“Masih ingat Duta, kan, Pa?” Kasih melepas tangan Duta. Mendorong pelan pria itu ke arah Harry. “Ini si Ndut yang dulu aku ceritain suka ngabisin makananku waktu SD.”

Sandra melihat Pria yang tersenyum canggung pada Harry, sembari mengulurkan tangan kanannya. Ia bingung, mengapa Kasih memanggil pria itu dengan sebutan “ndut”, padahal tubuh pria yang bernama Duta cukup proporsional.

“Saya Duta, Om.” Duta mencium tangan Harry dengan sopan, berikut dengan Sandra setelahnya. Ketika masih berada di sekolah dasar, Duta terkadang melihat Harry menjemput Kasih, tetapi ia tidak pernah bertemu secara langsung. Berbeda dengan Sandra, yang sama sekali tidak pernah ditemui oleh Duta. “Saya ngabisin makanan Kasih, karena dia yang ngasih, Om. Bukan malak.”

Harry mengangguk pelan, dengan tawa kecil. Tentu saja Harry tahu perihal Duta dari cerita-cerita Kasih. Ia juga pernah beberapa kali melihat anak sambung Gilang itu dari kejauhan. Namun, baru kali ini Harry bertatap muka langsung dengan pria itu.

“Restoran lancar?” tanya Harry karena tahu semua hal mengenai teman-teman dekat Kasih. “Sudah buka berapa cabang sekarang?”

“Lancar, Om,” jawab Duta dengan anggukan sopan. “Baru mau buka yang ketiga. Doakan lancar, biar bisa nambah sampai luar kota.”

“Amiin.” Bibir Kasih mengerucut, sambil mengeluarkan tiga buah thinwall dari kantong kresek. Ia hanya memesan tiga makanan, karena tidak tahu Cita juga berada di rumah sakit. Sepertinya, Kasih akan makan setelah dijemput saja.

“Cita, kan?” sapa Duta sedikit menggeser langkahnya, lalu mengulurkan tangan pada gadis yang duduk di kursi Roda. Duta sempat beberapa kali bertemu dengan gadis itu, tetapi hanya sebatas saling sapa dan tidak ada interaksi apa-apa. “Apa kabar?”

“Baik, Kak.” Cita membalas uluran tangan Duta. “Lama nggak ketemu.”

“Iya, lama banget.” Duta mendadak canggung. Tidak terlalu mengenal dengan keluarga ayah Kasih, membuat Duta tidak memiliki bahan obrolan. “Kamu … gimana? Sehat?”

Pertanyaan bodoh, batin Duta. Bagaimana bisa ia bertanya hal seperti itu, di saat Cita masih duduk di kursi roda. Sejauh ini, Duta sudah mendengar musibah yang menimpa Cita. Dari pernikahan pertamanya dengan Pandu, sampai perceraiannya dengan Arya.

Darimana lagi Duta mengetahui hal tersebut, jika bukan dari Kasih.

“Ya, begini,” jawab Cita tersenyum kecil.

Duta tertawa garing, sambil menggaruk kepala. “Kalau gitu … saya pergi dulu.” Ia berbalik cepat dan kembali mengulurkan tangan pada Harry. “Pergi dulu, Om. Saya ada janji sama supplier.” Tidak lupa, Duta juga berjabat tangan lagi dengan Sandra sekaligus berpamitan.

“Pergi dulu, Cit,” pamit Duta sembari mengangguk, lalu menarik siku Kasih keluar dari ruang inap tersebut. “Kamu cuma pesan makan tiga—”

“Aku mana tahu kalau Cita ke Jakarta.” Kasih menutup pintu dan melihat ke sekitar. “Oia, kalau ketemu Arya, jangan dulu bilang kalau ada Cita di rumah sakit. Pokoknya, jangan bilang kalau ada Cita di sini.”

“Gampang.” Duta mengibas satu tangan dengan cepat di hadapan Kasih. “Mau aku suruh orang antar makanan ke sini?”

“Nggak usah,” tolak Kasih. “Aku gampanglah nanti. Makan sama Awan aja.”

“Oke.” Duta langsung berbalik pergi, begitu mendengar nama Awan. “Cabut dulu, Kas!”

~~~~~~~~~~~~~

“Dua tahun.” Pras masuk ke dalam ruang kerja Nando, tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Ia melirik sekilas pada Viona yang duduk di sofa panjang, lalu kembali fokus pada Nando yang masih berada di balik meja kerja. “Kenapa aku nggak percaya kalau Cita sampai sekarang masih ada di kursi roda.”

Setelah mengatakan hal tersebut, Pras berbelok menghampiri Viona lalu duduk di samping adik perempuannya.

“Kenapa Om mendadak ngomongin Cita?” Nando beranjak dari meja kerjanya. Duduk pada sofa tunggal yang membelakangi mejanya, lalu bersandar.

“Aku ketemu dia di rumah sakit.”

Kedua alis Nando terangkat tingga. Tidak mungkin ia tidak percaya, jika yang berbicara adalah Pras. “Cita … di Jakarta?”

“Kamu belum tahu.” Pras bukan bertanya, hanya melempar sebuah pernyataan dengan datar, seperti biasa.

Viona berdecak. Agak kesal setelah mendengar nama Cita disebut. “Kalau memang betul, Cita itu belum sembuh, harusnya kamu cari perempuan lain. Cita masih terbilang muda, Ndo. Tapi kamu? Umur kamu itu sudah … ahh, sudahlah! Bisa-bisa, Qai sama May justru nikah duluan daripada kamu!”

Pras menoleh pada Viona. Kenapa pembicaraan adiknya itu justru menyasar pada kedua anaknya. “Jangan bawa-bawa Qai sama May.”

“Lihat konteksnya, Mas!” Viona kembali berdecak dan membuang muka. “Memangnya nggak ada perempuan lain selain Cita? Kenapa nggak coba sama Leoni? Lama-lama, Mami jodohkan juga kamu, kalau begini caranya.”

“Nando, coba cek ke rumah sakit tempat Cita terapi,” titah Pras. “Cari tahu, siapa dokter yang tangani dia.”

“Om, rekam medis itu sifatnya rahasia.” Nando sudah tahu ke mana pergi pikiran Pras. “Apalagi ini di Singapur, Om!”

“Terus?” Pras tidak menampilkan ekspresi apa pun. “Di mana masalahnya.”

“Kamu itu kayak nggak kenal Prasetyo Sagara, Ndo … Ndo!” timpal Viona.  

“Tapi ini Singapur, Mi, bukan—"

“Aku kasih kamu waktu dua hari,” potong Pras kemudian berdiri dan melewati Viona menuju pintu keluar. “Lewat dari dua hari, jangan pernah datang untuk bahas masalah Cita. Jangan lupa meeting satu jam lagi. On time!

Saat Pras berada di bibir pintu yang tidak ditutupnya ketika masuk, ia melihat Leoni tengah sibuk merapikan dokumen yang sebenarnya sudah rapi.

“Le,” panggilnya lalu berhenti di sudut meja Leoni, yang masih betah menjadi sekretaris Nando hingga saat ini.

“Iya, Pak!” Leoni segera berbalik dan tersenyum sopan.

“Tutup mulut, tutup telinga.” Pras yakin, gadis itu mendengar pembicaraan yang terjadi di dalam ruangan. Entah Leoni sengaja menguping, atau suara mereka tidak sengaja didengar oleh Leoni yang sempat tidak ada di mejanya. “Apa yang terjadi di Palace High, tetap ada di Palace High. Mengerti?”

Leoni mengangguk dan menelan ludah. “Ngerti, Pak.”

“Hmm.” Pras berlalu tanpa berucap apa pun lagi.  

Begitu Pras pergi dari hadapannya, Leoni langsung duduk di kursi kerjanya dengan banyak pikiran yang mengusik di kepala. Terutama masalah Cita dan Arya. Yang jadi pertanyaan Leoni adalah, apakah Arya tahu, Cita saat ini ada di Jakarta?

Mengingat bagaimana usaha kakak laki-lakinya itu berjuang untuk bertemu Cita, Leoni jadi tidak tega. Sepertinya, kali ini Leoni tidak bisa menuruti perintah Pras. Ada yang harus Leoni sampaikan kepada Arya, serta orang tuanya saat ini juga.

Leoni tahu, tindakan Arya dahulu kala tidak bisa dibenarkan. Namun, tidak bisakah keluarga Lukito memberi Arya satu kesempatan saja, untuk bicara dengan Cita?

Mungkin saja, dengan adanya komunikasi di antara keduanya, semua luka di masa lalu bisa … disembuhkan. 

 

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
suaminya kasih siapa ya
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
eh ketemu pak Pras disini hihihihi.... kalau sdh ke asyikan baca pasti lupa komen. ten ternyata disini Qai sama May blm pd nikah
goodnovel comment avatar
Siti Juli
cita klo sama Nando takut mami Viona gk restuin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status