Beranda / Romansa / Cinta Cita / Cinta Cita ~ 3

Share

Cinta Cita ~ 3

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-03 22:21:01

“Ada Arya dimmpp …”

Kasih buru-buru menutup mulut Duta, agar pria itu tidak meneruskan ucapannya. Mata Kasih melotot dan menggeleng samar, sambil meraih kantong plastik yang dibawa pria itu.

“Diam,” desis Kasih kemudian melepas tangannya ketika Duta mengangguk-angguk. “Ayo masuk!”

Duta menggeleng. “Aku mau ke—”

“Masuuuk!” Kasih meraih tangan Duta dan menyeret pria itu ke dalam ruang rawat inap yang ditempati Harry. “Nggak sopan banget jadi anak.”

“Kas—”

“Masih ingat Duta, kan, Pa?” Kasih melepas tangan Duta. Mendorong pelan pria itu ke arah Harry. “Ini si Ndut yang dulu aku ceritain suka ngabisin makananku waktu SD.”

Sandra melihat Pria yang tersenyum canggung pada Harry, sembari mengulurkan tangan kanannya. Ia bingung, mengapa Kasih memanggil pria itu dengan sebutan “ndut”, padahal tubuh pria yang bernama Duta cukup proporsional.

“Saya Duta, Om.” Duta mencium tangan Harry dengan sopan, berikut dengan Sandra setelahnya. Ketika masih berada di sekolah dasar, Duta terkadang melihat Harry menjemput Kasih, tetapi ia tidak pernah bertemu secara langsung. Berbeda dengan Sandra, yang sama sekali tidak pernah ditemui oleh Duta. “Saya ngabisin makanan Kasih, karena dia yang ngasih, Om. Bukan malak.”

Harry mengangguk pelan, dengan tawa kecil. Tentu saja Harry tahu perihal Duta dari cerita-cerita Kasih. Ia juga pernah beberapa kali melihat anak sambung Gilang itu dari kejauhan. Namun, baru kali ini Harry bertatap muka langsung dengan pria itu.

“Restoran lancar?” tanya Harry karena tahu semua hal mengenai teman-teman dekat Kasih. “Sudah buka berapa cabang sekarang?”

“Lancar, Om,” jawab Duta dengan anggukan sopan. “Baru mau buka yang ketiga. Doakan lancar, biar bisa nambah sampai luar kota.”

“Amiin.” Bibir Kasih mengerucut, sambil mengeluarkan tiga buah thinwall dari kantong kresek. Ia hanya memesan tiga makanan, karena tidak tahu Cita juga berada di rumah sakit. Sepertinya, Kasih akan makan setelah dijemput saja.

“Cita, kan?” sapa Duta sedikit menggeser langkahnya, lalu mengulurkan tangan pada gadis yang duduk di kursi Roda. Duta sempat beberapa kali bertemu dengan gadis itu, tetapi hanya sebatas saling sapa dan tidak ada interaksi apa-apa. “Apa kabar?”

“Baik, Kak.” Cita membalas uluran tangan Duta. “Lama nggak ketemu.”

“Iya, lama banget.” Duta mendadak canggung. Tidak terlalu mengenal dengan keluarga ayah Kasih, membuat Duta tidak memiliki bahan obrolan. “Kamu … gimana? Sehat?”

Pertanyaan bodoh, batin Duta. Bagaimana bisa ia bertanya hal seperti itu, di saat Cita masih duduk di kursi roda. Sejauh ini, Duta sudah mendengar musibah yang menimpa Cita. Dari pernikahan pertamanya dengan Pandu, sampai perceraiannya dengan Arya.

Darimana lagi Duta mengetahui hal tersebut, jika bukan dari Kasih.

“Ya, begini,” jawab Cita tersenyum kecil.

Duta tertawa garing, sambil menggaruk kepala. “Kalau gitu … saya pergi dulu.” Ia berbalik cepat dan kembali mengulurkan tangan pada Harry. “Pergi dulu, Om. Saya ada janji sama supplier.” Tidak lupa, Duta juga berjabat tangan lagi dengan Sandra sekaligus berpamitan.

“Pergi dulu, Cit,” pamit Duta sembari mengangguk, lalu menarik siku Kasih keluar dari ruang inap tersebut. “Kamu cuma pesan makan tiga—”

“Aku mana tahu kalau Cita ke Jakarta.” Kasih menutup pintu dan melihat ke sekitar. “Oia, kalau ketemu Arya, jangan dulu bilang kalau ada Cita di rumah sakit. Pokoknya, jangan bilang kalau ada Cita di sini.”

“Gampang.” Duta mengibas satu tangan dengan cepat di hadapan Kasih. “Mau aku suruh orang antar makanan ke sini?”

“Nggak usah,” tolak Kasih. “Aku gampanglah nanti. Makan sama Awan aja.”

“Oke.” Duta langsung berbalik pergi, begitu mendengar nama Awan. “Cabut dulu, Kas!”

~~~~~~~~~~~~~

“Dua tahun.” Pras masuk ke dalam ruang kerja Nando, tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Ia melirik sekilas pada Viona yang duduk di sofa panjang, lalu kembali fokus pada Nando yang masih berada di balik meja kerja. “Kenapa aku nggak percaya kalau Cita sampai sekarang masih ada di kursi roda.”

Setelah mengatakan hal tersebut, Pras berbelok menghampiri Viona lalu duduk di samping adik perempuannya.

“Kenapa Om mendadak ngomongin Cita?” Nando beranjak dari meja kerjanya. Duduk pada sofa tunggal yang membelakangi mejanya, lalu bersandar.

“Aku ketemu dia di rumah sakit.”

Kedua alis Nando terangkat tingga. Tidak mungkin ia tidak percaya, jika yang berbicara adalah Pras. “Cita … di Jakarta?”

“Kamu belum tahu.” Pras bukan bertanya, hanya melempar sebuah pernyataan dengan datar, seperti biasa.

Viona berdecak. Agak kesal setelah mendengar nama Cita disebut. “Kalau memang betul, Cita itu belum sembuh, harusnya kamu cari perempuan lain. Cita masih terbilang muda, Ndo. Tapi kamu? Umur kamu itu sudah … ahh, sudahlah! Bisa-bisa, Qai sama May justru nikah duluan daripada kamu!”

Pras menoleh pada Viona. Kenapa pembicaraan adiknya itu justru menyasar pada kedua anaknya. “Jangan bawa-bawa Qai sama May.”

“Lihat konteksnya, Mas!” Viona kembali berdecak dan membuang muka. “Memangnya nggak ada perempuan lain selain Cita? Kenapa nggak coba sama Leoni? Lama-lama, Mami jodohkan juga kamu, kalau begini caranya.”

“Nando, coba cek ke rumah sakit tempat Cita terapi,” titah Pras. “Cari tahu, siapa dokter yang tangani dia.”

“Om, rekam medis itu sifatnya rahasia.” Nando sudah tahu ke mana pergi pikiran Pras. “Apalagi ini di Singapur, Om!”

“Terus?” Pras tidak menampilkan ekspresi apa pun. “Di mana masalahnya.”

“Kamu itu kayak nggak kenal Prasetyo Sagara, Ndo … Ndo!” timpal Viona.  

“Tapi ini Singapur, Mi, bukan—"

“Aku kasih kamu waktu dua hari,” potong Pras kemudian berdiri dan melewati Viona menuju pintu keluar. “Lewat dari dua hari, jangan pernah datang untuk bahas masalah Cita. Jangan lupa meeting satu jam lagi. On time!

Saat Pras berada di bibir pintu yang tidak ditutupnya ketika masuk, ia melihat Leoni tengah sibuk merapikan dokumen yang sebenarnya sudah rapi.

“Le,” panggilnya lalu berhenti di sudut meja Leoni, yang masih betah menjadi sekretaris Nando hingga saat ini.

“Iya, Pak!” Leoni segera berbalik dan tersenyum sopan.

“Tutup mulut, tutup telinga.” Pras yakin, gadis itu mendengar pembicaraan yang terjadi di dalam ruangan. Entah Leoni sengaja menguping, atau suara mereka tidak sengaja didengar oleh Leoni yang sempat tidak ada di mejanya. “Apa yang terjadi di Palace High, tetap ada di Palace High. Mengerti?”

Leoni mengangguk dan menelan ludah. “Ngerti, Pak.”

“Hmm.” Pras berlalu tanpa berucap apa pun lagi.  

Begitu Pras pergi dari hadapannya, Leoni langsung duduk di kursi kerjanya dengan banyak pikiran yang mengusik di kepala. Terutama masalah Cita dan Arya. Yang jadi pertanyaan Leoni adalah, apakah Arya tahu, Cita saat ini ada di Jakarta?

Mengingat bagaimana usaha kakak laki-lakinya itu berjuang untuk bertemu Cita, Leoni jadi tidak tega. Sepertinya, kali ini Leoni tidak bisa menuruti perintah Pras. Ada yang harus Leoni sampaikan kepada Arya, serta orang tuanya saat ini juga.

Leoni tahu, tindakan Arya dahulu kala tidak bisa dibenarkan. Namun, tidak bisakah keluarga Lukito memberi Arya satu kesempatan saja, untuk bicara dengan Cita?

Mungkin saja, dengan adanya komunikasi di antara keduanya, semua luka di masa lalu bisa … disembuhkan. 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
suaminya kasih siapa ya
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
eh ketemu pak Pras disini hihihihi.... kalau sdh ke asyikan baca pasti lupa komen. ten ternyata disini Qai sama May blm pd nikah
goodnovel comment avatar
Siti Juli
cita klo sama Nando takut mami Viona gk restuin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 95 (FIN)

    Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 94

    “Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 93

    “Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 92

    “Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 91

    Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 90

    “Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status