“Ada Arya dimmpp …”
Kasih buru-buru menutup mulut Duta, agar pria itu tidak meneruskan ucapannya. Mata Kasih melotot dan menggeleng samar, sambil meraih kantong plastik yang dibawa pria itu.
“Diam,” desis Kasih kemudian melepas tangannya ketika Duta mengangguk-angguk. “Ayo masuk!”
Duta menggeleng. “Aku mau ke—”
“Masuuuk!” Kasih meraih tangan Duta dan menyeret pria itu ke dalam ruang rawat inap yang ditempati Harry. “Nggak sopan banget jadi anak.”
“Kas—”
“Masih ingat Duta, kan, Pa?” Kasih melepas tangan Duta. Mendorong pelan pria itu ke arah Harry. “Ini si Ndut yang dulu aku ceritain suka ngabisin makananku waktu SD.”
Sandra melihat Pria yang tersenyum canggung pada Harry, sembari mengulurkan tangan kanannya. Ia bingung, mengapa Kasih memanggil pria itu dengan sebutan “ndut”, padahal tubuh pria yang bernama Duta cukup proporsional.
“Saya Duta, Om.” Duta mencium tangan Harry dengan sopan, berikut dengan Sandra setelahnya. Ketika masih berada di sekolah dasar, Duta terkadang melihat Harry menjemput Kasih, tetapi ia tidak pernah bertemu secara langsung. Berbeda dengan Sandra, yang sama sekali tidak pernah ditemui oleh Duta. “Saya ngabisin makanan Kasih, karena dia yang ngasih, Om. Bukan malak.”
Harry mengangguk pelan, dengan tawa kecil. Tentu saja Harry tahu perihal Duta dari cerita-cerita Kasih. Ia juga pernah beberapa kali melihat anak sambung Gilang itu dari kejauhan. Namun, baru kali ini Harry bertatap muka langsung dengan pria itu.
“Restoran lancar?” tanya Harry karena tahu semua hal mengenai teman-teman dekat Kasih. “Sudah buka berapa cabang sekarang?”
“Lancar, Om,” jawab Duta dengan anggukan sopan. “Baru mau buka yang ketiga. Doakan lancar, biar bisa nambah sampai luar kota.”
“Amiin.” Bibir Kasih mengerucut, sambil mengeluarkan tiga buah thinwall dari kantong kresek. Ia hanya memesan tiga makanan, karena tidak tahu Cita juga berada di rumah sakit. Sepertinya, Kasih akan makan setelah dijemput saja.
“Cita, kan?” sapa Duta sedikit menggeser langkahnya, lalu mengulurkan tangan pada gadis yang duduk di kursi Roda. Duta sempat beberapa kali bertemu dengan gadis itu, tetapi hanya sebatas saling sapa dan tidak ada interaksi apa-apa. “Apa kabar?”
“Baik, Kak.” Cita membalas uluran tangan Duta. “Lama nggak ketemu.”
“Iya, lama banget.” Duta mendadak canggung. Tidak terlalu mengenal dengan keluarga ayah Kasih, membuat Duta tidak memiliki bahan obrolan. “Kamu … gimana? Sehat?”
Pertanyaan bodoh, batin Duta. Bagaimana bisa ia bertanya hal seperti itu, di saat Cita masih duduk di kursi roda. Sejauh ini, Duta sudah mendengar musibah yang menimpa Cita. Dari pernikahan pertamanya dengan Pandu, sampai perceraiannya dengan Arya.
Darimana lagi Duta mengetahui hal tersebut, jika bukan dari Kasih.
“Ya, begini,” jawab Cita tersenyum kecil.
Duta tertawa garing, sambil menggaruk kepala. “Kalau gitu … saya pergi dulu.” Ia berbalik cepat dan kembali mengulurkan tangan pada Harry. “Pergi dulu, Om. Saya ada janji sama supplier.” Tidak lupa, Duta juga berjabat tangan lagi dengan Sandra sekaligus berpamitan.
“Pergi dulu, Cit,” pamit Duta sembari mengangguk, lalu menarik siku Kasih keluar dari ruang inap tersebut. “Kamu cuma pesan makan tiga—”
“Aku mana tahu kalau Cita ke Jakarta.” Kasih menutup pintu dan melihat ke sekitar. “Oia, kalau ketemu Arya, jangan dulu bilang kalau ada Cita di rumah sakit. Pokoknya, jangan bilang kalau ada Cita di sini.”
“Gampang.” Duta mengibas satu tangan dengan cepat di hadapan Kasih. “Mau aku suruh orang antar makanan ke sini?”
“Nggak usah,” tolak Kasih. “Aku gampanglah nanti. Makan sama Awan aja.”
“Oke.” Duta langsung berbalik pergi, begitu mendengar nama Awan. “Cabut dulu, Kas!”
~~~~~~~~~~~~~
“Dua tahun.” Pras masuk ke dalam ruang kerja Nando, tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Ia melirik sekilas pada Viona yang duduk di sofa panjang, lalu kembali fokus pada Nando yang masih berada di balik meja kerja. “Kenapa aku nggak percaya kalau Cita sampai sekarang masih ada di kursi roda.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Pras berbelok menghampiri Viona lalu duduk di samping adik perempuannya.
“Kenapa Om mendadak ngomongin Cita?” Nando beranjak dari meja kerjanya. Duduk pada sofa tunggal yang membelakangi mejanya, lalu bersandar.
“Aku ketemu dia di rumah sakit.”
Kedua alis Nando terangkat tingga. Tidak mungkin ia tidak percaya, jika yang berbicara adalah Pras. “Cita … di Jakarta?”
“Kamu belum tahu.” Pras bukan bertanya, hanya melempar sebuah pernyataan dengan datar, seperti biasa.
Viona berdecak. Agak kesal setelah mendengar nama Cita disebut. “Kalau memang betul, Cita itu belum sembuh, harusnya kamu cari perempuan lain. Cita masih terbilang muda, Ndo. Tapi kamu? Umur kamu itu sudah … ahh, sudahlah! Bisa-bisa, Qai sama May justru nikah duluan daripada kamu!”
Pras menoleh pada Viona. Kenapa pembicaraan adiknya itu justru menyasar pada kedua anaknya. “Jangan bawa-bawa Qai sama May.”
“Lihat konteksnya, Mas!” Viona kembali berdecak dan membuang muka. “Memangnya nggak ada perempuan lain selain Cita? Kenapa nggak coba sama Leoni? Lama-lama, Mami jodohkan juga kamu, kalau begini caranya.”
“Nando, coba cek ke rumah sakit tempat Cita terapi,” titah Pras. “Cari tahu, siapa dokter yang tangani dia.”
“Om, rekam medis itu sifatnya rahasia.” Nando sudah tahu ke mana pergi pikiran Pras. “Apalagi ini di Singapur, Om!”
“Terus?” Pras tidak menampilkan ekspresi apa pun. “Di mana masalahnya.”
“Kamu itu kayak nggak kenal Prasetyo Sagara, Ndo … Ndo!” timpal Viona.
“Tapi ini Singapur, Mi, bukan—"
“Aku kasih kamu waktu dua hari,” potong Pras kemudian berdiri dan melewati Viona menuju pintu keluar. “Lewat dari dua hari, jangan pernah datang untuk bahas masalah Cita. Jangan lupa meeting satu jam lagi. On time!”
Saat Pras berada di bibir pintu yang tidak ditutupnya ketika masuk, ia melihat Leoni tengah sibuk merapikan dokumen yang sebenarnya sudah rapi.
“Le,” panggilnya lalu berhenti di sudut meja Leoni, yang masih betah menjadi sekretaris Nando hingga saat ini.
“Iya, Pak!” Leoni segera berbalik dan tersenyum sopan.
“Tutup mulut, tutup telinga.” Pras yakin, gadis itu mendengar pembicaraan yang terjadi di dalam ruangan. Entah Leoni sengaja menguping, atau suara mereka tidak sengaja didengar oleh Leoni yang sempat tidak ada di mejanya. “Apa yang terjadi di Palace High, tetap ada di Palace High. Mengerti?”
Leoni mengangguk dan menelan ludah. “Ngerti, Pak.”
“Hmm.” Pras berlalu tanpa berucap apa pun lagi.
Begitu Pras pergi dari hadapannya, Leoni langsung duduk di kursi kerjanya dengan banyak pikiran yang mengusik di kepala. Terutama masalah Cita dan Arya. Yang jadi pertanyaan Leoni adalah, apakah Arya tahu, Cita saat ini ada di Jakarta?
Mengingat bagaimana usaha kakak laki-lakinya itu berjuang untuk bertemu Cita, Leoni jadi tidak tega. Sepertinya, kali ini Leoni tidak bisa menuruti perintah Pras. Ada yang harus Leoni sampaikan kepada Arya, serta orang tuanya saat ini juga.
Leoni tahu, tindakan Arya dahulu kala tidak bisa dibenarkan. Namun, tidak bisakah keluarga Lukito memberi Arya satu kesempatan saja, untuk bicara dengan Cita?
Mungkin saja, dengan adanya komunikasi di antara keduanya, semua luka di masa lalu bisa … disembuhkan.
“Mami aja yang pulang,” ujar Cita kembali berdebat dengan Sandra, perihal, siapa yang akan menemani Harry di rumah sakit malam ini. Karena kemarin malam Kasih yang berada di rumah sakit, maka malam ini Cita ingin menemani papanya. “Biar aku yang di sini temani papa.”“Apa kata orang, kalau Mami ninggalin papa, sama kamu?” Sandra menunjuk kursi roda Cita yang berada di samping jendela. “Kamu masih “lumpuh”, kan?”Sandra sampai angkat tangan karena ulah putrinya. Ia tidak akan mau berdebat lagi mengenai hal tersebut, karena Cita begitu keras kepala. Sandra hanya ingin lihat, sampai sejauh mana Cita sanggup bertahan dengan pendiriannya.“Tapi aku—”“Kamu yang pulang, Cita.” Harry bersuara dan ada di pihak Sandra. “Mamimu benar, apa kata orang kalau papa dijaga sama anak perempuannya yang juga masih sakit?”Cita berdecak pelan. Kedua orang tuanya benar-benar kompak menyudutkannya.“Nggak ada orang di rumah.” Bukan hanya tidak ada orang, tetapi kediaman Lukito yang sangat megah itu, juga m
“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai
“Sebenci itukah, kamu sama Arya, Cita?” Duta baru melempar pertanyaan, ketika mereka sudah berada di lift. Melihat bagaimana Cita menatap dingin pada Arya, Duta merasa luka yang diderita gadis itu masih menganga lebar.Cita menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan mata terpejam. Merasakan perih yang teramat sangat, ketika kembali mengingat semua kejadian yang ada.“Kak Kasih, pesan makanan lagi?” Cita menunjuk kantong plastik di tangan Duta dan mengalihkan pembicaraan mereka.Duta tahu, Cita saat ini tidak ingin membicarakan Arya. “Papamu nggak mau makan makanan rumah sakit lagi.”“Tapi.” Cita menggaruk kepala. “Kenapa Kak Duta yang ngantar? Emang nggak ada kurir? Terus, restorannya sudah buka sepagi ini?”“Aaa.” Duta bingung, pertanyaan mana yang harus dijawab lebih dulu. “Restoran buka jam 10. Ini karena Kasih yang pesan, jadi, aku yang masakin di rumah, sekalian pergi ke restoran habis dari sini.”“Ooo …” Kasih kembali melihat kantong plastik yang dibawa Duta. “Itu … cuma
“Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa
“Apa? Cita … sudah bisa jalan?”Sandra menelan ludah dan menoleh dengan amat perlahan. Berharap, pendengaran Sandra kali ini, salah. Namun, tidak.“Bu … Gemi.”“Apa Cita beneran sudah bisa jalan?” Gemi berhenti di samping Sandra, lalu mengangguk singkat pada Nando.Sandra gelagapan. Ia bingung dan tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa. Tidak mungkin Sandra berbohong, karena Gemi pasti sudah mendengar sedikit ucapannya pada Nando. Namun, bila Sandra mengatakan sejujurnya, Cita pasti akan marah kepadanya.“Bu Sandra,” tegur Gemi, karena mantan besannya itu hanya terdiam dan tampak sedikit panik. Gemi semakin curiga, Cita memang sudah bisa berjalan dan hal tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun, keluarga Lukito sengaja menyembunyikannya. “Apa betul, Cita sudah bisa jalan?”“Emm.” Sandra kembali menelan ludah. Ia tersenyum canggung, lalu berdiri. Arya pasti menghubungi Gemi dan meminta ibunya datang untuk bicara dengan Sandra. “Bu Gemi di Jakarta? Ke sini sama siapa?”Gemi mem
“Jadi yang dibilang Leoni betul!” Arya mondar mandir di hadapan Gemi, sambil mengacak-acak rambutnya. Ternyata, selama ini Cita sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Bahkan, Kasih juga tidak tahu menahu tentang hal tersebut.“Firasat pak Pras yang betul,” Gemi meluruskan, berdasarkan cerita Leoni ketika menelepon. Mungkin, Pras melihat satu kejanggalan ketika menjenguk Harry di rumah sakit. Oleh sebab itu, Pras berani berasumsi demikian.“Terus sekarang gimana, Ma?”“Seka … halooo cucu Oma.” Gemi melebarkan kedua tangan, saat melihat cucunya berlari ke arahnya. Menjeda obrolannya dengan Arya sebentar, karena gadis kecil yang manja itu akan segera tidur sebentar lagi. “Sudah mau bobok?”Gadis kecil yang kerap disapa Caca itu mengangguk. “Bobok sama Oma.”Gemi kemudian menangkup wajah mungil cucunya, lalu memberi ciuman dengan gemas. “Sama mama dulu, soalnya oma mau bicara sama om Arya.”Sambil mengerucutkan bibir mungilnya, Caca menatap Arya. “Jangan l
“Yakin, tetap mau ada di kursi roda?” Kasih membungkuk dan bicara tepat di telinga Cita, dari belakang. Sedikit memberi provokasi, Kasih rasa tidak mengapa. Cita harus membuka mata, bahwa selama ini gadis itu hanya menyiksa diri sendiri. “Mereka senang-senang, tapi kamu masih sibuk miara sakit hati … sendirian.”“Aku …”Kasih buru-buru memutar kursi roda Cita agar menghadapnya. Kemudian, ia mengambil gelas di tangan Cita dan meletakkannya di meja bar. Setelahnya ia berjongkok dan tersenyum. “Cita, kami semua sayang sama kamu dan cuma pengen kamu hidup bahagia. Sekarang aku tanya, apa selama ini kamu bahagia?”Kasih melirik sebentar pada kedua orang yang sudah mendapatkan meja dan duduk di sana. “Jawab jujur!”“Kak …” Cita tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.“Kamu yang datangi mereka, atau aku?” Kasih kembali menekan Cita.Cita sedikit memutar kursi rodanya. Tatapannya berlari ke area resto, untuk mencari kedua orang yang telah dililhatnya. Saat menemukan mereka, Cita kembal
“Maaf, ya, Tan.” Kasih memeluk Gemi sebentar, lalu mengurainya. Mereka berdua memang jarang bertemu dikarenakan jarak yang membentang. Namun, semua teman akrab kedua orang tuanya, pasti sudah dianggap seperti keluarga bagi Kasih. “Ada masalah dikit di kantor, jadinya aku telat.”“Sudah selesai masalahnya?” tanya Gemi kemudian mempersilakan Kasih duduk di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kafe, yang letaknya tidak jauh dari rumah Chandi. Kasih yang mengusulkan hal tersebut, karena tidak ingin merepotkan Gemi.Sebenarnya, Kasih bisa saja datang ke rumah Chandi, tetapi ia khawatir akan bertemu Arya di sana. Paling tidak, bukan untuk saat ini. Lebih baik Kasih menjelaskan semua hal pada Gemi, karena wanita itu pasti bisa lebih bijak menyikapinya daripada Arya.“Sudah,” angguk Kasih lalu memesan kopi pada pelayan yang baru menghampiri meja mereka. Setelah pelayan tersebut pergi, barulah Kasih kembali fokus pada Gemi.“Like mother, like daughter,” ucap Gemi setelah mendengar pesanan Kasi