Share

Cinta Dalam Bayang Mafia
Cinta Dalam Bayang Mafia
Author: Shifa Asya

1. Harus Pergi

Maya izin untuk pulang lebih dulu karena tidak enak badan. Namun bukannya pulang, Maya malah mampir ke sebuah kafe indoor langganannya. Di sana dia dapat merasa tenang sambil mengingat kebahagiaan yang telah menjadi kenangan.

Wanita berusia 31 tahun itu terus berbicara sendiri sambil meminum kopi yang dipesannya. “Kaila, bulan ini Mama berhasil membuat 40 desain baju anak untuk pameran bulan depan. Mama melakukannya dengan tekad agar kamu bahagia dan bangga memiliki orang tua seperti Mama. Apa Mama berhasil, Nak?” ucapnya pada diri sendiri.

“Permisi?”

“Oh, Pak Hans? Ada apa, Pak?”

“Saya hanya kebetulan melihatmu di sini. Apa saya mengganggumu?”

“Tidak, saya sedang santai saja.”

“Boleh saya duduk di sini?”

Maya mengangguk sopan dan Hans duduk disampingnya. Sebenarnya Maya selalu canggung saat bertemu dengan pria itu. Wajar saja, belum lama Hans menyatakan perasaannya pada Maya. Semua karyawan di kantor tahu dan membuat Maya merasa tidak enak karena menolaknya.

“Pak Hans, saya minta maaf soal masalah itu. Saya tidak bicara pada siapa pun dan saya tidak tahu siapa yang menyebarkannya.”

“Tidak masalah. Saya baik-baik saja, kok.”

Mereka saling diam, ragu untuk memulai pemicaraan. Sampai akhirnya Hans yang mengalah. Mencoba bertanya mengenai hal yang sama. “Apa saya masih memiliki kesempatan?”

“Sebenarnya saya sangat penasaran, kenapa Pak Hans bisa jatuh cinta dengan saya?”

“Entahlah. Sejak awal bertemu, saya langsung jatuh cinta padamu.”

Maya spontan tertawa kecil setelah mendengar kalimat itu. “Sungguh?”

“Kenapa?”

“Saya semenarik itu untuk Pak Hans?”

Hans bingung dengan pertanyaan itu dan hanya bisa diam. Obrolan mereka berakhir setelah Maya menerima email dari kuasa hukum yang membantu mengurus perceraiannya. Hari itu, Maya sudah resmi berstatus janda setelah menjalani kehidupan rumah tangga selama 4 tahun.

“Pak Hans, saya harus pergi. Permisi,” ucap Maya yang langsung meninggalkan Hans sendirian di kafe yang masih sepi pengunjung tersebut.

Di Swiss baru saja memasuki awal musim semi. Biasanya Maya suka, namun tidak dengan hari itu. Dengan taxi dia pulang dan mengunci diri di kamar. Menangis sudah menjadi rutinitas yang tidak pernah ada bosannya.

“Kenapa harus aku yang menerima semua penderitaan ini?! Kalau alasannya karena hanya aku yang kuat, itu salah besar! Ini semua terlalu berat untuk aku lalui sendiri. Aku sungguh tidak kuat!”

Semua barang yang ada di kamarnya dilempar ke sembarang sudut. Pecahan kaca bersama beberapa bercak darah mengotori lantai. Suara jeritan Maya mungkin saja terdengar sampai ke luar. Itu semua terbukti karena Hans segera masuk saat mendengarnya, ditambah lagi pintu rumah itu juga tidak tertutup rapat.

“Bu Maya?” panggil Hans yang dengan langkah panjangnya mendekati ruangan di lantai atas. “Bu?”

***

Perban dengan rapi berhasil menutup luka akibat pecahan kaca. Maya masih diam melamun dan Hans beberapa saat menghargai wanita dihadapannya untuk tenang lebih dulu. Segelas teh hangat yang sudah dingin akhirnya diminum Maya.

“Maaf saya masuk tanpa izin.”

“Ada apa Pak Hans datang ke sini?” tanya Maya dengan suaranya yang serak.

“Saya ingin memberikan ini.” Sebuah kotak berisi buku jurnal berwarna coklat kesukaan Maya beserta beberapa pulpen di dalamnya. “Kamu bisa mencatat perasaan dan pemikiranmu di sini. Terkadang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban."

Maya tersenyum haru, menggenggam buku jurnal itu dengan lembut. "Terima kasih, Pak Hans.”

Hans tersenyum, "Jangan segan jika butuh bantuan. Saya akan selalu ada jika kamu ingin berbicara atau butuh dukungan."

"Terima kasih.”

Hans duduk di dekat Maya, memberikan ruang bagi keheningan sejenak. Kemudian, dia berkata, "Bagaimana kalau kita coba melakukan sesuatu yang bisa mengubah suasana seperti menonton film atau melakukan aktivitas yang bisa membuat kamu tenang?”

“Boleh saja.”

“Kapan kamu punya waktu luang?”

“Bagaimana kalau besok setelah pulang kerja?”

“Baiklah.”

Wajah Maya menampilkan kalau pikirannya sedang sangat kacau. Hans berusaha mengubah suasana dengan menawarkan sesuatu. “Mau saya buatkan makanan? Mungkin saja kamu lapar?"

“Tidak perlu, terima kasih.”

“Bagaimana kalau donat?” Pernyataan itu membuat Maya menatap Hans dengan antusias. “Sangat mudah membuatnya.”

“Donat?”

“Jika ada bahan-bahannya, saya akan buatkan sekarang.”

Maya menunjukkan bahan-bahan makanan yang tersimpan rapi disebuah laci. Dengan cepat Hans membuatnya, terlihat seperti sudah biasa. Pandangan Maya tidak lepas dari pria yang sedang membuat adonan sembari bercerita.

“Tunggu beberapa menit dulu sampai adonannya mengembang.” Hans mencuci tangannya dan kembali duduk dihadapan Maya. “Saya sangat suka donat. Jadi, saya belajar membuatnya sejak SMA.”

“Saya berusaha untuk tidak memakannya walau saya suka.”

“Kenapa?”

“Almarhumah anak saya sangat menyukai donat. Saya tidak sanggup memakannya karena selalu teringat dengannya.”

***

Jas abu-abu yang berpadu dengan kemeja hitam dan celana jeans seperti memperlihatkan suasana hatinya hari itu. Hans memang sudah berusaha menemani dan menghiburnya. Namun Maya bukanlah anak kecil. Dia masih tetap bersedih dan berusaha menutupinya.

Sebagai ketua tim dari 5 desainer mud di perusahaan tersebut mengharuskan Maya untuk tetap fokus bekerja karena menjadi andalan anggotanya. Namun hari itu, Maya datang hanya untuk memberikan surat pengunduran dirinya.

Dia mendatangi ruangan Hans selaku manager di perusahaan tersebut. “Saya ingin menyampaikan ini, Pak.” Surat yang telah disiapkan jauh-jauh hari akhirnya mendarat di meja kerja sang manager. “Saya harap, keputusan saya ini bisa diterima dengan baik.”

Hans membacanya dengan perasaan terkejut. “Saya bisa berikan kamu waktu libur yang panjang kalau kamu mau? Kamu tidak harus mengundurkan diri seperti ini.”

“Ini sudah menjadi keputusan saya, Pak.”

“Saya pikir, kemarin adalah langkah awal untuk bisa lebih dekat denganmu.”

“Untuk kesekian kalinya saya minta maaf karena tidak bisa membalasnya.”

“Jadi, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk saya?”

Tidak tahu harus menjawab apa. Maya hanya diam menunduk dengan sopan. “Saya tidak bermaksud menolak. Hanya saja ….”

“Baiklah. Tapi, bisakah kamu tidak membatalkan rencana kita kemarin?”

Setelah berpamitan secara mendadak oleh para karyawan, Maya dan Hans pergi bersama tanpa ragu. Lagi pula, semua karyawan sudah tahu kalau Hans sangat menyukai Maya. Mereka pergi ke sebuah bioskop. Menonton film komedi yang berhasil menampilkan tawa dibibir Maya.

“Cantik,” ucap Hans sambil melihat Maya.

“Maaf?” tanya Maya yang mendengar ucapan Hans, namun tidak jelas.

“Oh, tidak ada.”

Tempat selanjutnya yang mereka kunjungi adalah Danau Jenewa. Hans membawa Maya menyusuri danau nan indah itu dengan kapal pesiar. Terlihat kalau Maya bahagia dan menikmatinya dengan tenang.

“Bagaimana? Kamu bisa lebih tenang sekarang?”

“Terima kasih, Pak Hans.”

“Ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi?”

“3 jam lagi waktu keberangkatan saya ke Indonesia.”

“Apa?” Hans kembali terkejut. Lebih terkejut dari saat menerima surat pengunduran diri Maya sebelumnya.

“Saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saya tidak bisa selamanya bersembunyi di sini.” Maya menatap Hans dengan tulus untuk pertama kalinya. “Terima kasih atas semuanya, termasuk waktu, usaha, dan cintanya. Saya sangat menghargainya.”

Dengan berani Hans meraih tangan Maya. Untuk pertama kalinya dia genggam erat tangan mulus tersebut. “Saya benar-benar mencintaimu. Apa yang harus saya lakukan agar kamu bisa mencintai saya?”

“Saya tidak ingin memberikan harapan. Jadi, jangan menunggu saya. Biar waktu yang menjawab semuanya.”

“Kamu benar-benar akan pergi?”

“Iya, saya harus pergi sekarang. Terima kasih atas semuanya, Pak Hans.” Maya sedikit membungkuk dengan sopan. “Sampai jumpa di lain waktu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status