Share

2. Tak Ingin Jauh

Author: Shifa Asya
last update Last Updated: 2024-02-29 11:52:02

Sama sekali tidak ada niat untuk menjual rumah tersebut. Rumah yang baru ditempati selama 4 tahun itu menyimpan banyak sekali kenangan yang selalu mengingatkannya pada kesedihan mendalam. Kamar sang anak yang sudah dirancang dengan baik, hanya ditempati beberapa tahun saja. Meninggalkan banyak mainan, baju, dan foto yang kembali membuat air matanya mengalir deras.

“Nak, Mama pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai bermotif bunga sakura tersebut.

Seorang ibu yang selama dua tahun hidup penuh kekhawatiran karena anaknya tinggal jauh di Swiss dengan membawa luka yang teramat, akhirnya bisa merasakan lega dihatinya. Namun, tidak menyangka kalau anak semata wayangnya itu pulang dengan masih larut dalam kesedihan. Tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama di Swiss, hidup sendiri dan menyimpan lukanya sendiri.

"Maaf Maya sudah membuat Ibu khawatir selama ini.”

"Kau bahagia di sana?"

"Setiap hari aku berusaha untuk selalu bahagia. Tapi, semua hanya sesaat.”

"Tidak apa-apa, kau sudah berusaha. Keputusan untuk kembali ke Indonesia adalah yang paling tepat. Kau sudah melakukan semuanya dengan baik, Nak."

"Aku sudah resmi bercerai dengan Aidan. Maaf karena tidak memberitahu Ibu lebih dulu."

"Itu rumah tanggamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik atas semua yang menjadi keputusan kalian." Widia mengambil sebuah bucket dengan bunga mawar putih yang sudah layu. “Ini dari Aidan. Seminggu yang lalu dia datang ke rumah Ibu, sekalian mau pamit karena akan tinggal di Kanada.”

Widia keluar dari kamar itu, meninggalkan Maya sendirian untuk memberikan ruang. Ada sebuah surat yang terselip diantara bunga-bunga layu itu. “Ah, kenapa kau masih melakukan ini, Dan?”

Dengan hati-hati, Maya membuka amplop putih yang terbungkus rapi. Sehelai kertas putih dengan tinta hitam di atasnya berisi tulisan tangan yang akrab, mengungkapkan perasaan dan pemikiran Aidan selama ini.

Untuk ibu dari anakku,

Maya Almayra

Saat surat ini sudah berada di tanganmu, aku harap dapat memberi ketenangan dan pengertian. Kita telah melewati banyak rintangan hidup dan aku merasa perlu untuk berterus terang tentang perasaanku.

Setiap hari, aku merenungkan momen indah kita bersama dan juga beban yang terasa semakin berat. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa kita berdua telah berubah. Pernikahan kita sudah tidak baik-baik saja.

Ini bukan tentang menyalahkan atau menyesali, namun tentang pembebasan diri dan memberikan kesempatan untuk memulai lagi. Semoga kau bisa memahaminya, sebab keputusan ini aku ambil dengan banyak pertimbangan. Aku berharap kau dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kamu dapatkan saat bersamaku.

Dengan berat hati aku menyadari bahwa kita berdua harus saling melepaskan agar bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Maafkan aku jika selama ini selalu menyakitimu. Terima kasih atas semua cinta, ketulusan, dan pengorbananmu. Terima kasih juga telah melahirkan seorang gadis cantik yang telah menjadi bidadari di surga. Semoga langkah kita selanjutnya membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.

Salam hangat,

Aidan

***

Maya tidur diatas kasur sang anak yang sudah lama tidak di tempati. Bahkan dia melewatkan makan malamnya dengan menghabiskan waktu di kamar itu. Pagi harinya, Maya bangun dengan suasana baru.

“Maya?” Widia memanggil dari depan pintu. “Ada yang mencarimu.”

“Siapa, Bu?”

“Kau lihat saja sendiri. Ayo, cepat.”

Walau penasaran, Maya tetap saja bersikap santai. Dia bahkan belum mengganti bajunya sepulang dari Swiss. Langkah kakinya yang kecil membawanya keluar dari kamar dan menemui tamu yang datang terlalu pagi.

“Pak Hans?”

Senyum pria yang berusia 2 tahun lebih muda darinya itu terlihat semringah, berbeda dengan Maya yang menampilkan wajah bingung.

Widia datang membawa minuman dan makanan. Dia lewat dan menyenggol sang anak yang terus berdiri di depan kamar. "Kok, malah melamun, sih, May?" Secangkir teh hangat yang dia bawa langsung dari Semarang, disajikan bersama dengan pisang goreng. "Silakan diminum tehnya. Pisang gorengnya jangan langsung di makan, masih terlalu panas."

"Terima kasih, Bu," ucap Hans dengan sopan.

Maya masih berdiri di posisinya. Dia masih terkejut dengan kedatangan Hans. Bahkan sesekali dia menyentuh wajah dan mencubitnya, barangkali itu adalah mimpi.

"Maya, kenapa berdiri saja, sih? Temani tamunya, dong?”

Baru saja melangkah, dia terjatuh karena tiba-tiba kakinya lemas. Widia mendekatinya sambil berkata, "Seperti inilah kelakuannya. Sudah kepala 3 tapi masih seperti anak kecil."

Hans tertawa mendengarnya, membuat Maya semakin canggung saat duduk di dekatnya. Tidak seperti biasanya, kali itu Maya yang memulai pembicaraan setelah beberapa saat mereka saling diam.

"Kenapa Pak Hans bisa ada di sini?"

"Saya langsung pesan tiket ke Indonesia setelah beberapa jam kau pergi."

"Oh, iya. Saya hampir lupa kalau minggu ini adalah akhir tahun, ya?”

"Bukan karena itu, tapi karena saya tidak ingin jauh darimu."

"Saya suka pujian, tapi tidak dengan gombalan, Pak."

Kalimat itu mengundang tawa dibibir mereka. Dalam hati Hans benar-benar merasa senang dapat terus melihat Maya. Dia ingin membuktikan kalau cintanya tulus dan nyata.

"Saya boleh minta tolong?" tanya Hans.

"Silakan."

"Bisakah antar ke apartemen tempat saya menginap?"

***

Dengan mobil miliknya, Maya mengantar Hans ke tempat tujuan. Keheningan kembali tercipta. Hans salah tingkah karena hanya duduk diam dan Maya yang mengemudi.

"Hening sekali," sindir Hans.

"Ingin putar musik?"

"Tidak. Saya ingin mengobrol denganmu saja."

"Apa yang ingin dibicarakan?"

"Bukankah akan lebih santai kalau kita bicara secara informal?"

"Silakan saja. Tapi saya nyaman seperti ini."

"Jangan coba membuat saya ilfil denganmu. Sifat cuekmu itu malah yang membuat saya jatuh cinta."

"Benarkah? Sepertinya itu baru awal-awal saja?”

"Baru awal? Saya sudah menyukaimu sejak satu tahun terakhir." Ucapan dan sikap Hans yang frontal selalu membuat Maya terkejut. "Saat itu kau masih memiliki suami. Saya menahan rasa suka ini. Bukankah saya pandai bersembunyi?"

Mobil dan motor yang berada di belakangnya mengklason bersautan. Maya segera menjalankan mobilnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tidak ingin banyak bicara. Jadi disepanjang perjalanan mereka benar-benar diam dan tidak saling pandang. Bahkan, Maya tidak sadar kalau Hans tertidur.

Maya menatap wajah Hans dari posisinya. "Pantaskah kalau aku sebut dia pria gila? Kenapa bisa dia menyukai wanita sepertiku? Aku saja muak dengan diriku sendiri."

Matanya tiba-tiba terbuka lebar. Untuk yang kesekian kalinya Maya dibuat terkejut oleh kelakuan Hans. "Cinta lebih sering hadir tanpa alasan. Untuk pertanyaan itu, saya tidak punya jawabannya. Jadi, jangan menanyakannya lagi."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   32. Terima Kasih

    “Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   31. Halusinasi Maya

    Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   30. Meninggal

    “Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   29. Kenapa Rachel Melakukannya?

    Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   28. Rasa Frustasi

    “Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka

  • Cinta Dalam Bayang Mafia   27. Hamil

    Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status