Share

2. Tak Ingin Jauh

Sama sekali tidak ada niat untuk menjual rumah tersebut. Rumah yang baru ditempati selama 4 tahun itu menyimpan banyak sekali kenangan yang selalu mengingatkannya pada kesedihan mendalam. Kamar sang anak yang sudah dirancang dengan baik, hanya ditempati beberapa tahun saja. Meninggalkan banyak mainan, baju, dan foto yang kembali membuat air matanya mengalir deras.

“Nak, Mama pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai bermotif bunga sakura tersebut. “Tidak perlu cemas. Mama tidak akan melupakanmu. Tidak akan pernah bisa.”

Seorang ibu yang selama 2 tahun hidup penuh kekhawatiran karena anaknya tinggal jauh di Swiss dengan membawa luka yang teramat, akhirnya bisa merasakan lega dihatinya. Namun, tidak menyangka kalau anak semata wayangnya itu pulang dengan masih larut dalam kesedihan. Tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama di Swiss, hidup sendiri dan menyimpan lukanya sendiri.

"Maya, makan dulu, yuk?"

"Maaf sudah membuat Ibu khawatir selama ini,” kata Maya yang duduk dipinggir kasur.

Widia mendekati sang anak dan mengelus lembut pundaknya. "Kamu bahagia di sana?"

"Setiap hari aku berusaha untuk selalu bahagia. Tapi, semua hanya sesaat. Sampai akhirnya aku tidak kuat dan memutuskan untuk menyerah."

"Tidak apa-apa, kamu sudah berusaha. Keputusan untuk kembali ke Indonesia adalah yang paling tepat karena kamu tidak memaksanya. Kamu sudah melakukan semuanya dengan baik, Nak."

"Aku sudah resmi bercerai dengan Aidan. Maaf karena tidak memberitahu Ibu lebih dulu."

"Itu rumah tanggamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik atas semua yang menjadi keputusan kalian." Widia mengambil sebuah bucket dengan bunga mawar putih yang sudah layu. “Ini dari Aidan. Seminggu yang lalu dia datang ke rumah Ibu, sekalian mau pamit karena akan tinggal di Kanada.”

Widia keluar dari kamar itu, meninggalkan Maya sendirian untuk memberikan ruang. Ada sebuah surat yang terselip diantara bunga-bunga layu itu. “Ah, kenapa kamu masih melakukan ini, Dan?”

Dengan hati-hati, Maya membuka amplop putih yang terbungkus rapi. Sehelai kertas putih dengan tinta hitam di atasnya berisi tulisan tangan yang akrab, mengungkapkan perasaan dan pemikiran Aidan selama ini.

Untuk ibu dari anakku,

Maya Almayra

Saat surat ini sudah berada di tanganmu, aku harap dapat memberi ketenangan dan pengertian. Kita telah melewati banyak rintangan hidup dan aku merasa perlu untuk berterus terang tentang perasaanku.

Setiap hari, aku merenungkan momen indah kita bersama dan juga beban yang terasa semakin berat. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa kita berdua telah berubah. Pernikahan kita sudah tidak baik-baik saja. Kita mungkin harus melepaskan satu sama lain agar bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Ini bukan tentang menyalahkan atau menyesali, namun tentang pembebasan diri dan memberikan kesempatan untuk memulai lagi. Semoga kamu bisa memahaminya, sebab keputusan ini aku ambil dengan banyak pertimbangan. Aku berharap kamu dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kamu dapatkan saat bersamaku.

Dengan berat hati aku menyadari bahwa kita berdua harus saling melepaskan. Mungkin ini adalah saatnya untuk kita mencari kebahagiaan di jalur yang berbeda. Maafkan aku jika selama ini selalu menyakitimu. Terima kasih atas semua cinta, ketulusan, dan pengorbananmu. Terima kasih juga telah melahirkan seorang gadis cantik yang telah menjadi bidadari di surga. Semoga langkah kita selanjutnya membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.

Salam hangat,

Aidan

Maya merenung, meresapi setiap kalimat dan mencoba memahami perasaan mantan suaminya. Meskipun masih ada luka dan kesedihan, dia bisa merasakan upaya dan ketulusan dalam kata-kata Aidan. “Terima kasih kembali, Aidan.”

***

Maya tidur diatas kasur sang anak yang sudah lama tidak di tempati. Bahkan dia melewatkan makan malamnya dengan menghabiskan waktu di kamar itu. Pagi harinya, Maya bangun dengan suasana baru.

“Ah, bisakah aku lewati hari ini dengan baik?”

“Maya?” Widia memanggil dari depan pintu. “Ada yang mencarimu.”

“Siapa, Bu?”

“Kamu lihat saja sendiri. Ayo, cepat.”

Walau penasaran, Maya tetap saja bersikap santai. Dia bahkan belum mengganti bajunya sepulang dari Swiss. Langkah kakinya yang kecil membawanya keluar dari kamar dan menemui tamu yang datang terlalu pagi.

“Pak Hans?”

Senyum pria yang berusia 4 tahun lebih muda darinya itu terlihat semringah, berbeda dengan Maya yang menampilkan wajah bingung.

Widia datang membawa minuman dan makanan. Dia lewat dan menyenggol sang anak yang terus berdiri di depan kamar. "Kok, kamu malah melamun, sih, May?" Secangkir teh hangat yang dia bawa langsung dari Semarang, disajikan bersama dengan pisang goreng. "Silahkan diminum tehnya. Pisang gorengnya jangan langsung di makan, masih terlalu panas."

"Terima kasih, Bu," ucap Hans dengan sopan.

Maya masih berdiri diposisinya. Dia masih terkejut dengan kedatangan Hans. Bahkan sesekali dia menyentuh wajah dan mencubitnya, barangkali itu adalah mimpi.

"Maya, kamu kenapa berdiri saja, sih? Temani tamunya, dong? Kamu, tuh."

Baru saja melangkah, dia terjatuh karena tiba-tiba kakinya lemas. Widia mendekatinya sambil berkata, "Seperti inilah kelakuannya. Sudah kepala 3 tapi masih seperti anak kecil."

"Ih, Ibu."

Hans tertawa mendengarnya, membuat Maya semakin canggung saat duduk di dekatnya. Tidak seperti biasanya, kali itu Maya yang memulai pembicaraan setelah beberapa saat mereka saling diam.

"Kenapa Pak Hans bisa ada di sini?"

"Saya langsung pesan tiket ke Indonesia setelah beberapa jam kamu pergi."

"Oh, iya. Saya hampir lupa kalau minggu ini adalah akhir tahun."

"Bukan karena itu, tapi karena saya tidak ingin jauh darimu."

"Saya suka pujian, tapi tidak dengan gombalan, Pak."

Kalimat itu mengundang tawa dibibir mereka. Dalam hati Hans benar-benar merasa senang dapat terus melihat Maya. Dia ingin membuktikan kalau cintanya tulus dan nyata.

"Saya boleh minta tolong?" tanya Hans.

"Silahkan."

"Bisakah antar ke apartemen tempat saya menginap?"

***

Dengan mobil miliknya, Maya mengantar Hans ke tempat tujuan. Keheningan kembali tercipta. Hans salah tingkah karena hanya duduk diam dan Maya yang mengemudi.

"Hening sekali," sindir Hans.

"Ingin putar musik?"

"Tidak. Saya ingin mengobrol denganmu saja."

"Apa yang ingin dibicarakan?"

"Bukankah akan lebih santai kalau kita bicara secara informal?"

"Silahkan saja. Tapi saya nyaman seperti ini."

"Jangan coba membuat saya ilfil denganmu. Sifat cuekmu itu malah yang membuat saya jatuh cinta."

"Sungguh? Sepertinya itu baru awal-awal saja?”

"Baru awal? Saya sudah menyukaimu sejak satu tahun terakhir." Ucapan dan sikap Hans yang frontal selalu membuat Maya terkejut. "Saat itu kamu masih menjadi istri orang. Saya menahan rasa suka ini. Bukankah saya pandai bersembunyi?"

Mobil dan motor yang berada di belakangnya mengklason bersautan. Maya segera menjalankan mobilnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tidak ingin banyak bicara. Jadi disepanjang perjalanan mereka benar-benar diam dan tidak saling pandang. Bahkan, Maya tidak sadar kalau Hans tertidur.

Maya menatap wajah Hans dari posisinya. "Pantaskah kalau aku sebut dia pria gila? Kenapa bisa dia menyukai wanita sepertiku? Aku saja muak dengan diriku sendiri."

Matanya tiba-tiba terbuka lebar. Untuk yang kesekian kalinya Maya dibuat terkejut oleh kelakuan Hans. "Cinta lebih sering hadir tanpa alasan. Untuk pertanyaan itu, saya tidak punya jawabannya. Jadi, jangan menanyakannya lagi."

"S-saya ...."

"Kamu mencintaiku?"

"Hah?"

“Belum?"

"Pak Hans, tolong jangan bersikap begitu."

"Oh, maaf."

"Lakukan secara natural. Jangan terlalu frontal seperti itu."

"Maksudmu ... jadi, k-kamu memberi saya harapan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status