LOGINPagi mulai datang, disebuah apartemen mungil. Sinar matahari menembus tirai tipis, membelai wajah wanita cantik yang masih terlelap di ranjangnya.
Wanita itu Vivienne, terbangun dengan senyuman. Ia menghirup udara pagi, merasa bersyukur atas hari baru. Saat bangun, matanya tertuju pada foto kedua orang tuanya yang telah tiada. "Selamat pagi, Ayah, Ibu... aku sangat merindukan kalian. Semoga kalian tenang di sana." Ucap Vivienne lirih. Ia mengusap foto itu dengan lembut, lalu menutup matanya sejenak untuk berdoa. "Semoga hari ini berjalan lancar, aku sayang kalian." Lanjut Vivienne. Ia menarik napas dalam, lalu beranjak bersiap-siap untuk berangkat kerja. Setelah mengenakan pakaian kantor yang rapi, ia mengambil tasnya dan keluar apartemen. Vivienne Ashford, sering dipanggil Vivie oleh teman-temannya memiliki wajah cantik dan imut. Namun, dibalik wajahnya yang cantik dan kepribadiannya yang baik, Vivienne adalah sosok wanita muda yang luar biasa. Pada usia 25 tahun, ia telah bekerja di Winc & Co yang merupakan salah satu perusahaan teknologi paling bergengsi di dunia, tempat yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terbaik. Namun, Vivienne bukan sekadar wanita cantik dengan pekerjaan bergengsi. Ia adalah seorang jenius yang lulus cumlaude dari salah satu universitas ternama di Amerika Serikat. Kecerdasan dan kerja kerasnya menjadikannya salah satu aset berharga bagi perusahaan. Namun, siapa sangka di balik kesuksesan dan senyum lembutnya, Vivienne menyimpan luka yang dalam. Saat berusia 13 tahun, ia kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis. Kecelakaan itu bukan kejadian biasa. Banyak desas-desus beredar bahwa kedua orang tuanya dibunuh, dan Vivienne mengetahui kebenarannya. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari ia akan menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian mereka. Selama bertahun-tahun, Vivienne menyusun rencana dengan cermat. Dengan kemampuannya yang luar biasa, ia melacak berbagai informasi dan menemukan bahwa perusahaan tempatnya bekerja memiliki kaitan dengan kematian orang tuanya. Ini bukan kebetulan. Ia masuk ke dalam perusahaan ini bukan hanya untuk karier, tetapi juga untuk mencari kebenaran. Hari demi hari, Vivienne mengumpulkan informasi dengan hati-hati. Ia menyusup ke dalam sistem perusahaan, mencari jejak transaksi, komunikasi rahasia, dan nama-nama yang terlibat. Setiap potongan informasi yang ia temukan semakin menguatkan dugaannya. Ada sesuatu yang gelap tersembunyi di balik kesuksesan perusahaan ini, dan Vivienne tahu bahwa ia semakin dekat dengan kebenaran. Namun, langkahnya tidak mudah. Semakin dalam ia menyelidiki, semakin besar risikonya. Ia mulai merasa diawasi, ancaman-ancaman halus mulai bermunculan. Tapi Vivienne tidak gentar. Ia telah kehilangan terlalu banyak dalam hidupnya, dan ia tidak akan mundur sekarang. Dengan kecerdasan dan tekadnya, Vivienne bertekad untuk mengungkap kebenaran, membongkar konspirasi yang telah menghancurkan keluarganya, dan menuntut keadilan bagi orang tuanya. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar pencarian informasi, tetapi juga pertempuran antara hidup dan mati. Dan Vivienne, seperti biasa, siap menghadapi segalanya. ** Di ruang kantornya, Vivienne duduk di mejanya, wanita itu tampak serius menatap layar. Terdengar beberapa rekan kerja di sebelahnya mulai berbisik-bisik, membicarakan sesuatu dengan antusias, membuat Vivienne kehilangan fokus dan mencoba mendengarkan pembicaraan tersebut. "Kalian sudah dengar? CEO lama benar-benar digantikan oleh anak pemilik perusahaan!" Ucap rekan kerjanya yang duduk disampingnya. Rekan yang lain langsung menjawab dengan nada semangat. "Iya, katanya dia tampan banget... tapi juga kejam dan dingin. Semua orang takut padanya!" Ucap rekannya yang lain "Pasti dia tipe bos yang perfeksionis dan nggak ada toleransi untuk kesalahan." Vivienne hanya melirik sebentar, lalu menghela napas dan kembali fokus pada pekerjaannya. "Aku ke sini bukan untuk bergosip. Yang penting aku melakukan tugasku dengan baik." ucap Vivienne dalam hati. ** Malam itu, di sebuah restoran yang diterangi cahaya lilin temaram, Vivienne duduk berhadapan dengan Julian, kekasihnya selama enam tahun terakhir. Julian, seorang pria tampan yang dikagumi banyak orang, selalu menjadi sosok yang sabar dan penuh kasih sayang. Julian adalah seorang dokter yang sukses yang saat ini bekerja di rumah sakit besar. Namun, walaupun ditengah kesibukan pacarnya di rumah sakit Julian tetap menyempatkan diri untuk selalu bertemu dirinya. Hari-hari terakhir ini, dunia seakan tak bersahabat bagi Vivienne berbagai masalah datang silih berganti, membuatnya merasa rapuh dan takut menghadapi keadaan. Namun, di tengah kekacauan itu, Julian selalu hadir sebagai penenang. Malam ini, dengan lembut, dia menggenggam tangan Vivienne, memberikan kehangatan yang menenangkan. Vivienne menatap wajah Julian yang tampan, merasakan betapa beruntungnya dia memiliki pria sebaik Julian di sisinya. Hatinya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan, menyadari bahwa di saat dunia terasa kejam, Tuhan telah mengirimkan Julian untuk selalu mendampinginya. "Kamu kelihatan lelah. Ada apa di kantor?" tanya Julian "Gosipnya, CEO baru mulai masuk besok. Aku agak takut... Dia katanya dingin dan kejam." Ucap Vivienne. Julian tersenyum dan mencoba menenangkan "Hey, kamu orang yang luar biasa. Kamu masuk ke perusahaan itu bukan karena keberuntungan, tapi karena kerja keras dan kecerdasanmu. Kenapa harus takut?" "Entahlah... aku hanya tidak ingin masalah. Aku ingin bekerja dengan tenang." Ucap Vivianne. Julian tersenyum hangat dan berkata "Sayang, aku tahu akhir-akhir ini banyak hal yang membuatmu cemas. Aku di sini untukmu. Semua akan baik-baik saja." Vivienne menatap mata Julian dengan lembut suaranya lembut menjawab "Aku merasa begitu beruntung memilikimu, Julian. Di saat segalanya terasa sulit, kamu selalu ada di sisiku." Julian menggenggam tangan Vivienne lebih erat "Tentu, Vivienne. Aku mencintaimu dan akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi." Vivienne tersenyum, matanya berkaca-kaca "Terima kasih. Kehadiranmu membuatku merasa lebih kuat." Julian mengusap lembut pipi Vivienne "Jangan khawatir. Fokus saja pada apa yang kamu bisa lakukan. CEO baru itu bukan masalahmu, kan?" Vivienne mengangguk dan tersenyum "Iya... kamu benar. Aku hanya harus melakukan pekerjaanku seperti biasa." Mereka melanjutkan makan malam dengan perasaan hangat dan saling mendukung, menikmati kebersamaan yang semakin mempererat hubungan mereka. * Setelah menghabiskan makan malam bersama Julian, Vivienne akhirnya pulang. Ia membuka pintu apartemennya dengan lelah, meletakkan tasnya di sofa, lalu berjalan ke kamar. Dengan sisa tenaga, ia langsung menjatuhkan dirinya ke kasur, menghela napas panjang. "Hari yang panjang... Aku benar-benar capek." Ia menatap langit-langit kamarnya, pikirannya masih dipenuhi gosip tentang CEO baru. Semua orang membicarakannya, seolah-olah dia adalah tokoh dari cerita misteri. "Seberapa tampan sih dia sampai semua orang membicarakannya? Tapi kalau benar dia kejam seperti rumor yang beredar... Aku harap aku tidak perlu berurusan dengannya." ucap Vivienne dalam hati. Ia membalikkan badan, menutup matanya, tapi tetap tidak bisa mengusir rasa penasaran yang menggelitik benaknya. Vivienne berbisik pelan "Terserah deh... Yang penting besok aku tetap kerja seperti biasa." Dengan itu, ia akhirnya membiarkan dirinya tenggelam dalam kantuk, berharap esok hari akan berjalan seperti biasanya tanpa harus bertemu dengan CEO baru yang katanya begitu misterius. *** Di sebuah cafe kecil yang nyaman, Vivianne duduk di pojokan dekat jendela, menikmati sore dengan secangkir kopi caramel macchiato favoritnya. Laptopnya terbuka, jari-jarinya dengan lincah mengetik laporan terakhir sebelum akhir pekan. Suasana begitu tenang, alunan musik jazz ringan mengiringi pikirannya yang sedang fokus. Vivienne tersenyum. Hari ini terasa sempurna. Sampai tiba-tiba ponselnya bergetar di meja. Dia melihat nama di layar "Caroline", rekan kerjanya. Vivienne menghela napas sebelum mengangkat. "Halo, Caroline? Ada apa?" Di seberang, suara Caroline terdengar ragu. "Vivienne... kamu lagi di mana?" "Di cafe. Kenapa? Suaramu kok aneh?" Vivienne menyipitkan mata, firasatnya mulai tak enak. Caroline terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Mulai besok, kamu dipindahkan ke divisi lain." Vivienne mengerutkan kening. "Hah? Maksudnya?" "Kamu bakal jadi sekretaris baru... buat Pak Xavier." Ucap Caroline. Vivienne langsung menegakkan punggungnya. "Pak Xavier? CEO itu? Yang terkenal.." "Kejam? Ya. Itu dia." Lanjut Caroline Vivienne mendesah. "Tadi HR ngumumin mendadak. Semua orang di kantor heboh pas tahu kamu yang dipilih." Kopi di tangan Vivienne mendadak terasa hambar. "Kenapa aku?" tanya Vivienne "Katanya karena kamu paling teliti dan tahan tekanan." Lanjut Caroline. Vivienne mendecak pelan. "Tahan tekanan? Bukan berarti aku tahan menghadapi bos yang katanya suka marah-marah setiap hari!" Caroline tertawa kecil. "Yah, anggap aja tantangan. Atau hukuman?" Vivienne memutar mata. "Hukuman untuk apa? Aku kan pekerja teladan." "Mungkin terlalu teladan, jadi malah kena tugas berat." Caroline terkikik. "Ya udah, siap-siap aja. Besok pertama kali kerja langsung hadapi singa di kandangnya." Vivienne menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Tiba-tiba kerjaannya tak lagi terasa menarik. Kopinya pun tak lagi nikmat. Besok, hidupnya akan berubah dan dia tidak tahu apakah itu kabar baik atau buruk. . . . To Be Continued Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔSore itu, setelah semua rapat selesai, suasana kantor mulai lengang. Thomas memanggil Xavier ke ruangannya. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan foto-foto lama beberapa menampilkan Xavier kecil di sisi ayahnya, tampak bahagia… namun Xavier kini hanya menatapnya dengan datar.“Duduklah,” ucap Thomas tanpa menatap. Ia sibuk menandatangani beberapa berkas di mejanya.Xavier duduk, menunggu.Beberapa detik hening berlalu sebelum Thomas akhirnya bersuara, nadanya tenang tapi dingin.“Anak muda sepertimu seharusnya tahu batas, Xavier. Aku dengar kamu menghabiskan waktu di luar kota… bersama seorang wanita.”Xavier tak langsung menjawab, tapi tatapannya tajam menatap ayahnya. “Aku butuh waktu untuk istirahat. Dan wanita itu, dia bagian dari timku.”Thomas tersenyum tipis, masih menunduk menatap kertas.“Bagian dari tim? Begitu?” Ia berhenti sejenak, menatap Xavier.“Cathrine juga bagian dari hidupmu, jangan lupa itu.” Lanjutnya.Xavier menarik napas pelan, tapi rahangnya menega
Pagi itu, udara kota terasa berbeda. Langit cerah, tapi hati Vivienne berdebar sejak ia menerima pesan dari Xavier malam sebelumnya. Xavier : Besok pagi aku mau kamu ikut aku ke rapat direksi. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan ke kamu. Vivienne membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu siapa “seseorang” itu. Ayah Xavier, Thomas Winchester. Sosok yang namanya bahkan membuat sebagian besar orang di perusahaan menunduk hanya dengan mendengar disebut. Vivienne menatap cermin pagi itu, menyesuaikan jas hitam dan kemeja putih sederhana. Tangannya sedikit gemetar. “Tenang, Vivienne ” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma rapat. Cuma pertemuan biasa.” Tapi jauh di dalam hati, Vivienne tahu ini bukan sekadar rapat. Ini adalah kesempatan untuk menatap langsung wajah seseorang yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita... seseorang yang namanya pernah muncul di berkas tua peninggalan mendiang ayahnya. Dalam daftar hitam proyek yang “gagal” bertahun-tahun lalu. ** Mobil hitam
Hari itu dimulai seperti biasa.Langit sedang cerah, matahari menembus jendela besar gedung kantor tempat Vivienne bekerja.Ia sudah terbiasa dengan rutinitas pagi, menyusun laporan, memeriksa jadwal Xavier , dan memastikan semua urusan administrasi berjalan rapi.Sudah seminggu sejak liburan ke pulau itu, dan meskipun semuanya tampak normal di permukaan, Vivienne tahu ada sesuatu yang berubah.Hubungannya dengan Xavier kini terasa lebih… hangat. Tapi juga lebih berisiko.Ia berusaha menjaga jarak secara profesional, walau kadang sulit menahan senyum setiap kali Xavier menatapnya lebih lama dari seharusnya.Siang itu, Vivienne sedang di meja resepsionis sementara staf utama izin keluar. Ia sedang menandatangani beberapa dokumen ketika suara hak tinggi terdengar cepat menghampiri.“Dimana Xavier, saya mau bertemu dengan Xavier .”Suara itu tajam, penuh tekanan.Vivienne menoleh dan hatinya langsung berdebar.CatherineIa masih sama seperti awal ia bertemu, elegan, berkelas, dengan tata
Matahari sore mulai turun perlahan, menyapu langit dengan warna keemasan yang lembut. Dari teras villa, Vivienne berdiri memandangi laut lepas. Angin membelai rambutnya, sementara ombak menari pelan di kejauhan.Xavier datang membawa dua gelas jus segar, menyerahkan satu pada Vivienne.“Kau suka?” tanyanya pelan.Vivienne mengangguk, tersenyum lembut.“Suka sekali… tapi aku masih nggak habis pikir, Xavier. Kamu benar-benar punya semua ini?” Jawabnya.Xavier duduk di sampingnya, menatap laut yang sama.“Aku punya banyak hal, Vivienne Tapi jarang sekali aku merasa benar-benar punya seseorang yang bisa bikin aku merasa hidup. Sampai kamu datang.”Vivienne terdiam. Kata-kata itu menghantam lembut tapi dalam. Hatinya bergetar, namun di sisi lain, ada rasa takut yang menahan. Ia tahu batasnya. Ia tahu Xavier bukan pria yang mudah ia percayai.Malamnya, setelah makan malam di tepi pantai dengan cahaya lilin yang menari tertiup angin, Xavier tiba-tiba memanggilnya.“Vivienne ” suaranya pelan
Pagi itu, Vivienne duduk di bangku kayu taman rumahnya. Di tangannya ada secangkir teh hangat, dan matanya terpaku pada bunga-bunga yang sedang mekar, seolah ikut menyambut sinar mentari.Hatinya terasa lebih ringan, sejak kejadian itu Xavier mencium dirinya. Ada rasa baru yang tumbuh, seolah ia menemukan tempat aman untuk bersembunyi dari kerasnya dunia.Tanpa ia sadari, Xavier sudah berdiri di belakangnya. Dengan langkah pelan, Xavier mendekat lalu mengecup pipi Vivienne.“Selamat pagi, sayang…” Ucap Xavier lembut.Vivienne tersentak kecil, lalu menoleh dengan pipi merona“Kamu ini, bikin kaget aja. Dari tadi ternyata di belakangku, ya?” Sahut Vivienne.Xavier tersenyum nakal, duduk di samping Vivienne.“Aku nggak tahan lihat kamu sendirian di sini. Aku pengen jadi orang pertama yang bikin pagimu indah.”Vivienne menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya“Hmm… berhasil sih. Tapi jangan sering-sering bikin aku kaget begitu.”Xavier menggenggam tangannya“Kalau kagetnya karena cinta
Beberapa hari kemudian, Vivienne sudah jauh lebih sehat. Luka di kepalanya hanya menyisakan bekas tipis.Xavier memutuskan untuk mengajaknya keluar rumah.“Kau sudah bosan di rumah, kan? Aku akan ajak kamu keluar sebentar.”Vivienne terkejut tapi tersenyum kecil.“Benarkah? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihat kota.” Sahut Vivienne.Vivienne mengiyakan ajakan Xavier untuk pergi keluar jalan-jalan.*Mobil hitam Xavier melaju tenang di jalan malam yang basah setelah hujan sore tadi.Vivienne menatap keluar jendela, kagum melihat kerlap-kerlip lampu kota.“Indah sekali...” Ucap Vivienne.Xavier meliriknya sebentar“Kau suka?” Tanyanya.Vivienne mengangguk.“Aku merasa seperti... hidupku normal lagi.”Xavier hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya ia bertekad, aku akan pastikan kau benar-benar bisa hidup normal suatu hari nanti.Xavier membawa Vivienne ke restoran dengan pemandangan kota dari lantai 50.Vivienne hampir tidak percaya melihat tempatnya begitu mewah.Vivienne ter







