LOGIN
Di bawah selimut yang hangat dengan suara gemercik hujan membawa aroma tanah basah yang memberi keheningan di rumah itu.
Vivienne duduk diam diujung kasur dengan matanya menyusuri setiap inci ruangan, seakan ingin menangkap sesuatu yang telah hilang. 12 tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu, namun rasa sakit itu masih mengendap dalam benaknya, merasuk dalam tulang-tulangnya, dan membakar jiwanya. Ayah dan ibunya, kedua orang yang dia kagumi dan cintai, dibunuh didepannya oleh tangan ayah pria yang sekarang dia kenal. Tangan dengan darah yang sama saat ini sedang menyentuhnya, menariknya dalam dekapan yang begitu akrab, tetapi juga penuh dengan kebencian yang tak terucapkan. Vivienne duduk termenung di tepi jendela, menatap hujan yang turun deras. "Bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini? Aku yang dulu penuh harapan, kini terperangkap dalam kebingunganku sendiri." Vivienne menunduk dengan suara bergetar. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua yang terjadi? Dan kenapa aku jatuh cinta pada seseorang yang seharusnya tidak kucintai. Aku membenci apa yang telah terjadi, tapi hatiku tidak bisa membohongi perasaanku." Di tempat yang sama di mana dia dulu bermain, tertawa, dan merasa aman, sekarang dia merasa terjebak dalam labirin kebencian yang tak bisa dia tinggalkan. Vivienne tahu, pria di sampingnya, Xavier, adalah anak dari musuh yang telah merenggut nyawa orang tuanya. Dan meskipun kebencian itu menyala dalam dirinya, ada sesuatu yang lebih kuat, lebih dalam, yang membuatnya terjerat dalam perasaan yang membingungkan. Xavier, pria yang seharusnya menjadi musuh seumur hidupnya, kini adalah pria yang tidur di sampingnya, yang menenangkannya di malam-malam yang gelap, dan yang tanpa sadar telah mencuri hatinya. Vivienne menghela napas panjang "Setiap hari aku terjaga dengan kenangan itu. Aku ingin membenci dirinya, tapi hatiku juga ingin melepaskan kebencianku dan hidup dengan damai." Namun, hatinya tak bisa menipu dirinya. Di dalam kegelapan itu, ada kebingungan yang merobeknya. Haruskah dia membalas dendam atas pembunuhan orang tuanya, dan menghancurkan pria yang kini menjadi bagian dari dirinya? Atau akankah dia melepaskan kebencian itu, menerima kenyataan bahwa cinta yang tumbuh di dalam hatinya tidak bisa lagi dilawan? Di malam yang sunyi, Xavier berbaring di sampingnya, matanya terpejam, tubuhnya menghangatkan Vivienne dengan kehadirannya. Vivienne memandangi wajahnya, wajah yang tampak begitu tak berdosa namun penuh dengan sejarah yang berdarah. Mungkinkah ada jalan bagi mereka untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari rasa sakit ini? Atau akankah mereka terjebak dalam sebuah lingkarandendam yang tak berujung yang akan terus membayanginya? Vivienne tahu satu hal apapun yang dia pilih, tak ada jalan kembali. . . . Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔ Hai semua, kenalin nama aku lily. ini cerita pertama yang aku buat untuk aku publish secara umum. karena aku masih pemula dalam hal menulis cerita dengan karangan dan imajinasi pribadi, mohon maaf jika beberapa ketikan ada yang salah atau tidak sesuai. Jika ada ketidak sesuai bisa tulis kritik dan saran kalian di komen setiap chapter dan jika kalian suka bantu vote cerita aku. Sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan, aku mohon maaf atas kekurangan karya yang ku buat dan terima kasih sudah membaca dan mendukung ku. Happy Reading! (˶˃ ᵕ ˂˶)Sore itu, setelah semua rapat selesai, suasana kantor mulai lengang. Thomas memanggil Xavier ke ruangannya. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan foto-foto lama beberapa menampilkan Xavier kecil di sisi ayahnya, tampak bahagia… namun Xavier kini hanya menatapnya dengan datar.“Duduklah,” ucap Thomas tanpa menatap. Ia sibuk menandatangani beberapa berkas di mejanya.Xavier duduk, menunggu.Beberapa detik hening berlalu sebelum Thomas akhirnya bersuara, nadanya tenang tapi dingin.“Anak muda sepertimu seharusnya tahu batas, Xavier. Aku dengar kamu menghabiskan waktu di luar kota… bersama seorang wanita.”Xavier tak langsung menjawab, tapi tatapannya tajam menatap ayahnya. “Aku butuh waktu untuk istirahat. Dan wanita itu, dia bagian dari timku.”Thomas tersenyum tipis, masih menunduk menatap kertas.“Bagian dari tim? Begitu?” Ia berhenti sejenak, menatap Xavier.“Cathrine juga bagian dari hidupmu, jangan lupa itu.” Lanjutnya.Xavier menarik napas pelan, tapi rahangnya menega
Pagi itu, udara kota terasa berbeda. Langit cerah, tapi hati Vivienne berdebar sejak ia menerima pesan dari Xavier malam sebelumnya. Xavier : Besok pagi aku mau kamu ikut aku ke rapat direksi. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan ke kamu. Vivienne membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu siapa “seseorang” itu. Ayah Xavier, Thomas Winchester. Sosok yang namanya bahkan membuat sebagian besar orang di perusahaan menunduk hanya dengan mendengar disebut. Vivienne menatap cermin pagi itu, menyesuaikan jas hitam dan kemeja putih sederhana. Tangannya sedikit gemetar. “Tenang, Vivienne ” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma rapat. Cuma pertemuan biasa.” Tapi jauh di dalam hati, Vivienne tahu ini bukan sekadar rapat. Ini adalah kesempatan untuk menatap langsung wajah seseorang yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita... seseorang yang namanya pernah muncul di berkas tua peninggalan mendiang ayahnya. Dalam daftar hitam proyek yang “gagal” bertahun-tahun lalu. ** Mobil hitam
Hari itu dimulai seperti biasa.Langit sedang cerah, matahari menembus jendela besar gedung kantor tempat Vivienne bekerja.Ia sudah terbiasa dengan rutinitas pagi, menyusun laporan, memeriksa jadwal Xavier , dan memastikan semua urusan administrasi berjalan rapi.Sudah seminggu sejak liburan ke pulau itu, dan meskipun semuanya tampak normal di permukaan, Vivienne tahu ada sesuatu yang berubah.Hubungannya dengan Xavier kini terasa lebih… hangat. Tapi juga lebih berisiko.Ia berusaha menjaga jarak secara profesional, walau kadang sulit menahan senyum setiap kali Xavier menatapnya lebih lama dari seharusnya.Siang itu, Vivienne sedang di meja resepsionis sementara staf utama izin keluar. Ia sedang menandatangani beberapa dokumen ketika suara hak tinggi terdengar cepat menghampiri.“Dimana Xavier, saya mau bertemu dengan Xavier .”Suara itu tajam, penuh tekanan.Vivienne menoleh dan hatinya langsung berdebar.CatherineIa masih sama seperti awal ia bertemu, elegan, berkelas, dengan tata
Matahari sore mulai turun perlahan, menyapu langit dengan warna keemasan yang lembut. Dari teras villa, Vivienne berdiri memandangi laut lepas. Angin membelai rambutnya, sementara ombak menari pelan di kejauhan.Xavier datang membawa dua gelas jus segar, menyerahkan satu pada Vivienne.“Kau suka?” tanyanya pelan.Vivienne mengangguk, tersenyum lembut.“Suka sekali… tapi aku masih nggak habis pikir, Xavier. Kamu benar-benar punya semua ini?” Jawabnya.Xavier duduk di sampingnya, menatap laut yang sama.“Aku punya banyak hal, Vivienne Tapi jarang sekali aku merasa benar-benar punya seseorang yang bisa bikin aku merasa hidup. Sampai kamu datang.”Vivienne terdiam. Kata-kata itu menghantam lembut tapi dalam. Hatinya bergetar, namun di sisi lain, ada rasa takut yang menahan. Ia tahu batasnya. Ia tahu Xavier bukan pria yang mudah ia percayai.Malamnya, setelah makan malam di tepi pantai dengan cahaya lilin yang menari tertiup angin, Xavier tiba-tiba memanggilnya.“Vivienne ” suaranya pelan
Pagi itu, Vivienne duduk di bangku kayu taman rumahnya. Di tangannya ada secangkir teh hangat, dan matanya terpaku pada bunga-bunga yang sedang mekar, seolah ikut menyambut sinar mentari.Hatinya terasa lebih ringan, sejak kejadian itu Xavier mencium dirinya. Ada rasa baru yang tumbuh, seolah ia menemukan tempat aman untuk bersembunyi dari kerasnya dunia.Tanpa ia sadari, Xavier sudah berdiri di belakangnya. Dengan langkah pelan, Xavier mendekat lalu mengecup pipi Vivienne.“Selamat pagi, sayang…” Ucap Xavier lembut.Vivienne tersentak kecil, lalu menoleh dengan pipi merona“Kamu ini, bikin kaget aja. Dari tadi ternyata di belakangku, ya?” Sahut Vivienne.Xavier tersenyum nakal, duduk di samping Vivienne.“Aku nggak tahan lihat kamu sendirian di sini. Aku pengen jadi orang pertama yang bikin pagimu indah.”Vivienne menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya“Hmm… berhasil sih. Tapi jangan sering-sering bikin aku kaget begitu.”Xavier menggenggam tangannya“Kalau kagetnya karena cinta
Beberapa hari kemudian, Vivienne sudah jauh lebih sehat. Luka di kepalanya hanya menyisakan bekas tipis.Xavier memutuskan untuk mengajaknya keluar rumah.“Kau sudah bosan di rumah, kan? Aku akan ajak kamu keluar sebentar.”Vivienne terkejut tapi tersenyum kecil.“Benarkah? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihat kota.” Sahut Vivienne.Vivienne mengiyakan ajakan Xavier untuk pergi keluar jalan-jalan.*Mobil hitam Xavier melaju tenang di jalan malam yang basah setelah hujan sore tadi.Vivienne menatap keluar jendela, kagum melihat kerlap-kerlip lampu kota.“Indah sekali...” Ucap Vivienne.Xavier meliriknya sebentar“Kau suka?” Tanyanya.Vivienne mengangguk.“Aku merasa seperti... hidupku normal lagi.”Xavier hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya ia bertekad, aku akan pastikan kau benar-benar bisa hidup normal suatu hari nanti.Xavier membawa Vivienne ke restoran dengan pemandangan kota dari lantai 50.Vivienne hampir tidak percaya melihat tempatnya begitu mewah.Vivienne ter







