MasukVivienne berdiri di lobi perusahaan yang megah, menggenggam map di tangannya dengan erat.
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris CEO baru. Setelah tiga tahun bekerja di perusahaan ini, akhirnya ia mendapatkan promosi. Namun, ini adalah tantangan besar baginya, ia tidak tahu harus mulai dari mana. "Tarik napas... Aku bisa melakukan ini." ucap Vivienne dalam hati Ia menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan, lalu melangkah menuju lift dengan percaya diri. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol ke lantai paling atas ketempat di mana kantor CEO berada. Pintu lift mulai tertutup, tetapi tiba-tiba seseorang menahannya. Sekelompok pria bersetelan jas rapi masuk ke dalam lift. Vivienne secara refleks menundukkan kepala dan mundur ke belakang, memberi ruang bagi mereka. Di antara mereka, seorang pria berdiri di depan Vivienne. Posturnya tinggi, tegap, dan memiliki aura yang sangat kuat. Dari tempatnya berdiri, Vivienne bisa mencium aroma parfum pria itu begitu maskulin dan mewah. Namun, ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat. "Siapa orang ini... Kenapa auranya terasa begitu mendominasi?" ucap Vivienne dalam hati. Lift naik dengan hening. Detak jantung Vivienne sedikit lebih cepat dari biasanya. Ketika akhirnya sampai di lantai paling atas, ia bersiap untuk melangkah keluar. Namun, yang membuatnya bingung adalah... rombongan itu tetap diam, tidak bergerak keluar. Perasaan aneh merayap di benaknya. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat wajahnya dan matanya bertemu dengan tatapan tajam pria yang berdiri di depannya. Seolah-olah waktu berhenti. Mata pria itu begitu dalam dan dingin, membuat bulu kuduk Vivienne berdiri. Ia merasakan campuran antara rasa takut dan... sesuatu yang tak bisa ia jelaskan rasa takjub? Gugup? Entahlah... namun Jantungnya berdegup sangat kencang. "Kenapa dia menatapku seperti itu?! Kenapa rasanya aku membeku?!" ucap Vivienne dengan panik dalam hati. Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya dan melangkah keluar dari lift, mencba mengatur napasnya. Tapi yang membuatnya lebih kaget adalah rombongan itu juga berjalan ke arah yang sama dengannya. ** Saat Vivienne berjalan dengan langkah sedikit canggung, salah satu pria dari rombonga itu menoleh ke arahnya dan bertanya dengan suara formal. "Anda sekretaris CEO yang baru?" tanya pria salah-satu dari rombongan itu. Vivienne sedikit terkejut, lalu segera mengangguk dan menjawab dengan sopan. "Iya, benar. Saya Vivienne, sekretaris CEO yang baru." Pria itu melirik ke arah pria dengan tatapan tajam tadi sebelum kembali berbicara. "Kalau begitu, mulai hari ini Anda akan bekerja langsung dengan CEO kami. Pastikan Anda bisa bekerja dengan baik dan menikmati pekerjaan Anda di sini." Vivienne menelan ludah. Seketika, ia sadar siapa pria yang baru saja membuatnya merinding dengan tatapannya yang dingin. Pria yang berdiri di tengah rombongan, yang memiliki aura paling kuat, yang matanya begitu tajam dan menusuk. Dialah CEO baru mereka Xavier Winchester. Vivienne mencoba tetap profesional meskipun dadanya masih berdebar. Dengan suara tenang, ia menjawab. "Tentu, saya akan bekerja sebaik mungkin." CEO itu tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya sekilas sebelum melangkah menuju ruangannya. Vivienne menghela napas pelan, berusaha mengendalikan kegugupannya. Hari pertamanya sebagai sekretaris CEO baru baru saja dimulai dan ia tahu, ini tidak akan mudah. *** Pagi itu, Suara keyboard memenuhi ruangan sekretariat pagi itu. meja sekretaris di lantai delapan dipenuhi tumpukan berkas laporan. Vivienne, si sekretaris baru, mengetik laporan mingguan dengan cepat, telapak tangannya sedikit berkeringat. sibuk menyusun laporan mingguan yang harus dikumpulkan hari ini. Meski tangan dan pikirannya bergerak cekatan, jantungnya terus berdetak kencang. Ini hari keempatnya bekerja, dan dia belum sepenuhnya terbiasa dengan ritme kantor yang cepat dan tekanan dari atasan-atasan yang tak pernah tersenyum. Matanya sesekali melirik jam dinding. Ini hari keempatnya bekerja sebagai sekretaris baru di perusahaan besar ini, dan meskipun semua berkasnya sudah rapi, rasa gugup tetap menghantuinya. Tiba-tiba tringggg!!! Telepon di mejanya berdering nyaring. Vivienne langsung terlonjak kaget. Dengan cepat ia mengangkatnya. "Halo... Sekretaris Vivienne berbicara." Suara berat dan dingin terdengar menjawab dari seberang "Bawa laporanmu ke ruangan saya. Sekarang." Itu suara CEO Xavier Winchester. Vivienne nyaris menjatuhkan gagang telepon karena gugup. Vivienne langsung terdiam. Napasnya tercekat. Xavier, Orang yang nyaris tak pernah keluar dari ruangan kaca di ujung lorong, dan yang setiap staf segan bahkan untuk menatap matanya. Ia buru-buru merapikan berkas, mengatur napas, lalu melangkah menuju ruangan itu. ** Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk pelan. "Masuk," jawab suara di dalam. Vivienne membuka pintu, masuk, dan berdiri di depan meja besar itu. Ruangan itu hening, penuh aura tekanan. CEO-nya, pria muda dengan wajah tajam dan tatapan menusuk, duduk tenang menatapnya. Vivienne menyerahkan laporan dengan dua tangan. Ia tetap berdiri, dan tidak bergerak. "Siapa namamu?" tanya pria itu tiba-tiba tanpa melihatnya "Vi-Vivienne Ashford, Pak," jawabnya cepat, berusaha terdengar tenang meski nadinya berdebar. "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" Tanyanya "Empat hari..." Jawab Vivienne Akhirnya pria itu menatap langsung ke matanya. Dingin. Serius. Vivienne nyaris mundur satu langkah. "Dengar, Vivienne. Selama kau bekerja dengan baik dan mengikuti aturan di sini, kau akan aman. Aku tidak terima kesalahan. Satu kesalahan, dan kau keluar. Mengerti?" Vivienne hanya bisa mengangguk cepat. "Setiap pagi, sebelum aku sampai kantor, kirim jadwalku lewat email. Lengkap. Jangan terlambat. Dan siap bekerja kapan pun aku butuh. Bahkan di luar jam kerja." Dalam hati Vivienne menjerit. "Gila. Aku belum pernah bawa kerjaan ke rumah sekalipun! Semua selesai di kantor. Sekarang harus siap 24 jam?" Tapi di wajahnya, ia hanya mengukir senyum kecil yang dipaksakan. "Baik, Pak. Saya mengerti." Xavier menatapnya sejenak, lalu berkata dingin, "Keluar." Ia segera membungkuk kecil dan keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. ** Saat jam istirahat tiba, Vivienne turun ke kantin dengan wajah cemberut. Langkahnya lesu. Tapi saat menuju lift, ia tanpa sengaja kembali berpapasan dengan Xavier sang CEO. Pintu lift terbuka, dan mereka berdua masuk bersamaan. Vivienne berdiri kaku, menunduk, mencoba tidak menarik perhatian. Xavier menatapnya datar, tidak bicara sepatah kata pun. Hening. Detik-detik terasa seperti menit. Ia bisa merasakan tatapan Xavier menoleh padanya. Perlahan, dingin, dan menilai. Vivienne menahan napas, menunduk, tidak berani melirik. Ting! Pintu terbuka. Tanpa menatap, Vivienne langsung menunduk dalam-dalam. "Permisi, Pak..." katanya pelan, sebelum cepat-cepat pergi menjauh. Tapi ia tidak tahu... Dari balik pintu lift yang terbuka, Xavier itu masih berdiri di tempat. Matanya mengikuti punggung Vivienne yang menjauh dengan cepat. Tatapannya kosong, sejenak aneh bercampuran heran dan sedikit rasa penasaran. *** Suara dentingan sendok dan garpu terdengar lembut di kantin karyawan yang mewah. Meski tempat itu biasa untuk sebagian besar pegawai, bagi Vivienne, tempat itu terasa seperti satu-satunya ruang bernapas di hari yang melelahkan. Namun lngit-langit kantor tampak lebih rendah hari ini. Atau mungkin itu hanya perasaan Vivienne yang sudah nyaris meledak. Duduk di pojok kantin yang seharusnya jadi tempat istirahat, ia hanya bisa menatap nasi dingin di depannya. Tangannya menopang kepala, matanya kosong, napas pendek-pendek. "Gimana bisa orang sedingin itu jadi manusia?" batinnya sambil mengaduk nasi tanpa niat makan. Vivienne baru empat hari menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO yang terkenal dengan tatapan tajam dan suara yang tak pernah lebih dari dua kalimat sehari. Dan setiap hari, dia merasa seperti napasnya dipantau. Segala email harus sempurna. Jadwal harus presisi. Bahkan cara dia mengetuk pintu pun seperti diuji di ujian nasional. Tangan Vivienne gemetar saat mencoba menyendokkan nasi. Gagal. Dia menatap piringnya. Nafsu makan sudah pergi sejak jam 9 pagi tadi. Ia melamun sambil menopang dagu, mengingat betapa tadi pagi ia salah cetak laporan dan hanya dibalas dengan lirikan dingin sang CEO. Bukan marah. Bukan omelan. Tapi diam, dan itu justru membuatnya makin stres. Di juga kembali membayangan wajah datar Xavier dengan tapan dingin itu. Hening saat dia salah jadwal meeting 2 menit. Nada datar saat mengoreksi typo di memo penting. Tidak pernah membentak, tapi justru itu yang bikin Vivienne makin gila. Vivienne bingung karena selama dia bekerja di Perusahaan tersebut tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun. Namun, setelah dipindah bekerja menjadi sekretaris di malah melakukan banyak kesalahan. Dan itu membuatnya frustasi. Tiba-tiba— BRUK! "WOI!!" Vivienne terlonjak sampai sendoknya hampir jatuh. Di depannya berdiri Caroline, sahabatnya dari divisi marketing, dengan nampan penuh makanan dan wajah jahil. Vivienne mengeleng kepala sambil memegang dadanya. "Ya Tuhan, Caroline! Aku hampir mati serangan jantung tahu nggak?!" Caroline tertawa terbahak-bahak "Kalau kamu mati, tolong hidup lagi dulu buat tampar aku, ya. Hahaha!" Tawa Caroline yang nyaring langsung menarik perhatian beberapa orang. Bahkan beberapa pegawai yang duduk di meja sebelah mulai menoleh. Vivienne menunduk cepat dan saat itu juga matanya membelalak. Duduk tak jauh dari situ, di meja yang biasanya kosong, ada CEO-nya, Pak Xavier, duduk dengan beberapa eksekutif. Wajahnya tetap datar. Tapi... matanya jelas melihat ke arah mereka. Vivienne langsung berbisik tajam "Caroline, diem! Ada Pak Xavier di situ!" Caroline melirik cepat dan kaget "Ha? Kok bisa dia makan di sini?! Kan biasanya di lounge atas?" Vivienne tidak menjawab, hanya menunduk dan menyuap makanannya cepat-cepat Tangan Vivienne sedikit gemetar saat mengangkat sendok. Ia bisa merasakan tatapan itu. Tatapan tajam seperti laser dari ujung sana. Rasanya seperti sedang duduk di ruang wawancara ulang. Caroline sambil berbisik dan pura-pura ngunyah "Dia ngelihatin kamu lho..." ucap Caroline "Caroline, sumpah ya... diem... jangan bikin aku dipecat hari ini juga." dengan kesal Vivienne menjawab Caroline menahan tawa dengan napkin menutupi mulutnya, tapi matanya masih penuh kesenangan melihat kepanikan sahabatnya. Sementara itu, Vivienne hanya berharap makanan cepat habis, waktu cepat berlalu, dan dia bisa kembali ke mejanya kerjanya tanpa pingsan karena tegang. . . . To Be Continued Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔSore itu, setelah semua rapat selesai, suasana kantor mulai lengang. Thomas memanggil Xavier ke ruangannya. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan foto-foto lama beberapa menampilkan Xavier kecil di sisi ayahnya, tampak bahagia… namun Xavier kini hanya menatapnya dengan datar.“Duduklah,” ucap Thomas tanpa menatap. Ia sibuk menandatangani beberapa berkas di mejanya.Xavier duduk, menunggu.Beberapa detik hening berlalu sebelum Thomas akhirnya bersuara, nadanya tenang tapi dingin.“Anak muda sepertimu seharusnya tahu batas, Xavier. Aku dengar kamu menghabiskan waktu di luar kota… bersama seorang wanita.”Xavier tak langsung menjawab, tapi tatapannya tajam menatap ayahnya. “Aku butuh waktu untuk istirahat. Dan wanita itu, dia bagian dari timku.”Thomas tersenyum tipis, masih menunduk menatap kertas.“Bagian dari tim? Begitu?” Ia berhenti sejenak, menatap Xavier.“Cathrine juga bagian dari hidupmu, jangan lupa itu.” Lanjutnya.Xavier menarik napas pelan, tapi rahangnya menega
Pagi itu, udara kota terasa berbeda. Langit cerah, tapi hati Vivienne berdebar sejak ia menerima pesan dari Xavier malam sebelumnya. Xavier : Besok pagi aku mau kamu ikut aku ke rapat direksi. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan ke kamu. Vivienne membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu siapa “seseorang” itu. Ayah Xavier, Thomas Winchester. Sosok yang namanya bahkan membuat sebagian besar orang di perusahaan menunduk hanya dengan mendengar disebut. Vivienne menatap cermin pagi itu, menyesuaikan jas hitam dan kemeja putih sederhana. Tangannya sedikit gemetar. “Tenang, Vivienne ” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma rapat. Cuma pertemuan biasa.” Tapi jauh di dalam hati, Vivienne tahu ini bukan sekadar rapat. Ini adalah kesempatan untuk menatap langsung wajah seseorang yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita... seseorang yang namanya pernah muncul di berkas tua peninggalan mendiang ayahnya. Dalam daftar hitam proyek yang “gagal” bertahun-tahun lalu. ** Mobil hitam
Hari itu dimulai seperti biasa.Langit sedang cerah, matahari menembus jendela besar gedung kantor tempat Vivienne bekerja.Ia sudah terbiasa dengan rutinitas pagi, menyusun laporan, memeriksa jadwal Xavier , dan memastikan semua urusan administrasi berjalan rapi.Sudah seminggu sejak liburan ke pulau itu, dan meskipun semuanya tampak normal di permukaan, Vivienne tahu ada sesuatu yang berubah.Hubungannya dengan Xavier kini terasa lebih… hangat. Tapi juga lebih berisiko.Ia berusaha menjaga jarak secara profesional, walau kadang sulit menahan senyum setiap kali Xavier menatapnya lebih lama dari seharusnya.Siang itu, Vivienne sedang di meja resepsionis sementara staf utama izin keluar. Ia sedang menandatangani beberapa dokumen ketika suara hak tinggi terdengar cepat menghampiri.“Dimana Xavier, saya mau bertemu dengan Xavier .”Suara itu tajam, penuh tekanan.Vivienne menoleh dan hatinya langsung berdebar.CatherineIa masih sama seperti awal ia bertemu, elegan, berkelas, dengan tata
Matahari sore mulai turun perlahan, menyapu langit dengan warna keemasan yang lembut. Dari teras villa, Vivienne berdiri memandangi laut lepas. Angin membelai rambutnya, sementara ombak menari pelan di kejauhan.Xavier datang membawa dua gelas jus segar, menyerahkan satu pada Vivienne.“Kau suka?” tanyanya pelan.Vivienne mengangguk, tersenyum lembut.“Suka sekali… tapi aku masih nggak habis pikir, Xavier. Kamu benar-benar punya semua ini?” Jawabnya.Xavier duduk di sampingnya, menatap laut yang sama.“Aku punya banyak hal, Vivienne Tapi jarang sekali aku merasa benar-benar punya seseorang yang bisa bikin aku merasa hidup. Sampai kamu datang.”Vivienne terdiam. Kata-kata itu menghantam lembut tapi dalam. Hatinya bergetar, namun di sisi lain, ada rasa takut yang menahan. Ia tahu batasnya. Ia tahu Xavier bukan pria yang mudah ia percayai.Malamnya, setelah makan malam di tepi pantai dengan cahaya lilin yang menari tertiup angin, Xavier tiba-tiba memanggilnya.“Vivienne ” suaranya pelan
Pagi itu, Vivienne duduk di bangku kayu taman rumahnya. Di tangannya ada secangkir teh hangat, dan matanya terpaku pada bunga-bunga yang sedang mekar, seolah ikut menyambut sinar mentari.Hatinya terasa lebih ringan, sejak kejadian itu Xavier mencium dirinya. Ada rasa baru yang tumbuh, seolah ia menemukan tempat aman untuk bersembunyi dari kerasnya dunia.Tanpa ia sadari, Xavier sudah berdiri di belakangnya. Dengan langkah pelan, Xavier mendekat lalu mengecup pipi Vivienne.“Selamat pagi, sayang…” Ucap Xavier lembut.Vivienne tersentak kecil, lalu menoleh dengan pipi merona“Kamu ini, bikin kaget aja. Dari tadi ternyata di belakangku, ya?” Sahut Vivienne.Xavier tersenyum nakal, duduk di samping Vivienne.“Aku nggak tahan lihat kamu sendirian di sini. Aku pengen jadi orang pertama yang bikin pagimu indah.”Vivienne menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya“Hmm… berhasil sih. Tapi jangan sering-sering bikin aku kaget begitu.”Xavier menggenggam tangannya“Kalau kagetnya karena cinta
Beberapa hari kemudian, Vivienne sudah jauh lebih sehat. Luka di kepalanya hanya menyisakan bekas tipis.Xavier memutuskan untuk mengajaknya keluar rumah.“Kau sudah bosan di rumah, kan? Aku akan ajak kamu keluar sebentar.”Vivienne terkejut tapi tersenyum kecil.“Benarkah? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihat kota.” Sahut Vivienne.Vivienne mengiyakan ajakan Xavier untuk pergi keluar jalan-jalan.*Mobil hitam Xavier melaju tenang di jalan malam yang basah setelah hujan sore tadi.Vivienne menatap keluar jendela, kagum melihat kerlap-kerlip lampu kota.“Indah sekali...” Ucap Vivienne.Xavier meliriknya sebentar“Kau suka?” Tanyanya.Vivienne mengangguk.“Aku merasa seperti... hidupku normal lagi.”Xavier hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya ia bertekad, aku akan pastikan kau benar-benar bisa hidup normal suatu hari nanti.Xavier membawa Vivienne ke restoran dengan pemandangan kota dari lantai 50.Vivienne hampir tidak percaya melihat tempatnya begitu mewah.Vivienne ter







