Malam semakin larut, keheningan begitu terasa menyelimuti rumah itu. Vivienne duduk diam diruang tamu sendirian. Setelah obrolan singkat di ruang makan, Xavier langsung beranjak dari tempat makan dan bekata pelan.
"Saya akan kembali keruangan kerja, terima kasih atas makanannya. Kau bisa kembali ke kamar kalau mau istirahat." Tanpa banyak bicara, Xavier pergi menuju tangga dan menaikinya pelan. Vivienne duduk diam, menatap secangkir coklat hangat digenggamannya yang mulai dingin. Sunyi melingkupi ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar pelan membuat Vivienne gelisah. Vivienne memikirkan kebaikan lelaki itu. Xavier dengan sangat baik memberikannya perawatan hingga tempat untuk istirahat dirumah pribadi nya, padahal dia hanya orang asing. "Kenapa dia baik sekali? Apakah dia kasihan pada ku? Atau hanya tanggung jawab sebagai atasan? Pikirkan Vivienne yang begitu ribut ditengah keheningan. Vivienne menarik napas panjang, dan bangkit dari tempat duduk. Melangkah meninggalkan cangkir kosong dimeja. Kakinya dengan pelan melangkah ke arah kamar yang diberikan Xavier untuk dia tempati sementara. Pintu ditutup pelan, Vivienne berjalan ke arah kasur dan berbaring pelan. Vivienne mencoba memejamkan matanya dan berusaha tidur, meskipun pikirannya masih mengganggu dirinya. *** Vivienne tiba lebih awal di kantor, pagi itu setelah berterima kasih kepada Xavier yang begitu baik dan menolak ajakan nya untuk ke kantor bersama. Saat dia menyusun agenda rapat dan memeriksa beberapa kerjaan yang harus selesai hari itu. Ia bekerja dengan tenang, sambil sesekali menyeruput kopi. Tiba-tiba ponselnya berbunyi memecah konsentrasi. Dia tersenyum melihat nama yang ada dilayar. Vivienne langsung mengangkat panggilan itu. "Hallo, Ella?" "Hallo, Vivie. Bagaimana keadaanmu?" sahut Gabriella diseberang sana. "Ya tuhan, ini benaran kau? Aku kira kau tak akan mengubungi ku lagi dan menghilang ditumpukan tugas kuliahmu itu" sahut Vivienne sambil ketawa. Gabriella merespon dengan tertawa "Yah.. untungnya itu tidak terjadi, tapi maaf aku jarang membalas pesan mu." Vivienne menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum tipis. "Tidak masalah Ella, bagaimana London? Apa kau sangat betah disana dan tidak ingin pulang bertemu orang tua mu?" sahut Vivienne Hening, Gabriella terdiam sesaat dan menjawab dengan nada pelan misterius. "Sebenarnya ... aku tidak berada di London sekarang". Vivienne mengerutkan keningnya dan bingung menjawab "Apa maksudmu?" "Aku berada di New York sekarang" sahut Gabriella dengan semangat Vivienne sentak duduk tegak. "Apa? ?!" Gabriella tertawa kencang. "Iya, Aku baru sampai tadi malam, dan aku tidak menghubungimu supaya jadi kejutan. Bagaimana kita makan siang bersama hari ini, apa kau mau?" tanya Gabriella. Vivienne tersenyum lebar, rasa senang dan kangen menjadi satu memenuhi dadanya. "Tentu saja! aku udah kangen banget sama kamu, kamu dimana sekarang?" "Downtown, dekat Battery Maritime Building. Kau bisa kesini, aku yang teraktir." "Oke. Tunggu aku, 20 menit lagi aku akan sampai kesana." Kata Vivienne. Vivienne menutup telponnya dan segara membereskan meja kerjanya. Begitu keluar dari gedung wajahnya langsung diterpa angin siang. Langkahnya cepat menuju taksi yang sudah ia pesan sebelumnya, sambil sesekali melirik jam tangan. *** Sesampainya di Downtown New York, dia bejalan menuju tempat Gabriella berada. Downtown tanpak ramai seperti biasa. Didekat Battery Maritime Building, udara bercampur aroma asin dari Samudra yang menyerap ketepian Manhattan dan aroma roti serta ikan panggang dari kafe-kafe sekitar. Sesampai Vivienne di resto yang dituju, dan melihat satu sudut dekat jendela dia melihat perempuan dengan rambut coklat gelap duduk santai sambil menghirup minumannya. Senyum lebar langsung mengembang diwajah Vivienne. Ia langsung mengenali perempuan itu, itu Gabriella sahabatnya. Dengan cepat Vivienne berjalan menuju meja tempat Gabriella berada. "Gabriella" seru Vivienne Gabriella langsung berdiri dari tempat duduknya dan langsung memeluk Vivienne erat. Mereka berpelukan erat, saling melepaskan rindu setelah 2 tahun tidak bertemu. "Kau terlihat sama saja, seperti 2 tahun yang lalu." Ujar Gabriella sambil tertawa. "Dan kamu terlihat semakin dewasa, London sepertinya banyak mengubahmu." balas Vivienne Mereka tertawa bersama, sambil melepaskan pelukan mereka, lalu duduk berhadapan. Pelayan datang membawakan daftar menu. Vivienne memesan pasta seafood, sementara Gabriella memilih sandwich ayam. Percakapan mengalir begitu saja, banyak hal yang mereka bicarakan. obrolan tentang kabar keluarga, pekerjaan, dan kehidupan mereka berdua. Setelah beberapa saat, Gabriella meletakkan secangkir tehnya dan menatap Vivienne dengan tatapan penuh arti. "Vivie.. apakah kau bulan ini ambil jatah cuti mu?" Tanya Gabriella Vivienne menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Selama ia bekerja, ia belum pernah mengambil cuti, bahkan ketika sakit. Dan sekarang, dengan jabatan barunya, ia merasa setiap ketidakhadiran akan diperhitungkan. “Aku… belum memikirkannya,” jawabnya. “Jujur saja, aku ragu. Aku baru mendapat jabatan ini, dan aku takut cuti akan terlihat kurang profesional.” Gabriella mencondongkan tubuh sedikit. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Vie. Semua orang butuh istirahat. Aku ingin kita liburan bersama, meski hanya beberapa hari. Kita butuh waktu berdua lagi, seperti dulu.” Senyum tipis muncul di bibir Vivienne. “Mungkin… aku akan menanyakannya pada bos ku terlebih dahulu. Jika diizinkan, aku ikut.” Senyum puas menghiasi wajah Gabriella. “Itu yang ingin kudengar. Di luar jendela, kapal ferry bergerak perlahan meninggalkan dermaga. Vivienne menatapnya, merasa seolah riak itu adalah pertanda bahwa mungkin sudah saatnya ia membiarkan hidupnya sedikit bergeser dari rutinitas yang tak pernah berhenti ini. ** Setelah menyelesaikan makan siang, Vivienne berjalan menuju halte tram di depan Ferry Building. Angin dari teluk bertiup lembut, namun pikirannya terasa berat. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, kalimat Gabriella terus terngiang di kepalanya “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri.” Vivienne menatap layar ponselnya. Kalender kerja bulan ini penuh dengan rapat, penyusunan laporan tahunan, dan persiapan presentasi besar untuk investor. Mengambil cuti di tengah padatnya agenda itu terasa hampir mustahil. Namun, ada sisi lain dalam dirinya yang ingin sekali menerima ajakan Gabriella waktu singkat untuk bernafas, keluar dari rutinitas yang membelenggunya. Tram berhenti di depan gedung kantornya. Vivienne melangkah masuk melewati lobi marmer yang berkilau. Di lift, ia menatap pantulan dirinya di dinding logam dengan sorot mata yang sedikit ragu. Lantai 20. Pintu lift terbuka. Vivienne melangkah menuju ruang kerjanya, meletakkan tas di kursi, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, jika ingin pergi bersama Ella, ia harus berbicara langsung dengan orang yang paling berpengaruh di perusahaan ini, Xavier. Ia berdiri di depan pintu besar berlapis kayu oak yang menjadi batas ruang kerja sang CEO. Mengetuk perlahan, ia menunggu suara dari dalam. “Masuk.” Vivienne melangkah masuk. Ruangan itu luas, dengan jendela setinggi langit-langit yang menghadap ke panorama kota. Xavier, pria itu dengan fokus sedang menandatangani dokumen di mejanya. “Selamat siang, Pak,” sapa Vivienne dengan nada formal. Sang CEO mengangguk sekilas. “Siang, Vivienne. Ada yang perlu dibicarakan?” sahut Xavier melihat Vivienne sekilas dan melanjutkan pekerjaannya. Vivienne merasakan sedikit ketegangan di dadanya. Ia merapikan postur tubuh, lalu berkata, “Saya ingin menyampaikan permohonan, Pak. Apakah… memungkinkan bagi saya untuk mengambil cuti singkat bulan ini?” Xavier meletakkan pena, mengalihkan pandangan padanya. “Cuti? Ini cukup mendadak. Ada alasan khusus? Vivienne menelan ludah, lalu menjawab dengan tenang, “Saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan seorang sahabat lama yang sudah dua tahun tidak berjumpa. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang lagi dalam waktu dekat. Saya pastikan semua pekerjaan akan saya selesaikan sebelum berangkat.” Xavier terdiam, menatapnya beberapa detik waktu yang terasa jauh lebih panjang bagi Vivienne. Xavier meletakkan pena, menautkan jemarinya di atas meja. “Hm… sahabat lama, ya?” Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Sejak kamu bekerja di sini, saya belum pernah dengar kamu minta cuti. Bahkan waktu sakit dan sampai jatuh pingsan pun kamu tetap datang ke kantor.” Vivienne tersenyum malu. “Saya hanya tidak ingin meninggalkan pekerjaan terbengkalai.” “Justru karena itu, saya percaya kamu bisa mengatur semuanya,” jawab Xavier ringan. “Tiga hari bukan masalah. Asal semua urusan kantor sudah rapi sebelum kamu berangkat.” Vivienne merasa dadanya menghangat. “Terima kasih banyak, Pak. Saya akan pastikan semuanya siap.” Xavier mengangguk. “Bagus. Dan Vivienne…” Ia menatapnya sekilas, nada suaranya sedikit lebih lembut. “Sekali-kali, izinkan diri untuk beristirahat. Hidup ini bukan hanya rapat dan laporan.” Senyum Vivienne mengembang. “Baik, Pak. Saya akan ingat itu.” Ketika keluar dari ruangan, langkahnya terasa lebih ringan. Rasanya seperti pintu kecil menuju dunia di luar kantor baru saja terbuka, dan ia tak sabar untuk memberi kabar kepada Gabriella. . . . . To Be Continued Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔDua minggu berlalu seperti mimpi. Roma, Florence, dan sedikit waktu di Venesia telah meninggalkan jejak yang sulit dilupakan bukan hanya di galeri foto ponselnya, tapi juga di hatinya.Pagi itu, pesawat mendarat di dengan guncangan ringan. Udara dingin khas New York langsung menyapa, menggantikan aroma kopi Italia dan udara dingin Eropa yang masih tersisa di ingatan.Gabriella menepuk bahunya saat mereka mengambil koper di conveyor belt."Kembali ke realita, Bu Vivienne."Vivienne tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan senyum lelah seperti dulu. Ada ketenangan, ada semangat.Ia merasa pulang sebagai versi dirinya yang berbeda lebih ringan, lebih berani.***Senin pagi di kantor, lorong terasa sama, tapi langkah Vivienne tidak lagi ragu. Rekan-rekan kerja menyapanya, beberapa bertanya tentang liburannya.Saat ia tiba di meja kerja, monitor komputernya sudah menyala. Belum sempat ia duduk, suara dalam yang dalam namun tenang terdengar dari arah belakang."Selamat datang kembali, Vivie
Malam hari Vivienne dan Gabriella sibuk memeriksa koper masing-masing. Suara resleting dan bunyi hentakan roda koper bergantian memenuhi apartemen kecil yang Vivienne tempati.Mereka akan berangkat ke Bandara besok pagi, untuk pergi liburan ketempat impian mereka berdua dari dulu yaitu Italia.Semua berawal dari pengajuan cuti sederhana. Awalnya, Vivienne hanya mengajukan tiga hari libur untuk melepas penat dan menikmati waktu bersama sahabatnya.Namun, saat Xavier, bosnya, mengabarkan bahwa cutinya disetujui, dan hal paling mengejutkan Vivienne gang membuat ia nyaris terjatuh dari kursi bukan hanya tiga hari, tapi dua minggu penuh.Lebih mengejutkan lagi, perusahaan memberinya uang tambahan untuk liburan.Sambil melipat dress terakhir ke dalam koper, Vivienne mengambil ponselnya. Jempolnya lincah mengetik pesan."Pak Xavier, terima kasih banyak atas izin cuti dan uang tambahan ini. Jujur, saya tidak menyangka. Ini di luar ekspektasi saya."Pesan terkirim, dan tak lama balasan datang.
Malam semakin larut, keheningan begitu terasa menyelimuti rumah itu. Vivienne duduk diam diruang tamu sendirian. Setelah obrolan singkat di ruang makan, Xavier langsung beranjak dari tempat makan dan bekata pelan."Saya akan kembali keruangan kerja, terima kasih atas makanannya. Kau bisa kembali ke kamar kalau mau istirahat."Tanpa banyak bicara, Xavier pergi menuju tangga dan menaikinya pelan.Vivienne duduk diam, menatap secangkir coklat hangat digenggamannya yang mulai dingin.Sunyi melingkupi ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar pelan membuat Vivienne gelisah.Vivienne memikirkan kebaikan lelaki itu. Xavier dengan sangat baik memberikannya perawatan hingga tempat untuk istirahat dirumah pribadi nya, padahal dia hanya orang asing."Kenapa dia baik sekali? Apakah dia kasihan pada ku? Atau hanya tanggung jawab sebagai atasan?Pikirkan Vivienne yang begitu ribut ditengah keheningan.Vivienne menarik napas panjang, dan bangkit dari tempat duduk. Melangkah meninggalkan cangkir
Pagi itu, kantor sudah mulai sibuk. Suara keyboard berdenting, telepon berdering, namun langkah wanita itu begitu lesu dan pelan. Matanya sembab, wajahnya pucat. Vivienne, Semalam ia tidak tidur. Hatinya seperti disayat pisau yang tajam ia melihat kekasihnya makan malam bersama wanita lain dengan orang tua lelaki itu. Dan mereka membicarakan pertunangan.Meski tubuhnya lemah, Vivienne tetap masuk kerja. Ia membawa tumpukan berkas ke ruang CEO.Tiba-tiba, sebelum sempat mengetuk pintu, tubuhnya limbung.BRAKK!Tumpukan dokumen berhamburan saat tubuhnya jatuh.***POV Xavier"Apa itu tadi?"Langkahku cepat menuju pintu. Saat kubuka, mataku langsung tertuju pada sosok mungil itu. Vivienne jatuh tergeletak di depan pintuku."Vivienne!" seruku, setengah panik.Aku segera mengangkat tubuhnya. Ringan. Nafasnya pelan. Wajahnya pucat sekali.Kubawa dia ke ruang istirahat pribadiku, membaringkannya di sofa panjang.Kuambil ponsel dan menekan tombol cepat."Dr. Jack, tolong ke ruanganku sekaran
Minggu sore itu terasa tenang bagi Vivienne. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia bisa bangun tanpa alarm, bersantai di tempat tidur sambil menonton serial favorit, dan menikmati secangkir teh hangat dari balkon apartemennya. Namun ketenangan itu tak bertahan lama.tiba-tibaBRRRRTT... BRRRRTT...Ponselnya bergetar di atas meja. Saat melihat nama yang tertera di layar, matanya langsung membulat.Xavier bosnya menelponnya. Dengan cepat ia mengangkat."Halo, Pak?""Vivienne, maaf mengganggu hari liburmu. Aku butuh laporan keuangan yang terakhir.Ada beberapa dokumen yang tertinggal di kantor. Tolong buat laporannya dan antar ke rumahku secepatnya, ya. Sangat penting untuk meeting besok pagi." ucap Xavier ditelpon."Baik, Pak..." Vivienne menjawab, meski dalam hati sedikit kaget. Bukan karena harus bekerja di hari Minggu, tapi karena ini pertama kalinya dia harus ke rumah bosnya.Dengan cepat ia segera bangkit dari tempat tidur, cepat-cepat mandi, berdandan seadanya, dan memeriksa ul
Pagi itu, Vivienne sedang bekerja seperti biasa bekerja di ruangannya.Namun tiba-tiba datang seorang wanita cantik dan anggun, datang mendekat dan melangkah masuk dengan percaya diri.Wanita tersebut mengatakan ingin bertemu Xavier. Catherine dengan senyum tipis berkata"Aku ingin bertemu dengan Xavier. Sekarang."Vivienne dengan Tersenyum ramah menjawab"Maaf, Bu, apakah Anda memiliki janji temu dengan Pak Xavier?"Catherine Menyilangkan tangan di dada dan menjawab"Tidak, tapi dia pasti mau bertemu denganku. Beri tahu dia Catherine Windsor di sini.""Maaf, Bu, tapi Pak Xavier telah memberi instruksi untuk tidak diganggu oleh siapa pun saat ini." Jawab Vivienne lagi.Vivienne menolak dengan sopan, menjelaskan bahwa Xavier tidak ingin diganggu.Namun, wanita itu tetap bersikeras, lalu tiba-tiba menerobos masuk ke ruangan Xavier, berlari ke arahnya, dan memeluknya dengan manja.Catherine tertawa kecil "Ah, masa? Tapi aku yakin dia akan membuat pengecualian untukku."Catherine mengibas