Home / Romansa / Cinta Dalam Bayangan Dendam / Chapter 5 - Perasaan Yang Mengganggu

Share

Chapter 5 - Perasaan Yang Mengganggu

last update Last Updated: 2025-08-16 13:25:38

Pagi itu, kantor sudah mulai sibuk. Suara keyboard berdenting, telepon berdering, namun langkah wanita itu begitu lesu dan pelan.

Matanya sembab, wajahnya pucat. Vivienne, Semalam ia tidak tidur. Hatinya seperti disayat pisau yang tajam ia melihat kekasihnya makan malam bersama wanita lain dengan orang tua lelaki itu. Dan mereka membicarakan pertunangan.

Meski tubuhnya lemah, Vivienne tetap masuk kerja. Ia membawa tumpukan berkas ke ruang CEO.

Tiba-tiba, sebelum sempat mengetuk pintu, tubuhnya limbung.

BRAKK!

Tumpukan dokumen berhamburan saat tubuhnya jatuh.

***

POV Xavier

"Apa itu tadi?"

Langkahku cepat menuju pintu. Saat kubuka, mataku langsung tertuju pada sosok mungil itu. Vivienne jatuh tergeletak di depan pintuku.

"Vivienne!" seruku, setengah panik.

Aku segera mengangkat tubuhnya. Ringan. Nafasnya pelan. Wajahnya pucat sekali.

Kubawa dia ke ruang istirahat pribadiku, membaringkannya di sofa panjang.

Kuambil ponsel dan menekan tombol cepat.

"Dr. Jack, tolong ke ruanganku sekarang."

Beberapa menit kemudian, dokter datang dan langsung memeriksanya.

"Kurang istirahat, anemia cukup parah. Dia butuh istirahat total," kata dokter sambil mengecek tekanan darahnya.

Aku hanya diam. Menatap wajahnya yang tenang dalam tidur.

(Dalam hati)

Kenapa aku malah begini...?

Kenapa aku tak bisa berhenti menatap wajahnya?

Saat dia sadar dan matanya takut menatapku. kenapa aku malah ingin mengusap rambutnya dan menenangkannya?

Aku ingat pipinya yang merah waktu dia gugup saat dia salah memberikan dokumen minggu lalu. Matanya yang berkaca-kaca, namun tetap berusaha menjelaskan. Wajah imut itu, ekspresi takut dan malu. kenapa justru itu yang membuat dadaku berdebar?

Aku terkekeh pelan karena perasaan asing ini begitu menggangu.

"Apa yang terjadi padaku?" gumamku sambil duduk di sisi sofa, menatapnya dalam.

Tangan ini ingin menggenggam tangannya. Aku ingin menjaganya. Aku ingin... memilikinya.

POV Xavier End

***

Vivienne perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram. Ia merasa tubuhnya ringan namun lemah. Dan saat matanya mulai bisa melihat dengan jelas, jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Bos-nya.

Duduk di sisi sofa. Menatapnya dalam-dalam.

Xavier.

Tatapan tajam yang biasa dia lihat saat rapat. Saat ini berubah hangat dan lembut.

"B-Bapak...?" Vivienne berusaha bangkit, tapi tubuhnya langsung lunglai.

Xavier cepat menahan bahunya dengan lembut.

"Istirahat saja dulu.".

Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu.

"Dokter." panggilnya pelan.

Dokter dan seorang pria muda masuk membawa kantong kertas berisi makanan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier, tanpa melepaskan pandangan dari Vivienne.

Dokter tersenyum kecil.

"Lebih baik. Tapi dia masih sangat lemah. Kurang darah, kelelahan. Untuk sekarang, dia harus banyak istirahat dan makan makanan bergizi. Saya sarankan rawat inap ringan, tapi melihat tempat ini cukup nyaman... saya rasa tidak masalah."

Dokter berpaling pada Vivienne dan menatapnya lembut.

"Kamu harus jaga dirimu baik-baik ya. Jangan paksakan kerja kalau badan sudah kasih sinyal."

Vivienne hanya mengangguk lemah.

Setelahnya, dokter dan pria tadi pamit meninggalkan ruangan.

***

POV Xavier

Ruangan kembali sunyi. Hanya aku dan dia.

Dia masih menatapku tapi matanya bingung, ragu.

Seperti takut. Seperti tidak mengerti kenapa aku ada di sini, menemaninya.

Aku mengambil kantong makanan, mengeluarkan bubur ayam hangat dan sendok.

Dia menoleh pelan.

"Biar saya..."

Aku duduk kembali di sisi sofa dan menatapnya tenang.

"Kamu belum kuat. Diam saja. Aku suapin."

Matanya membesar. Pipi merah. Mulutnya setengah terbuka, tak percaya.

Lucu sekali ekspresinya.

Aku menyendokkan satu suap bubur, meniupnya perlahan, lalu menyodorkannya ke bibir mungil itu.

Dia membuka mulut, ragu-ragu lalu menelan perlahan.

Aku tersenyum.

Entah kenapa melihat dia begini membuatku merasa ingin melindunginya sekuat tenaga.

Dan mungkin aku memang sudah jatuh terlalu dalam.

POV Xavier End

***

Suapan pertama sudah masuk. Vivienne masih terdiam, pipinya merah, matanya tak berani menatap pria di hadapannya.

Xavier kembali menyendok bubur.

"Makan lagi." suaranya tenang tapi terdengar perintah tegas di baliknya.

Vivienne menunduk, bibirnya bergerak pelan, "Saya bisa sendiri, Pak..."

Xavier menghentikan sendok di udara.

"Diam dan makan. Jangan buat aku mengulang."

Nada suaranya turun satu oktaf, dingin, tapi bukan marah. Lebih ke dominasi.

Vivienne menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdebar cepat. Dengan pelan, ia membuka mulutnya dan menerima suapan itu dan suapan berikutnya dan berikutnya.

Setelah suapan terakhir, Xavier meletakkan piring kosong di meja. Lalu ia bersandar sebentar, menatap Vivienne yang masih tidak berani mengangkat kepala.

"Selama kamu belum pulih, kamu tinggal di rumahku." ucapnya datar, seolah itu hal paling biasa.

Vivienne langsung menoleh, panik. "T-Tidak, Pak. Saya tidak bisa. Saya tidak mau merepotkan..."

Suaranya pelan dan gugup. Matanya menunduk, wajahnya merah.

Kenapa bos yang selama ini ia anggap kejam justru sekarang begitu peduli?

"Aku tidak terima penolakan," potong Xavier tajam.

Ia berdiri. Mengambil piring. Menaruhnya ke meja samping.

Sebelum Vivienne sempat berkata apa-apa, tubuhnya terangkat.

"A-Apa Pak, jangan...!"

Tapi suaranya lemah. Tangannya mencoba menolak, tapi tak ada tenaga.

Xavier menggendongnya mantap, keluar dari ruang istirahat menuju lift pribadi.

**

Vivienne hanya bisa tertunduk. Badannya lemas, tapi pikirannya penuh kebingungan.

Apa yang terjadi...? Kenapa bos-nya melakukan semua ini?

Ia mendongak sedikit. Wajah pria itu begitu dekat. Tampan. Sangat tampan.

Alis tebal. Mata hijau tajam yang menatap lurus ke depan. Rahangnya tegas, wajahnya seperti ukiran dewa Yunani.

Sangar. Dingin. Tapi... juga menenangkan.

Tanpa sadar, ia menatap lama.

Xavier melirik ke bawah dan tertangkap basah Vivienne sedang memandanginya dalam.

Ia tersenyum kecil lalu terkekeh pelan.

Vivienne langsung memalingkan wajahnya dengan cepat. Wajah memerah sampai ke telinga.

Sesapai Diparkiran Xavier membuka pintu mobilnya, sebuah SUV hitam mewah. Dengan hati-hati, ia membaringkan Vivienne di kursi penumpang depan.

Lalu dia masuk ke sisi kemudi dan menyalakan mesin.

Vivienne menatap ke luar jendela. Kepalanya berat. Tubuhnya lelah. Akhirnya... ia tertidur.

Xavier meliriknya sebentar sambil menyetir.

Mobil melaju perlahan meninggalkan gedung perusahaan.

***

Mobil hitam berhenti mulus di depan rumah megah bergaya modern minimalis. Pintu utama terbuka saat Xavier turun sambil menggendong Vivienne yang masih tertidur lemah.

Para pelayan langsung berdiri kaku, terkejut melihat sang tuan rumah membawa seorang wanita dalam pelukannya.

"Pak Xavier?" tanya salah satu pelayan, bingung dan siap membantu.

"Tidak usah. Siapkan makan malam. Jangan ganggu aku."

Suaranya tenang, tapi penuh instruksi. Tak ada satu pun yang berani membantah.

Tanpa menoleh lagi, ia menaiki tangga dengan langkah panjang dan pasti, membawa Vivienne ke lantai dua, melewati koridor yang sepi dan senyap menuju kamar pribadinya.

Kamar luas bernuansa monokrom. Tempat tidur king-size dengan selimut abu-abu gelap, cahaya lampu hangat yang lembut, dan aroma khas kayu yang tenang.

Dengan pelan, Xavier menurunkan tubuh Vivienne ke atas tempat tidur. Ia mengatur bantal, menarik selimut hingga sebatas dada Vivienne, memastikan ia nyaman.

Dia diam sejenak. Berdiri memandangi wajah mungil itu.

Matanya menelusuri garis rahang lembut, alis tipis yang terkerut sedikit meski sedang tidur, dan bibirnya yang sedikit terbuka, bernapas pelan.

Lalu dia tertawa pelan.

"Lucu. Dulu aku pikir aku terlalu sibuk untuk urusan perasaan" gumamnya sendiri, menyandarkan diri di dinding dekat tempat tidur.

"Tapi sejak pertama kali lihat kamu, hatiku merasakan hal aneh. Seperti ada sesuatu yang mencubit dari dalam. Aku coba buang. Aku abaikan. Tapi kamu selalu muncul."

Dia mendekat. Duduk di tepi ranjang. Menatap wajah wanita itu dalam.

"Aku tahu kamu punya pacar. Tapi kenapa aku tak bisa mundur? Kenapa aku ingin kamu tetap di sampingku?"

Tangannya terulur, nyaris menyentuh pipi Vivienne lalu berhenti di tengah udara.

Dia menarik napas. Dalam. Berat.

"Gila. Aku benar-benar kehilangan akal karena kamu."

**

POV Vivienne

Malam itu aku terbangun. Perlahan, mataku terbuka. Rasa pusing sedikit berkurang, tapi tubuhku masih lemas. Aku memandang sekeliling. Ruangan ini bukan kamarku.

Tempat tidur terlalu besar, seprai terlalu halus, dan aroma kamar ini sangat maskulin.

Lalu semuanya kembali muncul di kepalaku.

Xavier. Bos-ku.

Dia menggendongku, membawaku ke mobil. Dan aku tertidur.

Wajahku langsung memerah.

Ya Tuhan... aku sedang di rumah bos-ku.

Aku menyingkap selimut, bangkit pelan, dan keluar dari kamar.

Aku harus tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Langkahku membawa aku ke arah tangga, dan saat aku turun.

Aku mendengar suara dari dapur.

Terdengar ramai. Para pelayan tampak sibuk menyiapkan makanan. Ada aroma harum masakan memenuhi udara.

Aku berdiri bingung, sampai salah satu pelayan menyadari kehadiranku.

"Oh, Nona sudah bangun. Apa Anda butuh sesuatu?"

Aku tersenyum kecil, masih canggung.

"Xavier... maksud saya, Pak Xavier, ada di mana ya?"

"Beliau di ruang kerja, Nona," jawab pelayan itu sambil tersenyum.

Aku melirik ke arah dapur. "Apa ada yang bisa saya bantu?"

Semua pelayan saling pandang lalu tergelak kecil.

"Tidak perlu, Nona. Anda tamu terhormat di rumah ini."

Aku terdiam, sedikit kaget. "Tamu... terhormat?" ulangku pelan.

"Tentu saja. Anda satu-satunya wanita yang pernah beliau bawa ke rumah ini. Dengan perhatian sebesar itu pula."

Pelayan itu tersenyum hangat.

Aku menunduk cepat, wajahku makin merah.

Tamu terhormat? Aku karyawannya... sama seperti mereka.

"Aku juga karyawan beliau, jadi kita setara. Biar aku bantu sedikit."

Aku bergabung di dapur. Mereka membiarkanku ikut mengaduk, mencicipi, dan menata. Kebetulan masakan yang mereka siapkan sup ayam rempah dan ayam panggang madu adalah resep yang sangat aku kuasai.

Memasak... selalu jadi tempat pelarianku saat stress.

Saat aku sibuk mencampurkan bumbu di panci besar, aku tak sadar...

POV Vivienne End

***

POV Xavier

Aku baru saja menyelesaikan laporan terakhir. Kulirik jam di dinding. Sudah hampir pukul delapan. Seharusnya makanan sudah siap. Kuharap Vivienne sudah bangun, atau setidaknya istirahat dengan baik.

Kututup laptopku, merapikan berkas, lalu bangkit. Langkahku tenang menuju lantai bawah.

Begitu sampai di area ruang makan dan dapur, aku terdiam.

Dia di sana.

Vivienne.

Dengan celemek, rambut dikuncir asal, tangan sibuk mengaduk panci.

Tertawa kecil. Matanya berbinar.

Para pelayan menoleh dan langsung memberikan hormat padaku.

Aku hanya mengangguk.

"Kalian boleh istirahat. Biarkan kami saja di sini."

Mereka langsung meninggalkan dapur. Aku berjalan pelan menghampirinya.

"Ada yang bisa kubantu?"

Dia terlonjak kaget, hampir menjatuhkan sendok kayunya.

"Pak! Saya... tidak! Maksud saya, saya yang harusnya masak. Bapak tamu saya sekarang eh, maksudnya... pemilik rumah... jadi silakan duduk saja dan tunggu makanannya."

Aku menahan tawa.

"Aku nggak bisa diam aja lihat kamu sibuk begitu."

Dia terdiam. Lalu menghela napas.

"Kalau memang ingin bantu... tolong ambilkan lada hitam, daun thyme, dan sedikit madu dari rak bumbu."

Tanpa menunggu, aku langsung bergerak. Aku tahu tempatnya. Aku sendiri sering memasak saat malam. Aku mengambil semua yang dia minta dan menyerahkannya.

**

Beberapa menit kemudian, masakan matang. Kami menata meja makan bersama. Aku duduk, dan dia dengan cekatan membantu mengambilkan makananku. Tangannya halus menyendok sup ke mangkukku, dan aku merasa dada ini hangat. Sangat hangat.

Aku menatapnya. Dia terlalu luar biasa.

Lalu aku menyuap sendok pertama.

Mataku melebar.

"Ini... enak banget."

Aku memandangnya dengan kagum.

"Kamu jago masak?"

Dia tersipu, mengangguk pelan. "Sedikit."

Sedikit, katanya. Tapi di dalam hatiku, aku tahu. Keinginan untuk menjadikan wanita ini milikku semakin kuat. Dia bukan hanya cantik... dia lembut, pintar, dan mengisi ruang kosong dalam hidupku tanpa dia sadari.

POV Xavier End

***

.

.

.

To Be Continued

Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔ

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 21

    Sore itu, setelah semua rapat selesai, suasana kantor mulai lengang. Thomas memanggil Xavier ke ruangannya. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan foto-foto lama beberapa menampilkan Xavier kecil di sisi ayahnya, tampak bahagia… namun Xavier kini hanya menatapnya dengan datar.“Duduklah,” ucap Thomas tanpa menatap. Ia sibuk menandatangani beberapa berkas di mejanya.Xavier duduk, menunggu.Beberapa detik hening berlalu sebelum Thomas akhirnya bersuara, nadanya tenang tapi dingin.“Anak muda sepertimu seharusnya tahu batas, Xavier. Aku dengar kamu menghabiskan waktu di luar kota… bersama seorang wanita.”Xavier tak langsung menjawab, tapi tatapannya tajam menatap ayahnya. “Aku butuh waktu untuk istirahat. Dan wanita itu, dia bagian dari timku.”Thomas tersenyum tipis, masih menunduk menatap kertas.“Bagian dari tim? Begitu?” Ia berhenti sejenak, menatap Xavier.“Cathrine juga bagian dari hidupmu, jangan lupa itu.” Lanjutnya.Xavier menarik napas pelan, tapi rahangnya menega

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 20

    Pagi itu, udara kota terasa berbeda. Langit cerah, tapi hati Vivienne berdebar sejak ia menerima pesan dari Xavier malam sebelumnya. Xavier : Besok pagi aku mau kamu ikut aku ke rapat direksi. Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan ke kamu. Vivienne membaca pesan itu berulang kali. Ia tahu siapa “seseorang” itu. Ayah Xavier, Thomas Winchester. Sosok yang namanya bahkan membuat sebagian besar orang di perusahaan menunduk hanya dengan mendengar disebut. Vivienne menatap cermin pagi itu, menyesuaikan jas hitam dan kemeja putih sederhana. Tangannya sedikit gemetar. “Tenang, Vivienne ” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma rapat. Cuma pertemuan biasa.” Tapi jauh di dalam hati, Vivienne tahu ini bukan sekadar rapat. Ini adalah kesempatan untuk menatap langsung wajah seseorang yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita... seseorang yang namanya pernah muncul di berkas tua peninggalan mendiang ayahnya. Dalam daftar hitam proyek yang “gagal” bertahun-tahun lalu. ** Mobil hitam

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 19 - Diawasi

    Hari itu dimulai seperti biasa.Langit sedang cerah, matahari menembus jendela besar gedung kantor tempat Vivienne bekerja.Ia sudah terbiasa dengan rutinitas pagi, menyusun laporan, memeriksa jadwal Xavier , dan memastikan semua urusan administrasi berjalan rapi.Sudah seminggu sejak liburan ke pulau itu, dan meskipun semuanya tampak normal di permukaan, Vivienne tahu ada sesuatu yang berubah.Hubungannya dengan Xavier kini terasa lebih… hangat. Tapi juga lebih berisiko.Ia berusaha menjaga jarak secara profesional, walau kadang sulit menahan senyum setiap kali Xavier menatapnya lebih lama dari seharusnya.Siang itu, Vivienne sedang di meja resepsionis sementara staf utama izin keluar. Ia sedang menandatangani beberapa dokumen ketika suara hak tinggi terdengar cepat menghampiri.“Dimana Xavier, saya mau bertemu dengan Xavier .”Suara itu tajam, penuh tekanan.Vivienne menoleh dan hatinya langsung berdebar.CatherineIa masih sama seperti awal ia bertemu, elegan, berkelas, dengan tata

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 18 - Jatuh Cinta

    Matahari sore mulai turun perlahan, menyapu langit dengan warna keemasan yang lembut. Dari teras villa, Vivienne berdiri memandangi laut lepas. Angin membelai rambutnya, sementara ombak menari pelan di kejauhan.Xavier datang membawa dua gelas jus segar, menyerahkan satu pada Vivienne.“Kau suka?” tanyanya pelan.Vivienne mengangguk, tersenyum lembut.“Suka sekali… tapi aku masih nggak habis pikir, Xavier. Kamu benar-benar punya semua ini?” Jawabnya.Xavier duduk di sampingnya, menatap laut yang sama.“Aku punya banyak hal, Vivienne Tapi jarang sekali aku merasa benar-benar punya seseorang yang bisa bikin aku merasa hidup. Sampai kamu datang.”Vivienne terdiam. Kata-kata itu menghantam lembut tapi dalam. Hatinya bergetar, namun di sisi lain, ada rasa takut yang menahan. Ia tahu batasnya. Ia tahu Xavier bukan pria yang mudah ia percayai.Malamnya, setelah makan malam di tepi pantai dengan cahaya lilin yang menari tertiup angin, Xavier tiba-tiba memanggilnya.“Vivienne ” suaranya pelan

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 17 - Bahagia

    Pagi itu, Vivienne duduk di bangku kayu taman rumahnya. Di tangannya ada secangkir teh hangat, dan matanya terpaku pada bunga-bunga yang sedang mekar, seolah ikut menyambut sinar mentari.Hatinya terasa lebih ringan, sejak kejadian itu Xavier mencium dirinya. Ada rasa baru yang tumbuh, seolah ia menemukan tempat aman untuk bersembunyi dari kerasnya dunia.Tanpa ia sadari, Xavier sudah berdiri di belakangnya. Dengan langkah pelan, Xavier mendekat lalu mengecup pipi Vivienne.“Selamat pagi, sayang…” Ucap Xavier lembut.Vivienne tersentak kecil, lalu menoleh dengan pipi merona“Kamu ini, bikin kaget aja. Dari tadi ternyata di belakangku, ya?” Sahut Vivienne.Xavier tersenyum nakal, duduk di samping Vivienne.“Aku nggak tahan lihat kamu sendirian di sini. Aku pengen jadi orang pertama yang bikin pagimu indah.”Vivienne menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya“Hmm… berhasil sih. Tapi jangan sering-sering bikin aku kaget begitu.”Xavier menggenggam tangannya“Kalau kagetnya karena cinta

  • Cinta Dalam Bayangan Dendam   Chapter 16 - Ciuman Pertama

    Beberapa hari kemudian, Vivienne sudah jauh lebih sehat. Luka di kepalanya hanya menyisakan bekas tipis.Xavier memutuskan untuk mengajaknya keluar rumah.“Kau sudah bosan di rumah, kan? Aku akan ajak kamu keluar sebentar.”Vivienne terkejut tapi tersenyum kecil.“Benarkah? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihat kota.” Sahut Vivienne.Vivienne mengiyakan ajakan Xavier untuk pergi keluar jalan-jalan.*Mobil hitam Xavier melaju tenang di jalan malam yang basah setelah hujan sore tadi.Vivienne menatap keluar jendela, kagum melihat kerlap-kerlip lampu kota.“Indah sekali...” Ucap Vivienne.Xavier meliriknya sebentar“Kau suka?” Tanyanya.Vivienne mengangguk.“Aku merasa seperti... hidupku normal lagi.”Xavier hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya ia bertekad, aku akan pastikan kau benar-benar bisa hidup normal suatu hari nanti.Xavier membawa Vivienne ke restoran dengan pemandangan kota dari lantai 50.Vivienne hampir tidak percaya melihat tempatnya begitu mewah.Vivienne ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status