Pagi itu, kantor sudah mulai sibuk. Suara keyboard berdenting, telepon berdering, namun langkah wanita itu begitu lesu dan pelan.
Matanya sembab, wajahnya pucat. Vivienne, Semalam ia tidak tidur. Hatinya seperti disayat pisau yang tajam ia melihat kekasihnya makan malam bersama wanita lain dengan orang tua lelaki itu. Dan mereka membicarakan pertunangan. Meski tubuhnya lemah, Vivienne tetap masuk kerja. Ia membawa tumpukan berkas ke ruang CEO. Tiba-tiba, sebelum sempat mengetuk pintu, tubuhnya limbung. BRAKK! Tumpukan dokumen berhamburan saat tubuhnya jatuh. *** POV Xavier "Apa itu tadi?" Langkahku cepat menuju pintu. Saat kubuka, mataku langsung tertuju pada sosok mungil itu. Vivienne jatuh tergeletak di depan pintuku. "Vivienne!" seruku, setengah panik. Aku segera mengangkat tubuhnya. Ringan. Nafasnya pelan. Wajahnya pucat sekali. Kubawa dia ke ruang istirahat pribadiku, membaringkannya di sofa panjang. Kuambil ponsel dan menekan tombol cepat. "Dr. Jack, tolong ke ruanganku sekarang." Beberapa menit kemudian, dokter datang dan langsung memeriksanya. "Kurang istirahat, anemia cukup parah. Dia butuh istirahat total," kata dokter sambil mengecek tekanan darahnya. Aku hanya diam. Menatap wajahnya yang tenang dalam tidur. (Dalam hati) Kenapa aku malah begini...? Kenapa aku tak bisa berhenti menatap wajahnya? Saat dia sadar dan matanya takut menatapku. kenapa aku malah ingin mengusap rambutnya dan menenangkannya? Aku ingat pipinya yang merah waktu dia gugup saat dia salah memberikan dokumen minggu lalu. Matanya yang berkaca-kaca, namun tetap berusaha menjelaskan. Wajah imut itu, ekspresi takut dan malu. kenapa justru itu yang membuat dadaku berdebar? Aku terkekeh pelan karena perasaan asing ini begitu menggangu. "Apa yang terjadi padaku?" gumamku sambil duduk di sisi sofa, menatapnya dalam. Tangan ini ingin menggenggam tangannya. Aku ingin menjaganya. Aku ingin... memilikinya. POV Xavier End *** Vivienne perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram. Ia merasa tubuhnya ringan namun lemah. Dan saat matanya mulai bisa melihat dengan jelas, jantungnya nyaris berhenti berdetak. Bos-nya. Duduk di sisi sofa. Menatapnya dalam-dalam. Xavier. Tatapan tajam yang biasa dia lihat saat rapat. Saat ini berubah hangat dan lembut. "B-Bapak...?" Vivienne berusaha bangkit, tapi tubuhnya langsung lunglai. Xavier cepat menahan bahunya dengan lembut. "Istirahat saja dulu.". Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. "Dokter." panggilnya pelan. Dokter dan seorang pria muda masuk membawa kantong kertas berisi makanan. "Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier, tanpa melepaskan pandangan dari Vivienne. Dokter tersenyum kecil. "Lebih baik. Tapi dia masih sangat lemah. Kurang darah, kelelahan. Untuk sekarang, dia harus banyak istirahat dan makan makanan bergizi. Saya sarankan rawat inap ringan, tapi melihat tempat ini cukup nyaman... saya rasa tidak masalah." Dokter berpaling pada Vivienne dan menatapnya lembut. "Kamu harus jaga dirimu baik-baik ya. Jangan paksakan kerja kalau badan sudah kasih sinyal." Vivienne hanya mengangguk lemah. Setelahnya, dokter dan pria tadi pamit meninggalkan ruangan. *** POV Xavier Ruangan kembali sunyi. Hanya aku dan dia. Dia masih menatapku tapi matanya bingung, ragu. Seperti takut. Seperti tidak mengerti kenapa aku ada di sini, menemaninya. Aku mengambil kantong makanan, mengeluarkan bubur ayam hangat dan sendok. Dia menoleh pelan. "Biar saya..." Aku duduk kembali di sisi sofa dan menatapnya tenang. "Kamu belum kuat. Diam saja. Aku suapin." Matanya membesar. Pipi merah. Mulutnya setengah terbuka, tak percaya. Lucu sekali ekspresinya. Aku menyendokkan satu suap bubur, meniupnya perlahan, lalu menyodorkannya ke bibir mungil itu. Dia membuka mulut, ragu-ragu lalu menelan perlahan. Aku tersenyum. Entah kenapa melihat dia begini membuatku merasa ingin melindunginya sekuat tenaga. Dan mungkin aku memang sudah jatuh terlalu dalam. POV Xavier End *** Suapan pertama sudah masuk. Vivienne masih terdiam, pipinya merah, matanya tak berani menatap pria di hadapannya. Xavier kembali menyendok bubur. "Makan lagi." suaranya tenang tapi terdengar perintah tegas di baliknya. Vivienne menunduk, bibirnya bergerak pelan, "Saya bisa sendiri, Pak..." Xavier menghentikan sendok di udara. "Diam dan makan. Jangan buat aku mengulang." Nada suaranya turun satu oktaf, dingin, tapi bukan marah. Lebih ke dominasi. Vivienne menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdebar cepat. Dengan pelan, ia membuka mulutnya dan menerima suapan itu dan suapan berikutnya dan berikutnya. Setelah suapan terakhir, Xavier meletakkan piring kosong di meja. Lalu ia bersandar sebentar, menatap Vivienne yang masih tidak berani mengangkat kepala. "Selama kamu belum pulih, kamu tinggal di rumahku." ucapnya datar, seolah itu hal paling biasa. Vivienne langsung menoleh, panik. "T-Tidak, Pak. Saya tidak bisa. Saya tidak mau merepotkan..." Suaranya pelan dan gugup. Matanya menunduk, wajahnya merah. Kenapa bos yang selama ini ia anggap kejam justru sekarang begitu peduli? "Aku tidak terima penolakan," potong Xavier tajam. Ia berdiri. Mengambil piring. Menaruhnya ke meja samping. Sebelum Vivienne sempat berkata apa-apa, tubuhnya terangkat. "A-Apa Pak, jangan...!" Tapi suaranya lemah. Tangannya mencoba menolak, tapi tak ada tenaga. Xavier menggendongnya mantap, keluar dari ruang istirahat menuju lift pribadi. ** Vivienne hanya bisa tertunduk. Badannya lemas, tapi pikirannya penuh kebingungan. Apa yang terjadi...? Kenapa bos-nya melakukan semua ini? Ia mendongak sedikit. Wajah pria itu begitu dekat. Tampan. Sangat tampan. Alis tebal. Mata hijau tajam yang menatap lurus ke depan. Rahangnya tegas, wajahnya seperti ukiran dewa Yunani. Sangar. Dingin. Tapi... juga menenangkan. Tanpa sadar, ia menatap lama. Xavier melirik ke bawah dan tertangkap basah Vivienne sedang memandanginya dalam. Ia tersenyum kecil lalu terkekeh pelan. Vivienne langsung memalingkan wajahnya dengan cepat. Wajah memerah sampai ke telinga. Sesapai Diparkiran Xavier membuka pintu mobilnya, sebuah SUV hitam mewah. Dengan hati-hati, ia membaringkan Vivienne di kursi penumpang depan. Lalu dia masuk ke sisi kemudi dan menyalakan mesin. Vivienne menatap ke luar jendela. Kepalanya berat. Tubuhnya lelah. Akhirnya... ia tertidur. Xavier meliriknya sebentar sambil menyetir. Mobil melaju perlahan meninggalkan gedung perusahaan. *** Mobil hitam berhenti mulus di depan rumah megah bergaya modern minimalis. Pintu utama terbuka saat Xavier turun sambil menggendong Vivienne yang masih tertidur lemah. Para pelayan langsung berdiri kaku, terkejut melihat sang tuan rumah membawa seorang wanita dalam pelukannya. "Pak Xavier?" tanya salah satu pelayan, bingung dan siap membantu. "Tidak usah. Siapkan makan malam. Jangan ganggu aku." Suaranya tenang, tapi penuh instruksi. Tak ada satu pun yang berani membantah. Tanpa menoleh lagi, ia menaiki tangga dengan langkah panjang dan pasti, membawa Vivienne ke lantai dua, melewati koridor yang sepi dan senyap menuju kamar pribadinya. Kamar luas bernuansa monokrom. Tempat tidur king-size dengan selimut abu-abu gelap, cahaya lampu hangat yang lembut, dan aroma khas kayu yang tenang. Dengan pelan, Xavier menurunkan tubuh Vivienne ke atas tempat tidur. Ia mengatur bantal, menarik selimut hingga sebatas dada Vivienne, memastikan ia nyaman. Dia diam sejenak. Berdiri memandangi wajah mungil itu. Matanya menelusuri garis rahang lembut, alis tipis yang terkerut sedikit meski sedang tidur, dan bibirnya yang sedikit terbuka, bernapas pelan. Lalu dia tertawa pelan. "Lucu. Dulu aku pikir aku terlalu sibuk untuk urusan perasaan" gumamnya sendiri, menyandarkan diri di dinding dekat tempat tidur. "Tapi sejak pertama kali lihat kamu, hatiku merasakan hal aneh. Seperti ada sesuatu yang mencubit dari dalam. Aku coba buang. Aku abaikan. Tapi kamu selalu muncul." Dia mendekat. Duduk di tepi ranjang. Menatap wajah wanita itu dalam. "Aku tahu kamu punya pacar. Tapi kenapa aku tak bisa mundur? Kenapa aku ingin kamu tetap di sampingku?" Tangannya terulur, nyaris menyentuh pipi Vivienne lalu berhenti di tengah udara. Dia menarik napas. Dalam. Berat. "Gila. Aku benar-benar kehilangan akal karena kamu." ** POV Vivienne Malam itu aku terbangun. Perlahan, mataku terbuka. Rasa pusing sedikit berkurang, tapi tubuhku masih lemas. Aku memandang sekeliling. Ruangan ini bukan kamarku. Tempat tidur terlalu besar, seprai terlalu halus, dan aroma kamar ini sangat maskulin. Lalu semuanya kembali muncul di kepalaku. Xavier. Bos-ku. Dia menggendongku, membawaku ke mobil. Dan aku tertidur. Wajahku langsung memerah. Ya Tuhan... aku sedang di rumah bos-ku. Aku menyingkap selimut, bangkit pelan, dan keluar dari kamar. Aku harus tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Langkahku membawa aku ke arah tangga, dan saat aku turun. Aku mendengar suara dari dapur. Terdengar ramai. Para pelayan tampak sibuk menyiapkan makanan. Ada aroma harum masakan memenuhi udara. Aku berdiri bingung, sampai salah satu pelayan menyadari kehadiranku. "Oh, Nona sudah bangun. Apa Anda butuh sesuatu?" Aku tersenyum kecil, masih canggung. "Xavier... maksud saya, Pak Xavier, ada di mana ya?" "Beliau di ruang kerja, Nona," jawab pelayan itu sambil tersenyum. Aku melirik ke arah dapur. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Semua pelayan saling pandang lalu tergelak kecil. "Tidak perlu, Nona. Anda tamu terhormat di rumah ini." Aku terdiam, sedikit kaget. "Tamu... terhormat?" ulangku pelan. "Tentu saja. Anda satu-satunya wanita yang pernah beliau bawa ke rumah ini. Dengan perhatian sebesar itu pula." Pelayan itu tersenyum hangat. Aku menunduk cepat, wajahku makin merah. Tamu terhormat? Aku karyawannya... sama seperti mereka. "Aku juga karyawan beliau, jadi kita setara. Biar aku bantu sedikit." Aku bergabung di dapur. Mereka membiarkanku ikut mengaduk, mencicipi, dan menata. Kebetulan masakan yang mereka siapkan sup ayam rempah dan ayam panggang madu adalah resep yang sangat aku kuasai. Memasak... selalu jadi tempat pelarianku saat stress. Saat aku sibuk mencampurkan bumbu di panci besar, aku tak sadar... POV Vivienne End *** POV Xavier Aku baru saja menyelesaikan laporan terakhir. Kulirik jam di dinding. Sudah hampir pukul delapan. Seharusnya makanan sudah siap. Kuharap Vivienne sudah bangun, atau setidaknya istirahat dengan baik. Kututup laptopku, merapikan berkas, lalu bangkit. Langkahku tenang menuju lantai bawah. Begitu sampai di area ruang makan dan dapur, aku terdiam. Dia di sana. Vivienne. Dengan celemek, rambut dikuncir asal, tangan sibuk mengaduk panci. Tertawa kecil. Matanya berbinar. Para pelayan menoleh dan langsung memberikan hormat padaku. Aku hanya mengangguk. "Kalian boleh istirahat. Biarkan kami saja di sini." Mereka langsung meninggalkan dapur. Aku berjalan pelan menghampirinya. "Ada yang bisa kubantu?" Dia terlonjak kaget, hampir menjatuhkan sendok kayunya. "Pak! Saya... tidak! Maksud saya, saya yang harusnya masak. Bapak tamu saya sekarang eh, maksudnya... pemilik rumah... jadi silakan duduk saja dan tunggu makanannya." Aku menahan tawa. "Aku nggak bisa diam aja lihat kamu sibuk begitu." Dia terdiam. Lalu menghela napas. "Kalau memang ingin bantu... tolong ambilkan lada hitam, daun thyme, dan sedikit madu dari rak bumbu." Tanpa menunggu, aku langsung bergerak. Aku tahu tempatnya. Aku sendiri sering memasak saat malam. Aku mengambil semua yang dia minta dan menyerahkannya. ** Beberapa menit kemudian, masakan matang. Kami menata meja makan bersama. Aku duduk, dan dia dengan cekatan membantu mengambilkan makananku. Tangannya halus menyendok sup ke mangkukku, dan aku merasa dada ini hangat. Sangat hangat. Aku menatapnya. Dia terlalu luar biasa. Lalu aku menyuap sendok pertama. Mataku melebar. "Ini... enak banget." Aku memandangnya dengan kagum. "Kamu jago masak?" Dia tersipu, mengangguk pelan. "Sedikit." Sedikit, katanya. Tapi di dalam hatiku, aku tahu. Keinginan untuk menjadikan wanita ini milikku semakin kuat. Dia bukan hanya cantik... dia lembut, pintar, dan mengisi ruang kosong dalam hidupku tanpa dia sadari. POV Xavier End *** . . . To Be Continued Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔDua minggu berlalu seperti mimpi. Roma, Florence, dan sedikit waktu di Venesia telah meninggalkan jejak yang sulit dilupakan bukan hanya di galeri foto ponselnya, tapi juga di hatinya.Pagi itu, pesawat mendarat di dengan guncangan ringan. Udara dingin khas New York langsung menyapa, menggantikan aroma kopi Italia dan udara dingin Eropa yang masih tersisa di ingatan.Gabriella menepuk bahunya saat mereka mengambil koper di conveyor belt."Kembali ke realita, Bu Vivienne."Vivienne tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan senyum lelah seperti dulu. Ada ketenangan, ada semangat.Ia merasa pulang sebagai versi dirinya yang berbeda lebih ringan, lebih berani.***Senin pagi di kantor, lorong terasa sama, tapi langkah Vivienne tidak lagi ragu. Rekan-rekan kerja menyapanya, beberapa bertanya tentang liburannya.Saat ia tiba di meja kerja, monitor komputernya sudah menyala. Belum sempat ia duduk, suara dalam yang dalam namun tenang terdengar dari arah belakang."Selamat datang kembali, Vivie
Malam hari Vivienne dan Gabriella sibuk memeriksa koper masing-masing. Suara resleting dan bunyi hentakan roda koper bergantian memenuhi apartemen kecil yang Vivienne tempati.Mereka akan berangkat ke Bandara besok pagi, untuk pergi liburan ketempat impian mereka berdua dari dulu yaitu Italia.Semua berawal dari pengajuan cuti sederhana. Awalnya, Vivienne hanya mengajukan tiga hari libur untuk melepas penat dan menikmati waktu bersama sahabatnya.Namun, saat Xavier, bosnya, mengabarkan bahwa cutinya disetujui, dan hal paling mengejutkan Vivienne gang membuat ia nyaris terjatuh dari kursi bukan hanya tiga hari, tapi dua minggu penuh.Lebih mengejutkan lagi, perusahaan memberinya uang tambahan untuk liburan.Sambil melipat dress terakhir ke dalam koper, Vivienne mengambil ponselnya. Jempolnya lincah mengetik pesan."Pak Xavier, terima kasih banyak atas izin cuti dan uang tambahan ini. Jujur, saya tidak menyangka. Ini di luar ekspektasi saya."Pesan terkirim, dan tak lama balasan datang.
Malam semakin larut, keheningan begitu terasa menyelimuti rumah itu. Vivienne duduk diam diruang tamu sendirian. Setelah obrolan singkat di ruang makan, Xavier langsung beranjak dari tempat makan dan bekata pelan."Saya akan kembali keruangan kerja, terima kasih atas makanannya. Kau bisa kembali ke kamar kalau mau istirahat."Tanpa banyak bicara, Xavier pergi menuju tangga dan menaikinya pelan.Vivienne duduk diam, menatap secangkir coklat hangat digenggamannya yang mulai dingin.Sunyi melingkupi ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar pelan membuat Vivienne gelisah.Vivienne memikirkan kebaikan lelaki itu. Xavier dengan sangat baik memberikannya perawatan hingga tempat untuk istirahat dirumah pribadi nya, padahal dia hanya orang asing."Kenapa dia baik sekali? Apakah dia kasihan pada ku? Atau hanya tanggung jawab sebagai atasan?Pikirkan Vivienne yang begitu ribut ditengah keheningan.Vivienne menarik napas panjang, dan bangkit dari tempat duduk. Melangkah meninggalkan cangkir
Pagi itu, kantor sudah mulai sibuk. Suara keyboard berdenting, telepon berdering, namun langkah wanita itu begitu lesu dan pelan. Matanya sembab, wajahnya pucat. Vivienne, Semalam ia tidak tidur. Hatinya seperti disayat pisau yang tajam ia melihat kekasihnya makan malam bersama wanita lain dengan orang tua lelaki itu. Dan mereka membicarakan pertunangan.Meski tubuhnya lemah, Vivienne tetap masuk kerja. Ia membawa tumpukan berkas ke ruang CEO.Tiba-tiba, sebelum sempat mengetuk pintu, tubuhnya limbung.BRAKK!Tumpukan dokumen berhamburan saat tubuhnya jatuh.***POV Xavier"Apa itu tadi?"Langkahku cepat menuju pintu. Saat kubuka, mataku langsung tertuju pada sosok mungil itu. Vivienne jatuh tergeletak di depan pintuku."Vivienne!" seruku, setengah panik.Aku segera mengangkat tubuhnya. Ringan. Nafasnya pelan. Wajahnya pucat sekali.Kubawa dia ke ruang istirahat pribadiku, membaringkannya di sofa panjang.Kuambil ponsel dan menekan tombol cepat."Dr. Jack, tolong ke ruanganku sekaran
Minggu sore itu terasa tenang bagi Vivienne. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia bisa bangun tanpa alarm, bersantai di tempat tidur sambil menonton serial favorit, dan menikmati secangkir teh hangat dari balkon apartemennya. Namun ketenangan itu tak bertahan lama.tiba-tibaBRRRRTT... BRRRRTT...Ponselnya bergetar di atas meja. Saat melihat nama yang tertera di layar, matanya langsung membulat.Xavier bosnya menelponnya. Dengan cepat ia mengangkat."Halo, Pak?""Vivienne, maaf mengganggu hari liburmu. Aku butuh laporan keuangan yang terakhir.Ada beberapa dokumen yang tertinggal di kantor. Tolong buat laporannya dan antar ke rumahku secepatnya, ya. Sangat penting untuk meeting besok pagi." ucap Xavier ditelpon."Baik, Pak..." Vivienne menjawab, meski dalam hati sedikit kaget. Bukan karena harus bekerja di hari Minggu, tapi karena ini pertama kalinya dia harus ke rumah bosnya.Dengan cepat ia segera bangkit dari tempat tidur, cepat-cepat mandi, berdandan seadanya, dan memeriksa ul
Pagi itu, Vivienne sedang bekerja seperti biasa bekerja di ruangannya.Namun tiba-tiba datang seorang wanita cantik dan anggun, datang mendekat dan melangkah masuk dengan percaya diri.Wanita tersebut mengatakan ingin bertemu Xavier. Catherine dengan senyum tipis berkata"Aku ingin bertemu dengan Xavier. Sekarang."Vivienne dengan Tersenyum ramah menjawab"Maaf, Bu, apakah Anda memiliki janji temu dengan Pak Xavier?"Catherine Menyilangkan tangan di dada dan menjawab"Tidak, tapi dia pasti mau bertemu denganku. Beri tahu dia Catherine Windsor di sini.""Maaf, Bu, tapi Pak Xavier telah memberi instruksi untuk tidak diganggu oleh siapa pun saat ini." Jawab Vivienne lagi.Vivienne menolak dengan sopan, menjelaskan bahwa Xavier tidak ingin diganggu.Namun, wanita itu tetap bersikeras, lalu tiba-tiba menerobos masuk ke ruangan Xavier, berlari ke arahnya, dan memeluknya dengan manja.Catherine tertawa kecil "Ah, masa? Tapi aku yakin dia akan membuat pengecualian untukku."Catherine mengibas