Hujan deras mengguyur kota malam itu, menghantam genteng rumah keluarga Prameswari.
Dengan suara berisik yang tak henti-hentinya. Arunika, jaksa muda yang baru pulang dari kantor, memarkir mobilnya di garasi dengan tubuh letih. Hari itu ia baru saja menghadapi sidang besar—kasus korupsi kelas kakap yang menyeret nama-nama penting. Biasanya, kepulangan ke rumah selalu menjadi momen yang menenangkan baginya. Ada tawa hangat dari ayahnya, obrolan singkat dari ibunya yang suka mengomel soal kesehatan, serta Farel, adik bungsunya yang selalu menyambut dengan segelas teh panas. Tapi malam itu berbeda. Begitu ia membuka pintu rumah, suasana terasa… aneh. Sunyi. Hanya suara hujan dan angin yang menembus celah jendela. “Rel?” panggil Arunika dengan suara pelan. “Ayah? Ibu?” Tak ada jawaban. Ia menggantung jas kerjanya dan berjalan masuk ke ruang tamu. Sofa empuk itu masih rapi, tapi lampu-lampu tak dinyalakan. Padahal biasanya ibunya tidak tahan duduk dalam ruangan Gelap. Arunika mengerutkan dahi. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Seketika, sebuah bunyi keras terdengar dari arah dapur. Suara pecahan kaca. Arunika berlari, instingnya sebagai jaksa yang sering menghadapi ancaman membuatnya langsung waspada. Namun yang ia temukan membuat tubuhnya membeku. Di lantai dapur, tubuh ayahnya tergeletak berlumuran darah. Matanya terbuka kosong menatap langit-langit. Sebilah pisau menancap di perutnya. Arunika menutup mulutnya dengan tangan, menahan jeritan. Air matanya langsung jatuh tanpa bisa dibendung. “Ayah…” suaranya bergetar. Belum sempat ia mendekat, sebuah bayangan bergerak cepat di ujung ruangan. Seseorang berpakaian hitam, wajah tertutup masker, memegang senjata api. Dor! Dor! Peluru menembus dinding tak jauh dari kepalanya. Arunika spontan menjatuhkan diri ke lantai dan merangkak ke arah ruang keluarga. Suara langkah-langkah berat menyusul, tak memberi waktu untuk berpikir. “IBU!” teriaknya panik. Namun tubuh ibunya justru tergeletak di sofa, darah membasahi baju tidurnya. Napasnya sudah berhenti. Arunika tak sempat menangis lebih lama. Dari arah tangga terdengar teriakan lemah. “Kak… tolong…” Farel. Tanpa pikir panjang, Arunika berlari menaiki tangga. Di kamar Farel, ia menemukan adiknya tergeletak di lantai, dadanya dipenuhi luka sayatan. Nafasnya megap-megap, darah mengalir membasahi lantai kayu. “Rel… jangan tinggalkan aku…” suaranya nyaris tak terdengar. Arunika jatuh berlutut, panik menekan luka di dada Farel dengan kedua tangannya. “Bertahan, Rel. Aku di sini! Aku nggak akan ninggalin kamu!” Suara langkah-langkah berat semakin dekat. Penyerang itu menaiki tangga, menembakkan pelurunya ke udara. Arunika tahu ia tak bisa tinggal diam. Dengan tenaga tersisa, ia memapah tubuh Farel yang hampir tak sadarkan diri, menyeretnya keluar kamar. Setiap langkah terasa mustahil. Tubuh Farel berat, darahnya membasahi tangan Arunika. Tapi rasa takut membuatnya kuat. Ia harus selamatkan adiknya. Itu satu-satunya harapan yang tersisa. Dor! Peluru menghantam bingkai pintu. Pecahan kayu berhamburan. Arunika menjerit, tapi tetap memaksa kakinya bergerak. Mereka melewati koridor panjang, menuju tangga darurat kecil yang terhubung ke halaman belakang. “Bertahan, Rel… tolong bertahan…” Hujan masih deras ketika Arunika menyeret Farel keluar rumah. Kakinya tergelincir, hampir jatuh, tapi ia terus berjalan. Tubuhnya menggigil, matanya kabur oleh air mata. Beberapa tetangga mulai keluar rumah karena mendengar suara tembakan. Lampu-lampu menyala satu per satu, menerangi jalanan yang basah. Arunika tersandung di jalan setapak, tubuhnya hampir roboh sambil memeluk Farel. “Tolong! Tolong......!” suaranya serak. Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar di belakang. Bukan langkah biasa, langkah itu mantap, pasti, dan penuh ancaman. Arunika menoleh dengan mata penuh ketakutan. Dari balik gelap hujan, sesosok pria bertubuh tinggi muncul. Pakaiannya hitam-hitam, wajahnya tertutup masker. Senjata api di tangannya berkilat terkena cahaya lampu jalan. Ia berhenti beberapa meter dari Arunika, mengangkat pistolnya tanpa ragu. “Jangan bergerak.” Suara itu dingin, datar, dan menusuk hingga ke tulang. Arunika membeku, memeluk Farel yang sudah setengah tak sadar. Jantungnya berdegup begitu keras seakan akan meledak. Matanya menatap lurus ke moncong senjata itu. Tak ada jalan keluar. Tak ada waktu untuk berpikir. Apa ini akhir mereka?Fajar baru saja menyapu langit ketika Arunika terbangun. Ia merasa seperti tidak tidur sama sekali. Pandangannya buram, tubuhnya kaku, tetapi pikirannya berputar tajam. Hari ini adalah hari yang ditentukan Rakha. Hari di mana ia harus membuktikan bahwa ia pantas menjadi “bayangan” yang diminta. Di cermin, wajahnya tampak pucat. Ia menarik napas panjang dan memaksa diri merias wajah agar terlihat segar. “Farel, demi kamu,” gumamnya, suara nyaris tak terdengar. Di halte bus menuju kantor Maheswara Group, Arunika menekan ponselnya berkali-kali, membaca ulang pesan instruksi singkat dari Rakha: “Dokumen rapat internal. Ambil sebelum jam dua. Sembunyikan rapi. Jangan tinggalkan jejak.” Tak ada kata tambahan. Bahkan tanda titik pun tidak. Namun kata-kata singkat itu cukup membuat jantungnya berpacu. Ia mencoba mengatur strategi. Bagian keamanan kantor terkenal ketat. Di setiap pintu ada akses kartu magnetik, dan ruang rapat hanya bisa dimasuki staf inti. Arunika mengingat letak lema
Arunika memandangi langit-langit kamarnya yang gelap. Jarum jam terus berdetak, menembus kesunyian malam. Matanya lelah, tapi otaknya terus bekerja tanpa henti. Katakata Rakha masih bergema, menusuk seperti pisau dingin: “Buktikan dirimu. Kalau gagal, Farel yang menanggung akibatnya.” Ia menggenggam bantal erat-erat. Hatinya berperang. Satu sisi ingin menyerah, berhenti dari semua permainan berbahaya ini. Tapi sisi lain mengingat wajah pucat Farel yang terbaring di ranjang rumah sakit, dengan berbagai alat medis yang hanya bisa tetap menyala jika biaya terus dibayar. “Farel…” bisiknya lirih, air mata menggenang di sudut mata. “Kakak harus kuat. Kakak nggak boleh gagal.” Malam itu, Arunika sama sekali tidak tidur. Pagi harinya, tubuhnya terasa berat. Kantung matanya terlihat jelas, meskipun ia sudah berusaha menutupinya dengan bedak tipis. Saat tiba di kantor Maheswara Group, langkahnya goyah, tapi ia memaksakan senyum ramah pada rekan-rekan kerja. Arvan sudah duduk di meja kerjany
Pagi pertama Arunika memasuki gedung Maheswara Group terasa asing, seakan semua mata menimbang-nimbang kehadirannya. Gedung itu menjulang megah, dinding kaca berkilau memantulkan matahari yang baru naik. Orang-orang berbaju formal lalu-lalang dengan langkah cepat, penuh percaya diri, seolah setiap detik waktu mereka bernilai emas. Arunika berdiri di depan pintu putar, menarik napas panjang. Bajunya sederhana: blus putih dan rok hitam selutut, penampilan khas sekretaris. Tetapi hatinya berdebar jauh lebih keras daripada penampilannya yang tenang. Tas kecil di tangannya terasa berat—bukan karena isinya, melainkan karena beban rahasia yang kini ia bawa. Seseorang mendekat. “Arunika?” Arunika menoleh. Seorang pria muda dengan senyum ramah berdiri di hadapannya. Postur tinggi, wajah teduh, kemeja biru yang dipadukan dasi berwarna hitam. Senyum itu seketika memecah ketegangan. “Nama saya Arvan Maheswara,” katanya sambil mengulurkan tangan. Arunika menelan ludah. Jadi inilah kakak yang
Malam itu vila keluarga Maheswara tampak lebih mencekam daripada biasanya. Angin laut yang berembus dari kejauhan membawa aroma asin yang bercampur dengan ketegangan dalam dada Arunika. Mobil hitam yang menjemputnya berhenti tepat di halaman.Sopir itu tidak banyak bicara; hanya satu kalimat dingin yang ia lontarkan, “Tuan muda sudah menunggu.” Arunika menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Rasanya jantungnya berdentum lebih keras daripada deru mesin mobil. Uang yang sudah diberikan Rakha kemarin memang berhasil menahan biaya rumah sakit Farel untuk sementara, tetapi ia tahu itu tidak cukup. Semua ini bukan sekadar bantuan itu adalah ikatan.Dan malam ini, ikatan itu akan diresmikan. Rakha menunggunya di ruang kerja lantai dua vila. Lampu gantung besar di langit-langit hanya menyala setengah, membuat ruangan itu lebih banyak bayangan daripada cahaya. Rakha duduk di balik meja kayu besar, rapi dalam jas gelapnya, menatapnya dengan sorot mata yang dingin, sorot mata seorang p
Suara monitor di ruang ICU berdenting pelan, ritmis, seolah jadi pengingat betapa rapuhnya nyawa seseorang.Arunika duduk di kursi besi yang dingin, menatap wajah pucat adiknya, Farel, yang masih terbaring koma.Sejak malam itu, malam penuh darah yang merenggut orang tua mereka, Farel tidak pernah membuka matanya lagi. Arunika menggenggam tangan adiknya erat. “Bertahanlah, Rel. Kakak nggak akan biarin kamu pergi. Apa pun yang terjadi.” Namun, tekad yang ia ucapkan dengan suara bergetar terasa begitu rapuh di hadapan kenyataan. Amplop cokelat yang tadi pagi diberikan pihak rumah sakit masih terselip di tasnya. Ia sudah membaca isinya berulang kali, tapi kalimat itu tetap menusuk seperti pisau. “Jika dalam tujuh hari tidak ada pembayaran, layanan perawatan akan dihentikan.” Arunika tahu artinya: jika ia tidak menemukan uang sebesar itu, Farel akan kehilangan kesempatan untuk tetap hidup. Ia mencoba segala cara. Menghubungi kerabat jauh yang bahkan jarang ditemuinya. Mengetuk pintu
Hujan masih deras ketika moncong senjata itu terarah tepat ke wajah Arunika. “Jangan bergerak,” ulang pria bertopeng itu dengan nada dingin. Arunika membeku, tubuhnya gemetar. Pelukannya pada Farel semakin erat, seakan bisa melindungi adiknya dari maut. Nafasnya tercekat. Di kepalanya hanya ada satu kalimat: aku tidak boleh mati, Farel harus hidup… Dor! Suara tembakan memecah udara. Arunika berteriak spontan, menutup tubuh Farel dengan dirinya. Tapi alih-alih rasa sakit, ia mendengar suara logam jatuh ke tanah. Pria bertopeng itu merintih tertahan—bahunya ditembak seseorang dari arah lain.Arunika menoleh dengan cepat. Dari balik kegelapan hujan, sosok tetangganya, Pak Jaya, muncul dengan senapan tua di tangan. Wajahnya penuh keberanian meski tubuhnya basah kuyup. “Cepat lari, Nika!” teriaknya. Pria bertopeng itu mendesis marah. Ia melangkah mundur, lalu melarikan diri ke arah gang sempit. Hujan menelan bayangannya hingga hilang dari pandangan. Arunika nyaris roboh karena leg