Hujan masih deras ketika moncong senjata itu terarah tepat ke wajah Arunika.
“Jangan bergerak,” ulang pria bertopeng itu dengan nada dingin. Arunika membeku, tubuhnya gemetar. Pelukannya pada Farel semakin erat, seakan bisa melindungi adiknya dari maut. Nafasnya tercekat. Di kepalanya hanya ada satu kalimat: aku tidak boleh mati, Farel harus hidup… Dor! Suara tembakan memecah udara. Arunika berteriak spontan, menutup tubuh Farel dengan dirinya. Tapi alih-alih rasa sakit, ia mendengar suara logam jatuh ke tanah. Pria bertopeng itu merintih tertahan—bahunya ditembak seseorang dari arah lain. Arunika menoleh dengan cepat. Dari balik kegelapan hujan, sosok tetangganya, Pak Jaya, muncul dengan senapan tua di tangan. Wajahnya penuh keberanian meski tubuhnya basah kuyup. “Cepat lari, Nika!” teriaknya. Pria bertopeng itu mendesis marah. Ia melangkah mundur, lalu melarikan diri ke arah gang sempit. Hujan menelan bayangannya hingga hilang dari pandangan. Arunika nyaris roboh karena lega bercampur panik. Ia menatap Pak Jaya dengan mata berkaca-kaca. “Tolong, Pak… Farel… dia—” Pak Jaya segera berlari mendekat. “Ya Tuhan… cepat! Kita bawa dia ke rumah sakit!” Dengan bantuan Pak Jaya, mereka menyeret tubuh Farel ke mobil tua milik tetangga itu. Arunika duduk di kursi belakang, memeluk adiknya yang lemah, sambil menekan luka dengan tangannya sendiri. “Bertahan, Rel… kumohon bertahan…” air matanya bercampur dengan darah yang mengalir dari tubuh adiknya. Di rumah sakit Arunika berlari masuk ke Instalasi Gawat Darurat. Perawat segera berhamburan, mendorong ranjang dorong dan membawa Farel menjauh. “Adik saya! Dia harus selamat! Kumohon, lakukan apa saja!” teriak Arunika histeris. Seorang dokter muda menenangkannya. “Kami akan berusaha sebaik mungkin. Tapi tolong, tenangkan diri Anda.” Arunika hanya bisa berdiri kaku, tangannya berlumuran darah, tubuhnya gemetar tanpa henti. Ia menatap pintu ruang operasi yang menutup di depan matanya. Hatinya berteriak: Jangan ambil dia juga. Jangan ambil semua yang kumiliki. Pukul tiga dini hari, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter keluar dengan wajah serius. Arunika langsung menghampiri. “Bagaimana, Dok? Bagaimana adik saya?” Dokter melepas masker, suaranya berat. “Kami berhasil menghentikan pendarahannya. Tapi… luka di dadanya cukup parah. Dia selamat, tapi untuk sementara masih koma. Kita harus menunggu, tidak ada jaminan kapan dia sadar.” Arunika menutup mulutnya, tubuhnya lemas. Ia jatuh berlutut di lantai rumah sakit, menangis tanpa suara. Antara lega karena Farel masih hidup, dan hancur karena keadaan adiknya yang kritis. Pemakaman ayah dan ibunya berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga besar dan beberapa kerabat dekat. Hujan kembali turun seakan langit ikut berduka. Arunika berdiri di depan pusara, wajahnya pucat, matanya bengkak. Farel masih terbaring di rumah sakit, tak bisa hadir. “Aku janji, Ayah, Ibu… aku akan jaga Farel. Aku nggak akan biarkan dia sendirian,” bisiknya lirih. Namun janji itu terasa berat sejak awal. Hanya beberapa hari setelah tragedi itu, berita mengejutkan menyeruak. Media massa menyiarkan kabar bahwa Arunika, jaksa muda yang dikenal bersih, diduga menerima suap dalam kasus besar yang ia tangani. Bukti-bukti rekayasa muncul entah dari mana. Rekaman suara, transfer uang, semuanya disusun untuk menjatuhkannya. Di kantor kejaksaan, ia dipanggil untuk diperiksa. “Arunika Prameswari, Anda diberhentikan sementara dari jabatan hingga kasus ini selesai,” ujar atasannya dingin. Arunika mencoba membela diri. “Saya tidak bersalah! Itu semua rekayasa! Seseorang sedang menjebak saya!” Namun tak ada yang mendengarkan. Nama baiknya tercemar dalam sekejap. Media menyudutkannya, masyarakat mencibir, bahkan beberapa rekan kerjanya menjauh. Tak berhenti di situ, penyidik menyita aset-aset keluarga Prameswari dengan alasan penyelidikan. Rumah yang dulu hangat kini dipasangi garis polisi. Rekening bank dibekukan. Arunika hanya tersisa dengan beberapa pakaian dan sejumlah uang tunai seadanya. Setiap hari ia harus membayar biaya rumah sakit Farel yang membengkak. Mesin, obat, perawatan intensif itu semua menelan jutaan rupiah setiap harinya. Suatu malam, ia duduk di bangku rumah sakit, memandangi adiknya yang terbaring dengan alat bantu napas. Matanya kosong, tubuhnya gemetar. “Kakak janji bakal jagain kamu, Rel… tapi gimana caranya kalau semuanya dirampas begini?” air matanya jatuh tanpa henti. Perawat masuk, menyerahkan tagihan terbaru. Jumlahnya membuat Arunika hampir pingsan. “Kami mohon, Mbak. Kalau pembayaran tidak dilanjutkan, manajemen terpaksa mempertimbangkan menghentikan beberapa fasilitas perawatan.” Arunika terdiam, tubuhnya kaku. Kalimat itu terasa seperti vonis mati. Di malam hari Arunika berjalan gontai di koridor rumah sakit. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar karena kurang tidur. Beberapa orang berbisik-bisik sambil meliriknya. Nama baiknya yang dulu bersinar kini hancur lebur. Ia berhenti di depan jendela besar, menatap gelapnya langit malam. Tetes air hujan menempel di kaca, sama seperti air matanya yang tak henti jatuh. “Kalau memang dunia ingin menghancurkan aku… silakan,” bisiknya getir. “Tapi jangan ambil Farel. Jangan dia…” Dalam hati, Arunika tahu: ia butuh uang. Uang dalam jumlah besar. Cepat. Apapun caranya. Dan di titik paling rapuh itulah, benih takdir mulai berputar. Arunika yang terjebak tanpa pekerjaan, tanpa harta, dan dengan beban biaya rumah sakit mencekik. Dalam keputusasaan, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: “Apakah aku harus menjual diriku pada iblis untuk menyelamatkan adikku?”Fajar baru saja menyapu langit ketika Arunika terbangun. Ia merasa seperti tidak tidur sama sekali. Pandangannya buram, tubuhnya kaku, tetapi pikirannya berputar tajam. Hari ini adalah hari yang ditentukan Rakha. Hari di mana ia harus membuktikan bahwa ia pantas menjadi “bayangan” yang diminta. Di cermin, wajahnya tampak pucat. Ia menarik napas panjang dan memaksa diri merias wajah agar terlihat segar. “Farel, demi kamu,” gumamnya, suara nyaris tak terdengar. Di halte bus menuju kantor Maheswara Group, Arunika menekan ponselnya berkali-kali, membaca ulang pesan instruksi singkat dari Rakha: “Dokumen rapat internal. Ambil sebelum jam dua. Sembunyikan rapi. Jangan tinggalkan jejak.” Tak ada kata tambahan. Bahkan tanda titik pun tidak. Namun kata-kata singkat itu cukup membuat jantungnya berpacu. Ia mencoba mengatur strategi. Bagian keamanan kantor terkenal ketat. Di setiap pintu ada akses kartu magnetik, dan ruang rapat hanya bisa dimasuki staf inti. Arunika mengingat letak lema
Arunika memandangi langit-langit kamarnya yang gelap. Jarum jam terus berdetak, menembus kesunyian malam. Matanya lelah, tapi otaknya terus bekerja tanpa henti. Katakata Rakha masih bergema, menusuk seperti pisau dingin: “Buktikan dirimu. Kalau gagal, Farel yang menanggung akibatnya.” Ia menggenggam bantal erat-erat. Hatinya berperang. Satu sisi ingin menyerah, berhenti dari semua permainan berbahaya ini. Tapi sisi lain mengingat wajah pucat Farel yang terbaring di ranjang rumah sakit, dengan berbagai alat medis yang hanya bisa tetap menyala jika biaya terus dibayar. “Farel…” bisiknya lirih, air mata menggenang di sudut mata. “Kakak harus kuat. Kakak nggak boleh gagal.” Malam itu, Arunika sama sekali tidak tidur. Pagi harinya, tubuhnya terasa berat. Kantung matanya terlihat jelas, meskipun ia sudah berusaha menutupinya dengan bedak tipis. Saat tiba di kantor Maheswara Group, langkahnya goyah, tapi ia memaksakan senyum ramah pada rekan-rekan kerja. Arvan sudah duduk di meja kerjany
Pagi pertama Arunika memasuki gedung Maheswara Group terasa asing, seakan semua mata menimbang-nimbang kehadirannya. Gedung itu menjulang megah, dinding kaca berkilau memantulkan matahari yang baru naik. Orang-orang berbaju formal lalu-lalang dengan langkah cepat, penuh percaya diri, seolah setiap detik waktu mereka bernilai emas. Arunika berdiri di depan pintu putar, menarik napas panjang. Bajunya sederhana: blus putih dan rok hitam selutut, penampilan khas sekretaris. Tetapi hatinya berdebar jauh lebih keras daripada penampilannya yang tenang. Tas kecil di tangannya terasa berat—bukan karena isinya, melainkan karena beban rahasia yang kini ia bawa. Seseorang mendekat. “Arunika?” Arunika menoleh. Seorang pria muda dengan senyum ramah berdiri di hadapannya. Postur tinggi, wajah teduh, kemeja biru yang dipadukan dasi berwarna hitam. Senyum itu seketika memecah ketegangan. “Nama saya Arvan Maheswara,” katanya sambil mengulurkan tangan. Arunika menelan ludah. Jadi inilah kakak yang
Malam itu vila keluarga Maheswara tampak lebih mencekam daripada biasanya. Angin laut yang berembus dari kejauhan membawa aroma asin yang bercampur dengan ketegangan dalam dada Arunika. Mobil hitam yang menjemputnya berhenti tepat di halaman.Sopir itu tidak banyak bicara; hanya satu kalimat dingin yang ia lontarkan, “Tuan muda sudah menunggu.” Arunika menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Rasanya jantungnya berdentum lebih keras daripada deru mesin mobil. Uang yang sudah diberikan Rakha kemarin memang berhasil menahan biaya rumah sakit Farel untuk sementara, tetapi ia tahu itu tidak cukup. Semua ini bukan sekadar bantuan itu adalah ikatan.Dan malam ini, ikatan itu akan diresmikan. Rakha menunggunya di ruang kerja lantai dua vila. Lampu gantung besar di langit-langit hanya menyala setengah, membuat ruangan itu lebih banyak bayangan daripada cahaya. Rakha duduk di balik meja kayu besar, rapi dalam jas gelapnya, menatapnya dengan sorot mata yang dingin, sorot mata seorang p
Suara monitor di ruang ICU berdenting pelan, ritmis, seolah jadi pengingat betapa rapuhnya nyawa seseorang.Arunika duduk di kursi besi yang dingin, menatap wajah pucat adiknya, Farel, yang masih terbaring koma.Sejak malam itu, malam penuh darah yang merenggut orang tua mereka, Farel tidak pernah membuka matanya lagi. Arunika menggenggam tangan adiknya erat. “Bertahanlah, Rel. Kakak nggak akan biarin kamu pergi. Apa pun yang terjadi.” Namun, tekad yang ia ucapkan dengan suara bergetar terasa begitu rapuh di hadapan kenyataan. Amplop cokelat yang tadi pagi diberikan pihak rumah sakit masih terselip di tasnya. Ia sudah membaca isinya berulang kali, tapi kalimat itu tetap menusuk seperti pisau. “Jika dalam tujuh hari tidak ada pembayaran, layanan perawatan akan dihentikan.” Arunika tahu artinya: jika ia tidak menemukan uang sebesar itu, Farel akan kehilangan kesempatan untuk tetap hidup. Ia mencoba segala cara. Menghubungi kerabat jauh yang bahkan jarang ditemuinya. Mengetuk pintu
Hujan masih deras ketika moncong senjata itu terarah tepat ke wajah Arunika. “Jangan bergerak,” ulang pria bertopeng itu dengan nada dingin. Arunika membeku, tubuhnya gemetar. Pelukannya pada Farel semakin erat, seakan bisa melindungi adiknya dari maut. Nafasnya tercekat. Di kepalanya hanya ada satu kalimat: aku tidak boleh mati, Farel harus hidup… Dor! Suara tembakan memecah udara. Arunika berteriak spontan, menutup tubuh Farel dengan dirinya. Tapi alih-alih rasa sakit, ia mendengar suara logam jatuh ke tanah. Pria bertopeng itu merintih tertahan—bahunya ditembak seseorang dari arah lain.Arunika menoleh dengan cepat. Dari balik kegelapan hujan, sosok tetangganya, Pak Jaya, muncul dengan senapan tua di tangan. Wajahnya penuh keberanian meski tubuhnya basah kuyup. “Cepat lari, Nika!” teriaknya. Pria bertopeng itu mendesis marah. Ia melangkah mundur, lalu melarikan diri ke arah gang sempit. Hujan menelan bayangannya hingga hilang dari pandangan. Arunika nyaris roboh karena leg