LOGINDor!
Suara tembakan lain memecah malam, tapi bukan berasal dari pistol pria bertopeng itu. Arunika tersentak. Alih-alih merasakan peluru menembus tubuhnya, ia melihat si penyerang terhuyung mundur sambil memegang bahunya. Darah merembes dari sela-sela jarinya. Dari ujung jalan, di bawah sorotan lampu teras, berdiri Pak Jaya, tetangganya, dengan senapan berburu tua di tangannya yang gemetar.
“Pergi kau dari sini, bedebah!” teriak pria tua itu.
Si penyerang mendesis marah. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melarikan diri, bayangannya cepat ditelan oleh gang sempit dan derasnya hujan.
Napas Arunika kembali, namun langsung tergantikan oleh kepanikan yang lebih besar. “Pak! Farel, Pak! Tolong adik saya!”
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti selamanya. Arunika duduk di kursi belakang mobil tua Pak Jaya, memeluk tubuh Farel yang semakin dingin. Ia terus menekan luka di dada adiknya, membisikkan kata-kata penyemangat yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri. “Bertahan, Rel. Kakak di sini. Jangan tinggalkan kakak.”
Di Instalasi Gawat Darurat, semuanya berlangsung cepat. Para perawat mengambil alih Farel, mendorongnya di atas ranjang menuju ruang operasi. Arunika hanya bisa menatap pintu yang tertutup rapat itu, tangannya yang berlumuran darah terkepal erat. Setiap detik penantian terasa seperti satu jam penyiksaan.
Akhirnya, seorang dokter keluar. “Kami berhasil menstabilkannya,” ujar dokter itu dengan wajah lelah. “Dia kehilangan banyak darah dan beberapa organ dalamnya terluka. Dia selamat, tapi… untuk saat ini dia dalam keadaan koma. Kami tidak tahu kapan dia akan sadar.”
Kaki Arunika lemas. Ia jatuh terduduk di kursi tunggu. Farel hidup. Di tengah lautan duka, setitik harapan itu bersinar. Tapi harapan itu terasa begitu rapuh.
Pemakaman ayah dan ibunya berlangsung beberapa hari kemudian di tengah gerimis yang tak kunjung usai. Arunika berdiri seperti patung di depan dua gundukan tanah yang masih basah. Matanya kering, air matanya seakan sudah habis terkuras. Di sana, ia berjanji dalam hati, Aku akan menjaganya. Aku akan melakukan apa pun untuk Farel.
Namun, takdir sepertinya belum selesai dengannya. Bencana berikutnya datang bukan dengan suara tembakan, melainkan lewat layar kaca. Saat sedang duduk di lobi rumah sakit, wajahnya tiba-tiba muncul di berita televisi. Sebuah judul besar terpampang di bawah fotonya: “TERLIBAT KASUS SUAP, JAKSA ARUNIKA PRAMESWARI DIPERIKSA.”
Dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar. Orang-orang mulai berbisik, menunjuk ke arahnya. Panggilan dari atasannya datang tak lama kemudian: ia diberhentikan sementara. Keesokan harinya, rekening banknya dibekukan. Rumahnya disegel. Dalam sekejap, ia menjadi paria.
Pukulan terakhir datang dari seorang perawat yang mendekatinya dengan wajah simpatik namun tegas. Ia menyodorkan selembar kertas. Tagihan biaya perawatan Farel. Jumlah nol di belakang angka itu membuat kepala Arunika pusing.
“Maaf, Mbak,” kata perawat itu pelan. “Jika tidak ada pembayaran dalam tiga hari, pihak manajemen mungkin akan mempertimbangkan untuk memindahkan adik Mbak dari ruang ICU.”
Kalimat itu adalah vonis mati. Dengan tangan gemetar, Arunika berjalan ke meja administrasi, mencoba membayar dengan sisa uang di kartunya. “Maaf, Bu. Kartunya ditolak.”
Hancur. Arunika berjalan gontai keluar dari rumah sakit, tak tentu arah. Hujan sudah reda, menyisakan udara malam yang dingin dan basah. Ia tak punya apa-apa lagi. Tak ada harapan.
Saat itulah sebuah sedan hitam legam berhenti tanpa suara di sampingnya. Kaca jendela yang gelap turun perlahan, menampakkan sesosok pria berwajah tegas dengan tatapan setajam elang. Pria itu menatap lurus ke arahnya, menilai kerapuhannya.
“Kau terlihat seperti butuh tumpangan, Jaksa.”
Arunika kembali ke mejanya dengan langkah goyah. Ruangan kantor lantai 27 itu terasa dingin dan terlalu sunyi. Di genggamannya, kotak beludru hitam itu seperti membakar telapak tangannya, berat bukan karena bobotnya, melainkan karena arti yang dikandungnya. Ia duduk perlahan, membuka kotak itu sekali lagi—di dalamnya, pena perak elegan dengan ukiran halus memantulkan cahaya lampu meja.Untuk sebagian orang, itu hanya alat tulis.Namun bagi Arunika, itu adalah pengingat dari tiga hal:kebaikan Arvan, dosa kebohongannya, dan ikatan rapuh yang kini bisa hancur kapan saja.Ia menarik napas panjang. Bagian dari dirinya ingin segera memasukkan pena itu jauh ke dalam laci bawah—di tempat gelap, tersembunyi, aman dari mata siapa pun. Terutama dari Rakha. Namun ia tahu itu tak mungkin. Arvan memberikannya bukan untuk disembunyikan—melainkan dipakai. Ditampilkan. Ditunjukkan bahwa ia menerimanya.Dengan tangan gemetar, Arunika meletakkan pena itu di tempat pulpen, di antara bolpoin murahan dan
Selama tiga hari, benteng es di antara Arunika dan Arvan tidak mencair. Profesionalisme dingin yang diterapkan Arvan adalah sebuah siksaan sunyi. Arunika bekerja dengan efisiensi robotik, setiap interaksi singkat dengan atasannya terasa seperti goresan di atas luka yang masih baru. Ia merindukan kehangatan Arvan yang dulu, dan membenci dirinya sendiri karena merindukannya.Pada hari keempat, Arvan memanggilnya ke ruangannya di sore hari. Arunika masuk dengan perasaan tegang, siap menerima perintah atau tugas baru. Namun, Arvan justru memberi isyarat agar ia duduk di kursi tamu sementara pria itu sendiri bersandar di tepi mejanya, menghapus jarak formal di antara mereka."Arunika," mulainya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan terdengar lelah dan bingung. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian di rumah sakit. Ada sesuatu yang tidak masuk akal."Arunika hanya diam, menunggu."Di ruanganku hari itu, aku melihat seorang wanita yang ketakutan," lanjut Arvan, matanya menatap Ar
Keesokan harinya, udara di kantor terasa setipis es. Kehangatan yang dulu selalu terpancar dari Arvan kini lenyap, digantikan oleh profesionalisme yang dingin dan berjarak. Dia berbicara pada Arunika hanya jika diperlukan, nadanya sopan namun datar. Arunika merasa seperti hantu di mejanya sendiri, kehadirannya diakui namun tidak lagi dirasakan.Pukul sepuluh pagi, interkom di mejanya berbunyi.“Arunika, ke ruangan saya sekarang.” Suara Arvan terdengar tanpa emosi.Jantung Arunika terasa seperti jatuh ke perut. Inilah saatnya. Dengan langkah yang terasa berat, ia masuk ke kantor Arvan. Pria itu menutup pintu di belakangnya, dan suara klik pelan dari kunci itu terdengar seperti awal dari sebuah persidangan.Arvan tidak duduk di kursi kebesarannya. Ia bersandar di tepi mejanya, menyilangkan tangan di dada, membuatnya sejajar dengan Arunika. Sebuah gestur yang seharusnya mengurangi jarak, namun justru terasa lebih mengintimidasi.“Saya tidak akan berbasa-basi, Arunika,” mulainya, matanya
Saat langkah kaki Arvan menghilang di ujung koridor, cengkeraman Rakha di lengan Arunika mengendur. Ia menatap Arunika, bukan dengan amarah, melainkan dengan kepuasan yang dingin. Senyum kejam itu kembali terukir di wajahnya.“Lihat?” bisiknya, seolah mereka adalah komplotan yang baru saja berhasil menjalankan rencana. “Pangeranmu tidak sesempurna yang kau kira. Sedikit tekanan saja sudah cukup untuk membuatnya retak.”Arunika menarik lengannya, merasa jijik. “Ini semua rencanamu,” katanya lirih.“Tentu saja,” jawab Rakha enteng. “Dan kau memainkan peranmu dengan sempurna.” Ia memberi isyarat dengan kepalanya. “Ayo pulang. Pertunjukan sudah selesai.”Perjalanan kembali ke penthouse terasa lebih menyesakkan dari sebelumnya. Arunika duduk diam, pikirannya berpacu, memutar ulang kalimat dingin Arvan: “Saya rasa kita perlu bicara… Hanya kita berdua.” Peringatan itu menggema di kepalanya, jauh lebih menakutkan daripada ancaman fisik Rakha. Ini adalah ancaman penghakiman, dan ia tidak punya
Waktu seakan berhenti di lobi rumah sakit yang ramai itu. Suara pengumuman dan langkah kaki orang-orang mendadak terasa jauh, menjadi latar bagi drama sunyi yang sedang berlangsung di antara tiga orang. Arunika bisa merasakan tatapan Arvan yang tajam, sebuah tatapan yang beralih dari cengkeraman posesif Rakha di sikunya, ke wajahnya yang pucat pasi, lalu berakhir pada senyum kemenangan yang tipis di bibir adiknya. Di mata Arvan yang biasa hangat itu, Arunika kini melihat sesuatu yang baru: kebingungan yang perlahan berubah menjadi kekecewaan yang menusuk. Ia ingin menarik lengannya, berteriak bahwa ini semua tidak seperti yang terlihat, tapi cengkeraman Rakha terasa seperti baja. Ia lumpuh. Rakha adalah yang pertama bergerak, seolah ia adalah sutradara dari pertunjukan ini. Ia melepaskan lengan Arunika dengan gerakan lambat yang disengaja, lalu melangkah maju mendekati Arvan, memasang senyum palsu yang menawan. “Arvan, kakakku tersayang,” sapanya, na
Perjalanan taksi menuju rumah sakit terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Setiap meter yang ditempuh, napas Arunika terasa semakin sesak. Lobi rumah sakit, tempat yang seharusnya menjadi gerbang harapan, kini telah diubah Rakha menjadi medan perang pribadinya. Tempat di mana ia akan memamerkan kekuasaannya, tepat di depan hidung kebaikan Arvan.Saat Arunika melangkah masuk ke lobi yang ramai, matanya langsung menemukan Rakha. Pria itu tidak berusaha berbaur. Ia berdiri di dekat pilar marmer, menjulang di antara keluarga pasien yang cemas dan staf yang sibuk. Dengan setelan mahalnya yang tanpa cela, ia tampak seperti serigala yang tersesat di antara kawanan domba. Kehadirannya begitu kuat dan mengintimidasi hingga orang-orang secara naluriah memberinya ruang.Dengan langkah berat, Arunika mendekatinya. Wajahnya pucat, matanya menghindari tatapan Rakha.“Kau terlambat dua menit,” desis Rakha, suaranya rendah namun tajam, cukup untuk didenga







