LOGINPagi itu, Berlin tampak berbeda. Seluruh kota seperti terselimuti dalam keheningan lembut. Salju pertama turun semalam, membungkus trotoar, atap rumah, dan pepohonan dengan putih yang bersih dan tenang. Dari jendela apartemennya, Amara menatap butiran salju yang masih turun perlahan, seperti hujan mimpi yang terlalu pelan untuk dihentikan.
Ini adalah kali pertama ia menyaksikan salju turun langsung. Ia menggenggam cangkir teh hangat, mengenakan sweater rajut abu-abu dan kaus kaki wol. Dalam diam, ia tersenyum kecil. Ajaib rasanya, melihat sesuatu yang selama ini hanya ada di film dan buku, kini nyata di depan mata.
Ponselnya berbunyi.
Leo:
Kamu sudah lihat salju pertama? Aku tahu tempat yang bagus untuk menikmatinya. Mau ikut?Amara tak langsung menjawab. Tapi setelah beberapa menit berpikir dan menggigit bibirnya sendiri, ia mengetik:
Di mana dan jam berapa?***
Dua jam kemudian, mereka bertemu di depan sebuah kafe kecil di Prenzlauer Berg, sebuah kawasan yang tenang dan artsy di timur laut Berlin. Jalan-jalannya penuh bangunan tua yang telah direnovasi, toko buku lokal, dan galeri seni tersembunyi. Salju di sini belum sepenuhnya menginjak tanah—masih murni, masih seperti halaman kosong.
Leo menunggu di luar kafe dengan dua gelas cokelat panas dan senyum yang membuat pipinya yang biasanya dingin jadi sedikit lebih hangat. “Kau datang,” katanya.
Amara menerima gelas itu. “Aku butuh alasan untuk keluar hari ini.”
“Dan aku butuh alasan untuk tidak sendirian.”
Mereka berjalan menyusuri taman kecil yang dipenuhi bangku kayu dan jalur bersalju. Anak-anak bermain lempar bola salju, anjing-anjing kecil berlari mengejar tuannya, dan aroma kayu bakar dari rumah-rumah sekitar membuat suasana terasa seperti dari negeri dongeng.
“Aku suka tempat ini,” kata Amara.
“Aku juga. Ini salah satu dari sedikit sudut kota yang tidak menilaimu dari siapa keluargamu.”
Amara menoleh. “Kamu sering merasa dihakimi?”
Leo tertawa kecil. “Kamu tidak tahu seberapa sering. Setiap kali aku melangkah ke ruangan, orang sudah punya ekspektasi. Kalau aku ramah, dibilang pencitraan. Kalau diam, dibilang sombong. Tidak ada ruang bagiku untuk jadi manusia biasa.”
Amara mengangguk pelan. “Itu pasti berat.”
Leo menatapnya lama. “Tapi saat bersamamu, aku merasa biasa saja. Dan anehnya, itu menyenangkan.”
Hati Amara sedikit bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi datang dengan kejujuran yang langka.
Mereka duduk di bangku taman, diam sejenak menikmati putih yang mengelilingi mereka. Di kejauhan, lonceng gereja berbunyi pelan.
“Waktu kecil,” kata Amara tiba-tiba, “aku sering berpura-pura merasakan salju turun di atas genting rumah kami. Padahal kami tinggal di kota kecil yang panas sepanjang tahun. Tapi aku membayangkannya—salju, jendela berembun, dan seseorang duduk bersamaku di samping.”
Leo menoleh. “Dan sekarang kamu benar-benar merasakannya.”
Amara hanya diam menunduk, menatap cokelat panas yang mulai dingin di tangannya. “Mungkin aku takut kalau semuanya terlalu indah. Seperti mimpi yang sebentar lagi akan hilang saat terbangun.”
“Kalau ini mimpi, aku ingin jadi orang yang terus membuatmu tertidur,” ucap Leo pelan.
Amara tertawa pelan, lalu diam. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada suara selain desau angin dan tawa anak-anak dari kejauhan. Tapi di antara mereka, ada sesuatu yang tumbuh. Bukan hanya rasa suka yang ringan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—koneksi yang sulit dijelaskan.
Mendadak, Amara bicara lagi. “Apa kamu pernah benar-benar jatuh cinta?”
Leo butuh waktu sebelum menjawab. “Aku pernah… merasa tertarik. Tapi belum pernah sampai benar-benar ingin seseorang tinggal dalam hidupku, apa pun risikonya.”
Mereka saling menatap lagi. Dan saat salju turun sedikit lebih deras, Leo mengulurkan tangan ke arah Amara, tidak memaksa, hanya menawarkan.
Amara menatapnya sejenak, lalu menyambut tangan itu dengan senyum dibibirnya, tak ada pelukan dan tak ada ciuman. hanya genggaman tangan sebagai tanda kehangatan dan kenyamanan yang perlahan tumbuh diantara keduanya.
Dan mereka duduk begitu saja di sana—tangan saling menggenggam di tengah salju pertama musim dingin, di antara sunyi kota Berlin yang terasa begitu hidup dalam hati mereka.
Suasana kampus seakan berubah menjadi arena bisikan. Di koridor panjang yang biasanya dipenuhi tawa, kini setiap langkah Elena diiringi lirikan dan bisik lirih yang menusuk. Sebagian menatapnya dengan penasaran, sebagian lain dengan sinis.“Katanya Axel meninggalkan gala demi dia…”“Celeste sampai memutuskan kontrak sponsor, loh…”“Gila, gadis itu berani banget menentang keluarga Celeste.”Elena mendengar semuanya, tapi ia berjalan tanpa memperlambat langkah. Buku catatan di tangannya menjadi tameng diam yang melindunginya dari suara-suara jahat itu. Ia tahu rumor itu bukan sekadar gosip, Celeste yang menyebarkannya.Celeste Van Heeren. Mahasiswi kaya raya pewaris yayasan donor kampus, pemil
Langit Munich sore itu berwarna keperakan, seolah menyatu dengan gedung-gedung tua yang berjajar di sekitar aula konferensi internasional. Di dalam ruangan besar penuh peserta dari berbagai negara, Elena berdiri di atas panggung dengan jas putih, papan presentasi di belakangnya berisi data kompleks tentang sistem energi berkelanjutan yang dikembangkan dari sisa proyek Aetheris.Suara Elena lembut tapi tegas, seperti nada yang terlatih dari keberanian dan pengalaman. “Kami percaya bahwa sumber energi masa depan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral pada bumi.”Kalimat itu menggema, memantul ke dinding marmer aula, membuat beberapa kepala menoleh kagum. Namun di antara kerumunan penonton, ada sepasang mata yang menatapnya dengan cara berbeda — bukan sekadar bangga, melainkan penuh perasaan yang sulit disembunyikan. Axel.Ia datang tanpa undangan resmi. Meninggalkan gala besar yang diselenggarakan oleh keluarga Celeste, dengan alasan mendadak pada sekretaris
Musim gugur Berlin datang perlahan, daun-daun mulai memudar menjadi kuning pucat, udara terasa lebih tajam, dan jalanan kampus dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Tapi di antara keseharian yang tampak biasa itu, ada sesuatu yang berubah.Nama Elenakini terpampang di papan pengumuman internasional: Finalist of Global Energy Future, Munich. representing Humboldt Universität zu Berlin.Sorak sorai terdengar di aula kampus pagi itu. Beberapa mahasiswa menyalaminya, dosen-dosen tersenyum bangga. Namun di balik senyum Elena, ada tatapan tenang yang tak banyak bicara. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar kompetisi. ini adalah ujian, baik bagi dirinya maupun bagi hubungan yang diam-diam ia jaga bersama Axel.Di bengkel laboratorium tem
Sinar lampu studio memantul di kaca gedung Fakultas Teknik Berlin saat Axel keluar dari ruang rapat yayasan. Langkahnya berat, pikirannya berisik. Di tangannya masih tergenggam proposal riset yang baru saja disetujui Celeste, proyek “Neural Quantum Core,” yang sebenarnya adalah modifikasi dari rancangan awal Elena.Ia tahu Celeste tidak mencuri secara langsung. Ia hanya “menyesuaikan arah proyek yayasan.” Namun di balik kata-kata manis itu, Axel bisa merasakan aroma manipulasi yang halus tapi tajam.“Bagus sekali idemu, Axel,” ucap Celeste tadi di ruang rapat, dengan senyum yang kini terus terngiang di kepalanya. “Tapi agar proyek ini layak didanai, aku rasa kita harus menyesuaikannya sedikit… kau tahu, demi nama baik yayasan.”“Menyesuaikan,” pikir Axel kesal. Itu bukan penyesuaian, itu pengambilalihan.Hari mulai sore ketika ia berjalan melintasi taman kampus. Dari kejauhan, ia melihat Elena sedang duduk di bawah pohon maple, laptop terbuka di pangkuannya, dikelilingi tumpukan kerta
Dua minggu berlalu sejak pesta di rumah keluarga Reinhardt, dan gosip tentang kedekatan Axel dan Celeste belum juga mereda. Bahkan kini media kampus menulis artikel opini tentang “Dua Otak Brilian yang Akan Mengubah Dunia Sains Jerman.”Judul itu, disertai foto mereka berdua sedang duduk dalam seminar, menjadi perbincangan hangat di kantin dan aula fakultas.Namun di tengah semua hiruk pikuk itu, Elena memilih diam bukan karena kalah, melainkan karena ia sedang menyusun langkahnya sendiri.Ia tidak membalas dengan komentar, tidak mencari pembelaan, tidak membuat drama. Ia justru memusatkan energinya pada kompetisi nasional “Future Energy Challenge” ajang prestisius tempat mahasiswa seluruh Jerman mempresentasikan riset energi bersih. Proyek yang ia kembangkan bersama tim kecilnya, Aurora Cell, merupakan teknologi penyimpanan energi berbasis fotosintesis buatan.Namun siapa sangka, dewan juri kompetisi itu kini disponsori oleh Yayasan Reinhardt tempat Celeste duduk sebagai dewan kehorm
Sejak konferensi di Zurich, nama Celeste makin sering terdengar di lorong kampus. Ia bukan sekadar mahasiswi baru biasa, ia adalah pewaris yayasan riset terbesar di Berlin, cucu dari industrialis legendaris Jürgen Reinhardt. Kehadirannya membawa aura yang membuat banyak orang ingin dekat, tapi juga hati-hati untuk tidak menyinggungnya.Dan tentu saja, gosip paling hangat yang beredar di antara mahasiswa adalah kedekatannya dengan Axel mahasiswa paling jenius sekaligus paling tertutup di fakultas teknik.Axel tak pernah benar-benar mencari perhatian. Namun sejak Celeste mulai sering muncul dalam acara riset, atau sekadar “menitipkan berkas” ke laboratorium tempat Axel bekerja, gosip itu tumbuh dengan cepat. Ia tahu bagaimana media sosial kampus bekerja, satu foto, satu senyum, bisa memicu badai yang sulit dikendalikan.Namun masalahnya, keluarga Axel memiliki hubungan lama dengan keluarga Celeste. Ibu Axel, Irene Krauss pernah bekerja sama dengan keluarga Reinhardt dalam proyek pengemba







