Inicio / Romansa / Cinta Dalam Riuh Salju / Bab 5: Senyap di Balik Salju

Compartir

Bab 5: Senyap di Balik Salju

Autor: K.A. Helmy
last update Última actualización: 2025-06-11 20:36:36

Pagi itu, Berlin tampak berbeda. Seluruh kota seperti terselimuti dalam keheningan lembut. Salju pertama turun semalam, membungkus trotoar, atap rumah, dan pepohonan dengan putih yang bersih dan tenang. Dari jendela apartemennya, Amara menatap butiran salju yang masih turun perlahan, seperti hujan mimpi yang terlalu pelan untuk dihentikan.

Ini adalah kali pertama ia menyaksikan salju turun langsung. Ia menggenggam cangkir teh hangat, mengenakan sweater rajut abu-abu dan kaus kaki wol. Dalam diam, ia tersenyum kecil. Ajaib rasanya, melihat sesuatu yang selama ini hanya ada di film dan buku, kini nyata di depan mata.

Ponselnya berbunyi.

Leo:

Kamu sudah lihat salju pertama? Aku tahu tempat yang bagus untuk menikmatinya. Mau ikut?

Amara tak langsung menjawab. Tapi setelah beberapa menit berpikir dan menggigit bibirnya sendiri, ia mengetik:

Di mana dan jam berapa?

***

Dua jam kemudian, mereka bertemu di depan sebuah kafe kecil di Prenzlauer Berg, sebuah kawasan yang tenang dan artsy di timur laut Berlin. Jalan-jalannya penuh bangunan tua yang telah direnovasi, toko buku lokal, dan galeri seni tersembunyi. Salju di sini belum sepenuhnya menginjak tanah—masih murni, masih seperti halaman kosong.

Leo menunggu di luar kafe dengan dua gelas cokelat panas dan senyum yang membuat pipinya yang biasanya dingin jadi sedikit lebih hangat. “Kau datang,” katanya.

Amara menerima gelas itu. “Aku butuh alasan untuk keluar hari ini.”

“Dan aku butuh alasan untuk tidak sendirian.”

Mereka berjalan menyusuri taman kecil yang dipenuhi bangku kayu dan jalur bersalju. Anak-anak bermain lempar bola salju, anjing-anjing kecil berlari mengejar tuannya, dan aroma kayu bakar dari rumah-rumah sekitar membuat suasana terasa seperti dari negeri dongeng.

“Aku suka tempat ini,” kata Amara.

“Aku juga. Ini salah satu dari sedikit sudut kota yang tidak menilaimu dari siapa keluargamu.”

Amara menoleh. “Kamu sering merasa dihakimi?”

Leo tertawa kecil. “Kamu tidak tahu seberapa sering. Setiap kali aku melangkah ke ruangan, orang sudah punya ekspektasi. Kalau aku ramah, dibilang pencitraan. Kalau diam, dibilang sombong. Tidak ada ruang bagiku untuk jadi manusia biasa.”

Amara mengangguk pelan. “Itu pasti berat.”

Leo menatapnya lama. “Tapi saat bersamamu, aku merasa biasa saja. Dan anehnya, itu menyenangkan.”

Hati Amara sedikit bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi datang dengan kejujuran yang langka.

Mereka duduk di bangku taman, diam sejenak menikmati putih yang mengelilingi mereka. Di kejauhan, lonceng gereja berbunyi pelan.

“Waktu kecil,” kata Amara tiba-tiba, “aku sering berpura-pura merasakan salju turun di atas genting rumah kami. Padahal kami tinggal di kota kecil yang panas sepanjang tahun. Tapi aku membayangkannya—salju, jendela berembun, dan seseorang duduk bersamaku di samping.”

Leo menoleh. “Dan sekarang kamu benar-benar merasakannya.”

Amara hanya diam menunduk, menatap cokelat panas yang mulai dingin di tangannya. “Mungkin aku takut kalau semuanya terlalu indah. Seperti mimpi yang sebentar lagi akan hilang saat terbangun.”

“Kalau ini mimpi, aku ingin jadi orang yang terus membuatmu tertidur,” ucap Leo pelan.

Amara tertawa pelan, lalu diam. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada suara selain desau angin dan tawa anak-anak dari kejauhan. Tapi di antara mereka, ada sesuatu yang tumbuh. Bukan hanya rasa suka yang ringan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—koneksi yang sulit dijelaskan.

Mendadak, Amara bicara lagi. “Apa kamu pernah benar-benar jatuh cinta?”

Leo butuh waktu sebelum menjawab. “Aku pernah… merasa tertarik. Tapi belum pernah sampai benar-benar ingin seseorang tinggal dalam hidupku, apa pun risikonya.”

Mereka saling menatap lagi. Dan saat salju turun sedikit lebih deras, Leo mengulurkan tangan ke arah Amara, tidak memaksa, hanya menawarkan.

Amara menatapnya sejenak, lalu menyambut tangan itu dengan senyum dibibirnya, tak ada pelukan dan tak ada ciuman. hanya genggaman tangan sebagai tanda kehangatan dan kenyamanan yang perlahan tumbuh diantara keduanya.

Dan mereka duduk begitu saja di sana—tangan saling menggenggam di tengah salju pertama musim dingin, di antara sunyi kota Berlin yang terasa begitu hidup dalam hati mereka.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 69– Saat Dunia Tak Lagi Mengejar

    Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 68 – Langkah-Langkah Terakhir

    Musim semi datang lebih awal di Istanbul tahun itu. Pepohonan di taman Gülhane mulai mekar, burung-burung melintasi langit biru yang bersih, dan aroma kopi hangat dari kedai-kedai jalanan menguar lebih kuat dari biasanya.Di sebuah bangku taman yang menghadap ke selat Bosphorus, Elias duduk dengan Mira di sampingnya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tak membaca, melainkan menatap anak-anak kecil yang berlarian di antara bunga-bunga tulip.Mira tersenyum, menyenderkan kepala di bahu Elias. “Aku selalu suka tempat ini. Tenang, tapi hidup.”Elias membalas senyum itu. “Kau tahu, setiap kali aku melihat anak-anak itu... aku pikir mungkin Liesel pernah membayangkan hal seperti ini juga. Dunia yang tak lagi dibentuk oleh sistem, tapi oleh harapan kecil yang tumbuh tanpa tekanan.”Mira mengangguk. “Dan sekarang, dunia seperti itu bukan cuma mungkin. Ia sedang tumbuh—perlahan.”Sejak kehancuran Proyek Hawa dan lenyapnya sistem Liesel, dunia telah bergerak ke arah yang berbeda.

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 67 – Surat Terakhir dari Claudia

    Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 66 – Hawa yang Terlupakan

    Vila Dr. Nikolaus Varn berdiri megah di antara tebing-tebing curam Laut Hitam, dikelilingi tembok batu tinggi dan penjagaan bersenjata. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, namun pantulan lampu inframerah di jendela kaca membuktikan bahwa tempat itu aktif—dan sangat terlindungi.Elias dan Mira menyusup di tengah malam, dibantu oleh kontak lama Liesel, seorang ahli elektronik tua bernama Emre, yang telah lama tinggal di wilayah pesisir itu sebagai nelayan.“Tempat itu bukan vila,” kata Emre saat mereka memantau dari perahu kecil. “Itu laboratorium. Bawah tanahnya dua tingkat. Kau tak akan masuk tanpa akses biometrik.”Elias menatap layar pemindai. “Tapi aku punya sesuatu yang bisa mereka baca.”Mira mengerutkan dahi. “Kau akan memancing mereka?”“Jika Liesel benar... jika aku adalah kunci, maka mungkin—sistem keamanan mereka akan membukakan pintu bagiku.”Dan benar saja.Begitu Elias mendekati pagar otomatis dari sisi timur, sinyal keamanan memindainya dalam diam. Pintu besi berder

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 65 – Kota yang Melupakan

    Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 64 – Proyek Adam

    Cahaya biru pucat dari layar hologram memenuhi ruangan apartemen itu. Leo duduk diam, tatapannya terpaku pada serangkaian file yang muncul satu per satu setelah chip Liesel berhasil terbaca.Folder utama bertajuk: Projekt Adam.Amara duduk di sampingnya, memegang secangkir teh yang sudah mendingin. Ia tidak bicara. Tak ingin mengganggu proses Leo yang tampak seperti sedang menghadapi bayangan hidupnya sendiri.Leo membuka file pertama.Sebuah video muncul—Liesel duduk di ruang kerjanya, jauh lebih muda dari yang Leo ingat. Rambutnya lebih hitam, kulitnya lebih cerah, dan matanya… tetap setajam logika murni.“Hari ini aku memulai tahap awal Projekt Adam,” suara Liesel mengisi ruangan. “Bukan sebagai sistem pengganti, tapi sebagai bentuk terakhir dari penyesuaian genetis dan psikis manusia. Jika dunia gagal memahami Eulysium, maka aku akan ciptakan seseorang—satu manusia—yang tak hanya mampu memahami sistem… tapi menjadi penyeimbangnya.”Leo menegang.Liesel menatap ke kamera, seolah be

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status