MasukHujan mengguyur Berlin sejak sore, membuat kaca jendela apartemen Amara penuh titik-titik air. Ia sedang memeriksa ulang naskah presentasinya saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang baru ia simpan tiga hari lalu.
Leo:
Kamu sibuk Sabtu malam ini? Aku ada undangan ke acara perayaan peluncuran startup temanku. Bukan acara keluarga kok. Cuma... sedikit dunia atas. Datanglah, kalau kamu ingin lihat sisi lain Berlin.Amara membaca pesan itu dua kali. Ia tahu jenis pesta yang dimaksud Leo. Dunia atas. Dunia di mana orang-orang bicara sambil memegang gelas kristal, tertawa pelan, dan saling bersaing lewat harga gaun atau merk jam tangan.
Ia menatap bajunya—sederhana dan kasual. Dunia Leo terasa seperti mimpi mahal yang bukan miliknya.
Namun entah kenapa, jarinya membalas:
Di mana dan jam berapa?***
Sabtu malam, Amara berdiri di depan gedung tua yang disulap menjadi klub eksklusif di kawasan Mitte. Musik elektronik berdentum samar dari balik dinding, dan deretan mobil mewah berkilau di bawah lampu jalan yang remang. Ia mengenakan gaun hitam selutut dengan jaket panjang wol, sepatu boot sederhana, dan rambut yang ia ikat separuh.
Gugup, ya. Tapi juga penasaran.
Leo menyambutnya di pintu dengan senyum lebar. Ia mengenakan jas abu gelap dan syal ringan, terlihat dewasa dan elegan. Saat matanya menangkap sosok Amara, ia mengangguk puas.
“Kamu datang,” katanya, menawarkan lengan.
Amara menerima lengan itu ragu-ragu. “Aku merasa seperti masuk ke dunia film.”
“Ya, ini semacam film. Tapi kamu bebas menjadi tokoh utama malam ini.”
Begitu mereka masuk, Amara langsung disambut oleh cahaya hangat, arsitektur industrial yang modern, dan lautan wajah glamor. Musik mengalun dari sudut ruangan, dan meja-meja tinggi dipenuhi canape serta minuman. Orang-orang saling mengenal—pebisnis muda, pewaris nama besar, anak duta besar, dan selebriti baru. Namun semua tampak… dingin.
Leo memperkenalkan Amara sebagai teman kuliahnya. Beberapa orang hanya mengangguk singkat, sebagian lainnya langsung menatap gaunnya dari ujung ke ujung. Ia merasa seperti sedang dinilai diam-diam.
Di tengah suasana itu, Leo tetap di sampingnya. Melindungi. Menyapa orang secukupnya, lalu kembali fokus pada Amara.
“Kamu baik-baik saja?” bisiknya, ketika mereka duduk di sofa kecil menghadap balkon kaca.
Amara mengangguk. “Ini... dunia yang asing. Tapi kamu tidak asing.”
Leo tersenyum. “Kamu juga tetap jadi kamu. Itu luar biasa.”
Sebelum Amara menjawab, seorang gadis berambut platinum datang menghampiri. Tubuhnya ramping dengan gaun merah mencolok dan senyum yang terlalu lebar.
“Leo,” sapanya dengan suara mendayu. “Kukira kamu takkan datang malam ini. Dan... siapa ini?”
Leo berdiri. “Ini Amara, temanku dari kampus.”
Gadis itu menatap Amara seolah menilai harga pakaiannya. “Menarik. Leo jarang mengajak ‘teman kampus’ ke tempat seperti ini. Kau pasti istimewa.”
Nada bicaranya manis, tapi ada racun yang tersembunyi.
Amara tersenyum sopan. “Saya biasa saja. Mungkin karena saya tidak peduli dengan siapa yang punya saham paling besar di ruangan ini.”
Gadis itu terdiam, alisnya naik sedikit.
Leo tertawa ringan. “Amara selalu punya cara elegan untuk mematahkan kesombongan.”
Setelah gadis itu pergi dengan langkah tak suka, Leo menatap Amara lama.
“Kamu tidak takut ya menantang mereka?”
Amara menatapnya balik. “Yang menakutkan itu kalau hidup kita dikendalikan penilaian orang lain.”
Leo mengangguk. “Itu alasan kenapa aku butuh kamu malam ini.”
“Hanya malam ini?”
Leo diam sesaat, lalu berkata pelan, “Aku butuh seseorang yang bisa mengingatkan siapa aku. Di balik nama, harta, dan warisan.”
Hening mengalun di antara mereka. Di luar, hujan kembali turun. Namun di dalam ruangan itu, ada dua orang yang duduk lebih dekat dari sebelumnya—bukan karena kemewahan di sekitar, tapi karena rasa yang perlahan tumbuh.
Sebelum pulang, Leo menggenggam tangan Amara sebentar tanpa ciuman hanya genggaman tangan. Hangat. Tenang.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak tiba di Berlin, Amara merasa: mungkin… ia tidak terlalu jauh dari dunia Leo. Mungkin, mereka sedang membangun jembatan—bukan sekadar pertemanan, tapi sesuatu yang belum berani mereka sebut.
Suasana kampus seakan berubah menjadi arena bisikan. Di koridor panjang yang biasanya dipenuhi tawa, kini setiap langkah Elena diiringi lirikan dan bisik lirih yang menusuk. Sebagian menatapnya dengan penasaran, sebagian lain dengan sinis.“Katanya Axel meninggalkan gala demi dia…”“Celeste sampai memutuskan kontrak sponsor, loh…”“Gila, gadis itu berani banget menentang keluarga Celeste.”Elena mendengar semuanya, tapi ia berjalan tanpa memperlambat langkah. Buku catatan di tangannya menjadi tameng diam yang melindunginya dari suara-suara jahat itu. Ia tahu rumor itu bukan sekadar gosip, Celeste yang menyebarkannya.Celeste Van Heeren. Mahasiswi kaya raya pewaris yayasan donor kampus, pemil
Langit Munich sore itu berwarna keperakan, seolah menyatu dengan gedung-gedung tua yang berjajar di sekitar aula konferensi internasional. Di dalam ruangan besar penuh peserta dari berbagai negara, Elena berdiri di atas panggung dengan jas putih, papan presentasi di belakangnya berisi data kompleks tentang sistem energi berkelanjutan yang dikembangkan dari sisa proyek Aetheris.Suara Elena lembut tapi tegas, seperti nada yang terlatih dari keberanian dan pengalaman. “Kami percaya bahwa sumber energi masa depan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral pada bumi.”Kalimat itu menggema, memantul ke dinding marmer aula, membuat beberapa kepala menoleh kagum. Namun di antara kerumunan penonton, ada sepasang mata yang menatapnya dengan cara berbeda — bukan sekadar bangga, melainkan penuh perasaan yang sulit disembunyikan. Axel.Ia datang tanpa undangan resmi. Meninggalkan gala besar yang diselenggarakan oleh keluarga Celeste, dengan alasan mendadak pada sekretaris
Musim gugur Berlin datang perlahan, daun-daun mulai memudar menjadi kuning pucat, udara terasa lebih tajam, dan jalanan kampus dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Tapi di antara keseharian yang tampak biasa itu, ada sesuatu yang berubah.Nama Elenakini terpampang di papan pengumuman internasional: Finalist of Global Energy Future, Munich. representing Humboldt Universität zu Berlin.Sorak sorai terdengar di aula kampus pagi itu. Beberapa mahasiswa menyalaminya, dosen-dosen tersenyum bangga. Namun di balik senyum Elena, ada tatapan tenang yang tak banyak bicara. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar kompetisi. ini adalah ujian, baik bagi dirinya maupun bagi hubungan yang diam-diam ia jaga bersama Axel.Di bengkel laboratorium tem
Sinar lampu studio memantul di kaca gedung Fakultas Teknik Berlin saat Axel keluar dari ruang rapat yayasan. Langkahnya berat, pikirannya berisik. Di tangannya masih tergenggam proposal riset yang baru saja disetujui Celeste, proyek “Neural Quantum Core,” yang sebenarnya adalah modifikasi dari rancangan awal Elena.Ia tahu Celeste tidak mencuri secara langsung. Ia hanya “menyesuaikan arah proyek yayasan.” Namun di balik kata-kata manis itu, Axel bisa merasakan aroma manipulasi yang halus tapi tajam.“Bagus sekali idemu, Axel,” ucap Celeste tadi di ruang rapat, dengan senyum yang kini terus terngiang di kepalanya. “Tapi agar proyek ini layak didanai, aku rasa kita harus menyesuaikannya sedikit… kau tahu, demi nama baik yayasan.”“Menyesuaikan,” pikir Axel kesal. Itu bukan penyesuaian, itu pengambilalihan.Hari mulai sore ketika ia berjalan melintasi taman kampus. Dari kejauhan, ia melihat Elena sedang duduk di bawah pohon maple, laptop terbuka di pangkuannya, dikelilingi tumpukan kerta
Dua minggu berlalu sejak pesta di rumah keluarga Reinhardt, dan gosip tentang kedekatan Axel dan Celeste belum juga mereda. Bahkan kini media kampus menulis artikel opini tentang “Dua Otak Brilian yang Akan Mengubah Dunia Sains Jerman.”Judul itu, disertai foto mereka berdua sedang duduk dalam seminar, menjadi perbincangan hangat di kantin dan aula fakultas.Namun di tengah semua hiruk pikuk itu, Elena memilih diam bukan karena kalah, melainkan karena ia sedang menyusun langkahnya sendiri.Ia tidak membalas dengan komentar, tidak mencari pembelaan, tidak membuat drama. Ia justru memusatkan energinya pada kompetisi nasional “Future Energy Challenge” ajang prestisius tempat mahasiswa seluruh Jerman mempresentasikan riset energi bersih. Proyek yang ia kembangkan bersama tim kecilnya, Aurora Cell, merupakan teknologi penyimpanan energi berbasis fotosintesis buatan.Namun siapa sangka, dewan juri kompetisi itu kini disponsori oleh Yayasan Reinhardt tempat Celeste duduk sebagai dewan kehorm
Sejak konferensi di Zurich, nama Celeste makin sering terdengar di lorong kampus. Ia bukan sekadar mahasiswi baru biasa, ia adalah pewaris yayasan riset terbesar di Berlin, cucu dari industrialis legendaris Jürgen Reinhardt. Kehadirannya membawa aura yang membuat banyak orang ingin dekat, tapi juga hati-hati untuk tidak menyinggungnya.Dan tentu saja, gosip paling hangat yang beredar di antara mahasiswa adalah kedekatannya dengan Axel mahasiswa paling jenius sekaligus paling tertutup di fakultas teknik.Axel tak pernah benar-benar mencari perhatian. Namun sejak Celeste mulai sering muncul dalam acara riset, atau sekadar “menitipkan berkas” ke laboratorium tempat Axel bekerja, gosip itu tumbuh dengan cepat. Ia tahu bagaimana media sosial kampus bekerja, satu foto, satu senyum, bisa memicu badai yang sulit dikendalikan.Namun masalahnya, keluarga Axel memiliki hubungan lama dengan keluarga Celeste. Ibu Axel, Irene Krauss pernah bekerja sama dengan keluarga Reinhardt dalam proyek pengemba







