Beranda / Romansa / Cinta Dalam Sangkar Rahasia / Bayangan Di balik Surat

Share

Bayangan Di balik Surat

Penulis: Syahhsyy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-03 12:16:36

Langit sore itu menggantung rendah di atas Florence. Awan awan tipis seperti helaian cat air yang belum mengering, seolah mewakili isi kepala Averine yang juga belum selesai. Tangannya gemetar saat membuka lipatan surat yang ia temukan di balik lukisan tua peninggalan Camilla.

Tulisan tangan itu... milik ibunya.

Untuk Benedetta.

Ia tidak menunggu Darian kali ini. Tidak bicara ke siapa pun. Ia tahu nama itu. Pernah mendengarnya dibisikkan ibunya dalam tidur yang tak sadar dulu di masa Averine masih gadis belasan tahun, duduk di lantai, mendengarkan napas ibunya yang tinggal hitungan.

Kaki Averine membawa tubuhnya menyusuri sisi Florence yang lebih tua, lebih sempit. Lorong kecil menuju distrik seni tua seperti melipat waktu. Ia tidak membawa pengawal. Tidak membawa ponsel. Hanya alamat yang tertulis samar di belakang surat.

Via del Fiore, no. 14.

Di balik kaca toko tua, sebuah plakat berdebu masih tertempel, [Studio Benedetta]. Pintu kayu tak terkunci.

Averine mendorongnya perlahan. Bel berdenting pelan. Bau kayu lembap dan minyak cat langsung menyergap. Lampu-lampu kuning temaram menggantung dari langit-langit rendah, memantulkan bayangan panjang di dinding penuh lukisan sketsa tak selesai.

"Permisi?" suaranya terdengar asing di ruangan sunyi itu.

Tak ada jawaban. Hanya derit lantai kayu di bawah langkahnya sendiri. Ia menatap satu lukisan kecil seorang anak perempuan dalam bayangan gelap, matanya menatap lurus, setengah takut.

Kemudian terdengar suara langkah dari belakang.

“Jangan sentuh apa pun,” suara itu datar, tenang, perempuan.

Averine membalik cepat. Seorang wanita berambut putih, dengan apron penuh noda cat berdiri di ambang pintu dalam.

“Benedetta?” tanya Averine nyaris tak percaya.

Wanita itu menatapnya dari kepala hingga kaki. “Kamu anaknya Camilla.”

Averine mengangguk perlahan. Ia membuka surat. “Ibuku… menitipkan ini untuk Anda.”

Benedetta menatap surat itu tanpa bergerak. Tapi tidak meraihnya. “Kamu tak seharusnya datang sendiri.”

“Aku tidak sendiri,” suara berat muncul dari arah pintu.

Averine menoleh cepat. Darian berdiri di sana. Jasnya kusut. Napasnya sedikit terengah. Ia jelas mengikuti dari jauh dan baru muncul ketika rasa curiga menguat.

“Kau membuntutiku?” desis Averine.

“Aku melindungimu,” jawab Darian pendek. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan. "Tempat ini bisa jadi tidak aman."

Benedetta mengangkat alis. “Tempat ini tak butuh pelindung. Hanya butuh keberanian untuk melihat yang tak ingin dilihat.”

Darian tidak menjawab. Matanya tertuju ke lukisan lukisan tak berbingkai yang menutupi dinding. Satu di antaranya lukisan Camilla tapi berbeda dari semua yang pernah ia lihat. Lebih kasar. Lebih kelam.

Averine maju satu langkah. “Tolong… katakan apa hubungan Anda dengan ibu saya.”

Benedetta menatapnya lama. “Kamu harus melihatnya sendiri.” Ia berjalan ke sisi ruangan, menarik tuas kecil di lantai, dan membuka papan kayu. Sebuah tangga tua menuju ruang bawah tanah terbuka. Bau debu dan kertas tua menyeruak.

“Apa itu aman?” tanya Darian cepat.

“Tergantung siapa yang masuk duluan,” kata Benedetta pelan.

Averine tidak menunggu izin. Ia turun lebih dulu. Tangga berderit di bawah langkah sepatunya. Darian menyusul, matanya waspada, tubuhnya menunduk rendah di lorong sempit.

Di ruang bawah tanah itu, lemari arsip kayu berdiri berjajar. Foto foto, lukisan kecil, surat, dan potongan kain disimpan rapi. Averine berjalan mendekat ke satu papan dinding. Di sana, tempelan foto tua menunjukkan Camilla duduk berdampingan dengan Benedetta. Di tengah mereka: seorang anak kecil. Perempuan. Berambut ikal.

“Siapa itu?” tanya Averine nyaris berbisik.

“Anak yang ditinggalkan,” jawab Benedetta.

“Camilla hanya punya aku.”

“Camilla hanya sempat mengakui kamu.”

Averine melangkah mundur satu langkah, hampir mengenai rak kayu. Tangannya mencari sandaran dan menyentuh kotak logam kecil. Bunyi denting keras memecah keheningan.

“Jangan sentuh itu!” seru Benedetta.

Terlambat.

Kotak itu jatuh. Isinya berserakan di lantai: surat-surat, potongan kain, dan satu amplop tua dengan segel Camilla yang retak.

Averine menunduk, reflek memungutnya. Tapi lututnya goyah. Ia tersandung sisi lemari.

Darian bergerak cepat. Ia menangkap tubuh Averine sebelum sempat menyentuh lantai. Tangannya mengelilingi pinggang Averine dengan mantap. Dada mereka hampir bersentuhan. Napas mereka saling menyentuh, hangat, dekat, terlalu dekat.

Untuk satu detik yang terasa lebih panjang dari seharusnya, tidak ada yang bicara.

Darian tidak langsung melepaskan. Dan Averine tidak langsung menolak.

Ia bisa merasakan denyut nadi pria itu di balik lengan kemeja, dan entah kenapa, jantungnya ikut menyamakan irama.

Tatapan mereka bertemu bukan karena saling menantang, tapi karena sama sama terkejut. Seolah baru sadar, ini bukan tentang rahasia, tapi tentang seseorang yang tak lagi terasa asing.

Averine menegakkan tubuhnya perlahan, tapi tubuhnya belum sepenuhnya stabil. Darian tetap menahan satu sisi bahunya.

“Apa kamu selalu… mengikutiku diam diam?” tanyanya pelan, nyaris seperti gumaman orang yang tak yakin harus marah atau bersyukur.

Darian tidak menjawab. Tapi tidak menghindar. Tangan kirinya masih menahan bahunya.

“Karena aku tahu kamu tidak akan berhenti, bahkan kalau itu membahayakanmu.”

Averine menarik diri, cepat, seperti sadar terlalu lama tenggelam dalam momen yang tak seharusnya ada. Ia berbalik, mengumpulkan surat surat yang berceceran. Tangannya berhenti pada satu lembaran kecil. Tulisan itu...

[Maafkan aku. Kamu akan tumbuh tanpa tahu. Tapi kamu akan mengerti saat waktunya tiba.]

Di pojoknya, tertulis:

Untuk E.

Averine memucat. Ia menyodorkan surat itu ke Benedetta. “Siapa E?”

Benedetta menatapnya dengan berat. “Bukan waktunya.”

“Tapi ini milik ibuku!”

“Dan kamu belum siap.”

“Siap untuk apa?”

Benedetta tidak menjawab. Tapi Darian menunduk pelan ke arah surat.

“Eira,” gumamnya lirih.

Averine menoleh cepat. “Kamu tahu nama itu?”

Darian menghela napas, tatapannya tidak pada siapa-siapa. “Aku pernah dengar... di arsip Camilla. Tapi aku pikir itu hanya catatan teknis.”

“Kenapa kamu tidak pernah bilang?” Suara Averine meninggi, nadanya gemetar.

“Karena waktu itu, aku belum tahu kamu akan sejauh ini.”

Mata Averine basah, tapi bukan karena lemah. Ia mengatupkan rahangnya. Ia menatap Benedetta, lalu Darian. Lalu tangannya meremas surat itu pelan, tapi tidak merobeknya.

Ketika mereka kembali ke atas, matahari telah tenggelam. Florence tampak seperti lukisan yang belum selesai: oranye memudar, langit membiru dalam kabut tipis.

Averine tidak bicara sepanjang perjalanan keluar. Benedetta hanya berdiri di pintu, tidak memanggil, tidak mengantar.

Tepat di ambang jalan, sebelum mereka berpisah arah, Darian berkata tanpa menoleh, “Kamu tidak sendirian di cerita ini, Averine.”

Averine tetap berjalan. Tapi langkahnya tidak secepat tadi. Seolah ia membiarkan satu kalimat itu menempel di punggungnya.

Darian menyusul dua langkah di belakang. “Averine.”

Ia berhenti, tapi tidak menoleh.

“Aku tahu kamu marah. Tapi kamu bukan satu satunya yang kehilangan.”

Averine menoleh perlahan. Wajahnya datar, tapi matanya nyala. “Kamu bukan bagian dari ini.”

“Aku tahu surat-surat Camilla. Aku tahu galeri galeri yang dia tutup. Dan aku tahu Benedetta pernah menolak penawaran dari ayahku karena hanya satu orang yang dipercaya Camilla kamu.”

Averine diam. Helaan napasnya tipis.

Darian mendekat. “Aku tidak butuh kamu percaya padaku. Tapi kalau kamu melangkah sendirian lagi, aku akan tetap muncul. Bahkan kalau kamu membenciku karena itu.”

Tatapan mereka bertemu lagi. Kali ini lebih lama. Tidak ada yang mencoba menang.

Malam mulai turun saat mereka kembali ke hotel tua tempat keluarga Almanda menginap selama di Florence. Langkah mereka pelan, tapi tidak ragu. Di depan pintu lobi, Averine berhenti.

“Aku akan baca isi surat itu malam ini,” katanya tanpa menatap Darian.

Darian hanya mengangguk. “Kalau kamu mau, aku bisa mendampingimu.”

“Tidak,” jawab Averine cepat. “Tapi kalau besok aku hilang lagi, kamu boleh mengikutiku.”

Satu sudut bibir Darian naik. Tapi ia tidak tertawa.

Averine masuk lebih dulu. Darian berdiri di depan pintu, menunggu lampu lobi menelan sosok Averine sepenuhnya.

Di dalam kamarnya, Averine menyalakan lampu meja. Ia membuka surat perlahan, jari jarinya menyentuh pinggiran kertas tua yang mulai menguning.

[Benedetta, kalau surat ini sampai padamu, berarti aku gagal menjaga semuanya tetap sederhana. Aku tak bisa memberi nama pada keduanya. Aku hanya bisa meninggalkan satu pesan. Yang satu akan dijaga, yang satu akan menyamar. Tapi aku berharap kelak mereka bertemu tanpa membenci satu sama lain. Dan kalau mereka jatuh cinta pada tempat yang sama, biarkan tempat itu menjadi rumah terakhir namaku bukan pusara.]

Tangannya berhenti di akhir kalimat.

Tidak ada tanda tangan. Hanya huruf “C.”

Di balik lembar surat, satu kata tertulis miring:

“Maaf.”

Averine menutup surat itu. Ia tidak menangis. Tapi matanya tak bergerak dari meja selama beberapa menit, seolah menunggu seseorang mengetuk pintu dan berkata bahwa semuanya hanya eksperimen seni bukan kenyataan.

Tapi pintu tidak diketuk. Dan kenyataan tidak melunak.

Pagi harinya, Darian sudah menunggu di taman belakang hotel, berdiri di bawah pohon cemara. Saat Averine muncul, ia hanya mengangkat alis.

“Kopi?” tawar Darian.

“Tidak. Tapi kalau kamu tahu ke mana kita harus pergi hari ini, aku ikut.”

Darian mengangguk. “Aku tahu satu tempat lagi yang bisa menjelaskan siapa Eira.”

Averine menatapnya lekat. “Eira?”

“Aku tidak yakin. Tapi kalau aku benar… maka cerita ibumu belum setengahnya selesai.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Waktu tidak bisa menang

    Malam itu berakhir dalam pelukan hangat, dua napas yang tak mau lepas.Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya rasa cukup.Pagi harinya, mereka sarapan di balkon hotel sambil menatap laut yang bergelombang kecil. Tidak ada agenda terburu-buru Darian hanya ingin menikmati setiap menit sebelum kembali ke rumah. Sesekali, mereka tertawa mengingat tingkah Calia, lalu saling meyakinkan bahwa satu hari “kabur” seperti ini harus jadi rutinitas.Menjelang siang, mereka membereskan barang. Darian menggandeng tangan Averine saat melewati lobi hotel, sama seperti dulu waktu mereka pertama kali pergi berlibur berdua. Mobil melaju santai di jalan pulang, dengan musik pelan dan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin sore masuk.Saat sampai di rumah, Calia langsung berlari dari pintu, memeluk keduanya sambil menceritakan semua permainan yang ia lakukan bersama Eira. Averine menatap Darian di atas kepala putri mereka tatapan singkat tapi penuh arti kita pulang, dan kita utuh.Malam itu mereka tidur

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Satu Hari di Luar Dunia

    Malam itu berakhir dalam keheningan hangat. Averine tidak tahu berapa lama mereka berbaring seperti itu kepalanya bertumpu di dada Darian, napas pria itu teratur, dan tangannya sesekali mengusap punggung Averine tanpa sadar. Bukan untuk menenangkan, bukan pula untuk memulai sesuatu, hanya… menjaga. Dan entah kenapa, ia menyukai cara Darian diam.Esok paginya, Averine bangun lebih dulu. Atau mungkin Darian memang sengaja membiarkannya merasa demikian. Cahaya matahari pagi merayap pelan dari celah tirai, sementara kicau burung terdengar dari luar jendela. Darian masih memejamkan mata, tapi Averine tahu ia belum benar-benar tidur. Gerakan napasnya sedikit lebih dalam tanda khas saat pria itu sedang berpura-pura.“Pagi,” ucap Averine sambil menyenggol bahunya pelan.Darian membuka mata, menyipit sedikit karena cahaya. “Pagi. Kamu udah berapa lama bangun?”“Baru… dua puluh menit,” jawabnya, meski sebenarnya mungkin lebih lama. Ia sengaja diam, menikmati rasa nyaman yang sudah lama tidak da

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pembicaraan di tengah malam

    Malam itu, rumah sudah sepenuhnya tenggelam dalam keheningan. Hujan yang sejak sore tidak berhenti kini tinggal gerimis, menetes lembut di luar jendela kamar. Cahaya lampu tidur berwarna kuning temaram menciptakan bayangan hangat di dinding, seakan ingin menjaga ketenangan ruangan itu.Darian duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Di pangkuannya ada kain kompres yang baru ia ganti, masih hangat dari air yang tadi ia tuangkan ke baskom. Tangannya bergerak hati-hati saat menempelkan kompres itu ke dahi Averine. Suhu tubuhnya memang sudah turun dari siang tadi, tapi Darian tetap ingin memastikan.“Masih panas sedikit,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Averine hanya menggumam, matanya setengah terpejam. Ia terlalu nyaman untuk benar-benar menjawab.Darian menarik napas panjang. Seharian ini ia mondar-mandir, menyiapkan teh jahe, mengecek suhu setiap dua jam, memaksa Averine makan bubur walau hanya beberapa se

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Averine Sakit

    Hujan sudah berhenti semalaman, tapi udara di rumah itu masih dingin. Sisa-sisa genangan di halaman belakang memantulkan cahaya abu-abu dari langit pagi.Averine bangun dengan kepala berat dan tenggorokan yang kering. Seluruh badannya terasa lemas, seolah semua energi hilang saat ia tidur. Malam sebelumnya, ia memang terlalu lama berada di bawah hujan bersama Darian dan Calia. Waktu itu rasanya menyenangkan, tapi sekarang tubuhnya menagih harga.Ia berusaha duduk di tepi tempat tidur, namun baru saja mengangkat kepala, Darian yang masih setengah tertidur di kursi sebelah langsung tersentak.“Kamu mau kemana?” tanyanya cepat sambil bangkit.“Aku… mau lihat Calia. Dia udah bangun belum?” suaranya serak, bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.Darian mengerutkan dahi, berjalan mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Averine. “Panas banget,” gumamnya. “Enggak. Kamu enggak boleh kemana-mana. Tidur lagi.”“Aku cuma—

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Menari di tengah hujan

    Pagi itu, aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi ruang makan. Calia duduk di kursinya dengan wajah penuh konsentrasi, tangannya sibuk mengoleskan mentega ke roti seperti seorang chef kecil yang sedang mempersiapkan menu sarapan spesial. Semalam, ia sudah membantu Averine menyiapkan makan malam dengan sedikit kekacauan yang membuat mereka bertiga tertawa sampai perut sakit.Darian duduk di ujung meja, mengamati pemandangan itu. Averine memotong buah, sementara Calia tak berhenti bercerita tentang mimpinya yang katanya “sangat ajaib” ia bertemu seekor kelinci yang bisa berbicara.“Ayah, kamu percaya nggak kelinci bisa ngomong?” tanya Calia tiba-tiba, matanya berbinar.Darian tersenyum, menyandarkan punggung di kursi. “Kalau di dunia Calia, semua bisa. Bahkan hujan pun bisa tertawa.”Averine terkekeh, lalu menyuapkan sepotong stroberi ke mulut anak itu. “Kalau hujan bisa tertawa, mungkin hari ini kita bakal dengar,” ujarnya, setengah menggoda.

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pelukan pagi

    Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai, mengguratkan garis tipis ke sprei putih yang sedikit kusut. Suara lembut seperti bisikan memecah keheningan.“Mama… Papa…”Calia sudah bangun lebih dulu. Rambutnya masih berantakan, pipinya hangat seperti roti yang baru keluar dari oven. Ia berdiri di samping ranjang, menatap mereka dengan mata yang setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin dekat.Darian mengerjap pelan sebelum tersenyum. Ia menunduk, meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya ke atas ranjang. Tanpa banyak kata, Calia menyelip di antara mereka, kecil namun terasa seperti pusat dari seluruh dunia.Averine melingkarkan lengannya, merasakan bagaimana tubuh Darian di sisi lain ikut mendekat. Mereka bertiga terbungkus dalam kehangatan yang sederhana, namun sarat makna. Aroma sabun dari kulit Darian bercampur dengan wangi khas Calia yang masih menyisakan bau bantal tidurnya.Dari ambang pintu, Eira berdiri terdiam. Ada sesu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status