Udara di kamar mereka pekat dan tak bergerak. Florence tertidur di balik jendela besar, tapi di dalam ruangan itu, waktu seolah enggan berlalu. Averine masih terjaga, berbaring di sisi ranjang yang dingin, punggungnya menghadap Darian.
Tidak ada suara, kecuali detak jarum jam dan napas teratur dari pria yang kini secara hukum adalah suaminya. Tapi tidak secara hati. Ia memejamkan mata. Tapi pikirannya terus bekerja, menyusun ulang semua fragmen. Benedetta Sketsa Kunci tua Lukisan tak bertanda Nama Camilla yang bersembunyi di antara warna warna. Lalu… sebuah bisikan memecah malam. Pelan. Serak. Hampir seperti desahan mimpi. “Camilla…” Averine membeku. Ia menoleh perlahan. Darian tertidur di sampingnya, wajahnya tenang, tapi keningnya berkerut. Seperti sedang bertarung dengan sesuatu di dalam mimpi. Dan dari bibirnya, nama itu terdengar lagi. Lebih jelas. “Camilla… jangan pergi.” Dunia Averine terhenti. Ia duduk perlahan di tepi ranjang. Matanya menatap Darian dengan keterkejutan yang tak bisa segera diterjemahkan. Apakah ini mimpi? Atau kebenaran yang tidak sengaja lolos saat kesadaran Darian lengah? “Siapa kamu baginya…?” bisiknya sendiri. Lucu sekali. Mimpi bisa jujur lebih cepat dari mulut yang terjaga. Pagi datang dengan langit pucat dan angin yang menggigit. Tapi udara di kamar mereka lebih dingin dari itu. Averine sudah berpakaian lengkap, duduk di kursi dekat jendela dengan secangkir teh yang sudah tidak panas lagi. Tatapannya kosong ke luar jendela, tapi pikirannya masih terpaku pada satu nama yang keluar dari mulut suaminya semalam. Camilla. Ibunya. Wanita yang seharusnya hanya dikenang, bukan disebut dengan nada yang begitu… personal. Darian baru bangun. Ia berdiri di depan cermin, mengancing kemejanya. “Kamu bangun lebih dulu?” tanya Darian ringan, nyaris basa basi. Averine tidak menjawab langsung. Ia menyesap tehnya, lalu berkata tanpa menoleh, “Kau memanggil nama ibuku semalam.” Keheningan itu lebih tajam dari teriakan. Darian berhenti mengancing. Diam. Punggungnya tetap menghadap Averine. “Kau bilang… ‘jangan pergi, Camilla.’” Suaranya tenang, tapi mengandung ledakan yang ditahan. Darian menatap pantulan wajahnya di cermin. Lalu pelan pelan, ia menoleh. “Itu hanya mimpi.” Lucu sekali. Mimpi bisa jujur lebih cepat dari mulut yang terjaga. “Mimpi tentang ibu mertuamu?” Averine tertawa kecil, getir. “Atau tentang seseorang yang pernah kamu cintai, tapi tak pernah bisa kamu miliki?” Darian menutup mata sesaat. Lalu berjalan pelan, duduk di kursi seberangnya. Tak terlalu dekat. Tapi cukup untuk bicara dalam bisikan. “Aku tidak akan membela mimpi, Averine. Tapi aku juga tidak akan meminta maaf untuk masa lalu.” Averine menatapnya lurus. “Apa kamu menikahiku karena aku adalah putrinya?” Satu detik. Dua detik. Darian tidak menjawab. “Jawab aku,” desak Averine, suaranya kini bergetar. “Apakah kamu mencintaiku karena aku mirip dia?” Darian menarik napas, berat. “Aku tidak pernah berniat menjadikanmu bayangan siapa pun.” “Itu bukan jawaban.” Air mata mulai menggenang, tapi tidak jatuh. “Kamu bilang kamu ingin menunjukkan kebenaran. Tapi kamu bahkan tidak bisa jujur tentang siapa ibuku bagimu.” Darian menunduk. “Camilla... adalah seseorang yang datang saat aku kehilangan arah. Tapi dia bukan milikku. Dan aku tahu itu.” “Tapi kau mencintainya,” ucap Averine pelan. “Dan itu tidak mengubah kenyataan bahwa sekarang aku bersamamu.” Averine berdiri. “Kalau ini tentang rasa bersalahmu pada masa lalu, jangan ubah aku jadi penebusanmu, Darian. Aku bukan pintu untuk kenangan yang belum selesai.” Ia meraih mantel dan berjalan ke pintu. “Kau mau ke mana?” tanya Darian sambil menahan tangan Averine. Tangannya terasa hangat, terlalu kuat untuk diabaikan tapi terlalu lembut untuk dipaksa. Averine menoleh. Mata mereka bertemu. Ada luka, tapi juga sesuatu yang belum selesai di sana. Ia melepaskan diri, perlahan. Bukan karena ingin pergi. Tapi karena ia belum siap tinggal. “Ke tempat yang tidak ada bayangannya,” jawabnya. “Kalau aku ingin tahu siapa ibuku sebenarnya, maka aku harus menemuinya bukan lewat kamu.” Beberapa jam kemudian, Averine berdiri di ruang kerja tua peninggalan ibunya yang kini nyaris tak pernah dimasuki siapa pun. Rak buku tertutup debu. Kotak kotak dokumen berserakan. Tapi di antara semuanya, ada satu bingkai kecil tergeletak menghadap ke bawah. Ia membaliknya perlahan. Sebuah foto lama. Camilla dan seorang wanita lain. Mereka tertawa. Di belakang mereka, tertulis tulisan tangan: “Kepada Benedetta karena beberapa warisan tidak bisa diwariskan melalui darah.” Averine menatap tulisan itu lama. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa seperti sedang berjalan bukan hanya ke masa lalu ibunya, tapi juga ke masa lalu seseorang yang belum pernah benar benar ia kenal. Bau cat tua dan kertas lembap menyergapnya. Tangannya menyentuh permukaan meja, dingin seperti kenangan yang tak pernah diundang. Ibunya. Dirinya sendiri. Dan pria yang mungkin mencintai keduanya.Malam itu berakhir dalam pelukan hangat, dua napas yang tak mau lepas.Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya rasa cukup.Pagi harinya, mereka sarapan di balkon hotel sambil menatap laut yang bergelombang kecil. Tidak ada agenda terburu-buru Darian hanya ingin menikmati setiap menit sebelum kembali ke rumah. Sesekali, mereka tertawa mengingat tingkah Calia, lalu saling meyakinkan bahwa satu hari “kabur” seperti ini harus jadi rutinitas.Menjelang siang, mereka membereskan barang. Darian menggandeng tangan Averine saat melewati lobi hotel, sama seperti dulu waktu mereka pertama kali pergi berlibur berdua. Mobil melaju santai di jalan pulang, dengan musik pelan dan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin sore masuk.Saat sampai di rumah, Calia langsung berlari dari pintu, memeluk keduanya sambil menceritakan semua permainan yang ia lakukan bersama Eira. Averine menatap Darian di atas kepala putri mereka tatapan singkat tapi penuh arti kita pulang, dan kita utuh.Malam itu mereka tidur
Malam itu berakhir dalam keheningan hangat. Averine tidak tahu berapa lama mereka berbaring seperti itu kepalanya bertumpu di dada Darian, napas pria itu teratur, dan tangannya sesekali mengusap punggung Averine tanpa sadar. Bukan untuk menenangkan, bukan pula untuk memulai sesuatu, hanya… menjaga. Dan entah kenapa, ia menyukai cara Darian diam.Esok paginya, Averine bangun lebih dulu. Atau mungkin Darian memang sengaja membiarkannya merasa demikian. Cahaya matahari pagi merayap pelan dari celah tirai, sementara kicau burung terdengar dari luar jendela. Darian masih memejamkan mata, tapi Averine tahu ia belum benar-benar tidur. Gerakan napasnya sedikit lebih dalam tanda khas saat pria itu sedang berpura-pura.“Pagi,” ucap Averine sambil menyenggol bahunya pelan.Darian membuka mata, menyipit sedikit karena cahaya. “Pagi. Kamu udah berapa lama bangun?”“Baru… dua puluh menit,” jawabnya, meski sebenarnya mungkin lebih lama. Ia sengaja diam, menikmati rasa nyaman yang sudah lama tidak da
Malam itu, rumah sudah sepenuhnya tenggelam dalam keheningan. Hujan yang sejak sore tidak berhenti kini tinggal gerimis, menetes lembut di luar jendela kamar. Cahaya lampu tidur berwarna kuning temaram menciptakan bayangan hangat di dinding, seakan ingin menjaga ketenangan ruangan itu.Darian duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Di pangkuannya ada kain kompres yang baru ia ganti, masih hangat dari air yang tadi ia tuangkan ke baskom. Tangannya bergerak hati-hati saat menempelkan kompres itu ke dahi Averine. Suhu tubuhnya memang sudah turun dari siang tadi, tapi Darian tetap ingin memastikan.“Masih panas sedikit,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Averine hanya menggumam, matanya setengah terpejam. Ia terlalu nyaman untuk benar-benar menjawab.Darian menarik napas panjang. Seharian ini ia mondar-mandir, menyiapkan teh jahe, mengecek suhu setiap dua jam, memaksa Averine makan bubur walau hanya beberapa se
Hujan sudah berhenti semalaman, tapi udara di rumah itu masih dingin. Sisa-sisa genangan di halaman belakang memantulkan cahaya abu-abu dari langit pagi.Averine bangun dengan kepala berat dan tenggorokan yang kering. Seluruh badannya terasa lemas, seolah semua energi hilang saat ia tidur. Malam sebelumnya, ia memang terlalu lama berada di bawah hujan bersama Darian dan Calia. Waktu itu rasanya menyenangkan, tapi sekarang tubuhnya menagih harga.Ia berusaha duduk di tepi tempat tidur, namun baru saja mengangkat kepala, Darian yang masih setengah tertidur di kursi sebelah langsung tersentak.“Kamu mau kemana?” tanyanya cepat sambil bangkit.“Aku… mau lihat Calia. Dia udah bangun belum?” suaranya serak, bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.Darian mengerutkan dahi, berjalan mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Averine. “Panas banget,” gumamnya. “Enggak. Kamu enggak boleh kemana-mana. Tidur lagi.”“Aku cuma—
Pagi itu, aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi ruang makan. Calia duduk di kursinya dengan wajah penuh konsentrasi, tangannya sibuk mengoleskan mentega ke roti seperti seorang chef kecil yang sedang mempersiapkan menu sarapan spesial. Semalam, ia sudah membantu Averine menyiapkan makan malam dengan sedikit kekacauan yang membuat mereka bertiga tertawa sampai perut sakit.Darian duduk di ujung meja, mengamati pemandangan itu. Averine memotong buah, sementara Calia tak berhenti bercerita tentang mimpinya yang katanya “sangat ajaib” ia bertemu seekor kelinci yang bisa berbicara.“Ayah, kamu percaya nggak kelinci bisa ngomong?” tanya Calia tiba-tiba, matanya berbinar.Darian tersenyum, menyandarkan punggung di kursi. “Kalau di dunia Calia, semua bisa. Bahkan hujan pun bisa tertawa.”Averine terkekeh, lalu menyuapkan sepotong stroberi ke mulut anak itu. “Kalau hujan bisa tertawa, mungkin hari ini kita bakal dengar,” ujarnya, setengah menggoda.
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai, mengguratkan garis tipis ke sprei putih yang sedikit kusut. Suara lembut seperti bisikan memecah keheningan.“Mama… Papa…”Calia sudah bangun lebih dulu. Rambutnya masih berantakan, pipinya hangat seperti roti yang baru keluar dari oven. Ia berdiri di samping ranjang, menatap mereka dengan mata yang setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin dekat.Darian mengerjap pelan sebelum tersenyum. Ia menunduk, meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya ke atas ranjang. Tanpa banyak kata, Calia menyelip di antara mereka, kecil namun terasa seperti pusat dari seluruh dunia.Averine melingkarkan lengannya, merasakan bagaimana tubuh Darian di sisi lain ikut mendekat. Mereka bertiga terbungkus dalam kehangatan yang sederhana, namun sarat makna. Aroma sabun dari kulit Darian bercampur dengan wangi khas Calia yang masih menyisakan bau bantal tidurnya.Dari ambang pintu, Eira berdiri terdiam. Ada sesu