Home / Romansa / Cinta Dalam Sangkar Rahasia / Pernikahan Tanpa Janji

Share

Pernikahan Tanpa Janji

Author: Syahhsyy
last update Last Updated: 2025-07-02 16:05:17

Langit di atas Florence hari itu terlalu cerah, seolah kota tua itu tak tahu bahwa yang sedang berlangsung bukanlah pernikahan dalam arti biasa. Cahaya matahari menembus kaca patri gedung tua tempat akad akan dilangsungkan, menciptakan lukisan cahaya di lantai marmer yang terasa terlalu bersih. Terlalu putih. Terlalu sunyi.

Averine berdiri di depan cermin tinggi di ruang rias, mengenakan gaun pengantin putih tulang yang dipilihkan oleh tim stylist. Tidak ada renda berlebihan. Tidak ada perhiasan mencolok. Semuanya netral, nyaris steril. Seperti dirinya hari ini tanpa cinta, tanpa ragu, hanya satu tujuan yaitu, menyusup ke dalam dunia yang dulu pernah ditinggalkan ibunya.

Ia merapikan bagian kerah gaunnya sendiri. Tidak ada ibunya untuk membantu. Tidak ada bridesmaid. Tidak ada tawa atau air mata kebahagiaan. Hanya suara detak jarum jam yang terasa terlalu keras di antara diamnya ruangan.

"Hari ini bukan tentang cinta," pikirnya. "Ini tentang kebenaran yang harus ditemukan, meski dengan gaun pengantin sekalipun."

Aula pernikahan itu bergema oleh keheningan. Bangunan tua dari abad ke-19 itu dipenuhi lukisan lukisan besar dan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Namun tak ada musik. Tak ada bunga segar. Yang terdengar hanyalah suara lembut lantunan ayat suci yang menggema di sela barisan kursi para undangan.

Darren Almanda duduk di barisan depan. Wajahnya seperti ukiran batu. Datar. Tegas. Tak menunjukkan kebanggaan maupun penyesalan. Ia hanya ingin acara ini selesai, agar reputasi keluarga tetap utuh.

Averine melangkah masuk. Pelan. Mantap. Gaunnya menyentuh lantai marmer yang dingin, langkahnya bergema seperti gema keputusan yang tak bisa ditarik kembali.

Darian berdiri di ujung lorong, mengenakan setelan hitam. Rapi, dingin, tak tergoyahkan. Matanya menangkap mata Averine hanya sejenak. Tak ada senyum. Tak ada tatapan cinta. Hanya pengakuan diam bahwa ini bukan tentang mereka.

Akad dilangsungkan. Kata kata diucapkan. Tanda tangan ditorehkan.

Dan ketika semua selesai, Langit di atas Florence hari itu terlalu cerah, seolah kota tua itu tak tahu bahwa yang sedang berlangsung bukanlah pernikahan dalam arti biasa. Cahaya matahari menembus kaca patri gedung tua tempat akad akan dilangsungkan, menciptakan lukisan cahaya di lantai marmer yang terasa terlalu bersih. Terlalu putih. Terlalu sunyi.

Averine berdiri di depan cermin tinggi di ruang rias, mengenakan gaun pengantin putih tulang yang dipilihkan oleh tim stylist. Tidak ada renda berlebihan. Tidak ada perhiasan mencolok. Semuanya netral, nyaris steril. Seperti dirinya hari ini tanpa cinta, tanpa ragu, hanya satu tujuan: menyusup ke dalam dunia yang dulu pernah ditinggalkan ibunya

Ia merapikan bagian kerah gaunnya sendiri. Tidak ada ibunya untuk membantu. Tidak ada bridesmaid. Tidak ada tawa atau air mata kebahagiaan. Hanya suara detak jarum jam yang terasa terlalu keras di antara diamnya ruangan.

"Hari ini bukan tentang cinta," pikirnya. "Ini tentang kebenaran yang harus ditemukan, meski dengan gaun pengantin sekalipun."

Aula pernikahan itu bergema oleh keheningan. Bangunan tua dari abad ke-19 itu dipenuhi lukisan-lukisan besar dan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Namun tak ada musik. Tak ada bunga segar. Yang terdengar hanyalah suara lembut lantunan ayat suci yang menggema di sela barisan kursi para undangan.

Darren Almanda duduk di barisan depan. Wajahnya seperti ukiran batu. Datar. Tegas. Tak menunjukkan kebanggaan maupun penyesalan. Ia hanya ingin acara ini selesai, agar reputasi keluarga tetap utuh.

Averine melangkah masuk. Pelan. Mantap. Gaunnya menyentuh lantai marmer yang dingin, langkahnya bergema seperti gema keputusan yang tak bisa ditarik kembali.

Darian berdiri di ujung lorong, mengenakan setelan hitam. Rapi, dingin, tak tergoyahkan. Matanya menangkap mata Averine hanya sejenak. Tak ada senyum. Tak ada tatapan cinta. Hanya pengakuan diam bahwa ini bukan tentang mereka.

Di ruang belakang, Averine duduk di sofa panjang, menunggu giliran untuk menandatangani dokumen legalitas pernikahan. Darian masuk beberapa saat kemudian, membawa dua gelas air putih.

"Selamat," katanya datar, duduk di sisi berlawanan.

Averine menatapnya sekilas. "Untuk apa? Pernikahan, atau kesepakatan bisnis yang terselubung?"

Darian menyerahkan pena. "Aku tidak menjanjikan kebahagiaan, Averine. Tapi aku bisa menjanjikan kebenaran."

Ia mengambil pena itu, menandatangani formulir, lalu mengembalikannya tanpa melihat. "Kebenaran sering kali lebih menyakitkan daripada kebohongan. Pastikan kamu siap kalau aku juga mencarinya."

Malam tiba. Mereka masuk ke kamar hotel tempat malam pertama seharusnya menjadi awal baru. Tapi di ruangan ini, tidak ada bunga di ranjang. Tidak ada champagne. Tidak ada lampu remang-remang romantis.

Hanya satu ranjang besar. Dua sisi. Dua tubuh yang asing tapi telah disatukan oleh hukum dan tanda tangan.

Averine duduk di sisi kiri, membuka jepit rambutnya perlahan. Darian berdiri di dekat jendela, membuka dasinya dengan pelan.

“Camilla pernah berkata…” Darian mulai, suaranya datar tapi berat, “…bahwa cinta yang tidak diucapkan akan membusuk dalam diam.”

Averine tak menoleh. Ia menggenggam ujung selimut. “Dan yang diucapkan pun bisa jadi racun, jika ditujukan pada orang yang salah.”

Keheningan meregang di antara mereka. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena terlalu banyak yang tertahan.

Lalu, Darian berjalan ke meja kecil di sisi tempat tidur. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah benda kecil sebuah kunci tua berukir angka Romawi.

Ia meletakkannya di meja, tak menjelaskan asal-usulnya.

“Besok,” katanya, “aku akan menunjukkan sesuatu. Tapi kamu harus datang sendiri. Tanpa siapa pun.”

Averine menatap kunci itu lama, seolah benda kecil itu akan menentukan arah hidupnya setelah hari ini.

"Kalau ini perang, Darian," katanya pelan, "pastikan kamu ada di pihak yang tidak akan berbalik saat aku menggali terlalu dalam."

Darian hanya memandangnya, diam. Tak ada janji. Tak ada penyangkalan. Hanya ketegangan di antara dua orang yang terikat oleh sesuatu yang lebih tua dari cinta—rahasia.

Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi terasa lebih jauh dari dua benua. Tak ada sentuhan. Tak ada kata perpisahan.

Hanya napas masing-masing, pelan dan nyaris tak terdengar, seperti dua hantu yang mengintai masa lalu masing-masing.

Averine menatap langit-langit kamar.

"Pernikahan bukan tempat berlindung," pikirnya, "tapi pintu yang terbuka ke dalam ruang gelap. Dan aku memilih masuk."

para tamu bertepuk tangan pelan. Bukan karena mereka menyaksikan kebahagiaan, tapi karena formalitas sudah terlaksana.

Di ruang belakang, Averine duduk di sofa panjang, menunggu giliran untuk menandatangani dokumen legalitas pernikahan. Darian masuk beberapa saat kemudian, membawa dua gelas air putih.

"Selamat," katanya datar, duduk di sisi berlawanan.

Averine menatapnya sekilas. "Untuk apa? Pernikahan, atau kesepakatan bisnis yang terselubung?"

Darian menyerahkan pena. "Aku tidak menjanjikan kebahagiaan, Averine. Tapi aku bisa menjanjikan kebenaran."

Ia mengambil pena itu, menandatangani formulir, lalu mengembalikannya tanpa melihat. "Kebenaran sering kali lebih menyakitkan daripada kebohongan. Pastikan kamu siap kalau aku juga mencarinya."

Malam tiba. Mereka masuk ke kamar hotel tempat malam pertama seharusnya menjadi awal baru. Tapi di ruangan ini, tidak ada bunga di ranjang. Tidak ada champagne. Tidak ada lampu remang remang romantis.

Hanya satu ranjang besar. Dua sisi. Dua tubuh yang asing tapi telah disatukan oleh hukum dan tanda tangan.

Averine duduk di sisi kiri, membuka jepit rambutnya perlahan. Darian berdiri di dekat jendela, membuka dasinya dengan pelan.

“Camilla pernah berkata…” Darian mulai, suaranya datar tapi berat, “…bahwa cinta yang tidak diucapkan akan membusuk dalam diam.”

Averine tak menoleh. Ia menggenggam ujung selimut.

“Dan yang diucapkan pun bisa jadi racun, jika ditujukan pada orang yang salah.”

Keheningan meregang di antara mereka. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena terlalu banyak yang tertahan.

Lalu, Darian berjalan ke meja kecil di sisi tempat tidur. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah benda kecil sebuah kunci tua berukir angka Romawi. Ia meletakkannya di meja, tak menjelaskan asal usulnya.

“Besok,” katanya, “aku akan menunjukkan sesuatu. Tapi kamu harus datang sendiri. Tanpa siapa pun.”

Averine menatap kunci itu lama, seolah benda kecil itu akan menentukan arah hidupnya setelah hari ini.

"Kalau ini perang, Darian," katanya pelan, "pastikan kamu ada di pihak yang tidak akan berbalik saat aku menggali terlalu dalam."

Darian hanya memandangnya, diam. Tak ada janji. Tak ada penyangkalan. Hanya ketegangan di antara dua orang yang terikat oleh sesuatu yang lebih tua dari cinta rahasia.

Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi terasa lebih jauh dari dua benua. Tak ada sentuhan. Tak ada kata perpisahan. Hanya napas masing masing, pelan dan nyaris tak terdengar, seperti dua hantu yang mengintai masa lalu masing masing.

Averine menatap langit-langit kamar.

"Pernikahan bukan tempat berlindung," pikirnya, "tapi pintu yang terbuka ke dalam ruang gelap. Dan aku memilih masuk."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Rasa yang masih ada

    Pagi datang pelan, disambut suara burung dan sisa-sisa hujan semalam yang masih menempel di kaca jendela. Averine bangun lebih dulu. Rambutnya berantakan, tapi senyumnya lembut. Ia turun pelan-pelan ke dapur, nyalain pemanas air, lalu mulai nyiapin sarapan seadanya. Roti panggang, telur ceplok, dan teh hangat.Tak lama, Darian muncul dengan rambut awut-awutan dan kaus yang sedikit miring. “Wangi banget pagi ini,” katanya sambil nyosor ke dapur.“Kamu cuma bilang gitu kalo lagi laper,” jawab Averine sambil nyodorin piring ke dia.Darian duduk di meja makan, lalu motong rotinya. Eira muncul sebentar, ngucek-ngucek mata, liat sekeliling lalu buru-buru ambil Calia dari boks kecil di ruang tamu.“Aku bawa Calia ke kamarku, ya. Biar kalian bisa ngobrol-ngobrol dulu,” katanya sambil senyum jahil. Mereka cuma ketawa.Mereka makan berdua. Suasananya tenang. Darian sesekali nyolek-nyolek roti Averine, dan Averine balas menyeka remahan dari sud

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pindahan

    Beberapa hari sebelum pindahan, rumah lama terasa seperti museum kecil. Dindingnya penuh lukisan, tumpukan buku seni bersandar di tiap sudut, dan setiap sudut ruangan menyimpan cerita. Averine berjalan pelan dari satu ruangan ke ruangan lain, sesekali berhenti menatap sesuatu terlalu lama.“Masih belum yakin semua ini mau dibawa?” tanya Darian sambil berdiri di tengah ruang tamu, memegang lukisan besar yang setengah dibungkus bubble wrap.Averine mengangguk. “Beberapa... harus ikut. Sisanya, kita tinggalin. Aku nggak mau rumah baru penuh masa lalu.”Eira sedang di dapur, nyuapin Calia sambil sesekali ngoceh sendiri. “Kalo semua yang dari rumah lama ikut, nanti rumah baru nggak punya napas sendiri. Biarin kosong dulu, nanti pelan-pelan diisi.”Sore itu mereka bertiga duduk di lantai ruang keluarga. Tanpa sofa, tanpa meja. Hanya tikar, teh manis, dan setumpuk foto lama. Mereka ketawa lihat gaya rambut Darian waktu kuliah, lalu hening waktu nemu foto

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   tangan yang menyambut

    Tiga minggu setelah Calia lahir, Averine dan Darian akhirnya pulang ke rumah lama mereka. Bukan rumah baru, bukan villa sewa, tapi rumah tua yang dulu terasa kosong dan dingin. Kini, semuanya berubah. Di ruang tamu, ada keranjang bayi. Di dapur, ada tumpukan botol susu yang belum dicuci. Di meja makan, ada buket bunga yang Eira petik sendiri.“Kayaknya rumah ini butuh beradaptasi juga,” kata Darian sambil membawa koper masuk, wajahnya lelah tapi bahagia. “Tiba-tiba aja jadi penuh.”Averine duduk pelan di sofa, menggendong Calia yang tidur pulas. “Aku juga masih belajar,” katanya. Eira muncul dari dapur sambil bawa mangkuk buah. “Aku potongin apel, kalau kamu lapar,” katanya ke Averine.“Ra, kamu tuh kayak suster rumah sakit,” sahut Darian sambil senyum. “Kapan kamu istirahat?”“Aku seneng bantuin. Apalagi liat bayi kayak Calia. Dia kayak… bantal kecil yang bisa napas,” jawab Eira sambil duduk.“Bantal kecil yang bisa napas? Itu pujian atau kamu ngantuk?” tanya Darian.“Dua-duanya,” E

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   kelahiran

    Suara hujan di luar kamar bersalin masih terdengar samar, menyatu dengan detak jantung yang muncul dari monitor di samping ranjang Averine. Malam sudah bergeser ke dini hari. Aroma antiseptik mengambang, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser kecil yang diam-diam dibawa Darian ke ruangan.Averine menggenggam sisi ranjang lebih erat. Kontraksi demi kontraksi datang dengan gelombang tak terduga. Perawat menyeka keringat di dahinya, sementara Darian berdiri di samping, tangannya tak lepas dari jemari istrinya. Tak satu pun dari mereka berbicara banyak keduanya terlalu fokus untuk bertahan.Dan saat momen itu tiba, waktu seolah berhenti. Dalam kepadatan rasa sakit, ketakutan, cinta, dan harapan, terdengarlah suara yang mereka tunggu. Tangisan bayi. Tangisan pertama dari jiwa kecil yang baru menyapa dunia.Averine terisak. Air matanya langsung jatuh, tanpa bisa ditahan. Tangannya bergetar ketika perawat meletakkan bayi mungil yang dibungkus kain putih be

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   menjelang kelahiran

    Sore itu, langit di atas Florence terlihat muram, seolah ikut merasakan ketegangan yang belum mereka sadari. Di studio yang menghadap ke taman belakang, Averine duduk bersila di lantai kayu sambil membersihkan kuas lukis satu per satu. Perutnya yang besar sedikit menghalangi gerak, tapi wajahnya tenang, hampir damai. Dia menyeka sisa warna akrilik dari gagang kuas dengan kain flanel tua milik ibunya. Di sisi lain studio, Darian sedang mencoba menggantung lukisan yang baru saja selesai mereka kurasi."Kita bisa buka sesi komunitas minggu depan," gumam Averine sambil mengelus perutnya. "Kalau kamu jadi lahir minggu ini, semoga kamu sabar nunggu..."Tiba-tiba, sebuah denyutan kuat menyambar di perut bagian bawah. Averine terdiam. Tangannya mencengkeram kain flanel, dan dia menarik napas panjang. Denyutan itu datang lagi, lebih tajam kali ini."Darian..."Suaminya menoleh dari tangga kecil yang ia naiki. "Kenapa?"Averine memejamkan mata seje

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Valente

    pagi itu, udara Florence menyentuh kulit dengan kelembutan khas musim semi. Matahari masih malu-malu muncul dari balik menara tua, dan langit dibalut warna jingga yang perlahan menjingga keemasan. Averine berdiri diam di depan bangunan tua Valente, tangan kirinya bertumpu di perut yang makin membesar, tangan kanannya menggenggam kunci besi yang dulu pernah ia buang dalam kemarahan.Pintu kayu itu masih sama. Usang, dengan bekas ukiran mawar yang samar. Tapi sekarang, dari balik kaca jendelanya, terlihat kilau cahaya dan warna.“Kamu siap?” Darian berdiri di sampingnya, membawa dua gulungan lukisan dan tas kanvas berisi cat air.Averine mengangguk pelan. “Aku nggak tahu harus senang atau gugup.”“Senang aja,” kata Darian. “Valente bukan sekadar gedung. Ini ruang pulang. Dan kamu yang ngebuat dia bernyawa lagi.”Dengan napas dalam, Averine memutar kunci dan mendorong pintu.Suasana di dalam langsung menyambutnya dengan aroma cat ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status