Langit di atas Florence hari itu terlalu cerah, seolah kota tua itu tak tahu bahwa yang sedang berlangsung bukanlah pernikahan dalam arti biasa. Cahaya matahari menembus kaca patri gedung tua tempat akad akan dilangsungkan, menciptakan lukisan cahaya di lantai marmer yang terasa terlalu bersih. Terlalu putih. Terlalu sunyi.
Averine berdiri di depan cermin tinggi di ruang rias, mengenakan gaun pengantin putih tulang yang dipilihkan oleh tim stylist. Tidak ada renda berlebihan. Tidak ada perhiasan mencolok. Semuanya netral, nyaris steril. Seperti dirinya hari ini tanpa cinta, tanpa ragu, hanya satu tujuan yaitu, menyusup ke dalam dunia yang dulu pernah ditinggalkan ibunya. Ia merapikan bagian kerah gaunnya sendiri. Tidak ada ibunya untuk membantu. Tidak ada bridesmaid. Tidak ada tawa atau air mata kebahagiaan. Hanya suara detak jarum jam yang terasa terlalu keras di antara diamnya ruangan. "Hari ini bukan tentang cinta," pikirnya. "Ini tentang kebenaran yang harus ditemukan, meski dengan gaun pengantin sekalipun." Aula pernikahan itu bergema oleh keheningan. Bangunan tua dari abad ke-19 itu dipenuhi lukisan lukisan besar dan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Namun tak ada musik. Tak ada bunga segar. Yang terdengar hanyalah suara lembut lantunan ayat suci yang menggema di sela barisan kursi para undangan. Darren Almanda duduk di barisan depan. Wajahnya seperti ukiran batu. Datar. Tegas. Tak menunjukkan kebanggaan maupun penyesalan. Ia hanya ingin acara ini selesai, agar reputasi keluarga tetap utuh. Averine melangkah masuk. Pelan. Mantap. Gaunnya menyentuh lantai marmer yang dingin, langkahnya bergema seperti gema keputusan yang tak bisa ditarik kembali. Darian berdiri di ujung lorong, mengenakan setelan hitam. Rapi, dingin, tak tergoyahkan. Matanya menangkap mata Averine hanya sejenak. Tak ada senyum. Tak ada tatapan cinta. Hanya pengakuan diam bahwa ini bukan tentang mereka. Akad dilangsungkan. Kata kata diucapkan. Tanda tangan ditorehkan. Dan ketika semua selesai, Langit di atas Florence hari itu terlalu cerah, seolah kota tua itu tak tahu bahwa yang sedang berlangsung bukanlah pernikahan dalam arti biasa. Cahaya matahari menembus kaca patri gedung tua tempat akad akan dilangsungkan, menciptakan lukisan cahaya di lantai marmer yang terasa terlalu bersih. Terlalu putih. Terlalu sunyi. Averine berdiri di depan cermin tinggi di ruang rias, mengenakan gaun pengantin putih tulang yang dipilihkan oleh tim stylist. Tidak ada renda berlebihan. Tidak ada perhiasan mencolok. Semuanya netral, nyaris steril. Seperti dirinya hari ini tanpa cinta, tanpa ragu, hanya satu tujuan: menyusup ke dalam dunia yang dulu pernah ditinggalkan ibunya Ia merapikan bagian kerah gaunnya sendiri. Tidak ada ibunya untuk membantu. Tidak ada bridesmaid. Tidak ada tawa atau air mata kebahagiaan. Hanya suara detak jarum jam yang terasa terlalu keras di antara diamnya ruangan. "Hari ini bukan tentang cinta," pikirnya. "Ini tentang kebenaran yang harus ditemukan, meski dengan gaun pengantin sekalipun." Aula pernikahan itu bergema oleh keheningan. Bangunan tua dari abad ke-19 itu dipenuhi lukisan-lukisan besar dan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Namun tak ada musik. Tak ada bunga segar. Yang terdengar hanyalah suara lembut lantunan ayat suci yang menggema di sela barisan kursi para undangan. Darren Almanda duduk di barisan depan. Wajahnya seperti ukiran batu. Datar. Tegas. Tak menunjukkan kebanggaan maupun penyesalan. Ia hanya ingin acara ini selesai, agar reputasi keluarga tetap utuh. Averine melangkah masuk. Pelan. Mantap. Gaunnya menyentuh lantai marmer yang dingin, langkahnya bergema seperti gema keputusan yang tak bisa ditarik kembali. Darian berdiri di ujung lorong, mengenakan setelan hitam. Rapi, dingin, tak tergoyahkan. Matanya menangkap mata Averine hanya sejenak. Tak ada senyum. Tak ada tatapan cinta. Hanya pengakuan diam bahwa ini bukan tentang mereka. Di ruang belakang, Averine duduk di sofa panjang, menunggu giliran untuk menandatangani dokumen legalitas pernikahan. Darian masuk beberapa saat kemudian, membawa dua gelas air putih. "Selamat," katanya datar, duduk di sisi berlawanan. Averine menatapnya sekilas. "Untuk apa? Pernikahan, atau kesepakatan bisnis yang terselubung?" Darian menyerahkan pena. "Aku tidak menjanjikan kebahagiaan, Averine. Tapi aku bisa menjanjikan kebenaran." Ia mengambil pena itu, menandatangani formulir, lalu mengembalikannya tanpa melihat. "Kebenaran sering kali lebih menyakitkan daripada kebohongan. Pastikan kamu siap kalau aku juga mencarinya." Malam tiba. Mereka masuk ke kamar hotel tempat malam pertama seharusnya menjadi awal baru. Tapi di ruangan ini, tidak ada bunga di ranjang. Tidak ada champagne. Tidak ada lampu remang-remang romantis. Hanya satu ranjang besar. Dua sisi. Dua tubuh yang asing tapi telah disatukan oleh hukum dan tanda tangan. Averine duduk di sisi kiri, membuka jepit rambutnya perlahan. Darian berdiri di dekat jendela, membuka dasinya dengan pelan. “Camilla pernah berkata…” Darian mulai, suaranya datar tapi berat, “…bahwa cinta yang tidak diucapkan akan membusuk dalam diam.” Averine tak menoleh. Ia menggenggam ujung selimut. “Dan yang diucapkan pun bisa jadi racun, jika ditujukan pada orang yang salah.” Keheningan meregang di antara mereka. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena terlalu banyak yang tertahan. Lalu, Darian berjalan ke meja kecil di sisi tempat tidur. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah benda kecil sebuah kunci tua berukir angka Romawi. Ia meletakkannya di meja, tak menjelaskan asal-usulnya. “Besok,” katanya, “aku akan menunjukkan sesuatu. Tapi kamu harus datang sendiri. Tanpa siapa pun.” Averine menatap kunci itu lama, seolah benda kecil itu akan menentukan arah hidupnya setelah hari ini. "Kalau ini perang, Darian," katanya pelan, "pastikan kamu ada di pihak yang tidak akan berbalik saat aku menggali terlalu dalam." Darian hanya memandangnya, diam. Tak ada janji. Tak ada penyangkalan. Hanya ketegangan di antara dua orang yang terikat oleh sesuatu yang lebih tua dari cinta—rahasia. Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi terasa lebih jauh dari dua benua. Tak ada sentuhan. Tak ada kata perpisahan. Hanya napas masing-masing, pelan dan nyaris tak terdengar, seperti dua hantu yang mengintai masa lalu masing-masing. Averine menatap langit-langit kamar. "Pernikahan bukan tempat berlindung," pikirnya, "tapi pintu yang terbuka ke dalam ruang gelap. Dan aku memilih masuk." para tamu bertepuk tangan pelan. Bukan karena mereka menyaksikan kebahagiaan, tapi karena formalitas sudah terlaksana. Di ruang belakang, Averine duduk di sofa panjang, menunggu giliran untuk menandatangani dokumen legalitas pernikahan. Darian masuk beberapa saat kemudian, membawa dua gelas air putih. "Selamat," katanya datar, duduk di sisi berlawanan. Averine menatapnya sekilas. "Untuk apa? Pernikahan, atau kesepakatan bisnis yang terselubung?" Darian menyerahkan pena. "Aku tidak menjanjikan kebahagiaan, Averine. Tapi aku bisa menjanjikan kebenaran." Ia mengambil pena itu, menandatangani formulir, lalu mengembalikannya tanpa melihat. "Kebenaran sering kali lebih menyakitkan daripada kebohongan. Pastikan kamu siap kalau aku juga mencarinya." Malam tiba. Mereka masuk ke kamar hotel tempat malam pertama seharusnya menjadi awal baru. Tapi di ruangan ini, tidak ada bunga di ranjang. Tidak ada champagne. Tidak ada lampu remang remang romantis. Hanya satu ranjang besar. Dua sisi. Dua tubuh yang asing tapi telah disatukan oleh hukum dan tanda tangan. Averine duduk di sisi kiri, membuka jepit rambutnya perlahan. Darian berdiri di dekat jendela, membuka dasinya dengan pelan. “Camilla pernah berkata…” Darian mulai, suaranya datar tapi berat, “…bahwa cinta yang tidak diucapkan akan membusuk dalam diam.” Averine tak menoleh. Ia menggenggam ujung selimut. “Dan yang diucapkan pun bisa jadi racun, jika ditujukan pada orang yang salah.” Keheningan meregang di antara mereka. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena terlalu banyak yang tertahan. Lalu, Darian berjalan ke meja kecil di sisi tempat tidur. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah benda kecil sebuah kunci tua berukir angka Romawi. Ia meletakkannya di meja, tak menjelaskan asal usulnya. “Besok,” katanya, “aku akan menunjukkan sesuatu. Tapi kamu harus datang sendiri. Tanpa siapa pun.” Averine menatap kunci itu lama, seolah benda kecil itu akan menentukan arah hidupnya setelah hari ini. "Kalau ini perang, Darian," katanya pelan, "pastikan kamu ada di pihak yang tidak akan berbalik saat aku menggali terlalu dalam." Darian hanya memandangnya, diam. Tak ada janji. Tak ada penyangkalan. Hanya ketegangan di antara dua orang yang terikat oleh sesuatu yang lebih tua dari cinta rahasia. Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi terasa lebih jauh dari dua benua. Tak ada sentuhan. Tak ada kata perpisahan. Hanya napas masing masing, pelan dan nyaris tak terdengar, seperti dua hantu yang mengintai masa lalu masing masing. Averine menatap langit-langit kamar. "Pernikahan bukan tempat berlindung," pikirnya, "tapi pintu yang terbuka ke dalam ruang gelap. Dan aku memilih masuk."Malam itu berakhir dalam pelukan hangat, dua napas yang tak mau lepas.Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya rasa cukup.Pagi harinya, mereka sarapan di balkon hotel sambil menatap laut yang bergelombang kecil. Tidak ada agenda terburu-buru Darian hanya ingin menikmati setiap menit sebelum kembali ke rumah. Sesekali, mereka tertawa mengingat tingkah Calia, lalu saling meyakinkan bahwa satu hari “kabur” seperti ini harus jadi rutinitas.Menjelang siang, mereka membereskan barang. Darian menggandeng tangan Averine saat melewati lobi hotel, sama seperti dulu waktu mereka pertama kali pergi berlibur berdua. Mobil melaju santai di jalan pulang, dengan musik pelan dan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin sore masuk.Saat sampai di rumah, Calia langsung berlari dari pintu, memeluk keduanya sambil menceritakan semua permainan yang ia lakukan bersama Eira. Averine menatap Darian di atas kepala putri mereka tatapan singkat tapi penuh arti kita pulang, dan kita utuh.Malam itu mereka tidur
Malam itu berakhir dalam keheningan hangat. Averine tidak tahu berapa lama mereka berbaring seperti itu kepalanya bertumpu di dada Darian, napas pria itu teratur, dan tangannya sesekali mengusap punggung Averine tanpa sadar. Bukan untuk menenangkan, bukan pula untuk memulai sesuatu, hanya… menjaga. Dan entah kenapa, ia menyukai cara Darian diam.Esok paginya, Averine bangun lebih dulu. Atau mungkin Darian memang sengaja membiarkannya merasa demikian. Cahaya matahari pagi merayap pelan dari celah tirai, sementara kicau burung terdengar dari luar jendela. Darian masih memejamkan mata, tapi Averine tahu ia belum benar-benar tidur. Gerakan napasnya sedikit lebih dalam tanda khas saat pria itu sedang berpura-pura.“Pagi,” ucap Averine sambil menyenggol bahunya pelan.Darian membuka mata, menyipit sedikit karena cahaya. “Pagi. Kamu udah berapa lama bangun?”“Baru… dua puluh menit,” jawabnya, meski sebenarnya mungkin lebih lama. Ia sengaja diam, menikmati rasa nyaman yang sudah lama tidak da
Malam itu, rumah sudah sepenuhnya tenggelam dalam keheningan. Hujan yang sejak sore tidak berhenti kini tinggal gerimis, menetes lembut di luar jendela kamar. Cahaya lampu tidur berwarna kuning temaram menciptakan bayangan hangat di dinding, seakan ingin menjaga ketenangan ruangan itu.Darian duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Di pangkuannya ada kain kompres yang baru ia ganti, masih hangat dari air yang tadi ia tuangkan ke baskom. Tangannya bergerak hati-hati saat menempelkan kompres itu ke dahi Averine. Suhu tubuhnya memang sudah turun dari siang tadi, tapi Darian tetap ingin memastikan.“Masih panas sedikit,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Averine hanya menggumam, matanya setengah terpejam. Ia terlalu nyaman untuk benar-benar menjawab.Darian menarik napas panjang. Seharian ini ia mondar-mandir, menyiapkan teh jahe, mengecek suhu setiap dua jam, memaksa Averine makan bubur walau hanya beberapa se
Hujan sudah berhenti semalaman, tapi udara di rumah itu masih dingin. Sisa-sisa genangan di halaman belakang memantulkan cahaya abu-abu dari langit pagi.Averine bangun dengan kepala berat dan tenggorokan yang kering. Seluruh badannya terasa lemas, seolah semua energi hilang saat ia tidur. Malam sebelumnya, ia memang terlalu lama berada di bawah hujan bersama Darian dan Calia. Waktu itu rasanya menyenangkan, tapi sekarang tubuhnya menagih harga.Ia berusaha duduk di tepi tempat tidur, namun baru saja mengangkat kepala, Darian yang masih setengah tertidur di kursi sebelah langsung tersentak.“Kamu mau kemana?” tanyanya cepat sambil bangkit.“Aku… mau lihat Calia. Dia udah bangun belum?” suaranya serak, bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.Darian mengerutkan dahi, berjalan mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Averine. “Panas banget,” gumamnya. “Enggak. Kamu enggak boleh kemana-mana. Tidur lagi.”“Aku cuma—
Pagi itu, aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi ruang makan. Calia duduk di kursinya dengan wajah penuh konsentrasi, tangannya sibuk mengoleskan mentega ke roti seperti seorang chef kecil yang sedang mempersiapkan menu sarapan spesial. Semalam, ia sudah membantu Averine menyiapkan makan malam dengan sedikit kekacauan yang membuat mereka bertiga tertawa sampai perut sakit.Darian duduk di ujung meja, mengamati pemandangan itu. Averine memotong buah, sementara Calia tak berhenti bercerita tentang mimpinya yang katanya “sangat ajaib” ia bertemu seekor kelinci yang bisa berbicara.“Ayah, kamu percaya nggak kelinci bisa ngomong?” tanya Calia tiba-tiba, matanya berbinar.Darian tersenyum, menyandarkan punggung di kursi. “Kalau di dunia Calia, semua bisa. Bahkan hujan pun bisa tertawa.”Averine terkekeh, lalu menyuapkan sepotong stroberi ke mulut anak itu. “Kalau hujan bisa tertawa, mungkin hari ini kita bakal dengar,” ujarnya, setengah menggoda.
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai, mengguratkan garis tipis ke sprei putih yang sedikit kusut. Suara lembut seperti bisikan memecah keheningan.“Mama… Papa…”Calia sudah bangun lebih dulu. Rambutnya masih berantakan, pipinya hangat seperti roti yang baru keluar dari oven. Ia berdiri di samping ranjang, menatap mereka dengan mata yang setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin dekat.Darian mengerjap pelan sebelum tersenyum. Ia menunduk, meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya ke atas ranjang. Tanpa banyak kata, Calia menyelip di antara mereka, kecil namun terasa seperti pusat dari seluruh dunia.Averine melingkarkan lengannya, merasakan bagaimana tubuh Darian di sisi lain ikut mendekat. Mereka bertiga terbungkus dalam kehangatan yang sederhana, namun sarat makna. Aroma sabun dari kulit Darian bercampur dengan wangi khas Calia yang masih menyisakan bau bantal tidurnya.Dari ambang pintu, Eira berdiri terdiam. Ada sesu