Florence malam itu sepi, dan langitnya begitu jernih hingga bintang bintang tampak seperti titik titik ingatan yang tak pernah padam. Averine berdiri di balkon hotel, membiarkan angin membawa pikirannya menjauh dari segala dokumen, warisan, dan penghapusan.Di tangannya, secarik kertas adendum legal yang sudah ditandatangani. Nama Eira kini telah terdaftar secara resmi sebagai bagian dari sejarah Valente. Ia sudah menyegel masa lalu itu, tapi hatinya belum selesai bicara.Darian datang dari belakang, membawa dua gelas wine merah. Tanpa bicara, ia menyerahkan satu ke Averine. Mereka berdiri berdampingan, menikmati sunyi yang lebih bersahabat malam ini."Ayahku dulu selalu bilang bahwa diam adalah perlindungan," kata Averine, suaranya nyaris dibawa angin. "Tapi diam juga bisa jadi cara paling lembut untuk menghancurkan."Darian tak menjawab. Ia hanya memandang wajah Averine yang diterangi cahaya bulan."Aku tidak tahu kenapa aku masih bisa menangisi seseorang yang tak pernah benar benar
Langit Florence tampak lebih bersih pagi itu, seolah semesta mencoba menghapus sisa mendung yang tertinggal. Tapi Averine tahu, tak semua hal bisa dibersihkan begitu saja terutama jejak yang sengaja dihapus oleh tangan manusia.Setelah malam sunyi yang dipenuhi bisikan dan diam, ia kembali duduk di ruang kerja peninggalan Camilla. Sisa sisa perenungannya dari pertemuan dengan Eira dan penemuan di studio Benedetta masih menyisakan gema. Lukisan tanpa nama itu burung yang saling berpaling namun terikat oleh satu garis halus masih terbayang dalam pikirannya.Saat Darian masuk dengan dua cangkir teh hangat, Averine masih memegang catatan catatan dari studio Benedetta. Di antara halaman jurnal, ia melihat satu nama yang berulang bukan Camilla, bukan Benedetta melainkan nama ayahnya.“Ayah selalu hadir di sekeliling luka, bukan untuk menyembuhkan... tapi menghilangkan,” gumamnya.“Apa kamu siap menanyakannya langsung?” tanya Darian, menyerahkan teh padanya.Averine menatapnya. “Aku harus. K
Florence belum sepenuhnya kering dari hujan kemarin. Udara pagi membawa bau tanah basah, dan langit mendung menggantung rendah di atas kota. Di dalam studio kecil tempat lukisan tanpa nama itu dipajang, Eira telah pergi. Averine masih berdiri diam di depan kanvas kosong yang tadi mereka sentuh bersama.Ia belum tahu harus merasa seperti apa setelah pertemuan mereka yang singkat namun mengguncang. Tapi satu hal yang pasti mereka bukan lagi orang asing.Beberapa jam kemudian, sebuah dokumen datang ke meja kerja Averine. Laura, staf lama di arsip Valente, datang membawanya secara pribadi."Kami membersihkan kembali studio Benedetta seperti permintaan Anda. Kami menemukan ini tersembunyi di dalam map berlabel 'arsip latihan pribadi'. Saya pikir... Anda perlu melihatnya."Averine membuka dokumen itu pelan. Di dalamnya, catatan latihan seni dari beberapa murid Benedetta. Tapi salah satu folder menarik perhatiannya: Eira D.Sketsa sketsa kasar, penilaian harian, hingga catatan pendek tangan
Florence, pagi yang basah. Langit menyisakan awan kelabu, dan udara mengandung dingin yang tak biasa. Tapi bagi Averine, dingin itu bukan dari cuaca melainkan dari sesuatu yang mengendap di dada: penantian akan kepastian. Pagi itu mereka kembali ke klinik, tempat yang sama di mana amplop pertama diterima. Namun kali ini, mereka membawa sesuatu yang jauh lebih penting: harapan untuk membuktikan kebenaran yang tak bisa dilukis dengan perasaan semata.Ruang tunggu klinik sepi. Hanya dentingan jam dinding dan suara mesin printer dari ruang administrasi yang terdengar. Darian duduk di sebelah Averine, tangannya tak henti memainkan kertas pengambilan hasil tes DNA.Averine menatap layar ponselnya, membaca ulang email terakhir dari Eira: “Terima kasih telah tidak bertanya, tapi memahami.”“Kalau hasilnya... negatif,” Darian membuka percakapan pelan, “apa kamu akan tetap mencarinya?”Averine menoleh. “Ya. Karena yang aku cari bukan sekadar kesamaan gen. Tapi jawaban kenapa ibuku menyimpan
Florence mulai menunjukkan senja keemasan ketika Averine dan Darian melangkah ke dalam ruang seni independen di San Spirito. Bangunan tua itu masih mempertahankan dinding batu asli dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya matahari seperti pecahan ingatan. Di dalam, suasana pameran sore itu tenang. Musik piano klasik mengalun samar dari sudut ruangan, menyatu dengan aroma cat minyak dan kayu tua.Di tengah keramaian kecil, mata Averine menyapu tiap lukisan yang tergantung. Semua bergaya kontemporer, namun satu di antaranya membuat langkahnya berhenti. Sebuah kanvas berukuran sedang seorang gadis duduk di tepi danau, langit senja membentang di atas kepalanya. Ada keheningan yang bergemuruh dari lukisan itu, seolah menyimpan jeritan yang ditahan terlalu lama.Langitnya bukan sekadar oranye. Tapi merah darah. Bayangan gadis itu tercermin samar di permukaan air dua versi diri, satu nyata, satu luka. Di sudut kiri bawah, sebuah pohon willow menggantung, rantingnya mirip rambut basah y
Sesampainya di kamar hotel, Averine duduk diam di sofa, amplop putih itu masih di tangannya. Darian membuatkan teh, tapi ia bahkan tidak menyentuhnya. Dengan napas panjang, ia membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya, satu lembar surat yang ditulis tangan. Kertasnya sudah agak kusam, seolah telah lama menunggu waktu yang tepat untuk ditemukan. Tulisan itu miring, halus, tidak asing. Ia mengenal bentuk hurufnya. Tangan ibunya. Camilla. Averine, Jika surat ini sampai padamu, itu berarti waktu telah bergerak lebih cepat daripada yang kuduga. Apa yang akan kau temukan selanjutnya mungkin akan membuatmu marah. Mungkin akan menghancurkan gambaran yang selama ini kau pegang tentangku. Tapi ingat satu hal aku tak pernah bermaksud meninggalkan luka. Aku hanya ingin melindungi kalian berdua dengan cara yang kutahu. Ya, kalian berdua. Maafkan aku, Averine. Camilla. Satu kalimat itu "Ya, kalian berdua." menghantam dada Averine seperti badai yang tak bisa ia hindari, meski ia sudah tahu s