Pagi itu, galeri Valente belum dibuka untuk umum. Tapi keheningan ruang ruangnya sudah dipecah oleh bunyi langkah dan suara kain lap yang digosokkan ke bingkai kayu.Averine, masih mengenakan baju rumah dan rambut yang diikat seadanya, membungkuk di lantai belakang galeri, di mana tumpukan berkas lama dan kotak penyimpanan mulai dibuka kembali. Sejak surat Camilla ditemukan, tak ada yang bisa menghentikan dorongan untuk menggali lebih dalam.Eira datang sambil membawa dua gelas teh hangat. "Ini. Kamu bahkan belum minum apa pun sejak pagi."Averine mengangkat wajahnya dan menyambut gelas itu dengan senyum kecil. "Terima kasih. Maaf, aku cuma...""Ingin tahu lebih banyak," potong Eira, duduk di sampingnya. "Aku juga."Mereka duduk diam sejenak, hanya terdengar bunyi detik jam dinding dan pelan tumpukan kertas yang dibalik balik. Di antara catatan tua dan sketsa tak bernama, tiba tiba Eira menarik satu map besar berdebu dari bagian paling bawah. "Ini belum pernah kulihat sebelumnya..."
Langit Florence tampak kelabu pagi itu, seolah ikut menyembunyikan sesuatu yang tak ingin dilihat terlalu terang. Di dalam galeri Valente yang kini tampak lebih hidup dengan lukisan lukisan baru, Averine berjalan perlahan di antara lorong lorong sunyi. Ia tahu dirinya tengah mencari sesuatu atau mungkin, seseorang yang belum selesai bicara. Suara langkahnya menggema ringan di lantai marmer. Tak lama, Laura menyusul dari belakang, membawa kotak kayu kecil yang terlihat usang namun bersih. Di atasnya, terdapat ukiran sederhana: C.A. "Ini ditemukan tadi pagi saat tim membereskan loteng tua belakang studio Benedetta," ujar Laura pelan. "Terkunci, tapi tidak berat. Seperti hanya berisi kertas."Averine menyentuh permukaan kotak itu dengan jemarinya yang ragu. Ada semacam getar di dada yang tak bisa ia jelaskan seperti ketika seseorang berdiri di ambang rahasia yang bisa mengubah segalanya. Perlahan, ia membuka kuncinya yang sudah berkarat. Di dalamnya hanya ada satu benda: sebuah amplop
Pagi itu mereka sarapan dalam diam. Bukan diam yang canggung, tapi seperti dua orang yang sedang mencerna hal besar yang tak bisa langsung dibicarakan. Sendok sesekali bersentuhan dengan piring. Aroma kopi mengisi ruang makan kecil itu.Darian memandangi Averine yang sibuk mengaduk kopinya tanpa minum. “Kamu kelihatan capek,” katanya, pelan.“Tidurku kepotong potong.” jawab Averine tanpa menoleh. “Kepalaku terasa penuh.”Ia berhenti mengaduk, akhirnya meneguk kopi itu. Masih terlalu pahit. Tapi ia butuh rasa yang nyata.“Aku pikir…” Darian ragu. “Kalau kamu memang niat temuin Eira, mungkin sekarang waktunya.”Averine meletakkan cangkir, menatap jendela. “Aku tahu.”Setelah mereka bereskan meja, Averine duduk di tepi ranjang. Ia menyalakan ponsel, membuka layar pesan. Jarinya sempat diam.Ia menulis: “Eira, aku tahu banyak hal tentang Camilla bikin kita sama sama capek. Bisa ketemu di Valente besok jam empat sore? Aku pengin ngobrol.”Ia tekan ‘kirim’. Hanya itu.Sore harinya, matahar
Florence malam itu sepi, dan langitnya begitu jernih hingga bintang bintang tampak seperti titik titik ingatan yang tak pernah padam. Averine berdiri di balkon hotel, membiarkan angin membawa pikirannya menjauh dari segala dokumen, warisan, dan penghapusan.Di tangannya, secarik kertas adendum legal yang sudah ditandatangani. Nama Eira kini telah terdaftar secara resmi sebagai bagian dari sejarah Valente. Ia sudah menyegel masa lalu itu, tapi hatinya belum selesai bicara.Darian datang dari belakang, membawa dua gelas wine merah. Tanpa bicara, ia menyerahkan satu ke Averine. Mereka berdiri berdampingan, menikmati sunyi yang lebih bersahabat malam ini."Ayahku dulu selalu bilang bahwa diam adalah perlindungan," kata Averine, suaranya nyaris dibawa angin. "Tapi diam juga bisa jadi cara paling lembut untuk menghancurkan."Darian tak menjawab. Ia hanya memandang wajah Averine yang diterangi cahaya bulan."Aku tidak tahu kenapa aku masih bisa menangisi seseorang yang tak pernah benar benar
Langit Florence tampak lebih bersih pagi itu, seolah semesta mencoba menghapus sisa mendung yang tertinggal. Tapi Averine tahu, tak semua hal bisa dibersihkan begitu saja terutama jejak yang sengaja dihapus oleh tangan manusia.Setelah malam sunyi yang dipenuhi bisikan dan diam, ia kembali duduk di ruang kerja peninggalan Camilla. Sisa sisa perenungannya dari pertemuan dengan Eira dan penemuan di studio Benedetta masih menyisakan gema. Lukisan tanpa nama itu burung yang saling berpaling namun terikat oleh satu garis halus masih terbayang dalam pikirannya.Saat Darian masuk dengan dua cangkir teh hangat, Averine masih memegang catatan catatan dari studio Benedetta. Di antara halaman jurnal, ia melihat satu nama yang berulang bukan Camilla, bukan Benedetta melainkan nama ayahnya.“Ayah selalu hadir di sekeliling luka, bukan untuk menyembuhkan... tapi menghilangkan,” gumamnya.“Apa kamu siap menanyakannya langsung?” tanya Darian, menyerahkan teh padanya.Averine menatapnya. “Aku harus. K
Florence belum sepenuhnya kering dari hujan kemarin. Udara pagi membawa bau tanah basah, dan langit mendung menggantung rendah di atas kota. Di dalam studio kecil tempat lukisan tanpa nama itu dipajang, Eira telah pergi. Averine masih berdiri diam di depan kanvas kosong yang tadi mereka sentuh bersama.Ia belum tahu harus merasa seperti apa setelah pertemuan mereka yang singkat namun mengguncang. Tapi satu hal yang pasti mereka bukan lagi orang asing.Beberapa jam kemudian, sebuah dokumen datang ke meja kerja Averine. Laura, staf lama di arsip Valente, datang membawanya secara pribadi."Kami membersihkan kembali studio Benedetta seperti permintaan Anda. Kami menemukan ini tersembunyi di dalam map berlabel 'arsip latihan pribadi'. Saya pikir... Anda perlu melihatnya."Averine membuka dokumen itu pelan. Di dalamnya, catatan latihan seni dari beberapa murid Benedetta. Tapi salah satu folder menarik perhatiannya: Eira D.Sketsa sketsa kasar, penilaian harian, hingga catatan pendek tangan