Pagi itu, Darian lagi nyari charger di laci dekat meja kerja Averine. Tapi bukannya nemu kabel, dia malah nemuin sebuah buku kecil berwarna coklat muda. Awalnya dia mau naruh lagi, tapi penasaran karena ada label kecil di sampulnya, Kalender Cinta.Darian ngebuka perlahan. Di dalamnya ada catatan harian pendek, satu kalimat per hari, ditulis dengan spidol warna-warni. Beberapa entri bahkan ada stiker kecil atau coretan hati.Hari ke-1: Dia ingetin aku minum air putih, padahal dia sendiri lupa.Hari ke-3: Dia cium tangan kiriku waktu aku lagi kesel. Keselku ilang, tapi nggak aku tunjukin.Hari ke-7: Dia nyuapin aku makan sisa roti panggang Calia karena aku keasikan lukis.Darian baca sambil senyum-senyum sendiri. Tapi senyumnya menghilang begitu suara Averine muncul dari pintu.“Kamu baca itu?”Darian langsung reflek nutup buku. “Maaf... aku cuma nyari charger. Terus aku nggak sengaja buka.”Averine nyilangin tangan di dada. “Itu kan rahasia.”Darian berdiri gugup. “Aku serius nggak ma
Pagi itu dimulai seperti biasanya. Calia bangun lebih awal dari alarm, dan Averine belum sempat menyelesaikan kopinya yang tinggal setengah. Rambutnya belum disisir, baju tidurnya udah belepotan susu, dan kantung matanya jelas terlihat.Calia, seperti biasa, nggak ngerti ibunya kurang tidur. Dia ketawa, menendang-nendang, dan minta digendong sambil teriak-teriak kecil.“Sayang, ibu belum sempet sikat gigi,” gumam Averine sambil tetap mengangkat Calia dan mengayun-ayunkannya ke dada. Darian muncul dari belakang sambil nahan ngantuk. Dia langsung bantu ambilkan botol susu dan nyiapin air hangat. “Kamu tidur cuma dua jam ya semalam?”Averine angguk pelan, “Tadi malam Calia drama... aku nggak tega ninggalin.”Darian mendekat dan mencium kening istrinya. “Makasih ya... buat terus kuat.”Averine senyum kecil, walau lelahnya masih keliatan jelas. Mereka lanjut rutinitas pagi: nyuapin Calia, beresin meja makan, dan beberes sedikit di ruang t
Pagi datang pelan, disambut suara burung dan sisa-sisa hujan semalam yang masih menempel di kaca jendela. Averine bangun lebih dulu. Rambutnya berantakan, tapi senyumnya lembut. Ia turun pelan-pelan ke dapur, nyalain pemanas air, lalu mulai nyiapin sarapan seadanya. Roti panggang, telur ceplok, dan teh hangat.Tak lama, Darian muncul dengan rambut awut-awutan dan kaus yang sedikit miring. “Wangi banget pagi ini,” katanya sambil nyosor ke dapur.“Kamu cuma bilang gitu kalo lagi laper,” jawab Averine sambil nyodorin piring ke dia.Darian duduk di meja makan, lalu motong rotinya. Eira muncul sebentar, ngucek-ngucek mata, liat sekeliling lalu buru-buru ambil Calia dari boks kecil di ruang tamu.“Aku bawa Calia ke kamarku, ya. Biar kalian bisa ngobrol-ngobrol dulu,” katanya sambil senyum jahil. Mereka cuma ketawa.Mereka makan berdua. Suasananya tenang. Darian sesekali nyolek-nyolek roti Averine, dan Averine balas menyeka remahan dari sud
Beberapa hari sebelum pindahan, rumah lama terasa seperti museum kecil. Dindingnya penuh lukisan, tumpukan buku seni bersandar di tiap sudut, dan setiap sudut ruangan menyimpan cerita. Averine berjalan pelan dari satu ruangan ke ruangan lain, sesekali berhenti menatap sesuatu terlalu lama.“Masih belum yakin semua ini mau dibawa?” tanya Darian sambil berdiri di tengah ruang tamu, memegang lukisan besar yang setengah dibungkus bubble wrap.Averine mengangguk. “Beberapa... harus ikut. Sisanya, kita tinggalin. Aku nggak mau rumah baru penuh masa lalu.”Eira sedang di dapur, nyuapin Calia sambil sesekali ngoceh sendiri. “Kalo semua yang dari rumah lama ikut, nanti rumah baru nggak punya napas sendiri. Biarin kosong dulu, nanti pelan-pelan diisi.”Sore itu mereka bertiga duduk di lantai ruang keluarga. Tanpa sofa, tanpa meja. Hanya tikar, teh manis, dan setumpuk foto lama. Mereka ketawa lihat gaya rambut Darian waktu kuliah, lalu hening waktu nemu foto
Tiga minggu setelah Calia lahir, Averine dan Darian akhirnya pulang ke rumah lama mereka. Bukan rumah baru, bukan villa sewa, tapi rumah tua yang dulu terasa kosong dan dingin. Kini, semuanya berubah. Di ruang tamu, ada keranjang bayi. Di dapur, ada tumpukan botol susu yang belum dicuci. Di meja makan, ada buket bunga yang Eira petik sendiri.“Kayaknya rumah ini butuh beradaptasi juga,” kata Darian sambil membawa koper masuk, wajahnya lelah tapi bahagia. “Tiba-tiba aja jadi penuh.”Averine duduk pelan di sofa, menggendong Calia yang tidur pulas. “Aku juga masih belajar,” katanya. Eira muncul dari dapur sambil bawa mangkuk buah. “Aku potongin apel, kalau kamu lapar,” katanya ke Averine.“Ra, kamu tuh kayak suster rumah sakit,” sahut Darian sambil senyum. “Kapan kamu istirahat?”“Aku seneng bantuin. Apalagi liat bayi kayak Calia. Dia kayak… bantal kecil yang bisa napas,” jawab Eira sambil duduk.“Bantal kecil yang bisa napas? Itu pujian atau kamu ngantuk?” tanya Darian.“Dua-duanya,” E
Suara hujan di luar kamar bersalin masih terdengar samar, menyatu dengan detak jantung yang muncul dari monitor di samping ranjang Averine. Malam sudah bergeser ke dini hari. Aroma antiseptik mengambang, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser kecil yang diam-diam dibawa Darian ke ruangan.Averine menggenggam sisi ranjang lebih erat. Kontraksi demi kontraksi datang dengan gelombang tak terduga. Perawat menyeka keringat di dahinya, sementara Darian berdiri di samping, tangannya tak lepas dari jemari istrinya. Tak satu pun dari mereka berbicara banyak keduanya terlalu fokus untuk bertahan.Dan saat momen itu tiba, waktu seolah berhenti. Dalam kepadatan rasa sakit, ketakutan, cinta, dan harapan, terdengarlah suara yang mereka tunggu. Tangisan bayi. Tangisan pertama dari jiwa kecil yang baru menyapa dunia.Averine terisak. Air matanya langsung jatuh, tanpa bisa ditahan. Tangannya bergetar ketika perawat meletakkan bayi mungil yang dibungkus kain putih be